Wednesday, November 19, 2008

UU Pornografi: Akan DIpaksakan?

UU Pornografi: Akankah Dipaksakan?

Oleh: Audy WMR Wuisang

Bahkan per definisi, Pornografi dalam RUU Pornografi (UUP) sudah mengundang perdebatan. Belum lagi menyoal isinya. Jangankan mendatangi Papua dan Bali yangbakal terimbas secara kultural, mendengar suara mereka sajapun belum. Tetapi,sayangnya RUU kontroversial itu, nampaknya bakal dipaksakan untuk ditetapkan.

Meskipun misalnya, baik Fraksi PDIP maupun PDS sudah sejak awal menegaskan: UUP tidak layak diundangkan. Bukan hanya di parlemen penolakan itu bergaung, tetapi juga dikalangan civil society dan komponen masyarakat adat lainnya. Pada saat kontroversi RUU ini (ketika masih bernama Rancangan Undang UndangAnti Pornoaksi dan Pornografi) mulai merebak, saat berjalan-jalan di Mall, sempat juga terpikirkan: "sungguh repot penjara Indonesia jika dibajiri ABG-ABG ini". Maklum, Mall-Mall di Indonesia, bukan hanya di Jakarta, memang dijejali kaum muda yang diberi label "porno" atau "mengundang berahi" oleh UUP ini.

Belum lagi memikirkan, betapa banyaknya ibu-ibu atau bahkan anak gadis di kampung-kampung yang berpakaian seadanya karena memang demikianlah mereka hidup dalam kesehariannya. Harus jugakah mereka secara paksa dikategorikan "merangsang berahi" mereka yang memandangnya?Menghadang peredaran pornografi dalam bentuk cetakan atau sejenisnya memang perlu bagi kita. Tetapi melebarkan area itu melalui pemaksaan definisi yang kabur dan mengambang serta kemudian memaksakan pandangan sepihak atas penafsiran dan pemaknaan pornografi tentu keliru. Apalagi, Indonesia bukan realitas kultural yang homogen.

Menerapkan standar homogen, baik dari segi norma dan moral dengan mengabaikan realitas lokal, bakal menuai protes. Entahlah, masih belum cukupkah pengalaman Negeri ini dengan proses pemaksaan dominasi tafsir sebagaimana pada masa orde baru?Baru beberapa saat konfirmasi penolakan yang digalang masyarakat adat dan civil society masuk dalam bentuk sms. Di beberapa daerah, semisal Makasar, Ambon, Manado, NTT, Bali, Papua, Jatim, Kalsel, Kalteng, Kaltim dan menyusul banyak daerah lain terkonsolidasi untuk menolak RUUP yang kontroversial ini. Persoalannya bukan hanya menafikan konteks budaya lokal dibeberapa daerah, tetapi juga mengkategorisasi secara kasar budaya daerah sebagai porno.

Mana bisa begitu? keluh banyak aktivis. Tetapi begitulah, proses yang sudah dibuka dan dipercakapkan dibanyak media dewasa ini, masih tetap terus dipaksakan untuk ditetapkan di parlemen. Alhasil, demo dan protes digalang bukan hanya di gedung Parlemen pada Senin dan Selasa mendatang, tetapi juga secara simultan dibanyak daerah.Apa yang dicari sebenarnya? Bukankah terkait masalah susila dan pornografi sudah ada payung hukum dalam bentuk UU yang lain? apa pula signifikansinya mengatur pornografi dengan menempatkan perempuan dalam status "terdakwa". Seakan-akan perempuan adalah pengundang nafsu berahi lelaki belaka dan karenanya perlu diatur cara berpakaiannya dan cara berlakunya.

Tetapi, melupakan dan tidak memberi ruang dan tempat untuk mengatur dan menata laku para lelaki. Ach, disini, kita memasuki diskusi soal gender kembali. Tetapi memang demikian, RUUP ini memang sangat bias gender. Mereka yang paham pasti geram. Tidak usah menjadi perempuan untuk merasa tersinggung dengan bagaimana RUUP ini merumuskan rumusan diskriminatif terhadap perempuan.Banyak orang heran, termasuk saya, begitu banyak persoalan yang mesti diseriusi i Negeri ini.

Tetapi, bukannya mengurusi masalah yang nyelimet seperti lumpur porong, rekonstruksi Aceh, soal akselerasi penyebaran HIV/AIDS Papua yang tertinggi di dunia, harga BBM, kenaikan bahan pokok, masalah nuklir, atau yang lainnya, eh malah soal Pornografi yang diseriusi dan dipaksakan untuk ditetapkan. Bukannya menyepelekan dan meletakkan masalah moral pada gradasi kedua. Bukan, sama sekali bukan. Tetapi karena urusan moral ini dijadikan alasan untuk membenarkan sejumlah tindak dan pola pikir diskriminatif yang justru mau dilegalisasi dalam bentuk UU. Bagi banyak orang, bukan perkara cara berpakaian yang akan dibatasi, tetapi bahwa legalisasi pola pikir diskriminatif terhadap perempuan dan ketersinggungan pola budaya yang dikategorisasi "porno" yang menjengkelkan.

Jika memang sudah bisa dipayungi oleh UU lain, semisal UU Pers seputar pornografi serta masalah Susila yang juga sudah bisa dipayungi UU lain? mengapa memaksakan RUUP menjadi UUP? Diskusi bakal melebar jika kemudian konfigurasi di Parlemen mengerucut ke persoalan agama. Karena kebetulan pengusung RUUP adalah mayoritas Partai Islam dengan dukungan terbatas dari GOLKAR dan Demokrat. Jika konfigurasi ini mengedepan, maka dimensi persoalannya akan semakin melebar meski kemudian menjadi terpahami seputar diskriminasi perempuan dan pengabaian realitas budaya lokal. Tapi, memang trend seperti ini jugalah yang justru tersaji ke permukaan, karena aturan dan perundangan sejenis konon sudah berada diangka 247 aturan dalam berbagai bentuk: Perda,Keputusan Gubernur, dan aturan-aturan sejenis di daerah.

Jika fenomena ini dibaca sebagai sebuah rentetan legalisasi berdasarkan dominasi pandangan agama tertentu, maka besar kemungkinan RUUP akan menjadi UUP. Minggu berjalan didepan akan menyaksikan salah satu momentum legalisasi cara pandang seperti itu yang justru semakin mendegradasi KEINDONESIAAN.Sampai saat ini, aksi penolakan berdasarkan cara pandang berbeda bertebaran dimana-mana. Menyelamatkan pluralisme, mengenyahkan diskriminasi perempuan, dan tema-tema standar pergerakan dikumandangkan. Tetapi selain itu, beberapa daerah sebetulnya lantang menyuarakan suara lain: bahwa Indonesia semakin membelakangi kesepakatan bersama sebagai satu BANGSA.

Gerakan-gerakan di daerah ini semakin berhembus kencang. Tetapi, entahkah aksi-aksi di parlemen yang berlawanan dengan arus besar Parlemen akan berujung kemana? Jika dipaksakan, hampir bisa dipastikan UU itu akan tumpul dibayak daerah. Dan bukan hanya itu, benih-benih bagi mengentalnya separatisme akan menemukan lagi momentumnya. Maka, penting menunggu apakah UUP AKAN DIPAKSAKAN?

Jakarta, 12 September 08 (From My Facebook)

Sumpah Pemuda - Krisis - UU Porno

Sumpah Pemuda - Krisis Ekonomi - UU Porno

Oleh: Audy WMR Wuisang

Hari-hari terakhir terasa agak meresahkan.Setelah dunia dihentak oleh great depression di USA,Di Indonesiapun ada hentakkan baru dalam bentuk pengesahansebuah UU yang sejak awal sudah sangat kontroversial.

Dilihat sangat sekilas, seakan-akan Krisis Ekonomi di USA mestinya tidaklahmendatangkan badai bagi Indonesia. Tetapi, segera setelah beberapa waktu kemudian,badai itu menerpa juga, dan menumbangkan indeks IHSG sampai puluhan % (lebih 50%)dan membuat Rupiah tergolek lesu sampai menyentuh angka Rp. 12.000 melampauiambang angka psikologis Rp. 10.0000. Bahkan BEJ sampai harus ditutup, sebuah sinyal bahwa krisis ekonomi sedang menerpa. Kondisi yang seakan-akan memberi jawab atas semua optimisme yang dikampanyekan pemerintah sebelumnya, bahwa Pemerintahan sekarangmenghasilkan banyak "kebaikan".

Tentu, kampanye kebaikan itutidaklah menyertakan kasus Lapindo, juga tidak kasus kenaikan BBMyang anehnya masih enggan diturunkan pemerintah meskiharga minyak dunia sudah nun jauh dari angka 100 US$. Ada apa?Indonesia yang sedang lemas dan lesu akibat guncangan Krisis Ekonomi global,malah menambahi daya bikin lesu dan lemas itu lewat penetapanUU Pornografi. Walahualam ..... meski dihujani interupsi di luar dan dalam gedung,8 Fraksi pendukung dengan gagah berani menetapkan UU kontroversial tersebut.

Mereka lupa, bahwa mereka menjanjikan perubahan dan modifikasi pada UU itu setelahmenemui kubu yang anti, di Bali dan Sulawesi Utara. Di daerah yang anti tersebut,utusan DPR RI mendapatkan kiritik tajam, walk out, sindiran halus dan tajam, bahkan demodan penolakan keras lainnya. Alhasil, mereka menjanjikan perubahan, yang pada penetapannyajanji itu juga tinggal janji. Mungkin benar, bahwa berpolitik di Indonesiaharus sanggup dan berani berjanji dan harus sanggup dan berani pula melanggar janji itu.Itukah etika politik Indonesia? Mudah-mudahan tidak, tapi memang jarang menemukanfakta betapa itu bukanlah etika politik Indonesia.

Tapi, ada apa pula capek-capek menelaah Krisis Ekonomi global danPenetapan UU Pornografi? dimana juga titik singgungnya?Apakah karena kedua-duanya menghadirkan kelesuan yang rasanyamakin terakumulasi? Dan bagaimana pula kedepan?Pada saat Indonesia membutuhkan energi lebih guna lepas dari beban berat krisis ekonomi,justru DPR RI memberi kado lain yang kontroversial. Meski memang benar, bukan cuma efeknya saja saja yang relevan bagi Indonesia, tetapi karena memang neoliberalisme menyuburkan pornografi di Indonesia. Terutama, karena mekanisme pasar bebas tidak memberi peluang bagi Negara untukmengatur peredaran pornografi dalam skema neoliberalisme.

Negara, bagi kaum neo liberalisme memangbagai penjaga malam semata, penonton atas sepak terjang pasar. Pasar bebas diyakini adalahsatu satunya alat yang mampu mendistribusikan kekayaan dan pada gilirannya kesejahteraan.Sayangnya, doktrin yang sebenarnya sudah terbukti keliru dalam depressi ekonomi 1929-1930an,dan kembali diaplikasikan sejak 1980-an, kembali membuktikan bahwa Pasar tidaklah self regulating, tidaklah mampu mengatur dirinya sendiri. Krisis yang begitu cepat di USA dan melanda dunia menunjukkan bahwa pasar tanpa intervensi pemerintah justru akan semakin lebur. Titik equilibrium takkan tercapai tanpoa intervensi. Maka luluhlah tesis besar kaum neolib itu. Tetapi, akibat lain ditunjukkan oleh Richard Sinnet,yakni betapa budaya kapitalisme baru, justru memberondong dan meluluhlantakkan nilai-nilai kolektivisme dan solidaritas sosial.

Orang menjadi sangat individualis dan loyalitas ke kelompok besar termasuk Negara bisa luruh.Jika krisis ekonomi global menghentak Indonesia dengan ideologi dan dampak budaya yang demikian, maka memang masuk akal untuk mencari "institusi" yang sanggup membuat benteng perlindungan. Dalam konteks sekarang, Negara adalah yang paling mungkin. Sementara itu, pada sisi lain, dalam kasus yang berbeda, Negara juga dilekati atribut dan otoritas lain lewat penetapan UU Pornografi. Otoritas itu adalah memasuki arena privat manusia lewat sebuah pertimbangan yang kalkulasi rasionalnya sungguh sulit diterima. Bahkan, latar budaya yang dikandung UU Pornografi, UU yang memberi otoritas itu, justru tidak lahir dari kandungan budaya Indonesia.

Indonesia, sejak awal teramat plural. Bahkan definisi ketelanjanganpun akan sangat absurd jika diinterpretasi secara tunggal. Ibu-ibu dan anak gadis di desa, biasa saja mengenakan kain kebaya dan memperlihatkan dada terbuka (maaf tidak daerah terlarang) ketika ke kali untuk mencuci pakaian dan mandi. Masyarakat Papua dan Bali, tidak usah dikatakan lagi. Maka, kebudayaan dari manakah yang dirujuk oleh UU kontroversial itu? Bahkan tanah Jawa yang dikenal memiliki tradisi "kemben" ataupun goyang jaipongan dan gaya dangdut, bukankah selintar juga sangat erotis dan digemari di kampung-kampung? maka, luar biasa jika kandungan budaya yang lahir dari keseharian budaya Indonesia dituduh TIDAK SENONOH dan PORNO.

Dari mana asal muasal kategorisasi pemaknaan dan penuduhan satu fakta sebagai porno?Hebatnya lagi, anak-anak dan perempuan yang dituduh bakal menjadi korban dari pornografi, justru hanya subordinasi dari proyek besar di balik UU itu. UU itu, sebetulnya terlampau sarat kepentingan politik. Kepentingan politik yang mencoba membaurkan dengan kepentingan kelompok yang gemar mempolitisasi agama. Disanalah ujung pangkal kontroversi itu, meski banyak orang berusaha memperhalus kontroversi dan pertentangan itu. Karena selain ranah politisasi agama, UU itu juga rawan dan bias gender serta bahkan dalam definisi sudah gamang dan tak berlandasan rasionalitas yang tepat. Karena itu, pemaksaan menjadi pilihan. Kritik prinsip mayoritas dalam proses demokrasi memperoleh landasannya yang kokoh dari kasus ini. Tapi, apakah dengan demikian pornografi diijinkan?Bukan juga demikian.

Pornografi dan komersialisasi pronografi lewat mekanisme bebas sebebas-bebasnya memang harus ditangkal. Membiarkan pasar melakukan mekanismenya sendiri, pasti akan berujung pada kekisruhan sebagaimana great depression di USA dan melanda dunia belakangan ini. Tetapi, menata dan memberi aturan yang masuk akal, termasuk mana yang seharusnya di tata adalah yang terbaik. Bukan membabi buta memerangi pronografi dengan ujung-ujungnya pornografi yang dimaksud menjadi absurd dan bahkan memecah belah Bangsa Indonesia. Maksud hati memerangi pronografi anak dan eksploitasi perempuan, apa daya, yang terjadi adalah menydutukan perempuan dan memporak porandakan fundasi pluralisme Bangsa. Sungguh hebat Bangsa Indonesia melukai dan merusak dirinya sendiri.

Maka, semakin lengkaplah kritik banyak orang, bahwa tingkat kedalaman pembahasan di DPR RI sungguh menyedihkan. Hasil kali ini, memang menyedihkan. Ironis .... karena justru hadiah bagi perayaan 80 tahun Sumpah Pemuda adalah degradasi pluralisme Indonesia lewat penetapan UU Pornografi. Hadiah lainnya adalah ...... betapa pilihan pembangunan ekonomi Indonesia yang entah kapitalisme entah sosialisme alias tidak jelas itu, kembali menunjukkan tingkat kerentanannya. Indonesia, terlalu malu memilih salah satu kutub. Malu menyebut dirinya kapitalisme, tetapi malu juga mengidentifikasi regime sosialisme. Ada di tengah-tengahlah. Begitu kira-kira. Tetapi, karena selalu di tengah mencari aman, maka tingkat fleksibilitas seperti inilah yang tidak mampu dan tindak sanggup menata fundasi ekonomi secara kokoh.

Memang, era sekarang, tidak mungkin lagi menutup pasar domestik dari serbuan asing. Tetapi, tanpa pikiran dan langkah konsisten, maka Indonesia hanya akan menjadi pion yang mudah dikorbankan dalam arena pertarungan global. Karena kita kurang punya konsistensi, alias labil. Atau dalam kasus UU Pornografi, karena Bangsa Indonesia memilih untuk menjadi BANGSA MUNAFIK. Memberantas pornografi dan pelacuran jalanan, tetapi tidak akan menyentuh praktek sejenis yang berlangsung dihotel-hotel berbintang 5, tempat dimana kaum elite Negeri ini mempraktekkan apa yang dilarang oleh UU Porno itu. Inikah hadiah bagi Sumpah Pemuda 2008? Di usia 80 Sumpah Pemuda, bukannya KEINDONESIAAN semakin dirajut, bukannya PLURALISME semakin menemukan kematangannya, justru KEINDONESIAAN semakin terdegradasi.

Lihat isi sms yang beredar seperti ini misalnya: "PERLAWANAN SUDAH MAKSIMAL, BIARKAN MEREKA MEMBUSUKKAN NKRI INI DAN KITA TUNGGU NKRI BUBAR DENGAN SENDIRINYA, dst".Indonesia nampak menjadi semakin tidak nyaman dihuni oleh sebagian warganya,karena memang substansi KEINDONESIAAN semakin terdegradasi dari waktu kewaktu.

(My Facebook: 31 Oktober 2008)

Media, Hukuman Mati dan KEINDONESIAAN

Media, Hukuman Mati dan KEINDONESIAAN ....... !!!

Oleh: Audy WMR Wuisang

Astaga ....... Luar biasa media Indonesia sekarang.Secara mendadak, entah disengaja entah tidak,nyaris tak ada satu media Televisipun yang menayangkanproses menjelang eksekusi terpidana mati Amrozi, dkk dalam tradisi "both side covered".Yang terjadi adalah, pemberitaan yang cenderung berlebihandan menimbulkan belas kasihan massa kepada keluarga korbandengan kemudian melupakan mereka yang menjadi korban ledakan.Lebih miris lagi, pemberitaan mengarah ke kesimpulanbetapa keputusan eksekusi adalah "pebcideraan" atas komunitasagama tertentu di Indonesia.

Repotnya, aparat yang berwenangpun terkesan "mengulur-ulur" waktudan membuat pers mejadi punya waktu yang cukup untuk melakukan improvisasiserta dramatisasi atas kejadian yang berlangsung. Dan semuapun berlangsung dalam pemberitaan yang langsung dari lokasi dan menambah kesan dramatis dari saat kesaat. Secara pribadi, sayapun tidak begitu sepakat dengan hukuman mati, hanya sayang,kesan bahwa eksekusi ini bernuansa politis sangat tidak bisa dilepaskan dari eksekusi Tibo, dkk sebelumnya. Jika Tibo, cs dieksekusi dalam kasus Poso, maka Amrozi, dkkdieksekusi dalam kasus ledakan Bom Bali, lengkap dengan kontroversi yang menyelubungi kedua kasus kemanusiaan yang menyayat hati itu.

Betapapun, seandainya kita menempatkan diri dalam posisi korban ledakan bali,maka bagaimana perasaan kita ketika menyaksikan mereka yang menjadi pelaku dikesankan sebagai hero? Apakah sebagai keluarga korban kita tidak berhakuntuk diberitakan efeknya secara psikhis dan secara fisik bahkans ecara sosial ekonomi pasca tragedi itu? Dan mengapa justru sekarang tempat itu berada pada posisi keluarga pelaku yang menyebabkan korban Bali menghadapi beban hidup yang dulunya begitu tak tertahankan? Logika apakah gerangan ini? Logika pers yang berorientasi pasar? ataukah ada logika terselubung lainnya dibalik semua fakta ini? Ach, klise kalau berkata, bahwa inilah wajah pers Indonesia yang memang harus melakukan dramatisasi peristiwa untuk sekedar eksist dalam belantara pasar politik Indonesia kontemporer.

Bahwa kesan TV Indonesia seperti kehilangan daya kreatifitas merekat ke-Indonesia-an, justru semakin membayang dan semakin mengental. Terlampau beragamnya media Indonesia dengan ketersediaan tenaga profesional untuk mengawal kualitas dan moralitas pemberitaan, adalah gambar buram p[ers Indonesia dewasa ini, termasuk Televisi. Jadi, walahualam, begitulah wajah dunia elektronik kita.Tapi tunggu, apakah dengan demikian kita akan membiarkan kesan dan efek negatif dari proses berat sebelah itu? dan kemudian menunggu dentuman lain yang akan semakin mereduksi KEINDONESIAAN itu? Memang benar, demokrasi kita belum dewasa dan belum matang. Sayapun termasuk orang yang mengapresiasi pers untuk turut serta dalam proses pematangan demokrasi Indonesia (konsolidasi demokrasi).

Karena itu, sayapun berharap proses seperti ini menjadi proses belajar bagi Pers Indonesia, bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan bagi insan pers secara keseluruhan. Bukan sedikit orang yang kesal dengan pemberitaan TV yang secara langsung mengeksplorasi kesedihan keluarga dan spontanitas umat yang bersimpati. Bahkan juga dukungan-dukungan yang disebutkan semakin membludak, sementara pemberitaan keluarga korban dan efeknya tenggelam. Apalagi ledakan itu sendiri. Wajar bila kemudian muncul gerakan-gerakan dan pemberitaan yang menyebutkan bahwa eksekusi itu adalah penghinaan terhadap umat Islam. Benar, bahwa pandangan itupun memang miring, tetapi bahwa pandangan itu turut terbentuk oleh pemberitaan yang berat sebelah, memang juga tak terhindarkan.

Kembali ke pertanyaan tadi, bagaimana kemudian?Kontroversi pemberitaan terhadap kasus eksekusi berlangsung dalam batas kewajaran.Toch memang sudah sejak awal kesan bahwa "Tibo, cs dieksekusi nanti menyusul Amrozi, cs". Tersirat dibaliknya "bukan cuma kelompok Kristen/Katolik yang dieksekusi, tapi juga kelompok Muslim". Padahal, bukankah baik Protestan, Katolik maupun Islam sebagai agama tidaklah tahu menahu dengan persoalan memalukan di Ambon, Poso, Bali dan beberapa tempat yang lain. Yang runyam kan adalah, mereka yang memanfaatkan agama dan mempolitisasi agama untuk keperluan-keperluan praktisnya. Dan lebih repot lagi, pemerintah masih belum beranjak dari kategorisasi berpolitik dengan cara demikian. Akibatnya, rasa kemanusiaan dan keadilan yang mengiringi kepergian Tibo, cs dan kemudian Amrozi, cs adalah solidaritas keagamaan yang menganggap mereka adalah MARTYR. Betapapun naifnya pikiran itu, tapi kondisi yang ditimbulkan memang mengkondisikan munculnya perasaan dan sentimen tersebut.

Benarkah Tibo, cs martir? benarkah Amrozi, cs martir? Tidak akan ada jawaban pasti didunia ini, tidak saya, tidak juga anda. Satu hal yang pasti justru adalah kekisruhan yang terwariskan dalam situasi yang serba kalut seperti ini. Dalam situasi dimana kebiasaan mempolitisasi agama begitu kental bagi banyak komponen bangsa ini, bahkan juga pemerintah.Sampai kapan kita terlepas dari kerancuan seperti ini? Sampai kapan Pers Indonesia mulai lebih profesional dalam penayangannya dan bukan lebih banyak melahirkan kontroversi dan bahkan pembodohan lewat dominasi sinetron bagi Keindonesiaan kontemporer? Kapan Civil Society mulai menemukan kekuatannya dalam mengedepankan Keindonesiaan yang pluralis sebagai saripati kekuatan kampanye dan aksinya? Kapan pula pemerintah berdiri secara rasional dan menempatkan kepentingan rakyat sebagai sentra dan fokus kerjanya? Kita memang tidak menunggu SIM SALA BIM dan dalam sehari terwujud, tetapi kita akan menunggu, mungkin lama, tetapi yang pasti berproses menuju kematangannya. Memang lama dan mahal, entah kapan, tetapi lebih baik kita terus berjalan daripada menoleh kebelakang dan lupa maju.

(My Facebook, 8 Nov 2008)

Memikirkan Alternatif (Neo) Liberalisme

Memikirkan Alternatif Neoliberalisme!?

Oleh: Audy WMR Wuisang

Tahun 1929, great depression di Amerika membawa skema Keynessian ke panggung kemasyurannya. Dan baru bisa diungguli lagi oleh skema revisiLiberalisme Klassik dalam bentuk Neoliberalisme pada tahun 1980an ketikaMargareth Tacher dengan lantang mengatakan: "Inilah Kitab Suci kita" sambilmembanting buku Friederich Hayek "The Road to Serfdom" ke sebuah meja dalam satu pertemuan penting.Buku Hayek itu, adalah sebuah pikiran lama, tahun 1944, yang belakangan disebutbuku masterpiece bagi neoliberalisme (atau pendekatan neo klassik dalam ilmu ekonomi) yang menghendaki agar Negara cuku nonton aja dan membiarkan Pasar Bebas menentukan segalanya. Pendeknya, semua ditentukan oleh ekonomi, termasuk politik. Karena pasar menurut mereka memiliki mekanisme intrinsik untuk meregulasi dirinya.Celakanya, sebagaimana liberalisme klassik menghasilkan depressi besar2an pada tahun 1929-1933, Neoliberalisme juga menghasilkan petaka yang sama. Great depression tahun 2008 yang kurang lebih menunjukkan wajah yang sama ....... the invisible hand Adam Smit benar benar hilang, pasar bebas akan meruntuhkan Negara jika menunggu dirinya meregulasi diri sendiri. Maka krisislah dunia ini.Jadi? apa alternatif bagi neoliberalisme jika demikian?Hanya Negara yang memiliki resource yang memadai untuk mengatasi krisis yang diakibatkan oleh pasar bebas yang mengusir Negara dari area sekitarnya. Negara atau ideologi besar memang betapapun bisa salah, bahkan bisa salah dua kali. Dan, apakah dengan demikian Keynessian akan kembali berjaya? Pada dasarnya jawabannya adalah "ya", karena toch akhirnya Negara yang harus turun tangan meringankan beban akibat krisis pasar yang membuat para kapitalis menjadi greedy dan hendak menelan apa saja demi profit. Toch akhirnya, market failure itu yang pada akhirnya menelan kembali semua prestasi yang sebelumnya nampak menjulang dan dicemburui banyak pihak.Jika skema Keynessian kembali, maka yang terjadi sebenarnya hanya menyeimbangkan keadaan dengan bantuan pemerintah. Karena yang terpukul hebat pasca krisis adalah kaum kapitalisme, dan mereka yang hendak terkapar dengan idelaisme pasar bebasnya akhirnya harus meminta bantuan Negara yang dulunya adalah "musuh historis" mereka.Dengan begitu, maka campur tangan pemerintah dengan menggunakan uang rakyat, sebetulnya digunakan hanya untuk menyelamatkan para kapitalis tersebut. APakah ini alternatif satu-satunya? Sebetulnya tidak, tetapi ada alternatif lainnya dengan tetap menempatkan Negara sebagai sentralnya. Apakah sentimen semacam "nasionalisme" bisa menjadi alternatif? Pilihan ini pastilah kontroversial. Tetapi, betapapun, menggunakan uang sebegitu banyak hanya untuk sekali lagi menyelamatkan kelompok pemodal yang di Indonesia, dengan dmeikian mengulangi lagi kasus BLBI yang beberapa jilid itu. Sementara tanggungjawab pemerintah kepada mayoritas masyarakat terabaikan, bahkan dihitung agak mahal dengan menaikkan BBM sampai lebih dari 100%. Anehnya, kenaikan ini dilupakan dalam konteks succes story SBY-JK, yang digambarkan seakan-akan telah membawa banyak berkah bagi Indonesia.Jika resource Bangsa ini kebanyakan digunakan bagi kelompok kecil pemegang modal, maka mungkinkah kebijakan nasionalis dengan melindungi resource dan kapital Bangsa ini dengan mengedepankan kepentingan mayoritas rakyat Indonesia? Umumnya banyak yang melihat bahwa skema keynessian yang akan kembali ke pentas, dan memang dengan terjunnya pemerintah ke pasar dan mengintervensinya, maka normalisasi atau proses menarik kembali peran pemerintah tersebut akan sangat lama. Dan kemudian sejarah akan menunjukkan peristiwa pergantian skema tersebut akan berulang-ulang dan membawa manusia pada pergantian skema akibat krisis. Tidak mungkinkah sebuah skema baru ditemukan? ataukah, memang tinggal tersedia satu ideologi tunggal dengan revisinya yang kemudian saling menggantikan pasca sebuah krisis menerpa manusia dan peradabannya dalam bidang ekonomi dan politik?

(My Facebook: 3 Nov 2008)

Menuju Pemilu 2009

MENUJU PEMILU 2009

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Benar, proses penjaringan di tingkat Partai Politik sudah dan sedang berlangsung. Meskipun KPU baru saja kena shock therapy dari 4 partai kecil yang melalui PTUN melenggang maju sebagai 4 partai tambahan peserta Pemilu 2009. Terlepas dari tambahan 4 partai baru, sehingga lengkapnya 38 Parpol peserta Pemilu 2009, hingar bingar politik Indonesia menjadi semakin terasa. Semua parpol bergegas mempersiapkan daftar calon legislatif sementara. Herannya, baik parpol lama maupun parpol baru, ternyata kelimpungan dalam memenuhi kuota bukan cuma mengisi daftar caleg, tetapi juga kuota 30% kader perempuan. Beberapa bahkan meminta waktu tambahan.
Trick dan improvisasi kemudian bermunculan. Bukan hanya PAN yang mengusung demikian banyak artis untuk mendongkrak perolehan suara, tetapi bahkan kemudian belakangan GOLKAR mengikuti arus penetapan anggota berdasarkan suara terbanyak. Ini keanehan yang satu lagi. Maklum, GOLKAR dikenal sangat keras mempertahankan sistem proporsional tertutup, atau berdasarkan nomor urut. Belakangan, mereka menyusul sejumlah partai medioker-kecil yang menatap harap-harap cemas untuk melampaui parliament treshold 2,5% total perolehan kursi nasional. Apa gunanya jalur trade off (lobby) yang lama digunakan memutuskan proporsional tertutup jika kemudian akhirnya disiasati hampir semua partai pada akhirnya?
Politik Indonesia memang aneh. Kata seorang kawan dalam sebuah diskusi di UNDP. Tetapi, kata yang lain, keanehan itu wajar bagi sebuah Bangsa yang mengimpor Demokrasi tetapi mengisinya dengan kultur yang masih incompatible. Pada akhirnya, biarlah Bangs ini belajar menemukan sistem dan mekanisme terbaik baginya melalui proses belajar, betapapun panjang masa belajar itu. Tetapi, disinilah masalahnya. Indonesia seakan belajar dengan menutup mata dari praktek dan pengalaman Negara lain. AKibatnya, selain masa belajar menjadi lebih panjang, adaptasi atas pilihan juga memanjang, social dan political costnya juga dengan sendirinya meningkat.
Efek dari "Penyiasatan massal" Parpol ini (mungkin saja Penghianatan atas kesepakatan yang dituangkan dalam UU Pemilu) adalah, pertanyaan "sejauh mana pendidikan politik dan rekruitmen politik setiap Parpol tergambarkan dalam proses pencalegan"?. Pertanyaan penting. Karena hampir semua partai politik gurem, memilih ide penetapan berdasarkan suara terbanyak dan menjaring calon populer untuk mendongkrak perolehan suara agar melampaui batas minimal 2,5% total suara nasional. Efek dari siasat ini adalah: Figur yang dianggap memiliki dukungan dan basis suara besar akan dikedepankan, jika perlu dengan meminggirkan dulu kader yang dibina partai sejak awal. Dan inilah yang terjadi di beberapa partai politik gurem. Rekruitmen instan seperti PAN merekrut puluhan artis menjadi sah. YANG PENTING LOLOS PARLIAMENT TRESHOLD (PT) DULU. Urusan lain menyusul. Sangat benar. Bagaimana mungkin duduk di parliament jika 2,5% tidak tercapai? maka urusan utama dan terutama adalah, lolos PT. Soal idealisme terpaksa ditunda.
Anehnya, GOLKAR juga ikut-ikutan. Bukannya mempertahankan pilihan dan ide utama mereka soal Proporsional dengan List Tertutup, justru ikut meramaikan gawean partai yang berjuang di garis batas megap-megap mencapai parliament treshold. INI POLITIK BUNG, kata kawan-kawan dari Medan. Segala sesuatu mungkin. Benar juga (?!). Apakah karena GOLKAR merasa khawatir perolehan suara mereka tergerogoti oleh puluhan partai baru dan sebagian besarnya adalah sempalan mereka? ataukah ada kekhawatiran lainnya?
Betapapun, efek dari penyiasatan UU Pemilu ini melahirkan 2 respons yang bertolak belakang. Banyak kalangan yang memberi apresiasi positif, tetapi banyak juga yang merespons secara sebaliknya. Ada baiknya memeriksa kedua respons tersebut beserta implikasinya. Karena bukankah kita Bangsa yang sedang belajar berdemokrasi? siapa tahu masa belajar kita bisa dipersingkat dan advance ke tahapan yang lebih baik.


Salah satu perdebatan hangat menjelang Penetapan UU Pemilihan Umum pada paroh akhir tahun 2008 adalah: Apakah memilih Sistem Proporsional dengan List Terbuka (Berdasarkan Perolehan Suara Terbanyak) ataukah Proporsional Murni dengan List Tertutup (Berdasarkan Nomor Urut). Dan sebagaimana diketahui, sistem yang dipilih adalah sistem kompromi: Berdasarkan Nomor Urut dengan catata, apabila ada salah satu calon memperoleh 30% dari BPP, maka calon tersebut berhak menjadi Anggota DPR (D).
Perdebatan untuk menghasilkan kompromi ini terjadi dalam banyak episode diskusi, dialog, hearing di banyak tempat. Baik NGO's, Politisi, Akademisi dan pihak lain terkait ikut urun rembuk dengan hasil akhir diputuskan oleh DPR RI. Tempat dialog dan diskusipun berganti ganti, di hotel, restoran dan bahkan cafe. Termasuk proses lobby kompromi di DPR yang melibatkan hampir semua kekuatan utama partai untuk tumplek memikirkan dan melakukan lobby agar "SEMUA BISA TERPUASKAN". Dan memang, jalan yang dipilih memang jalan ini: SEMUA TERPUASKAN. Bahkan dalam banyak hal krusial, voting dihindari, meski sesekali juga dipakai.
Keanehan kembali mencuat kepermukaan, ketika lobby-lobby tingkat tinggi antara Parpol menyepakati UU Pemilu, dalam praktek menuju PEMILU 2009, sejumlah pola menyiasati UU tersebut dilakukan. Salah satunya adalah penetapan Calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Dan karena banyaknya Partai yang memilih pilihan ini, menyusul PAN, PDS dan PBR, maka perdebatan yang terjadi pada saat terakhir seputar pilihan itu mencuat lagi kepermukaan.Adalah Kelompok Perempuan (dan Pemuda) yang kemudian menjadi repot karena penyiasatan parpol ini. Secara teori, perempuan di Negara Berkembang semisal Indonesia, membutuhkan affirmative action guna meningkatkan kuantitas perwakilan mereka. Dan, pilihan Prporsional Tertutup sebagaimana praktek Negara-negara Skandinavia telah memberi bukti empiris. Jika Perempuan melakukan start yang sama dengan laki-laki, maka hasil akhir akan mudah untuk ditebak karena perempuan mengalami stigmatisasi secara moral, politik dan kultural.
Pandangan bahwa Politik adalah dunia maskulin masih merupakan pandangan mayoritas penduduk Indonesia. Bahkan agama-agamapun, masih banyak yang mengesahkan cara pandang semacam ini. Bukan hanya di Islam, tetapi bahkan ekspresi sejenis masih sering ditemui di kalangan agama lain, termasuk Katolik dan Kristen meski dalam kadar berbeda. Dengan persepsi serta budaya semacam ini, maka perempuan menghadapi persoalan berlapis dibandingkan dengan laki-laki. Jika begini, mudah ditebak, rcae atau kompetisi pasti akan dimenangkan oleh laki-laki. Artinya, perjuangan kelompok perempuan untuk meningkatkan kuantitas keterwakilan mereka kembali terkendala. Padahal, sebenarnya pilihan yang diputuskan oleh UU Pemilu 2008, sudah banyak yang mengakomodasi perjuangan kelompok perempuan.
Penelitian-penelitian, termasuk Pippa Norris misalnya, memang membuktikan bahwa: Perempuan perlu affirmative action untuk meningkatkan jumlah keterwakilan mereka. Dan kedua, pilihan Proporsional Tertutup adalah jalan terbaik bagi proses akomodasi tersebut. Dan melihat kecenderungan parpol untuk menyelamatkan eksistensi agar mampu melewati angka psikologi dan sekaligus menentukan 2,5% PT, maka issue affirmative action dan keterwakilan perempuan (dan anak muda) rasanya dipilih untuk diabaikan. Perjuangan kaum perempuan nampaknya mesti dilakukan kembali, meski akan meminta waktu lebih lama dan lebih panjang lagi.
Tetapi, ada kelompok yang juga memandang bahwa pilihan parpol menyiasati UU Pemilu dengan penetapan berdasarkan suara terbanyak adalah langkah maju. Tapi, benarkah itu sebuah langkah maju? Pertanyaan benar tidaknya itu sebuah langkah maju menjadi cukup penting agar kita tidak mengais sesuatu yang baik dari tumpukan yang jelas kurang baik. Mengapa? Seandainya motivasi mengedepankan perolehan suara menjadi pilihan karena kesadaran politik agar mendekatkan wakil rakyat dengan konstituen, maka ini merupakan langkah maju. Tetapi, dengan sistem dewasa ini yang tidak punya konetktifitas langsung antara wakil rakyat dengan konstituennya, maka masalah ini jelas diragukan.Sudah jelas terekspressikan: Bahwa masalah PT adalah landasan mengapa parpol akhirnya menyiasati UU Pemilihan Umum. Bukan karena tumbuhnya kesadaran politik baru bahwa memang dibutuhkan sistem dan mekanisme baru untuk kemudian diusulkan dalam amandemen baik UU Parpol maupun UU Pemilu yang akan datang. Jika melihat begitu dominannya parpol di parlemen lewat fraksi, dan hampir semua keputusan penting mengenai mekanisme politik dilakukan dengan cara trade off, lobby dan kompromi, maka mudah ditebak,Pemilu 2014 tidak akan bergeser jauh dari ekspressi kepentingan politik elite saat ini dan saat itu nanti.
Menjamurnya artis dan aktor untuk menjadi calon legislatif adalah indikasinya. Hampir tak ada partai yang tidak memanfaatkan figur terkenal di partainya. Apakah karena figur itu handal? Bukan juga. Tetapi karena dibutuhkan perolehan suaranya alias vote getter. Disini, figur terkenal dimanfaatkan dan dipolitisasi untuk kepentingan dan keuntungan partai politik. Dan proses ini, juga memotong proses rekruitmen positif yang sebenarnya sudah dimulai oleh parpol-parpol yang ada. Kerugian sudah bisa dilihat dan bahkan diproyeksikan saat ini akibat penyiasatan ini. Dan jika pilihan seperti ini berlanjut, dalam konteks masyarakat politik Indonesia yang masih belum dewasa, maka bukan tidak mungkin mayoritas anggota DPR adalah figur terkenal yang kurang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Parlemen seperti inikah yang diimpikan parpol dan masyarakat Indonesia? Di tengah rendahnya tingkat kepercayaan rakyat atas kedua isntitusi demokrasi ini: Partai Politik dan Parlemen, seharusnya tindakan-tindakan pembaharuan dan reformis diketengahkan. Sayang, kita masih harus menunggu beberapa tahun kedepan untuk memulai lagi perjuangan yang sama. Karena betapapun, the show mus go on ..... Pemilu 2009, lengkap dengan sisi baik dan positif serta bahkan sisi buruknya, harus menjadi pelajaran untuk lebih maju kelak.
Jakarta, Ag 08
(Dalam Facebook, ditulis dalam 2 tulisan: 22 dan 23 Agustus 2008)