Wednesday, May 23, 2007

PILKADA, PARPOL DAN DEMOKRASI KITA

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Untuk kedua kalinya demokrasi liberal coba dilakukan d Indonesia setelah mengalami kegagalan pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Demokrasi liberal yang ditopang Partai-partai politik, relative gagal mengisi kemerdekaan awal Indonesia dan benar-benar tamat ketika Soekarno memberangus partai politik pada tahun 1956-an. Tetapi reformasi, ternyata menjadi titik awal kebangkitan kembali kekuatan dan signifikansi kehadiran partai politik dalam skema demokrasi liberal jilid II di Indonesia.

Kembalinya Partai Politik dalam kancah politik Indonesia, sebetulnya sudah dilakukan pada masa orde baru, tetapi pengekangan dan pembatasan membuat kekuatan parpol masa itu relative kecil. Berbeda dengan kekuatan Partai Politik yang lahir dan tumbuh pasca reformasi. Terutama yang melalui 2 pemilihan umum demokratis di Indonesia, tahun 1999 da tahun 2004. Kekuatannya sungguh signifikan dan hal ini tercermin bukan hanya dalam Pemilihan Umum tetapi juga dalam dinamika parlemen Indonesia.

Memasuki proses lanjutan demokratisasi di Indonesia, terutama dengan dilaksanakannya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, signifikansi kekuatan Partai Politik juga sangat kentara. Tidak diperbolehkannya calon independent, bilapun mungkin sangat kecil kemungkinannya, membuat Partai Politik menjadi kendaraan politik yang paling mungkin bagi calon Kepela Daerah. Tidak ada cela lain, tanpa partai politik, tidak ada jalan lain menuju kursi Kepala Daerah. Ke Roma memang ada jalan lain, tetapi ke kursi Kepala Daerah, hanya ada jalan partai Politik. Tak ada yang lain. Sungguh dominasi kekuatan politik yang sangat bermakn. Tetapi, dengan tingkat kepercayaan terhadap partai politik yang begitu rendah, bukan hanya menjelang Pemilu 2004, tetapi bahkan hingga saat ini, bagaimanakah kemudian kontribusinya bagi demokrasi di Indonesia?

Parpol dan Demokrasi

Dalam konteks demokrasi liberal, sebagaimana yang kini dianut Indonesia, Partai politik merupakan salah satu tiang utama system demokrasi. Baik Schumpeter, Huntingthon, Dobert Dahl, maupun akademisi politik kontemporer, memprasyaratkan pelaksanaan Pemilihan Umum yang bebas dan adil bagi proses pergantian kepemimpinan. Dan peserta pemilihan umum secara otomatis adalah Partai Politik, dan kalaupun orang, maka dia memperoleh tiket kepesertaan melalui Partai Politik (Pemilihan Presiden di USA dan PILKADA di Inonesia). Dalam konteks ini, Partai Politik dianggap sebagai idealisasi bagi pelembagaan kepemimpinan yang demokratis, alat pendidikan politik bagi masyarakat dan sekaligus sebagai pengendali dinamika politik dan konflik. Dengan demikian, Partai Politik seharusnya memainkan peran dan posisi yang sangat penting dan menentukan kualitas demokrasi.

Sayangnya, hingga saat ini realitas dan performance Partai Politik di Indonesia masih belum mampu menunjukkan posisi strategis dan pentingnya eksistensinya dalam mendukung demokrasi. Justru kita menyaksikan realitas Partai Politik yang “anti demokrasi” dalam dinamika partai politik di Indoensia dewasa ini. Tetapi, apakah dengan demikian demokrasi harus “dimakamkan” kembali?

Pertama, kita mencoba melihat bagaimanakah penampilan partai politik kita yang tidak mencerminkan teladan demokratisasi:

Pertama, kecenderungan personalisasi kekuasaan dalam struktur dan leadership partai sungguh sangat menonjol. Secara tidak sadar, banyak partai politik yang meniru model GOLKAR dengan Soehartonya. Tengoklah misalnya kekuasaan Megawati di PDIP, Gus Dur di PKB dan sebelumnya Amien Rais di PAN. Proses non-demokratis yang berlangsung di masa orde baru, justru menggoda beberapa orang untuk melakukan hal yang kurang lebih sama dalam melanggengkan kekuasaannya. Belakangan, dengan gaya yang berbeda Partai Demokrat sedang melakukan “personalisasi kekuasaan” dalam partainya.

Kedua, ketimbang mempertontonkan penyelesaian konflik internal partai melalui mekanisme demokratis partai, justru pertikaian-pertikaian melahirkan partai baru sebagai perlawanan terhadap Partai induknya. Kasus-kasus pecahan Partai GOLKAR, PDI P pembaharuan, PKB, PPP, dan sejumlah partai lainnya menunjukkan kecenderungan ini. Artinya, secara internal sebetulnya proses-proses dalam tubuh partai politik masih belum demokratis. Pertarungan internal PKB dan PDI P misalnya secara telanjang menunjukkan proses penyelesaian demokratis internal partai yang masih sangat lemah. Hal tersebut dimungkinkan dengan sistem patronase dan oligarkhi yang memang subur mencengkeram partai politik Indonesia pasca reformasi. Akibatnya, komitmen mengedepankan proses-proses demokratis dan pelembagaannya mengalami stagnasi dikalahkan leh kepentingan kepentingan sesaat.

Ketiga, agak menyedihkan bila mempertimbangkan kemasan issue dan visi serta program yang dilontarkan oleh masing-masing Partai Politik di Indonesia. Masih sangat miskin data, kajian dan analisis dan karenanya terkesan bombastis dan kurang realistis. Hal ini dapat dibaca, bukan hanya pada masa Pemilihan Umum 2004, dimana rata-rata partai mengupas dan mengetengahkan hal yang nyaris mirip. Soal ekonomi, politik, budaya dengan varian yang hanya sedikit berbeda. Sementara pertarungan antara Megawati versus SBY menuju kursi Presiden juga masih idem ito. Tidak ada perbedaan paradigmatis, tetapi lebih banyak mengandung slogan-slogan untuk memikat hati pemilih. Model ini mengasumsikan bahwa masyarakat Indonesia memang masih senang dibuai-buai atau kasarnya masih senang dibodohi. Kekeringan visi dan perubahan politik membuat visi perubah dan kontribusi partai terhadap demokratisasi memang otomatis menjadi sangat lembah.

Keempat, Partai Politik sejatinya melakukan rekruitmen dan regenerasi kepemimpinan, baik internal maupun pada semua aras kepemimpinan politik. Sayangnya, proses rekruitmen masih sangat kolegial dan masih belum menunjukkan sinergisitas serta kontinuitas. Benar, bahwa hampir semua Parpol memiliki organisasi pendukung, tetapi dengan mekanisme regenerasi yang kabur, serta model patronase politik yang masih dominan, membuat peluang demokratis dalam meniti karier politik menjadi tidak sehat. Dengan model ini juga, peluang perempuan yang diberi affirmative action pada Pemilu kemaren, masih akan belum mampu meraih posisi dan komposisi signifikan dalam Pemilu 2009.

Gambaran ini, memperlihatkan betapa Partai Politik yang seharusnya menjadi tiang utama demokrasi di Indonesia, masih belum mampu melakukan dan memerankannya secara bermakna. Sebaliknya, penampilan Parpol justru menurunkan legitimasi empiriknya karena masyarakat menjadi semakin “bosan” dengan tingkat dan ritme politisi dalam parpolnya. Jika demikian, apakah dengan demikian Partai Politik dibubarkan saja? Pertanyaan ini kita akan jawab nanti. Sebab, bila ditelaah lebih jauh, masih ada persoalan lain dalam Partai Politik yang memperparah eksistensinya dalam dinamika politik Indonesia

PILKADA dan Rekruitmen Tertutup

Benar, satu penampilan membosankan dan bahkan menggeramkan adalah rekruitmen calon kepala daerah yang dilakukan oleh Partai Politik. Sebagaimana amanat UU, maka rekruitmen calon kepala daerah dilakukan oleh Partai Politik dengan kemungkinan calon independen yang, maaf, “nyaris tidak mungkin”. Yang menentukan siapa menjadi calon adalah Partai Politik. Dan bila lebih dipersempit adalah “Dewan Pimpinan Pusat” masing-masing Partai.

Kenapa membuat orang geram? Keputusan siapa yang menjadi Calon dbatasi dalam Parpol dan kemudian lebih dibatasi dan menjadi lebih tertutup ketika pengambilan keputusan dilakukan oleh minoritas elite di Jakarta. “Siapa yang tidak geram” begitu gerutu salah seorang aktivis dalam diskusi PILKADA di Jakarta. Benar, siapa yang tidak geram kalau keputusan pencalonan diambil oleh segelintir elite di Jakarta yang merasa lebih tahu dari representasi Partainya di provinsi. Tapi, skenario dan rasionalisasi patronase politik akan tetap membenarkan dan mengaminkan fenomena yang membuat orang geram ini.

Benarkah DPP partai tertentu berkeputusan berdasarkan kepentingan rakyat di Provinsi maupun Kabupaten? Benarkah tidak ada unsur lain semisal, bayaran dan setoran ke DPP, like and dislike di tingkat DPP, calon titipan DPP, kepentingan bisnis DPP, dan kepentingan lainnya yang melambari keputusan DPP terhadap penetapan Calon? Ach, tapi ini memang sekedar dugaan. Meskipun sebenarnya, jamak mengetahui bahwa proses yang bertanda tanya seperti itulah yang terjadi, dan karenanya melahirkan kegeraman orang orang di tingkat daerah. Rekruitmen tertutup, kira-kira itu yang terjadi dalam proses PILKADA. Ada daerah yang kebetulan nyambung keputusan DPP dengan Daerah, tapi jauh lebih banyak yang menggerutu tanpa kemampuan melawan.

Artinya, performance Partai Politik bertambah 1 cacat yang membuatnya menjadi semakin tidak populer. Terus, diapakan sebaiknya Partai Politik itu? Apakah dibubarkan saja lagikah? Dan kapan kita menemukan kematangan dalam berdemokrasi? Tentu memang serba salah. Tapi haruslah dicatat, bahwa mengimpikan demokrasi model USA terjadi di Indonesia dalam waktu 1-5 tahun adalah sebuah impian kosong. Kematangan demokrasi disana, diperoleh setelah ratusan tahun. Dan mungkinkah kita menggapainya dalam waktu “sesingkat-singkatnya”? Rasanya tidak mungkin dan naif. Meskipun tidak harus 200an tahun setidaknya tidaklah melebihi angka itu, baru mungkin.

Tetapi, bagi saya pribadi, bukanlah memberangus Partai Politik yang harus dikerjakan. Partai Politik, betapapun adalah tiang utama demokrasi dan pengelompokkan politik yang paling rasional dalam politik untuk berkompetisi secara bebas. Kita, sedang melakukan execise, latihan-latihan berdemokrasi yang harus mencapai kematangan melalui proses, bukan melalui sim sala bim dan terjadilah. Performance partai politik kita memang masih sangat menyedihkan, belum cukup lengkap format-format demokratis dan pengalaman yang menyertainya untuk sampai pada keputusan bahwa format inilah yang tepat. Sistem try and error masih sedang berlangsung, dan nampaknya belum connect dan tersambung dengan demokrasi. Penulis pribadi melihat, bahwa masih harus melalui 3-5 Pemilihan Umum dan PILKADA untuk memasuki masa yang jauh lebih demokratis, dimana demokrasi sudah terkonsolidasikan secara baik.

Godaan-godaan untuk mempercepat demokrasi memang sangat mengundang. Tetapi, kesabaran dalam berdemokrasi jauh lebih menguntungkan daripada ketergesaan yang tidak akan menghasilkan demokrasi yang terkonsolidasi secara baik. Transisi demokrasi di Latin dan Post Komunis telah mengajarkan perlunya daya juang dan kesabaran untuk memperoleh demokrasi yang lebih stabil dan bukannya yang labil dan fragile. Pemilihan Kepala Daerah kita, sudah sangat demokratis. Tetapi, Partai Politik masih belum mampu meningkatkan kualitas demokratis itu karena problem dalam dirinya. Berilah mereka waktu dan berilah Demokrasi waktu untuk berkembang. Ketergesaan adalah salah satu musuh demokrasi. Membiarkan mereka belajar dan bukannya memberangusnya, karena anak yang masih belajar memang tidak harus “ditiadakan”. Tetapi, juga dibutuhkan kejernihan kemauan untuk terus dan terus belajar, hingga suatu saat komitmen berdemokrasi bisa bertemu pada titik temu yang memperkuat demokrasi.

Penulis pengamat social politik.
Pernah dipublikasikan oleh Harian Komentar SULUT

No comments: