Monday, June 18, 2007

DISORIENTASI MENSEJAHTERAKAN RAKYAT

DISORIENTASI MENSEJAHTERAKAN RAKYAT:

KASUS CAP TIKUS DI SULUT

Oleh:

Audy WMR Wuisang

Pengantar

Sebuah “tragedi”, begitu sebaiknya penggambarannya. Ketika produk pertanian ataupun perkebunan rakyat, bukannya difasilitasi, malah diberangus. Entah mengapa dan apa sebabnya. Logika aparat kepolisian dan bahkan mungkin banyak elite politik (entah elite agama?!), begitu terpaku pada efek negatif dari produk tersebut. Namanya CAP TIKUS. Dan tidak pernah mau memikirkan latar sejarah dan bahkan lokus budaya yang kental mengiringi produk bernama “aneh” itu. Paling akhir, kembali terjadi dua truk kontainer cap tikus ditahan polisi. Akhir-akhirnya, produk dari usaha rakyat, yang seharusnya difasilitasi dan diberdayakan, justru dianggap “haram” dan berniat ditiadakan.

Debat masalah Cap Tikus ini, sebenarnya merefleksikan banyak hal. Bukan semata cara pandang terhadap produk itu. Tetapi sekaligus membaca gelagat dan keberpihakan elite birokrasi dan aparat keamanan terhadap dinamika kehidupan masyarakatnya. Bahkan sebelum negeri ini bernama Indonesia, produk itu dan konsumsi atas produk itu, sudah hadir bersama dengan para petani. Bahkan menghiasi gaya dan cara kehidupan para petani menghadapi dinginnya udara pagi di pegunungan. Karena itu, minum dan mengkonsumsi cap tikus, sangat keliru jika hanya dikaitkan dengan mereka yang mengkonsumsinya bukan untuk kesehatan. Dan sangat keliru jika hanya memandang cap tikus sebagai biang onar. Karena jika demikian, maka cara pandang itu menjadi bias, tendensius dan membelakangi fakta sejarah dan budaya.

Tiadanya Keberpihakan Atas Rakyat

Yang terutama ingin dikemukakan adalah: reaksi berlebihan aparat keamanan (dan juga Pemerintah?) terhadap produk tersebut merupakan refleksi ketidakberpihakan kelompok elite terhadap rakyat. Ketidakberpihakan itu, bukan hanya karena kekurangpahaman atas fakta sejarah dan budaya setempat, tetapi juga atas pilihan paradigma membangun masyarakat. Aparat keamanan kita dan juga Birokrasi kita, meskipun sudah mengalami reformasi, tetapi masih tetap bermental “pro pasar”. Buktinya, UU Penanaman Modal Asing membuat Indoensia menjadi seperti “pasar raksasa” yang bebas dipermainkan kekuatan Kapitalisme global. Disini, investor asing akan menjadi primadona, sementara kekuatan ekonomi rakyat, jika bisa minggir dulu.

Karena itu juga, bukan persoalan lagi, bila ekonomi berbasis rakyat bukan hanya mendapat perhatian terbatas, tetapi juga pemberdayaan yang terkesan “memperdayai”. Maklum. Tapi, jangan salah. Pada masa Pemilihan Umum, semua calon pastilah akan menjadi pro rakyat, pro ekonomi rakyat dan berjanji memberdayakan rakyat. Praktek seperti ini bukan cuma monopoli Indonesia, tetapi juga negara-negara Latino dan Negara baru yang sedang berkembang. Pro rakyat ketika kampanye dan memperdayai rakyat ketika berkuasa. Tentu, memang tidak semua. Terutama ketika Brazil menghasilkan seorang Presiden baru beberapa tahun sebelumnya yang sangat pro rakyat. Tetapi, sayangnya, Indonesia dan Sulaweasi Utara masih belum yakin, bahwa membangun di atas kekuatan ekonomi rakyat adalah modal utama yang mesti dikedepankan.

Mungkin, ini baru kemungkinan, meskipun Indonesia pro pasar, tetapi setidaknya, janganlah produk dan kekuatan ekonomi rakyat ditindas dan coba dibungkam. Seperti cap negatif yang dilekatkan kepada CAP TIKUS. Aparat keamanan, dan bahkan beberapa elite agama, seragam menyebut cap tikus adalah biang keributan. Lupa, bahwa cap tikus itu, justru membesarkan banyak anak rakyat, dan bukan tidak mungkin, beberapa dari yang memberi cap negatif itu dibesarkan oleh produk itu. Ironis memang nampaknya. Kegamangan dan ketidakmampuan mengelolah dan memasarkan produk itu dan memperkuat ekonomi rakyat, membuat cap negatif adalah yang paling mudah dilakukan. Dan model dan metode itu, merupakan gambaran ketidakberpihakan elite atas dinamika ekonomi rakyat.

Pemiskinan Struktural

Orang miskin karena apa? Ada dua cara pandang yang bertolak belakang, dan keduanya bisa digunakan dalam konteksnya masing-masing. Cara pandang pertama adalah, kemiskinan disebabkan kemalasan, ketidaktahuan, keterbelakangan. Benarkah demikian? Tentu saja. Keterbelakangan di Papua, kekurangpendidikan, kekurangtahuan, membuat mayoritas masyarakat terbelakang berada di bawah garis kemiskinan. Kemalasan dan keengganan bekerja keras, juga sering dilihat sebagai penyebab kemiskinan. Tetapi, ada cara pandang kedua, cara pandang struktural yang berkata begini: Kemiskinan, bisa disebabkan oleh karena kesempatan untuk memberdayakan diri tidak diberi kemungkinan dan kesempatan. Atau dengan kata lain, struktur-struktur kemasyarakatan dan politik, terlampau memberi peluang bagi kelompok “the haves” (berada) dan membiarkan kelompok miskin untuk tetap terpuruk dalam kemiskinan.

Penahanan dua (2) truk kontainer cap tikus, bagi penulis, adalah refleksi Pemiskinan Struktural sebagai akibat keberpihakan atas ekonomi rakyat yang tidak jelas. Adalah tugas pemerintah untuk memfasilitasi perekonomian rakyat melalui fasilitas infra struktur dan membuka pasar alternatif. Atau juga, mendorong dengan melakukan penelitian agar tercipta produk alternatif yang lebih advance (maju) dan bernilai lebih. Tetapi, bukan cara ini yang dilakukan pemerintah dan aparat keamanan. Tetapi cara sebaliknya, yakni mencederai nama baik “produk” itu, dan kemudian melakukan serangkain tindakan non populis yang cenderung membuat para petani semakin terpuruk.

Bila pemerintah tidak mengupayakan pasar alternatif, memberdayakan petani, kemudian adanya kajian pengembangan produk disatu sisi; dan disisi lain tetap tidak memberi peluang bagi pengembangan ekonomi rakyat ini, maka tindakan aparat kepolisian adalah refleksi dari PEMISKINAN STRUKTURAL. Belum lagi, bukan rahasia, bahwa sering terjadi kong kalikong untuk meloloskan barang tersebut, praktek sogokan sering terjadi. Sehingga praktis, perolehan atau pendapatan rakyat lewat Cap Tikus, selain menghadapi ketiadaan fasilitasi pemerintah, ancaman penahanan dan uang keamanan, juga minimnya pasar alternatif. Bukankah fakta ini menunjukkan betapa petani kita betul-betul dikondisikan agar tetap Miskin?

Peran Civil Society?

Ada dimana gerangan Dunia pendidikan kita? Ada dimana gerangan Gereja kita? Ada dimana gerangan ORNOP – Organisasi Non Pemerintah (NGO, padanan dari LSM) kita?

Dunia pendidikan kita, seharusnya memberi perhatian bukan sebatas lip service terhadap konteks perekonomian daerah. Bukan hanya dengan menghadirkan rumusan-rumusan dan teori mutakhir yang non aplicable (tidak bisa diaplikasikan), tetapi dengan basis dan orientasi kemasyarakatan yang jelas. Seperti misalnya: apa kontribusi dunia pendidikan Indonesia terhadap produk pengembangan kopra, cengkeh dan juga tentu Cap Tikus? Tanpa pengembangan melalui penelitian dan pengkajian, maka produk itu akan terus termakan fluktuasi harga pasar. Selain itu, juga fakta dan data pasar potensial mana yang seharusnya dikembangkan dalam konteks produk tersebut. Jika dunia pendidikan terus berkutat dengan teori dan rumusan yang non aplicable, maka kontribusinya bagi masyarakat mesti kita pertanyakan. Padahal, dan ini lagi, ketersediaan dana penelitian di pihak swasta dan apalagi pemerintah bagi dunia pendidikan, juga praktis sangat minimal. Kita kembali seakan dilemparkan dalam situasi “lingkaran setan”. Tetapi, penulis pribadi masih yakin, masih ada sekelompok pribadi yang mampu bekerja tanpa pamrih bagi upaya itu. Semoga kedepan kita menemukannya.

Gereja? Sebagai lembaga yang memperjuangkan bukan hanya teologi dan bukan hanya pertambahan umatnya, tetapi memperjuangkan perubahan nasib umatnya, Gereja adalah bagian civil society. Apakah ada peran tersebut? Ataukah Gereja terlampau sibuk bagi upaya-upaya menambah umatnya, sibuk dengan pengembangan teologinya, dan lupa bahwa umatnya juga butuh perhatian akibat keberpihakan elite politik yang sangat minimal. Protestantism dan belakangan Katolikhism pasca Konsili Vatikan II 1965, sudah sangat ramah dengan pemberdayaan rakyat. Adakah implikasinya mulai terasa di SULUT? Atau masih sama dengan gambaran betapa seluruh daerah kepulauan di lingkar luar Indonesia adalah basis kemiskinan? Dan rata-rata daerah itu daerah mayoritas Kristen (Nias, Mentawai, NTT, Ambon, Papua dan Sanger – Talaud). Sudahkah Gereja kita ikut memperjuangkan nasib petani? Mungkin bukan melalui demo, tetapi melalui surat pastoral dan jika perlu teguran kritis atas fungsi pastoral sosialnya bagi perkembangan politik daerah. Ataukah, Gereja justru terlibat dalam pemiskinan struktural dengan menuduh cap tikus sebagai barang haram yang harus diberangus? Ada dimana engkau Gerejaku?

Dan pada akhirnya adalah ORNOP atau LSM (penulis cenderung menggunakan ORNOP). Bukannya sedikit lembaga-lembaga jejadian yang mengklaim dirinya sebagai LSM, dengan target mencari keuntungan (politik maupun material). Yang seperti ini, pasti menganggap tidak pada tempatnya membela petani. Tetapi, ORNOP yang tampil membela masyarakat dan bermotivasi utama mengedepankan kepentingan pemberdayaan rakyat, adalah mereka yang tidak ragu membela rakyat. Siapapun bisa menilai dan melihat secara telanjang kelak. Dan merekalah yang dalam kategori Civil Society, sebuah lembaga yang berada di antara pemerintah dan rakyat dan memfasilitasi rakyat untuk mengedepankan aspirasi dan suaranya. Dan adakah itu di SULUT? Kita amsih optimis bahwa ada peran-peran itu di Sulawesi Utara.

Berdayakan Petani Kita ....

Berdayakan petani Cap Tikus kita. Jangan diperdayai. Fasilitasi usaha rakyat itu, dan bukannya dijelek-jelekkan dan kemudian diancam. Apalagi kemudian di kurangi penghasilan mereka. Sementara produk minuman keras asing dengan bebgas merajalela di pasar SULUT. Bukankah ini tragis? Barang “haram” hasil rakyat kita diberangus dan mendudukkan barang “haram” orang lain di etalase elite pasar Sulawesi Utara. Tragis dan memilukan. Beginikah kita memperlakukan petani daerah kita sendiri? Sudah susah hidupnya, sudah berkontribusi lama dalam sejarah perkeonomian SULUT, dan ketika pasar bebas menerjang datang, dia dikambinghitamkan, diharamkan dan bahkan dieksploitasi. Beginikah pemberdayaan ekonomi rakyat model kita?

Aparat keamanan sudah waktunya melepaskan mental pro pasar yang memiskinkan rakyat. Peningkatan jumlah pengangguran yang mengkonsumsi produk itu, juga akibat ketidaktersediaan lapangan kerja. Tak ada orang saat ini yang rela membiarkan dirinya miskin. Tetapi dengan orientasi pembangunan pasar berskala dunia disatu sisi, dengan ketersediaan lapangan kerja dan dukungan dunia pendidikan yang minimal, bukankah tidak terleakkan kondisi itu? Mengapa sekali lagi petani kita disalahkan, produk mereka dihambat, ditilang, di mintai uang pengamanan? Dan mengapa bukan pemerintah yang mengaku dosa karena belum sanggup memfasilitasi mereka secukupnya?

Dan mengapa pula belum muncul kesadaran, bahwa pemiskinan struktural terus dan terus berlangsung. Belum juga lahir kesadaran kelompok intelektual dan bahkan elite agama SULUT, bahwa basis-basis ekonomi rakyat masih belum terbangunkan secara proporsional. Mengapa kita begitu memprimadonakan investasi asing yang bahkan untuk masukkpun ketakutan dengan birokrasi yang berlapis, dan mempersempit peluang usaha petani kita? Bukankah dengan demikian kita tidak berjalan kedepan dan melangkah melangkah kebelakang? Lihatlah, SULUT memiliki infrastruktur terbaik pasca Kolonialisme Belanda, bahkan dengan tingkat literacy tertinggi dewasa itu, tapi apa hasilnya setelah 60 tahun Indonesia merdeka? Ada dimana posisi dunia perguruan tinggi SULUT di Indonesia? Ada dimana peringkat kesejahteraan SULUT saat ini?

Dan, masih haruskah kita membiarkan petani Cap Tikus kita digerogoti kekayaannya oleh pemiskinan struktural itu? Biarlah kita masing-masing menjawab dengan nurani kita. Tapi, demo para petani itu, seharusnya didukung, jika mungkin oleh para aktivis ORNOP, Pendeta dan Pastor dan juga para Kiai serta para pendidik dan Intelektual SULUT. Tapi mungkinkah itu?

(Dimuat Harian komentar 18 Juni 2007)