Tuesday, May 22, 2007

Menilai 9 Tahun Reformasi

Gagalkah reformasi? Pertanyaan ini, kini memenuhi benak banyak orang Indonesia. Betapa tidak? setelah 9 tahun Indonesia beranjak dari otoritarianisme Orde Baru, kondisi seakan-akan belum beranjak cukup jauh dari keterpurukan. Tapi, apa memang benar demikian? Benarkah bahwa reformasi telah gagal? atau setidaknya sedang stagnan alias jalan di tempat?
Apa sebenarnya basis argumentasi dari masing-masing pandangan tersebut?

Benarkah gagal? rasanya terlampau simplistis dan pesimistis pandangan semacam ini. Mengapa? Dibandingkan dengan masa orde baru, jangankan membentuk Partai politik, bersuara berbeda dengan regime Soeharto saja, bisa berakhir di "bui". Bahkan, di paroh akhir atau tepatnya ujuung kekuasaannya, suara kritis bisa berakhir di akhirat. Jeleknya, tanpa ketahuan dimana "mayat" itu. Masih banyak "orang hilang" karena perbedaan pandangan politik, hilang dan masih belum ditemukan. Pers bebas? ach, itu utopis dimasa orde baru. Pers memang ada, tapi dibawah ancaman breidel dengan pengawasan ketat menteri penerangan.

Dan sekarang? Bukankah sudah jauh lebih baik? Pada masa awal Habiebie, bukan saja dia melepaskan tahanan politik, tetapi juga membuka kekang pers Indonesia dan menyusul penetapan paket UU Politik yang membuat Indonesia menjadi Negara Demokratis menyusul 2 kali Pemilu yang sangat bebas, adil dan transparan. Masakan prestasi ini hanya akan dipandang sebelah mata sebagai sesuatu yang bukan hasil reformasi politik Indonesia?

Mengapa gagal? Banyak orang beranggapan bahwa, demokratisasi sama dengan kesejahteraan rakyat. Belum, belum tentu. Demokrasi bukan jaminan Negara Sejahteram Rakyat Sejahtera. Demokrasi menjamin, penyelenggara Negara mengapresiasi kedaulatan rakyat, dan mekanisme politik yang terkontrol dan bisa transparan terhadap pemegang kekuasaan: Rakyat. Dan mekanisme itu, perlahan akan memampukan kebijakan pemerintah transparan bagi rakyat dan perlahan mengarah ke kesejahteraan. Kesejahteraan, juga bisa dicapai dengan represi, tetapi rakyat kehilangan kedaulatannya. Dalam banyak hal, demokratisasi bahkan menurunkan kesejahteraan rakyat, tetapi dalam jangka menengah, 10-15 tahun biasanya perlahan akan mengangkat kesejahteraan rakyat. Pengalaman banyak negara yang melalui demokratisasi gelombang ketiga menunjukkannya. Tapi bukan kesejahteraan dalam jangka pendek, tapi jangka menengah.

Salah satu yang ditunjuk kegagalan lain adalah: Mengadili Soeharto. Benar, Soeharto perlu diadili, tetapi, masih belum sanggup mengadilinya bukan berarti menafikan capaian lain dalam proses reformasi. Harus dipilah benar dan jujur, mana capaian dan harus dihargai, dan mana pekerjaan rumah yang perlu diatasi. Mengadili Soeharto, bukan yang krusial dalam proses reformasi, tetapi menjadi salah satu yang penting. Dengan catatan, bukan hanya "dosa" Soeharto yang harus dicecar, tetapi juga "jasanya". Lepas dari tumpukan dosanya, Soeharto juga memiliki prestasi lain yang harus dengan kejujuran dipandang.

Sebetulnya, bkan kegagalan yang dihadapi Indonesia dalamproses reformasi. tetapi sebuah proses gradual. benar, bahwa proses itu sangat elitis. Sangat benar. Tetapi, proses itu yang sebetulnya harus dikawal, bukannya dibiarkan dan membuat demokratisasi tersandera kelompok elite. Dalam hal ini, ekstensi dan pendalaman demokrasi yang sudah dicapai, perlu terus dievaluasi dan ditingkatkan. Tapi itu akan mungkin dengan interaksi yang komporehensif, Parlemen, Eksekutif dan Civil Society.

Pekerjaan Rumah utama adalah PENEGAKKAN HUKUM. Inilah crucial point sesungguhnya. Penegakkan hukum yang lemah, membuat seakan reformasi politik Indonesia mandeg. Jika reformasi dan penegakkan hukum berjalan paralel, maka akan semakin berkualitas demokrasi yang kini dikecapi Indonesia. Jadi ..... bukan demokratisasi dan reformasi yang gagal, tetapi masih belum mendalam lagi akibat lamban dan lemahnya penegakkan hukum. Salah satu indikator pelembagaan demokrasi dalam study demokratisasi yang masih belum dipenuhi Indonesia.

No comments: