Wednesday, May 23, 2007

HARUSKAH MENUNGGU BENCANA
YANG LEBIH BESAR???

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Bencana kembali datang. Seperti biasa, komentar dan refleksi kemudian simpang siur dengan tudingan, rasa sesal serta ungkapan duka mendalam. Juga bersilang dengan permohonan bantuan, saluran bantuan serta celaan-celaan atas keterlambatan bantuan atau juga bantuan berlebihan, atau juga bantuan tidak tepat sasaran. Bahkan, Anggota DPRD juga ikut-ikutan sibuk memikirkan status bencana, apakah bencana nasional atau bencana local. Sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan karena memang semua infrastruktur pemerintahan daerah masih baik, dan karenanya statusnya bukan bencana nasional, berbeda dengan Aceh pada akhir tahun 2004.

Tapi, selain simpang siur dan riuh rendah persoalan terkait dengan Bencana pada awal tahun 2006 di SULUT ini, perlu dan sangat perlu melakukan direfleksikan ulang. Bukan sekedar menuding salah orang di Gunung yang rajin menggunduli hutan, atau salah “alam” yang kebetulan sedang murka. Atau bahkan mungkin berteman dengan pendapat bahwa “tuhan” (sengaja dengan huruf kecil) sedang marah atas masyarakat SULUT. Lebih dari itu, perlu melakukan telaah lebih mendalam dengan mengaitkan bencana-bencana sebelumnya yang juga telah dialami daerah ini.

Telaah atas kejadian-kejadian tersebut, seharusnya menemukan “benang biru” atau rangkaian berkait yang harus dipahami oleh semua pihak. Ketimbang menengarai persoalan jumlah bantuan dan siapa pemberi bantuan, serta juga status bencana, penulis ingin mengajak menggali sesuatu yang mungkin lupa ditengarai banyak orang. Meskipun, juga disadari, bahwa para pemerhati lingkungan, pastilah sudah sangat gerah dan gelisah dengan kualitas lingkungan di Sulawesi Utara. Artinya, meski banyak yang bilang bahwa ini “oleh-oleh” dari tuhan (kembali huruf kecil), atau memang ini “bencana alam murni”, tetapi para bijaksanawan lingkungan tahu belaka ….. bahwa ada something wrong atau ada yang salah dengan kualitas lingkungan SULUT.

Mereka bersabda …. “wong hutan kita tinggal 7-8%”. Atau “kurang tasisa spanggal tu utang di SULUT”. Sabda ini, sudah terdengar bahkan sejak 15 tahun lalu. Artinya, kalau pengrusakan berlangsug terus, dan memang demikian yang terlihat, logikanya hutan kita tinggal kurang dari angka 7-8% di atas. Salahkah kalau alam kemudian ngamuk dan melakukan “pembalasan”? Tapi sekali lagi, bukan soal alam yang suka membalas dendam yang ingin dikemukakan dalam tulisan reflektif ini.

Dulu … kira-kira tahun 2003 atau 2004 atau bahkan mungkin sebelumnya, ketika Jembatan besar di Amurang dihajar Banjir Bandang, banyak orang di SULUT terperangah. Bisa juga ya … begitu mungkin pikiran waktu itu. Dan terdengar banyak celoteh galau, “baru sekarang seumur hidup jadi bagini di Amurang”. Atau singkatnya, peristiwa luar biasa ini, benar-benar baru sekali dialami oleh masyarakat yang bergenerasi tinggal di tepian sungan Ranoyapo. Kebetulan? Mungkin.

Begitupun, ketika Manado dan sekitarnya mulai digenangi air yang berlebihan, terutama di jalan-jalan utamanya, orang mulai bergumam heran … “keapa bagini kang”? “baru sekarang tu air rajing-rajing sampe di jalan basar”. Celoteh galau, kembali terdengar, terlebih ketika hingga ke daerah Tikala, rumah penduduk direndam air sampai nyaris menyentuh atap rumah. “Baru sekarang seumur hidup ini torang mangada”, kembali keluhan yang sama terdengar. Bahwa baru sekarang bencana besar sebesar ini dialami masyarakat Kota Manado. Kebetulan? Mungkin.

Ketika sekali lagi beberapa tahun silam Kota Manado dihajar Banjir Bandang, seluruh Karamba raib dan ikut berenang atau malah menyelam dengan air yang limpah ruah dari Tondano, kembali orang geleng kepala. Luar biasa, ini benar-benar kejadian yang baru kali ini dihadapi. Seperti biasa, banyak sekali refleksi para bijaksanawan lingkungan yang kemudian lenyap ditelan angin lalu. Terlebih karena kekhawatiran kemudian berlalu ditelan sang waktu. Begitupun cuap cuap pemerintah yang akan melakukan telaah komprehensif pencegahan bencana. Hanya sebatas wacana. Karena disaster management, nyaris tidak pernah diketahui oleh pemerintah. Lucunya, para pekerja LSM/NGO yang mengerti, sering dicurigai pemerintah. Karena itu, bencana yang mulai rajin mengunjungi kota Manado, masih juga dilihat sebagai sebuah “bencana alam”. Artinya … ya masih Kebetulan juga.

Awal tahun 2006, kembali bencana mengunjungi SULUT. Kali ini, tidak tanggung-tanggung, Minahasa, Tomohon, Manado dan Talaud dihajar pontang panting. Banjir Bandangpun bukan hanya di satu sungai, tetapi mungkin 3 atau 4. Kembali terdengar celoteh “baru sekarang seumur hidup torang alami ni banjir”. Atau bahkan ada yang kesal dengan ungkapan “ngana bilang ini kuala kacili? Iyo, kacili mar munafik, cuma 30 menit tu aer so lewat loteng”. Sebuah kuala (sungai) yang lebarnya hanya 2 meter ternyata sanggup menenggelamkan beberapa rumah. Tentu sebuah kejadian mencengangkan dan memang baru sekali dialami masyarakat di bantara “kuala munafik” tersebut. Apakah, bencana di Minahasa, Manado, Talaud dan Tomohon ini, sekali lagi adalah sebuah KEBETULAN? Mungkin …

Sekarang, marilah kita coba merenungkan rangkaian bencana tersebut. Pertama, laporan penggiat dan pencinta Lingkungan yang menyebutkan hutan tinggal 7-8% dari seharusnya minimal 30%. Sudahkah ada tindakan komprehensif baik pemerintah maupun masyarakat dalam menghijaukan kembali hutan penyanggah dan hutan lindung yang dibabat? Ada, tetapi tindakan-tindakan sporadic yang tidak tersistem. Akibatnya, pohon dan bibit yang ditanam, tidak pernah beranjak remaja, rata-rata mati muda. Jikapun ada tindakan pencegahan, maka yang melakukan adalah LSM/NGO yang dibiayai oleh pemerintah dan donor asing, meski sering dilirik curiga oleh pemerintah. Program DAS (Daerah Aliran Sungai) yang disponsori USAID dan belakangan CIDA, tentu hanya mampu menelisik dan menangani sekian kecil problematika lingkungan di Sulawesi Utara.

Ketika, tahun 2000-an awal atau akhir millennium II, diingatkan soal bahaya bencana di SULUT, banyak orang mencibir. “Ada ada aja”, begitu mungkin komentar banyak orang. Karena itu, Banjir Bandang di Amurang masih dianggap, ach ini kebetulan. Juga ketika Manado makin rajin dibanjiri air dari Tomohon dan Tindano, juga banjir terakhir, masih tetap dianggap kebetulan. Benarkah kebetulan? Apakah juga sebuah kebetulan bahwa kualitas bencana dan banjir semakin hari atau dari tahun ketahun menjadi semakin besar? Masihkah ini sebuah kebetulan?

Hanya orang bodoh dan pura pura bodoh yang akan mengaminkan bahwa Bencana dan rangkaian Bencana di Manado dan sekitarnya adalah sebuah kebetulan. Benar, itu adalah bencana alam. Tetapi, alam tidak akan menghadirkan kualitas bencana yang meningkat secara sistematik dari tahun ketahun bila alam tidak dicederai dan dilukai. Bukan sebuah kebetulan fakta bahwa hutan kita tinggal 7-8% dengan kualitas bencana yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Bila masyarakat, baik di di Tondano, Tomohon, Modoinding, Tompaso Baru, Motoling, terus beranggapan hutan masih banyak dan wajib dirusak, maka bencana akan terus berlanjut. Selain air melimpah di daerah dataran rendah (Manado, Tanah Wangko, Amurang, dll), juga tanah akan semakin rajin longsor untuk membenamkan rumah penduduk, termasuk manusia, dan juga fasilitas umum lainnya. Dan … dari tahun ke tahun, skala bencana akan terus dan terus meningkat.

Jika, pemerintah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten beranggapan bahwa, penebangan hutan, baik oleh penduduk maupun oleh pengusaha gelap dibiarkan karena mendatangkan keuntungan bagi oknum tertentu, maka biaya yang akan dan harus dikeluarkan, jauh berlipat dari keuntungan beberapa oknum tertentu. Baik biaya social maupun biaya ekonomi dan pada gilirannya biaya politik. Kealpaan dan kelalaian pemerintah dalam memelihara dan menegakkan aturan menjaga hutan dan lingkungan akan dibayar mahal. Baik oleh generasi kini yang mulain mengenyam bencana yang semakin hari semakin mematikan, maupun oleh generasi mendatang yang akan mewarisi lingkungan yang buruk.

Parahnya, kita selalu menunggu mengalami bencana baru peduli dengan lingkungan yang semakin rusak. Lebih parah lagi, ketika bencana berlalu, kita lupa dengan komitmen membenahi lingkungan. Dan baru ingat lagi manakala bencana yang lebih besar kembali datang dan meluluhlantakkan banyak orang, banyak rumah dan banyak fasilitas umum lainnya. Haruskah kita menunggu bencana yang jauh lebih mematikan dari sekarang, dalam bentuk banjir banding yang lebih besar, longsor yang mematikan, baru kita benar-benar menganggap bahwa bencana itu bukan KEBETULAN?. Baru kemudian kita serius membenahi lingkungan kita? Baru kemudian kita mencintai Danau kita, hutan kita dan sungai kita?

Konon, Kuala Munafik yang dimaksud di Manado, pada tahun 1960-an memiliki lebar hingga 10m, tetapi sekarang tinggal 2m. Konon, hutan-hutan sekitar Danau Tondano, khusus pegunungan Lembean sangatlah lebat. Sekarang? Semakin hari semakin renggang, dan sedimentasi dan pendangkalan sungai tondano di kota Tondano semakin bisa disaksikan mata. Begitu juga di ketinggian lain di Sulawesi Utara, baik di Tomohon maupun di Modoinding daerah Minahasa Selatan. Artinya, kita melihat dan mengalami atau bahkan ikut merusak hutan hutan yang kita miliki dan merancangkan bencana untuk waktu kedepan. Tetapi, sampai sekarang ini, perusakan terus berlangsung. Baik perusakan oleh masyarakat, maupun oleh para pembalak liar yang jauh lebih liar dan merusak. Lebih celaka lagi, para pembalak liar dimanapun di Indonesia termasuk di SULUT, boleh melenggang menghadirkan bencana di SULUT sambil mengeruk uang dari rangkaian pohon yang dikeruknya untuk menghadiahkan banjir bagi dataran rendah SULUT.

Maka, ancaman-ancaman besar sedang di hadapan mata. Penulis tidak mau mendahului alam atau mendahului tuhan (huruf kecil), tetapi memetakan kembali bencana yang semakin dahsyat tahun ke tahun. Naif kalau beranggapan ini benar-benar kebetulan dank arena alam semata. Bila frekwensi dan kualitas bencana tidak serajin dan semakin dahsyat, maka boleh kita menghibur diri dengan menyatakan ini murni alam. Tetapi, karena rangkaiannya jelas, frekwensi meningkat dan kualitas bencana semakin mematikan, maka perlu siapapun mulai menyadari, bahwa hutan yang dirusak, sama dengan merusak diri sendiri, dan mempersiapkan kado yang buruk bagi anak cucu kita.

Pemerintah, tidak hanya harus mempersiapkan pencegahan dan early warning system bagi masyarakatnya. Early Warning perlu, karena normalisasi dan pemulihan hutan yang rusak butuh setidaknya 10-20 tahun. Artinya, bencana masih akan akrab dan sering mengunjungi Manado dan dataran rendah lain di Minahasa dan Manado. Tetapi, apabila pencegahan dan penanganan tidak disiapkan dalam konteks disaster management atau manajemen bencana yang komprehensif, maka jangan-jangan KITA MENUNGGU BENCANA LEBIH DAHSYAT UNTUK MEMULAI SEMUANYA NANTI.

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Bencana kembali datang. Seperti biasa, komentar dan refleksi kemudian simpang siur dengan tudingan, rasa sesal serta ungkapan duka mendalam. Juga bersilang dengan permohonan bantuan, saluran bantuan serta celaan-celaan atas keterlambatan bantuan atau juga bantuan berlebihan, atau juga bantuan tidak tepat sasaran. Bahkan, Anggota DPRD juga ikut-ikutan sibuk memikirkan status bencana, apakah bencana nasional atau bencana local. Sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan karena memang semua infrastruktur pemerintahan daerah masih baik, dan karenanya statusnya bukan bencana nasional, berbeda dengan Aceh pada akhir tahun 2004.

Tapi, selain simpang siur dan riuh rendah persoalan terkait dengan Bencana pada awal tahun 2006 di SULUT ini, perlu dan sangat perlu melakukan direfleksikan ulang. Bukan sekedar menuding salah orang di Gunung yang rajin menggunduli hutan, atau salah “alam” yang kebetulan sedang murka. Atau bahkan mungkin berteman dengan pendapat bahwa “tuhan” (sengaja dengan huruf kecil) sedang marah atas masyarakat SULUT. Lebih dari itu, perlu melakukan telaah lebih mendalam dengan mengaitkan bencana-bencana sebelumnya yang juga telah dialami daerah ini.

Telaah atas kejadian-kejadian tersebut, seharusnya menemukan “benang biru” atau rangkaian berkait yang harus dipahami oleh semua pihak. Ketimbang menengarai persoalan jumlah bantuan dan siapa pemberi bantuan, serta juga status bencana, penulis ingin mengajak menggali sesuatu yang mungkin lupa ditengarai banyak orang. Meskipun, juga disadari, bahwa para pemerhati lingkungan, pastilah sudah sangat gerah dan gelisah dengan kualitas lingkungan di Sulawesi Utara. Artinya, meski banyak yang bilang bahwa ini “oleh-oleh” dari tuhan (kembali huruf kecil), atau memang ini “bencana alam murni”, tetapi para bijaksanawan lingkungan tahu belaka ….. bahwa ada something wrong atau ada yang salah dengan kualitas lingkungan SULUT.

Mereka bersabda …. “wong hutan kita tinggal 7-8%”. Atau “kurang tasisa spanggal tu utang di SULUT”. Sabda ini, sudah terdengar bahkan sejak 15 tahun lalu. Artinya, kalau pengrusakan berlangsug terus, dan memang demikian yang terlihat, logikanya hutan kita tinggal kurang dari angka 7-8% di atas. Salahkah kalau alam kemudian ngamuk dan melakukan “pembalasan”? Tapi sekali lagi, bukan soal alam yang suka membalas dendam yang ingin dikemukakan dalam tulisan reflektif ini.

Dulu … kira-kira tahun 2003 atau 2004 atau bahkan mungkin sebelumnya, ketika Jembatan besar di Amurang dihajar Banjir Bandang, banyak orang di SULUT terperangah. Bisa juga ya … begitu mungkin pikiran waktu itu. Dan terdengar banyak celoteh galau, “baru sekarang seumur hidup jadi bagini di Amurang”. Atau singkatnya, peristiwa luar biasa ini, benar-benar baru sekali dialami oleh masyarakat yang bergenerasi tinggal di tepian sungan Ranoyapo. Kebetulan? Mungkin.

Begitupun, ketika Manado dan sekitarnya mulai digenangi air yang berlebihan, terutama di jalan-jalan utamanya, orang mulai bergumam heran … “keapa bagini kang”? “baru sekarang tu air rajing-rajing sampe di jalan basar”. Celoteh galau, kembali terdengar, terlebih ketika hingga ke daerah Tikala, rumah penduduk direndam air sampai nyaris menyentuh atap rumah. “Baru sekarang seumur hidup ini torang mangada”, kembali keluhan yang sama terdengar. Bahwa baru sekarang bencana besar sebesar ini dialami masyarakat Kota Manado. Kebetulan? Mungkin.

Ketika sekali lagi beberapa tahun silam Kota Manado dihajar Banjir Bandang, seluruh Karamba raib dan ikut berenang atau malah menyelam dengan air yang limpah ruah dari Tondano, kembali orang geleng kepala. Luar biasa, ini benar-benar kejadian yang baru kali ini dihadapi. Seperti biasa, banyak sekali refleksi para bijaksanawan lingkungan yang kemudian lenyap ditelan angin lalu. Terlebih karena kekhawatiran kemudian berlalu ditelan sang waktu. Begitupun cuap cuap pemerintah yang akan melakukan telaah komprehensif pencegahan bencana. Hanya sebatas wacana. Karena disaster management, nyaris tidak pernah diketahui oleh pemerintah. Lucunya, para pekerja LSM/NGO yang mengerti, sering dicurigai pemerintah. Karena itu, bencana yang mulai rajin mengunjungi kota Manado, masih juga dilihat sebagai sebuah “bencana alam”. Artinya … ya masih Kebetulan juga.

Awal tahun 2006, kembali bencana mengunjungi SULUT. Kali ini, tidak tanggung-tanggung, Minahasa, Tomohon, Manado dan Talaud dihajar pontang panting. Banjir Bandangpun bukan hanya di satu sungai, tetapi mungkin 3 atau 4. Kembali terdengar celoteh “baru sekarang seumur hidup torang alami ni banjir”. Atau bahkan ada yang kesal dengan ungkapan “ngana bilang ini kuala kacili? Iyo, kacili mar munafik, cuma 30 menit tu aer so lewat loteng”. Sebuah kuala (sungai) yang lebarnya hanya 2 meter ternyata sanggup menenggelamkan beberapa rumah. Tentu sebuah kejadian mencengangkan dan memang baru sekali dialami masyarakat di bantara “kuala munafik” tersebut. Apakah, bencana di Minahasa, Manado, Talaud dan Tomohon ini, sekali lagi adalah sebuah KEBETULAN? Mungkin …

Sekarang, marilah kita coba merenungkan rangkaian bencana tersebut. Pertama, laporan penggiat dan pencinta Lingkungan yang menyebutkan hutan tinggal 7-8% dari seharusnya minimal 30%. Sudahkah ada tindakan komprehensif baik pemerintah maupun masyarakat dalam menghijaukan kembali hutan penyanggah dan hutan lindung yang dibabat? Ada, tetapi tindakan-tindakan sporadic yang tidak tersistem. Akibatnya, pohon dan bibit yang ditanam, tidak pernah beranjak remaja, rata-rata mati muda. Jikapun ada tindakan pencegahan, maka yang melakukan adalah LSM/NGO yang dibiayai oleh pemerintah dan donor asing, meski sering dilirik curiga oleh pemerintah. Program DAS (Daerah Aliran Sungai) yang disponsori USAID dan belakangan CIDA, tentu hanya mampu menelisik dan menangani sekian kecil problematika lingkungan di Sulawesi Utara.

Ketika, tahun 2000-an awal atau akhir millennium II, diingatkan soal bahaya bencana di SULUT, banyak orang mencibir. “Ada ada aja”, begitu mungkin komentar banyak orang. Karena itu, Banjir Bandang di Amurang masih dianggap, ach ini kebetulan. Juga ketika Manado makin rajin dibanjiri air dari Tomohon dan Tindano, juga banjir terakhir, masih tetap dianggap kebetulan. Benarkah kebetulan? Apakah juga sebuah kebetulan bahwa kualitas bencana dan banjir semakin hari atau dari tahun ketahun menjadi semakin besar? Masihkah ini sebuah kebetulan?

Hanya orang bodoh dan pura pura bodoh yang akan mengaminkan bahwa Bencana dan rangkaian Bencana di Manado dan sekitarnya adalah sebuah kebetulan. Benar, itu adalah bencana alam. Tetapi, alam tidak akan menghadirkan kualitas bencana yang meningkat secara sistematik dari tahun ketahun bila alam tidak dicederai dan dilukai. Bukan sebuah kebetulan fakta bahwa hutan kita tinggal 7-8% dengan kualitas bencana yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Bila masyarakat, baik di di Tondano, Tomohon, Modoinding, Tompaso Baru, Motoling, terus beranggapan hutan masih banyak dan wajib dirusak, maka bencana akan terus berlanjut. Selain air melimpah di daerah dataran rendah (Manado, Tanah Wangko, Amurang, dll), juga tanah akan semakin rajin longsor untuk membenamkan rumah penduduk, termasuk manusia, dan juga fasilitas umum lainnya. Dan … dari tahun ke tahun, skala bencana akan terus dan terus meningkat.

Jika, pemerintah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten beranggapan bahwa, penebangan hutan, baik oleh penduduk maupun oleh pengusaha gelap dibiarkan karena mendatangkan keuntungan bagi oknum tertentu, maka biaya yang akan dan harus dikeluarkan, jauh berlipat dari keuntungan beberapa oknum tertentu. Baik biaya social maupun biaya ekonomi dan pada gilirannya biaya politik. Kealpaan dan kelalaian pemerintah dalam memelihara dan menegakkan aturan menjaga hutan dan lingkungan akan dibayar mahal. Baik oleh generasi kini yang mulain mengenyam bencana yang semakin hari semakin mematikan, maupun oleh generasi mendatang yang akan mewarisi lingkungan yang buruk.

Parahnya, kita selalu menunggu mengalami bencana baru peduli dengan lingkungan yang semakin rusak. Lebih parah lagi, ketika bencana berlalu, kita lupa dengan komitmen membenahi lingkungan. Dan baru ingat lagi manakala bencana yang lebih besar kembali datang dan meluluhlantakkan banyak orang, banyak rumah dan banyak fasilitas umum lainnya. Haruskah kita menunggu bencana yang jauh lebih mematikan dari sekarang, dalam bentuk banjir banding yang lebih besar, longsor yang mematikan, baru kita benar-benar menganggap bahwa bencana itu bukan KEBETULAN?. Baru kemudian kita serius membenahi lingkungan kita? Baru kemudian kita mencintai Danau kita, hutan kita dan sungai kita?

Konon, Kuala Munafik yang dimaksud di Manado, pada tahun 1960-an memiliki lebar hingga 10m, tetapi sekarang tinggal 2m. Konon, hutan-hutan sekitar Danau Tondano, khusus pegunungan Lembean sangatlah lebat. Sekarang? Semakin hari semakin renggang, dan sedimentasi dan pendangkalan sungai tondano di kota Tondano semakin bisa disaksikan mata. Begitu juga di ketinggian lain di Sulawesi Utara, baik di Tomohon maupun di Modoinding daerah Minahasa Selatan. Artinya, kita melihat dan mengalami atau bahkan ikut merusak hutan hutan yang kita miliki dan merancangkan bencana untuk waktu kedepan. Tetapi, sampai sekarang ini, perusakan terus berlangsung. Baik perusakan oleh masyarakat, maupun oleh para pembalak liar yang jauh lebih liar dan merusak. Lebih celaka lagi, para pembalak liar dimanapun di Indonesia termasuk di SULUT, boleh melenggang menghadirkan bencana di SULUT sambil mengeruk uang dari rangkaian pohon yang dikeruknya untuk menghadiahkan banjir bagi dataran rendah SULUT.

Maka, ancaman-ancaman besar sedang di hadapan mata. Penulis tidak mau mendahului alam atau mendahului tuhan (huruf kecil), tetapi memetakan kembali bencana yang semakin dahsyat tahun ke tahun. Naif kalau beranggapan ini benar-benar kebetulan dank arena alam semata. Bila frekwensi dan kualitas bencana tidak serajin dan semakin dahsyat, maka boleh kita menghibur diri dengan menyatakan ini murni alam. Tetapi, karena rangkaiannya jelas, frekwensi meningkat dan kualitas bencana semakin mematikan, maka perlu siapapun mulai menyadari, bahwa hutan yang dirusak, sama dengan merusak diri sendiri, dan mempersiapkan kado yang buruk bagi anak cucu kita.

Pemerintah, tidak hanya harus mempersiapkan pencegahan dan early warning system bagi masyarakatnya. Early Warning perlu, karena normalisasi dan pemulihan hutan yang rusak butuh setidaknya 10-20 tahun. Artinya, bencana masih akan akrab dan sering mengunjungi Manado dan dataran rendah lain di Minahasa dan Manado. Tetapi, apabila pencegahan dan penanganan tidak disiapkan dalam konteks disaster management atau manajemen bencana yang komprehensif, maka jangan-jangan KITA MENUNGGU BENCANA LEBIH DAHSYAT UNTUK MEMULAI SEMUANYA NANTI.

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan

(Publikasi Harian komentar 2006)

No comments: