Wednesday, May 23, 2007

STRATEGI REKRUITMEN
DAN REPRESENTASI PEREMPUAN
(MENGKRITISI UU PARPOL NO 32/2002)

Oleh:
Audy W.M.R. Wuisang
(Modifikasi dan revisi Tugas Mata Kuliah
Pasca Sarjana Ilmu Politik UI)

Pengantar

Perubahan format politik Indonesia sungguh sangat substansial dan mendasar. Setidaknya demikian dicatat oleh Kristiadi[1] maupun oleh Affan Gafar[2], serta masih banyak lagi pemikir politik baik dalam maupun luar negeri. Membandingkan pelaksanaan Pemilihan Umum antara tahun-tahun sebelum 1999 dan 2004 dengan Pemilihan Umum masa Orde Baru, sungguh sangat berbeda. Bukan hanya berbeda dari segi payung perundangannya saja, tetapi juga dari segi kualitas demokrasi yang dikandung oleh masing-masing pelaksanaan Pemilihan Umum tersebut.

Salah satu perubahan fundamental sebetulnya adalah aturan perundangan mengenai Partai Politik. Undang-undang Partai Politik atau UU Parpol, telah mengalami perubahan dan perbaikan-perbaikan yang sangat mendasar dan menyebabkan kualitas pelaksanaan Pemilihan Umum 1999 dan 2004 menjadi sangat demokratis. Sungguh jauh dibandingkan dengan semua pelaksanaan Pemilihan Umum pada masa Orde Baru.

Pelaksanaan Pemilihan Umum pada masa Orde Baru hampir semuanya menggunakan Undang Undang yang memiliki semangat yang sama, yakni mulai dari modifikasi UU Pemilu No 15 tahun 1969 yang di rubah menjadi UU No 4/75, UU No 2/1980, kemudian lahir UU No 1/85 mengenai Pemilihan Umum dan 3/85 mengenai GOLKAR dan Partai Politik dan terus digunakan hingga Pemilihan Umum 1997. Pelaksanaan Pemilihan Umum dan khususnya Partai Politik pada masa Orde Baru mengalami simplifikasi atau penyederhanaan melalui proses “pemaksaan kekuatan” pada masa Orde Baru. Akibatnya, muncul kerancuan soal independensi Partai Politik dalam konteks demokrasi. Mengapa? Karena semua Partai Politik sebetulnya dikooptasi habis-habisan oleh pemerintah. Artinya, hasil Pemilihan Umum sudah bisa diprediksi jauh sebelum Pemilihan Umum dilaksanakan. Bahkan, seleksi dan rekruitmen anggota legislative harus melalui pemerintah, dalam hal ini Presiden.

Memasuki tahun 1999, terjadi perubahan politik yang sangat signifikan yang juga berimplikasi pada sistem politik Indonesia. Untuk mendukung strategi demokratisasi, Presiden Habiebie mengeluarkan paket reformasi politik dan menggulirkan Paket UU Politik yang terdiri dari UU No 2/1999 mengenai Partai Politik, UU No 3/1999 mengenai Pemilihan Umum dan UU No 4/1999 tentang Susduk MPR, DPR dan DPRD. Perubahan ini berlanjut hingga ke Pemilihan Umum 2004 dengan menggunakan UU No 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum[3].

Makalah ini, secara khusus akan menyorot Paket Undang-Undang Politik tersebut, yakni UU 31/2002 tentang Partai Politik dan secara khusus ingin mengkaji Tujuan Pendirian Partai Politik, Rekruitmen Pemimpin Partai dan dikaitkan dengan Keadilan Gender. Mengaitkan dengan Keadilan Gender, sebetulnya juga ingin diproyeksikan untuk melihat sejauh mana implementasi dan realisasi dari Affirmative Action yang diamanatkan oleh UU No 12/2003 yang berbunyi sebagai berikut:

..” Setiap Partai Politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”[4]

Selain upaya pencantuman komitmen moral affirmative action 30% dalam UU Pemilu, sebetulnya dalam Undang-Undang Partai Politik, wacana keadilan Gender juga sudah diintroduksi. Sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 13:

…”Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik, sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dengan memperhatikan Kesetaraan dan Keadilan Gender”[5]

Maka menjadi menarik untuk menelaah, bukan hanya fenomena pencantuman keadilan gender dan realisasinya, tetapi terutama bagaimana UU No 31/2002 sendiri nampak masih amat ringkih menjamin keadilan gender terjadi meski dicantumkan dalam pasal 13. Artinya, pencantumannya sudah tepat, tetapi jaminan atas pencantuman tersebut masih sangat rentan dan terkesan asal akomodatif terhadap perjuangan kelompok feminis. Apakah memang demikian? Bagaimana pulakah kaitannya dengan Tujuan Partai Politik?

Partai Politik: Sebuah Overview

Apakah Partai Politik itu? Menjawab pertanyaan ini, maka dicoba dikutip beberapa pandangan para pemikir politik, untuk kemudian diperoleh gambaran mengenai Partai Politik tersebut. Menurut Miriam Budiardjo:

…”Partai Politik adalah sebuah kelompok yang terorganisasi yang angota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memproleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara konstitusional – untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka”[6].

Definisi lainnya, mengutip Carl J Friederich adalah:

…”Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisair secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan berupa idiil maupun materiil”[7]

Definisi lainnya yang lebih kurang sama dirumuskan sebagai berikut oleh R.H., Soltau:

…”Partai Politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan mereka”[8]

Miriam Budiarjo menekankan pentingnya “Konstitusi”, yang mengartikan bahwa kelompok terorganisasi ini memperjuangkan agendanya dengan mengikuti aturan dan tata politik yang berlaku. Dengan demikian, Partai Politik merupakan bagian dari sebuah sistem politik yang berlaku di sebuah Negara dimana Partai Politik bersangkutan eksist dalam memperjuangkan agendanya. Sebagaimana Miriam, Soltau, Friederichpun, juga menekankan aspek merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam memperjuangkan agenda para aktivis atau anggota partai. Dalam konteks ini, tepat untuk menegaskan apa yang ditulis oleh Guy Peter, tindakan dan tingkah laku politik merupakan refleksi dari aturan-aturan. Lembaga, merupakan pembentuk tindakan politik yang merupakan refleksi dari aturan-aturan politik[9]. Artinya, Partai Politik, merupakan sebuah lembaga politik modern yang merefleksikan dan mengarahkan tingkah laku politik dan pencapaian tujuannya sesuai dengan system dan aturan yang berlaku. Justru pada posisi inilah tujuan tujuan dari anggota Partai menemukan muara optimalnya[10].

Jika menelaah definisi di atas, maka semakin jelas bahwa Partai Politik merupakan bagian yang sangat mendasar dari sebuah sistem politik modern. Indra Pilliang[11], misalnya memberi perhatian terhadap proses-proses politik dan meninjau daya adaptasi Partai Politik dan elite politik terkait dengan sistem politik. Bahwa, kegemaran Partai Politik adalah “dekat” dengan kekuasaan, menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan karena memang demikianlah “karakter” Partai Politik sebagaimana definisi di atas. Tetapi, kekhawatiran Piliang, adalah semakin mewujudnya apa yang dinamakan “Oligarkhi”, meski dia menggunakan bahasa yang berbeda, yakni semakin mengentalnya parpol disekitar kekuasaan diundang maupun tidak diundang. Hal ini, sebetulnya akan lebih di dalami dalam bagian bahasan. Tetapi, refleksi utamanya adalah, betapa memang sistem politik modern Indonesia semakin tidak terpisahkan dengan substansi dan kehadiran Partai Politik.

Fungsi Partai Politik[12]

Apa dan bagaimanakah fungsi Partai Politik jika demikian? Meskipun dari definisi Partai Politik bisa disimpulkan, tetapi dapat diutarakan berdasarkan observasi para akademisi yang mendalami masalah ini. Salah satu fungsi yang penting misalnya menurut Gabriel Almond adalah menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah, dan fungsi ini menjadi salah satu penentu sistem kepartaian Negara-negara di dunia[13]. Lebih spesifik terkait fungsinya, maka menurut Mochtar Mas’oed dan Collin Mac Andrew[14] fungsi Partai Politik adalah:

Sosialisasi Politik: proses dimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya dalam konteks masyarakat dia berada.
Partisipasi Politik: Mobilisasi warga Negara dalam aktifitas politik, merupakan cirri khas Partai Politik dan biasanya ini terkait dengan hak pilih masyarakat[15].
Rekruitmen politik: Fungsi ini merefleksikan aktifitas partai politik untuk mengajak banyak orang dalam aktifitas Partai, termasuk proses mendidiknya untuk bersaing dalam perebutan posisi-posisi politik, maupun pemerintahan nasional ataupun daerah.
Komunikasi Politik: Fungsi ini dilaksanakan dalam koridor penyaluran aneka ragam pendapat dan aspirasi politik masyarakat. Fungsi ini dilakukan bersama dengan struktur lain, bisa pers, issue, gagasan politik, dll.
Artikulasi Kepentingan: Menyatakan atau menegaskan kepentingan kepada badan-badan politik dan pemerintahan melalui kelompok dan cara yang mereka pilih bersama dengan kelompok lain yang memiliki kepentingan yang sama dengan mereka.
Agregasi Kepentingan: Agregasi dimaksudkan sebagai cara bagaimana tuntutan-tuntutan yang dilancarkan diabsorbs menjadi alternative-alternatif kebijakan pemerintah. Hal ini bisa dilakukan Partai melalui perumusan program politik dan disampaikan melalui legislative.
Pembuat Kebijakan: Apabila sebuah partai berhasil dalam merebut kekuasaan, maka dia bisa berfungsi kemudian sebagai pembuat kebijakan, atau setidaknya berpengaruh sangat kuat dalam proses menghasilkan kebijakan.

Dengan menelaah fungsi Partai Politik yang demikian, serta dengan mempertimbangkan rumusan Almond di atas, maka nampak betapa strategis dan pentingnya Partai Politik tersebut. Boleh dikatakan, sistem politik modern sangat menentukan kuat tidaknya sistem politik bersangkutan, tentu dengan mempertimbangkan aturan yang terkait dengan Partai Politik bersangkutan.

Pencermatan UU Parpol No 32/2002

Sebagaimana dikemukakan dalam pendahuluan, maka makalah ini akan berkonsentrasi pada rumusan Tujuan Partai Politik, Rekruitmen Politik dan komitmen Kesetaraan dan Keadilan Gender yang tercantum dalam UU Partai Politik No 32/2002.

Mengapa memulai dari Tujuan Partai Politik, dan secara lebih khusus rumusannya dalam UU 32/2002, adalah terutama untuk melihat benang merah dan keterkaitannya dengan mekanisme dan proses rekruitmen politik. Artinya, statement yang sangat terbuka dan normative dalam Tujuan Partai Politik, seharusnya kemudian memiliki keterkaitan dengan rumusan rekruitmen politik dan tentu dengan komitmen spesifik terkait dengan keadilan Gender.

Undang Undang Parpol sendiri merumuskan Tujuan Partai Politik di Indonesia dan membaginya sebagai Tujuan Umum dan Tujuan Khusus. Tujuan Umum bersifat sangat normative, sementara Tujuan Khusus jauh lebih spesifik dan biasanya terkait dengan orientasi dukungan konstitues dan cita-cita yang hendak diupayakan. Meskipun demikian, haruslah dicatat, bahwa Parpol manapun pastilah merumuskan baik Tujuan Umum maupun Tujuan khusus ecara sangat indah. Tetapi, semua hal tersebut akan tidak berarti apa-apa apabila program aksi yang menyertainya tidak bersignifikansi positif dengan penetapan tujuan. Artinya, tujuan hanya akan menjadi khayalan dan impian manakala program tidak merefleksikan rumusan tujuan[16].

Undang Undang Parpol merumuskan Tujuan Umum Partai Politik sebagai berikut[17]:

1. Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaa UUD RI 1945
2. Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
3. Mewujudkan Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia

Rumusan ini sangat normative dan tentu disesuaikan dengan konteks dan sistem Politik Indonesia. Sampai pada titik ini, secara spesifik issue keadilan gender masih belum terekspresikan secara tertulis. Artinya, jikapun ada rumusan yang bernuansa spesifik, biasanya tertuang dalam tujuan khusus Partai Politik, dan sejauh ini masih belum ada Partai Politik yang secara eksplisit merumuskan keadilan gender dan affirmative action dalam butir tujuan Partai. Pertimbangannya sederhana, yakni bukan pada tempatnya menunjukkan keadilan gender dalam skala rumusan yang bersifat makro dan umum seperti dalam Tujuan. Tetapi, Partai Politik yang sadar gender, bukan tidak mungkin merumuskannya dalam tujuan khususnya. Alasannya bisa sangat strategis, karena bukankah lebih 50% pemilih Indonesia adalah perempuan? Tetapi, mungkin kuantitatif ini masih belum pertimbangan utama yang membuat Partai-partai menempatkannya dalam rumusan Tujuan Khusus, apalagi dalam sebuah Undang-Undang yang mengatur tentang Partai Politik.

Persoalan menjadi lebih menarik, ketika kemudian meneliti rumusan rekruitmen politik. Pertama kita mencatat soal keanggotaan dan Kepengurusan yang diatur dalam pasal 10, demikian:

1. Warga Negara RI dapat menjadi anggota partai politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin
2. Keanggotaan partai politik bersifat sukarela, terbuka dan tidak diskriminatif bagi setiap warga Negara Indonesia yang menyetujui Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai yang bersangkutan.[18]

Rumusan disini secara sepintas bersifat normative, tetapi bila ditelaah lebih jauh terdapat kegalauan. Dua frase yang ditebalkan di atas, sebetulnya mengandung kontradiksi yang bila dicermati akan cukup mengganggu. Yaitu, “tidak diskriminatif” dan “menyetujui AD/ART Partai”. Artinya, keanggotaan bisa saja memang tidak diskriminatif dan menerima semua yang dari kalangan, suku, etnis, maupun agama dan golongan berbeda sebagai anggota. Tetapi, dengan pencantuman prasayarakt AD/ART, maka “tidak diskriminatif” sangat mungkin mengalami distorsi. Bukan tidak mungkin, misalnya, seseorang menjadi anggota partai dan dia seorang perempuan, dan bagaimana apabila ada aturan AD/ART yang membatasi seorang Perempuan menjadi pemimpin? Seandainya ada kesepakatan bahwa, AD/ART sebuah partai tidak boleh diskriminatif terhadap gender dan gugur dengan sendirinya apabila terdapat aturan semacam itu, maka butir aturan ini sungguh sangat maju. Bila sebaliknya, maka kontradiksi tersebut bersifat rancu dan bahkan sangat mengganggu. Bukan hanya mengganggu logika berpikir, tetapi juga mengganggu perjuangan emansipasi dan pembebasan kaum perempuan dalam konteks politik.

Selanjutnya, dalam pasal 13 ayat 3 diatur sebagai berikut: “Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah politik, sesuai dengan AD/ART Partai dengan memperhatikan Kesetaraan dan Keadilan Gender”[19]. Harus diakui bahwa pencantuman “kesetaraan dan keadilan gender” merupakan sebuah langkah maju. Tetapi, masih tetap belum cukup dan setidaknya masih tidak sekuat rumusan UU Pemilu yang mencantumkan keterwakilan minimal 30%. Meskipun, sebetulnya angka minimal 30% tersebut masih belum sebuah keharusan bagi partai-partai, baik di tingkat kepengurusan hingga ke pencalonan ke legislative.

Pada titik ini, sebetulnya rumusan dalam Undang-Undang Parpol masih tetap selangkah lebih maju dibanding Perundang-undangan sebelumnya, tetapi masih selangkah dibelakang UU Pemilu 12/2003 dan masih beberapa langkah kedepan untuk mewujudkan affirmative action yang lebih bergigi. Karena, dictum UU Parpol hanya sebuah konsidern atau pertimbangan yang bukanlah sebuah keharusan. Karena itu, pencantuman kesetaraan dan keadilan gender hanya pemanis dan sekedar akomodasi perjuangan kelompok feminis tanpa kekuatan signifikan dalam memberangus struktur patriarchal yang membelenggu partai partai politik. Karena itu, ketika Pemilihan Umum 2004 kembali melahirkan jumlah anggota legislative perempuan yang minimal, dan kepengurusan partai politik yang jauh dari signifikan prosesntase perempuannya, maka hal tersebut sudah diduga jauh-jauh hari.

Masih Dibutuhkan Perubahan Lebih Jauh

Dari ulasan di atas, maka setidaknya masih perlu dipersoalkan mekanisme rekruitmen politik di tingkat Partai Politik. Affirmative action dibutuhkan bukan hanya pada saat memasuki Pemilihan Umum, tetapi harus diatur sedemikian rupa, sejak dari internal Partai Politik. Indikasi semakin mengentaknya oligarkhi baru Partai Politik sebagaimana disinyalir di depan, turut menyebabkan keterhambatan kader perempuan dan sulitnya affirmative action di tingkat Partai. Artinya, dibutuhkan perubahan dan demokratisasi internal Partai untuk memberi ruang perubahan dan apresiasi yang lebih bagi Perempuan dalam mengembangkan peran politiknya. Tetapi, tidak semata bagi perempuan, tetapi terutama bagi terjaminnya akses ke posisi puncak secara lebih meritokratis dengan tetap memelihara dan memungkinkan Perempuan melalui affirmative action yang memang diatur untuk itu.
Hal inilah yang menjadi penting saat ini. Sebuah laporan penelitian oleh Oliver Richard Jones[20] misalnya menguji tentang masalah ini untuk kemudian merekomendasikan sebagai berikut:
“diskriminasi dan pelanggaran HAM dapat berjalan baik secara sesuai dengan ketentuan Komnas HAM atau tidak. Ada kemungkinan masalah penegakan tersebut akan diselesaikan dalam masa depan yang telah digariskan pemerintah Indonesia dan kebijakan berbagai Partai Politik”[21]
Artinya, memang diproyeksikan bahwa kebijakan dan persoalan diskriminasi terhadap perempuan kelak diserahkan kepada pemerintah dan juga kepada partai politik dalam pengubahan kebijakan. Pada titik inilah menjadi penting pembahasan masalah ini. Sayang memang, apabila menelaah lebih jauh, ternyata masih terdapat begitu banyak ketimpangan dan kesulitan dalam mencegah diskriminasi apalagi dalam bidang politik.
Anie Sujtipto[22], juga mekihat hal yang sama dengan menyebutkan bahwa setidaknya ada beberapa alasan penting mengapa keterwakilan perempuan di parlemen sangat minimal. Salah satunya adalah representasi perempuan dalam kepemimpinan Partai Politik yang sangat minimal dan karenanya sebuah affirmative action juga dibutuhkan dalam tingkatan internal partai. Dengan kata lain, bukan hanya dalam nominasi legislative dibutuhkan affirmative action tetapi juga dalam atau dimulai sejak rekruitmen internal partai politik. Nampaknya, masih sangat dominant bagi public politik Indonesia bahwa laki-laki adalah actor yang paling tepat sebagai articulator hal-hal public sebagaimana ditulis oleh Kathleen B Jones dan Anna Jonasdottir[23] dan karena itu menjadi jamak bahwa perempuan berada di sector nurture dan private dan laki-laki di sector public[24].
Berhadapan dengan kondisi semacam ini, maka memang tidak ada jalan lain selain mengandalkan gerakan kelompok feminis serta juga memperjuangkan apa yang diintordusir oleh Oliver Richard Jones dan Anie Sutjipto. Artinya, ada muara perjuangan pada aras civil society melalui gerakan feminism dengan perjuangan pada aras politik. Dalam hal ini, salah satu hal penting dan mendasar adalah penekanan atau pemaksaan constitutional ataupun affirmative action tentang rekruitmen anggota dan kepemimpinan Partai Politik. Dengan kata lain, Partai Politik diminta untuk mentaati minimal 30% kader perempuan dalam struktur kepengurusan. Mengapa ada penekanan keharusan? Alasannya bersifat ideologis dan politis. Secara ideologis, perempuan dalam waktu yang lama menjadi korban dari struktur politik dan social yang sangat male oriented dan terjebakd alam sangkar private, dan karena itu dibutuhkan affirmative action dalam mengangkat ketertinggalan perempuan di sector public atau sector politik. Sementara argumentasi politis; kegagalan mencantumkan affirmative action dalam UU Politik 12/2002 membuat persoalan perjuangan tersebut mengalami penundaan dan tetap atau masih akan terus diperjuangkan kedepan. Mengapa? Ada banyak catatan mengenai hal ini.
Paling tidak, sebagaimana ditegaskan oleh Kathleen Jones dan Cynthia Fuchs serta juga Zohra Andy Baso[25], bahwa perempuan terpenjara baik di sector publik maupun bahkan keluarga. Kompas 6 Januari 2004 juga memperlihatkan betapa komitmen Partai Politik sangat tidak memadai mempromosikan perempuan. Dan meskipun Baso meragukan apakah Konvensi dan Undang-Undang bisa “menawarkan” kondisi keterpurukan Perempuan yang begitu massif dan sistematis, tetapi tetap harus ada jalan yang diperjuangkan.
Langkah-langkah Baso, khususnya di dunia politik dan juga apa yang diajukan oleh Anie Sujtipto dalam artikel yang dikutip diatas, sebetulnya merefleksikan hal yang sama. Baso, memang melihat bahwa Konvensi dan Undang-Undang masih belum akan berimplikasi drastis dalam skema perubahan. Karena itu, dia memilih langkah-langkah praktis seperti memulai dari daerah, memperlebar front perjuangan seperti juga usulan Daniel Lev[26], serta jaringan dan networking perubahan. Selain itu, dia juga mengusulkan langkah-langkah politik seperti Anie Sutjipto yang menekankan pada affirmative action internal partai.
Mencermati usulan dan langkah-langkah yang disebutkan di atas, maka memang harus dilakukan langkah komprehensif dan hendaknya juga diajukan sebagai usulan perubahan bagi Undang-Undang Partai Politik di Indonesia. Usulan tersebut terutama terkait dengan rekruitmen kepemimpinan Partai dengan mewajibkan representasi 30% kepemimpiunan partai bukan sebagai bahan pertimbangan tetapi sebagais ebuah keharusan. Bila demikian, maka dapatlah ditambahkan atau dilakukan perubahan atas UU Partai Politik 32/2002 pasal 13 ayat 3 dari sebagai berikut:
…”Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik, sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dengan memperhatikan Kesetaraan dan Keadilan Gender”
Menjadi sebagai berikut:
…”Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik, sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dengan representasi minimal 30% unsur perempuan”

Apakah dengan demikian selesai? Masih belum selesai, karena kemudian harus diatur lagi di masing-masing Partai Politik (dan apakah ini memungkinkan?), soal aturan di AD/ART yang mengharuskan 30% unsur perempuan dalam kepengurusan. Inilah persoalan yang dihadapi perempuan dalam konteks Politik di Indonesia. Memang, sudah ada perubahan, tetapi perubahan yang diharapkan masih harus diperluas agar unsure diskriminasi dan patriarkhi politik bisa diminamalisasi. Kedepan, agenda ini masih tetap penting dan mendesak.

Penutup

Masih dibutuhkan perubahan dan penyempurnaan Undang Undang Partai Politik di Indonesia. Diharapkan terutama dengan menambahkan dan memperbaiki usulan affirmative action representasi perempuan dengan mewajibkan 30% kepengurusan, maka representasi perempuan di internal partai akan mengalami perbaikan. Pada gilirannya, kader perempuan menjelang Pemilihan Umum akan tersedia meski masih butuh waktu panjang dewasa ini. Bila tidak dilakukan, maka patriarchi model akan semakin sulit ditawarkan dalam konteks politik Indonesia. Demokratisasi internal partai dibutuhkan segera melalui perubahan yang memungkinkannya, dan salah satunya melalui affirmative action kepemimpinan perempuan dalam partai politik.








K E P U S T A K A A N


Afan Gaffar, “Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi” (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)

Abdul Basri Azed., “Pemilu & Partai Politik di Indonesia” (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2005)

Cynthia Fuchs Epstein., “Deceptive Distinction, Sex, Gender, and the Social Order”. (New Haven: Yale University Press, 1988)

Gabriel Almond., “Interest Group and Interest Articulation” dalam “Contemporary Politics Today”, (Boston: Little Brown and Company, 1976)

Guy Peters., “Institutional Theory in Political Science: The New Institutionalism” (London: Great Britain Bidles, ltd, 1999)

J. Kristiadi, “Masyarakat Sipil dan Agenda Demokratisasi”, Artikel Dalam Konas Gereja di Indonesia, 9 November 2005

B Jones dan Anna Jonasdottir., “The political Interests of Gender, Developing Theory and Research with a Feminist Face”. (London: Sage Publication, 1998)

Miriam Budiarjo., “Dasar-dasar Ilmu Politik” (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001)

Mochtar Mas’oed & Collin Mac Andrew., “Perbandingan Sistem Politik”, (Jogyakarta: Universitas Gajah Mada University Press, 2001)

Oka Mahendra & Soekedy., “Sistem Multi Partai: Prospek Politik Pasca 2004”, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004)

UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK NO 32/2002

Jones, Oliver Richard., “Kedudukan Wanita Dalam Hukum Negara dan Hukum Islam Di Republik Indonesia Ditinjau Dari Hukum International” – Sebuah Laporan Penelitian. http://www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/ojones.doc

Zohra Andy Baso., “Konvensi dan Undang-undang tak mampu menundukkan watak Patriarki”., website www.idea.org

Wawancara dengan Daniel Lev, 12 Juli 1998 dan dimuat dalam www.aruskerja.org, tanggal 28 April 2003
[1] J. Kristiadi, “Strategi Civil Society Dalam Demokratisasi di Indonesia”, Artikel Dalam Konas Gereja di Indonesia, 9 November 2005
[2] Afan Gaffar, “Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi” (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
[3] Abdul Basri Azed., “Pemilu & Partai Politik di Indonesia” (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2005)
[4] UU Pemilihan Umum No 12/2003 Pasal 65 ayat 1
[5] UU Partai Politik No 31/2002 pasal 13 ayat 3
[6] Miriam Budiarjo., “Dasar-dasar Ilmu Politik” (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal 159 - 160
[7] Ibid, hal 161
[8] Ibid
[9] Guy Peters., “Institutional Theory in Political Science: The New Institutionalism” (London: Great Britain Bidles, ltd, 1999), p 19
[10] Ibid.
[11] Suara Pembaruan, 28 July 2005
[12] Bagian ini banyak didasarkan atas Abdul Basri Azed, op cit
[13] Gabriel Almodn., “Interest Group and Interest Articulation” dalam “Contemporary Politics Today”, (Boston: Little Brown and Company, 1976)
[14] Mochtar Mas’oed & Collin Mac Andrew., “Perbandingan Sistem Politik”, (Jogyakarta: Universitas Gajah Mada University Press, 2001)
[15] Abdul Basri, op cit hal 37, mengutip Mochtar Mas’oed, hal 65.
[16] Oka Mahendra & Soekedy., “Sistem Multi Partai: Prospek Politik Pasca 2004” (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah, 2004), hal 100
[17] UU Parpol No 32/2002 Pasal 6
[18] UU Partai Politik No 32/2002 pasal 10
[19] UU Partai Politik No 32/2002 pasal 13 ayat 3
[20] Jones, Oliver Richard., “Kedudukan Wanita Dalam Hukum Negara dan Hukum Islam Di Republik Indonesia Ditinjau Dari Hukum International” – Sebuah Laporan Penelitian Lapangan. Terdsapat dalam http://www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/ojones.doc.
[21] Ibid
[22] Anie Sutjipto., “Membangun Jaringan kerja sama Strategis Antara CSOs, Media Dan Akademisi”. Dalam website http/www.idea.org
[23] Kathleen B Jones dan Anna Jonasdottir., “The political Interests of Gender, Developing Theory and Research with a Feminist Face (London: Sage Publication, 1998), chapter 1
[24] Bandingkan: Cynthia Fuchs Epstein., “Deceptive Distinction, Sex, Gender, and the Social Order”. (New Haven: Yale University Press, 1988), chapter introduction
[25] Zohra Andy Baso., “Konvensi dan Undang-undang tak mampu menundukkan watak Patriarki”., website www.idea.org
[26] Wawancara dengan Daniel Lev, 12 Juli 1998 dan dimuat dalam www.aruskerja.org, tanggal 28 April 2003

No comments: