Tuesday, October 2, 2007

MENUNGGU AKHIR DRAMA DEMOKRASI MYANMAR

Oleh: Audy WMR Wuisang, STh, MSi

Pengantar

Gelombang demokratisasi masih terus bergaung. Meskipun Larry Diamond pernah menyebutkan ada semacam gelombang balik demokratisasi (dalam kasus Thailand misalnya), tetapi kasus terakhir Myanmar seperti akan menyanggahnya. Memang, akhir drama demokrasi Myanmar masih belum bisa ditebak. Tetapi, bahwa kepercayaan bahwa demokrasi merupakan bentuk pilihan yang lebih baik, masih tetap bergaung. Dan kali ini, kembali secara deras melanda Myanmar, setelah pada tahun 1988 hembusan itu dihentikan secara kasar oleh junta militer yang berkuasa sejak tahun 1962. Tetapi, akankah angin demokrasi tahun 2007 ini berakhir sama seperti tahun 1988, masih belum bisa dipastikan. Terlebih, karena pilar utama, yakni Bhiksu Budha Myanmar, sudah terlibat. Dan tinggal menunggu satu pilar lainnya, yakni MAHASISWA untuk bergabung melawan Militer Myanmar. Dalam sejarahnya, Myanmar memang mengenal 3 pilar utama ini: Bhiksu, Mahasiswa dan Militer, dimana Bhiksu dan Mahasiswa pernah bersatu melawan militer tahun 1988.

Masih hangat dalam ingatan, betapa militer Myanmar membungkam gerakan demokrasi tahun 1988, dengan membunuh ratusan demonstran, termasuk Bhiksu. Dan dilanjutkan dengan penjara tanpa proses peradilan atas ribuan aktivis pro demokrasi. Bahkan berlanjut hingga ke penahanan rumah atas ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang memenangkan Pemilihan Umum tahun 1990. Fakta tahun 1988 hingga tahun 1990 menunjukkan bahwa legitimasi moral atas junta militer sebetulnya sudah minimal. Tetapi, sayangnya, lawan gerakan demokrasi waktu itu, yakni junta militer masih mendominasi kekuatan represif (polisi dan militer). Dan terlebih, junta waktu itu juga masih sangat solid hingga sangat sulit dijatuhkan hanya dengan demonstrasi massal belaka.

Bila kemudian dua kekuatan itu, Bhiksu Budha dan Mahasiswa Myanmar bangkit kembali melawan militer pada tahun 2007 ini, maka sebetulnya gerakan tersebut benar tinggal menunggu waktu. Beban yang ditanggung oleh masyarakat Myanmar sudah semakin mencekik pasca dinaikkannya harga solar sampai berlipat ganda. Dan beban mencekik itu, pada akhirnya mengundang Bhiksu Budha Myanmar kembali turun kejalan dengan demonstrasi damai, pada tanggal 28 Agustus 2007. Dan secara gradual, perlahan tapi pasti, proses damai Bhiksu Budha ini mengundang simpati masyarakat hingga dalam beberapa hari hingga bulan September meledak menjadi ribuan, bahkan terakhir ratusan ribu peserta demonstrasi. Batas kesabaran sudah terlampaui, tapi akankah akhir drama demokrasi ini berakhir happy ending dalam bentuk sebuah transisi demokrasi bagi Myanmar?

Gelombang Ketiga Demokratisasi

Study Third Wave Democratization atau Gelombang Ketiga Demokratisasi pertama kali menjadi fenomenal pasca terbitnya thesis Samuel Huntingthon tahun 1991 berjudul Third Wave Democratization (Gelombang Ketiga Demokratisasi). Thesisnya sederhana, dalam kurun waktu yang sama, gelombang Negara-negara yang mengarah ke demokratisasi dari pemerintahan otoritarian terjadi. Dan menurutnya, awal Gelombang Ketiga Demokratisasi terjadi sejak tahun 1975 di Portugal, diikuti Spanyol (1976), Yunani (1977) dan Polandia (1979). Bahkan kemudian diikuti runtuhnya tembok Berlin, amburadulnya regime Komunis Uni Sovyet, dan terus berlanjut hingga ke Korea Selatan, Negara Amerika Latin, sejumlah Negara Afrika dan terakhir Indonesia pada tahun 1998. Puluhan Negara dalam kurun waktu sejak tahun 1975, mengalami transisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis.

Dalam konteks study transisional, ada sejumlah paths atau model sebuah Negara mengalami transisi demokrasi. Ada yang regimenya ditumbangkan melalui sebuah demonstrasi missal semisal Phillipina, ada yang melalui negosiasi antar faksi seperti Spanyol, dan ada yang setelah tekanan massa maka dilakukan negosiasi antar elite seperti Indonesia. Study mengenai paths sudah dilakukan oleh Schmiter dan juga Stepan Albert, dan mengidentifikasi 8 model. Meskipun secara garis besar, dalam konteks Gelombang Ketiga Demokratisasi paths di atas yang mendominasi perjalanan Negara-negara menuju demokrasi.

Benar ada beberapa varian dari hasil modes atau model tersebut, namun dalam konteks pergantian regime ada 3 hal yang biasanya berulang: Pertama yang disebut transformasi (Reforma pactada menurut Juan Linz atau Transaction menurut Mainwairing), ketika demokrasi dipelopori oleh regime yang berkuasa. Hal ini terjadi dalam kasus Uni Sovyet. Kedua adalah replacement (rupture oleh Juan Linz atau Collapse menurut Mainwairing), ketika regime otoriter tumbang dan diganti oleh kelompok oposisi seperti di Portugal, Philipina, Rumania. Ketiga adalah transplacement (Extication menurut Mainwairing) ketika terjadi kerjasama antara kelompok oposisi dan regime menuju demokrasi seperti kejadian di Polandia, Indonesia dan Chekoslowakia. Dan dalam semua kasus tersebut, maka kekuatan kelompok oposisi atau Gerakan Pro Demokrasi sangatlah kuatnya sehingga memaksakan proses demokratisasi untuk terjadi.

Myanmar – Bagaimana Akhirnya?

Dalam semua transisi demokrasi, terutama sejak tahun 1975, sangat jelas bahwa prose situ boleh berjalan salah satunya akibat keretakan internal regimen otoriter. Keretakan dalam regime itulah yang memberi peluar bergabungnya kelompok garis lunak di dalam regime otoriter dengan gerakan pro demokrasi. Kualitas dan kekuatan garis lunak dalam regime itu sendiri berbeda-beda. Indonesia misalnya, kekuatan kelompok ini relative kecil, tetapi cukup mampu menghindarkan pertempuran dan pertumpahan darah massal. Militer Indonesia yang sudah terbagi dalam beberapa faksi akibat pertarungan panjang internal regime orde baru dalam proses suksesi membuat demo missal menjadi mungkin. Demikian juga adanya sempalan militer Philipina yang memudahkan gerakan pro demokrasi mengkonsolidasi menjadi kekuatan missal dan sangat menentukan.

Salah satu defisit yang nyata dari demokrasi dan gerakan demokrasi Myanmar adalah soliditas militer dan polisi Myanmar yang berkuasa cukup lama. Meskipun demikian, junta militer Myanmar akan berhadapan dengan kekuatan massal rakyat Myanmar. Apabila gerakan pro demokrasi yang dipelopori Bhiksu Budhis Myanmar berlangsung terus, bisa dipastikan akan menimbulkan efek luar biasa dalam bentuk dukungan masyarakat yang menderita di bawah junta militer. Hal ini, bukannya tidak dimengerti oleh junta militer Myanmar yang tentunya belajar banyak dari Philipina da Indonesia. Memberi angina gerakan itu, akan menuai efek snow ball atau efek bola salju, dimana massa demonstran akan membludak dan meledak jumlahnya dari hari ke hari.

Peristiwa dimana militer dan polisi Myanmar mulai berlaku keras pada tanggal 26 September 2007, adalah tanda bahwa junta militer akan kembali siap melakukan tindakan kejam seperti tahun 1988. Hanya, persoalannya akan berbeda dengan peristiwa tahun 1988. Ancaman baik terselubung maupun terbuka dari sejumlah Negara, dan bahkan Cina yang berlaku lunak, akan sangat menentukan apakah jalan represif akan tetap digunakan atau tidak. Disatu sisi, China selalu memback up junta militer Myanmar, tetapi denga redemokratisasi dari dalam yang diupayakan PKC, akan berdampak buruk bagi citra China yang juga membutuhkan pencitraan baru bagi politik Luar Negerinya. Sementara baik USA, Jepang, Uni Eropa, Kanada, sangat keras menekan junta militer untuk tidak menggunakan jalan represif. Padahal, jika jalan represif tidak digunakan, maka hampir bisa dipastikan, gerakan itu akan smakin membesar dar hari ke hari.

Dalam pilihan sulit seperti ini, maka Myanmar boleh dikatakan berada di ambang 2 pintu yang sangat mungkin dialami: Pertama pintu pertumpahan darah massal dimana junta militer memaksakan kekerasan dan menuai kemarahan rakyat secara besar-besaran dan dengan resiko ambruknya perekonomian; Kedua, proses memasuki transisi demokrasi dengan transaksi politik antara kelompok demonstran atau pro demokrasi dengan junta militer. Kedua jalan itu sangatlah mungkin dialami Myanmar dewasa ini, terutama dengan memperhatikan konsentrasi massa demonstran dan gelagat yang diambil oleh junta militer.

Momentum tahun 2007 ini, sungguh harus benar-benar diperhatikan oleh junta militer Myanmar. Setidaknya, gelombang ketiga demokratisasi, sejak tahun 1975, selalu menciptakan kejadian monumental. Bisa dicatat misalnya, sejak tahun 1975-1976, Portugal dan Spanyol mengalami dmeokratisasi melalui rangkaian panjang demonstrasi massal, tahun 1986 people power di Philipina menumbangkan regime Marcos, tahun 1997-1998 rangkaian demonstrasi massal atau bahkan people power di Indonesia menendang Soeharto dari kursi kekuasaan. Dan 10 tahun setelah Indonesia apakah Myanmar akan mengalami demokratisasi sebagaimana yang dialami oleh Philipina dan Indonesia? Nampaknya hal tersebut sangat memungkinkan. Pengalaman setiap 10 tahun sejak tahun 1975, awal gelombang ketiga demokratisasi, selalu ditandai dengan sebuah transisi demokrasi yang fenomenal. Mudah-mudahan tahun 2007 ini, Myanmar mengalaminya.

Karena itu, menjaid menarik menunggu apakah dan bagaimanakah gerangan akhir dari angin demokrasi yang berhembus kencang di Myanmar. Menarik mengetahui apakah dan bagaimanakah akhir dari peranan kelompok civil society, terutama ketika para Bhiksu turun tangan memainkan peran civil society mereka. Dan tentu juga menunggu akhir dari keterlibatan mahasiswa, apakah akan turun dan ikut membantu para Bhiksu di jalanan? Dan akan bagaimanakah sikap seorang ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi bersikap dalam masa yang teramat kritis ini. Betapapun, sejarah mencatat, dalam situasi kritis akan tampil seorang pahlawan, dan selalu demikian. Betapa terharu melihat ratusan ribu massa menuntut kebebasan, dan melihat puluhan ribu Bhiksu, agamawan menyuarakan hati nurani rakyat. Kebenaran betapapun akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Sejarah mencatatnya dan akan membuktikannya bagi rakyat Myanmar …….

Catatan:
Penulis adalah pengamat masalah sosial, politik dan kemasyarakatan

CERITA (NEO) LIBERALISME VS SUPER WIN

(Renungan dari Perkemahan Kerja Pemuda Gereja di Tompaso Baru)

Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi

Pengantar

Bukan ….. tulisan ini bukanlah sebuah kajian akademis ataupun literer mengenai Liberalisme dan Neoliberalisme. Meskipun, pengalaman penulis yang diminta “menstimulir” (merangsang) diskusi mengenai topik ini menghasilkan ironi. Betapa tidak, “Kekristenan” konon diperhitungkan di Negri ini karena kualitas dan kemampuan intelektualnya. Tetapi, di Perkemahan para kaum muda ini, respons dan pemahaman soal topik ini hanya sanggup diikuti 1-2 orang saja. Itupun, rata-rata peserta dari luar Sulawesi Utara. Padahalnya lagi, topik ini merupakan santapan keseharian para aktifis yang sering dituduh “kiri” atau “kurang nasionalis” karena lantang bersuara menentang agenda pemiskinan Negara berkembang termasuk Indonesia lewat perangkap WTO dan IMF. Dan, pergaulan penulis di Jakarta dan juga Sulawesi Utara menunjukkan para aktifis muda Islam, sungguh sangat akrab dan tidak gamang bercakap soal issue ini. Jadi? ….. ada di relung dan lorong mana sebenarnya Pemuda Gereja itu? Atau ada dimana gerangan pokok kajian dan keprihatinan (concern) Pemuda Gereja (GMIM, KGPM atau apa saja). Atau lagi, dimanakah letak keunggulan kualitas itu kini?

Tapi, alih-alih mendalami konteks pergelutan akademis soal Liberalisme dan Neo Liberalisme, tulisan ini sedikit menyimpang meski tetap dalam cerita Liberalisme dan Neoliberalisme. Karena mungkin, wajah gamang itu, bukan cuma ditunjukkan oleh wajah bingung dan polos Pemuda Gereja. Jangan-jangan, juga justru lembaga akademis. Bukan karena ketidak atau kekurangtahuan, tetapi karena ketakberdayaan, dan kemudian menjadi putus asa. Atau mungkin gabungan semuanya: tidak tahu, kurang tahu dan tidak berdaya.

Begitulah, akhirnya tulisan ini merupakan sebuah kisah atau sebuah permenungan atas beberapa penggalan yang coba dipadukan dalam satu bingkai. Bingkainya memang masih tetap frase yang sulit itu: Liberalisme dan Neo Liberalisme, tetapi ingin melihat kompleksitas persoalan didalamnya. Titik berangkatnya adalah dinamika percakapan di Perkemahan Pemuda, beberapa kisah temuan di Tumani –Tompaso Baru dan rumitnya persoalan sekitar tema itu.

Tema Itu …

Liberalisme dan Neo Liberalisme atau dalam judul coba disederhanakan di atas menjadi (neo) Liberalisme, sebenarnya merujuk ke paham besar yang secara revolusioner mengubah dunia dewasa ini. Bukan hanya mempengaruhi aktifitas perekonomian, tetapi juga bahkan lapangan social budaya dan juga Politik. Isme-isme seperti Kapitalisme, Demokrasi, Sekularisme, sulit dilepaskan dari proses pembentukan liberalisme. Dan bahkan semuanya sokong menyokong dan saling menyuburkan pertumbuhan masing-masing. Liberalisme yang mendewakan hak milik, minimalnya campur tangan Negara dalam perekonomian selain menjadi “penjaga malam” alias mengawasi prosesnya lewat penetapan aturan, dan seterusnya; Serta Neo Liberalisme yang menemukan momentumnya kembali lewat Reaganomics dan Tacherism dan peran besar WTO, IMF dan lembaga multilateral lainnya; serta tentu implikasinya yang semakin memperkerdil Negara berkembang lewat lembaga multilateral tersebut.

Bagi kaum muda yang sebagian besarnya sedang memburu “fun” dan “rekreasi” di sebuah Camp perkemahan, tentu rumit berpikir berat. Dan karena itu, ada semacam excuse atau alasan, mengapa ketertarikan peserta perkemahan bukan di tema berat macam itu. Tetapi, pertanyaan yang seterusnya menyeruak adalah: Benarkah ketaktertarikan itu hanya di kompleks perkemahan belaka? Ataukah, jangan-jangan ini menjadi semacam indikasi bahwa tema-tema mendasar semacam ini memang bukan kegemaran pemuda Gereja? Bila disempitkan lagi, jangan-jangan tradisi intelektualitas Pemuda Gereja (termasuk GMIM, KGPM, dll di SULUT) sepi dari hangar bingar yang demikian. Dan jika demikian, bagaimana mungkin menjawab ide kreatif kawan-awan dari Palangkaraya dan Ambon yang berpikiran begini:

“Liberalisme dan Neoliberalisme tidak mungkin lagi dihadapi vis a vis (berhadap hadapan) sebagai lawan. Karena dia telah merasuk demikian jauh dalam detail kehidupan kemanusiaan. Handphone, Sinetron, fashion, gaya hidup, dan hampir semua segmen kehidupan, secara detail disusupi oleh tangan-tangan dan produk liberalisme-neo liberalisme. Yang mungkin dilakukan adalah, bagaimana reformulasi pelayanan Pemuda di tengah terpaan yang begitu total dari kedua isme besar dunia itu” demikian komentar kawan dari Ambon. Sementara kawan dari Palangkaraya menyebut begini: “Melawan isme itu adalah berat, yang paling mungkin adalah mengedepankan basis kita, yakni kearifan lokal. Bagaimana akar akar kultural sebagai benteng pertahanan terakhir menyediakan basis identifikasi personal dan kultural untuk tidak terbawa hanyut pusaran global. Dan Pemuda Gereja dan pelayanannya, sangat menentukan memainkan peannya disini”

Walahualam …. Kedua pandangan kawan pemuda dari Ambon dan Palangkaraya ini, memang merupakan komentar yang tepat. Justru pada kedua titik itulah diskusi di Perkemahan Pemuda itu mau dihantarkan. Untuk merangsang kembali kapasitas intelektualitas Pemuda Gereja guna mengejar ketertinggalannya. Agenda Pemuda Gereja, seharusnya tidak berhenti pada penyaluran minat dan bakat semata, tetapi juga segmen peningkatan kapasitas intelektualitas. Itupun, bila disadari, bahwa pertarungan kedepan adalah pertarungan kualitas, bukan pertarungan kuantitas belaka. Tetapi, ada dan cukupkah ruangan tersebut dipikirkan dan diimplementasikan? Memang benar, bahwa tidak semua akan menyukainya. Tetapi, bagaimana mungkinkah kita eksists di Negara yang sangat plural semisal Indonesia tanpa kapasitas dan kemampuan intelektual yang memadai? Kecuali jika memang kita merasa cukup menjadi penumpang di Negara ini. Atau, kita selalu berteriak sebagai pemilik Negara ini, tetapi kalah bersaing dengan kelompok lain. Maka fatalisme dan ratapan adalah bagian kita. Rasanya, Pemuda Gereja kita, masih belum sampai pada taraf putus asa semacam itu. Time is a chance to change ….. waktu adalah kesempatan untuk berubah, dan masih ada waktu untuk perubahan itu,

Tentang Super Win

Cerita “Super Win” terdengar di luar kompleks perkemahan, tetapi tetap menyentak. Konon “beras varietas unggul ini” yang diberi nama “super Win” ditemukan di Desa Tumani, Tompaso Baru. Tepat di lokasi perkemahan, dan didengar penulis saat meninggalkan kompleks perkemahan. Konon beras itu termasuk kualitas beras terbaik di dunia, bahkan mengalahkan jenis beras yang disajikan di restoran fast food termasuk Hoka-Hoka Bento, dan jenis lainnya semisal McDonald, KFC, dll. Padahal, bagi penulis, beras dan nasi yang disajikan di resto fast food tersebut luar biasa enaknya. Jika masih kalah dengan kualitas beras super win itu, berarti kualitas super win memang benar benar “super”. Dan konon, beras itu sudah mulai masuk kemasan untuk dipasarkan di mall-mall di Manado.

Tetapi, yang kemudian berseliweran di kepala penulis adalah: Sampai kapan beras itu diklaim berasal dari Tumani – Tompaso Baru? Jangankan beras super win yang baru beberapa tahun terakhir muncul, bahkan alat musik Kolintang yang sudah puluhan atau mungkin ratusan tahun usianya, kini berlomba siapa pemegang patennya, antara Indonesia (Sulawesi Utara) dan Malaysia. Jika demikian, apakah salah jika kemudian penulis bertanya seperti pertanyaan di atas? Sampai kapan masyarakat Tuman bangga dengan temuan beras terbaik dari desa mereka?

Bukan tidak mungkin varietas atau jenis padi unggul tersebut sudah dan sedang di teliti dan diselidiki di banyak laboratorium hebat di dunia ini. Entah bila hal yang sama dan seharusnya lebih serius, di lakukan oleh sejumlah Fakultas Pertanian di Indonesia, ataukah mungkin di UNSRAT? Entahlah. Tetapi, penulis berharap dan berdoa, semoga lembaga akademis itu melakukan tugasnya, tugas akademisnya terkait dengan Padi tersebut. Sebab jika benar dia berkualitas unggul, maka bukan hanya soal “nama” dan “gengsi”, tetapi soal komoditas yang bisa sangat membantu bila difasilitasi dan diadvokasi pada level petani. Sayangnya, konon, padi jenis ini sering dijadikan barang pemalsuan, mencampurkannya dengan jenis beras berkualitas lainnya dan dinamai “beras super win”.

Betapapun, bagi penulis, kisah ini sungguh ironis. Mirip dengan banyaknya bibit unggul (pelajar) yang memenangkan olimpiade matematika, fisika dan kimia di tingkat Internasional, tetapi susah bertumbuh subur di Indonesia. Bukan …. bukan karena alam Indonesia yang kurang subur, tetapi karena mental dan budaya akademis yang belum membuat kondisi kondusif dan apresiasi memadai bagi kerja akademis. Penulis tidak akan heran bila beras super win suatu saat diklaim Negara lain, sama tidak herannya dengan kenyataan betapa banyak Doktor asal Indonesia menyeberang ke Negara lain, dan sukses. Persoalan dan penyakitnya sama sejak dulu, sayangnya, upaya komprehensif untuk memperbaiki atau merawat luka itu sangat lamban dikerjakan.

Pada saat dunia semakin “menyatu”, batas teritorial semakin kabur, dan dunia semakin menuju sebuah “perkampungan global”; Pada saat persyaratan kualitas SDM mengedepan, meritokrasi semakin dituntut – Indonesia masih tebebani oleh persoalan-persoalan tradisional. Ancaman liberalisme dan neoliberalisme sudah didepan hidung, tapi kesiapan dan persiapan masih carut marut. Lihatlah, kondisi akademis kita di SULUT ini, kondisi UKIT misalnya, kondisi dan kualitas Perguruan Tinggi kita yang tidak dalam daftar Perguruan Tinggi Elite bahkan di Asia saja. Jadi, jika kemudian suatu saat kita kehilangan hak dan klaim atas sebuah varietas padi, itu masih belum dianggap kecelakaan bagi kita. Mengapa? Karena Perguruan Tinggi kita masih tetap dan terus menunggu dana penelitian. Dan ujungnya akan dikatakan, karena Pemerintah belum merealisasikan dana pendidikan 20% APBN. Lihatlah, betapa rumit dan betapa repot menelisik satu persoalan kecil yang bisa dibikin besar itu.

Akhir Permenungan Itu ….

Toch pada akhirnya penulis harus meninggalkan kompleks perkemahan itu. Tetap, cerita dan ironi yang tersaji dalam percakapan dan saat akan meninggalkan desa Tumani masih terus membayang. Benar ….. betapa banyak persoalan yang harus diselesaikan, dan tidak akan pernah terselesaikan hanya dengan “membayangkan”. Membayangkan pemerintah mengerjakan tugasnya, bukan hanya soal 20% APBN dana pendidikan, tetapi peran fasilitasi atas potensi ekonomi rakyatnya, dst; Membayangkan peran penelitian berbasis kemampuan rakyat sekitar oleh Fakultas Petanian (UNSRAT, dan Perguruan Tinggi SULUT lainnya) dan mengolah produk pertanian agar kualitasna meningkat …… dst; Membayangkan petani yang sanggup menanam padi jenis unggul tersebut dan memetik keuntungan langsung darinya …..; Dan membayangkan wajah para Pemuda Gereja yang berhadapan langsung dengan dunia yang semakin tanpa batas …..

Memang, semua bukan urusan penulis. Tetapi, tetap terasa, betapa memikirkan semua itu akan sangat penting artinya bagi memetakan dimana komunitas bernama Minahasa dan SULUT ini berada pada era AFTA dan keterbukaan global nantinya. Dan itu, bukan Cuma urusan penulis, itu uga urusan pemerintah daerah, bahkan urusan Gereja. Semoga tatap mata polos dan belum tahu itu, suatu saat berganti optimisme dan percaya diri. Dan mereka tidak tergerus zamannya untuk meringkuk penuh ketakberdayaan, tetapi menjadi penentu jamannya. Dan semoga padi unggul itu, tidak digerus ganasnya liberalisme/neoliberalisme untuk diklaim Negara lain sebagai miliknya, dan meninggalkan penemunya dibelakang karena tidak disokong lembaga peneliti dan lembaga akademis yang seharusnya menolongnya. Semoga ….. semoga!

Catatan:

Penulis adalah pemerhati masalah social-kemasyarakatan

Wednesday, September 12, 2007

DAN …. PERTARUNGANPUN DIMULAI

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Pengantar

Benar …. Pertarungan antar Partai Politik, sebuah pertarungan terbuka, secara resmi kini dimulai. Tepat tanggal 7 September 2007, meski beberapa Fraksi DPR RI meminta penundaan 1-2 hari memasukkan Daftar Isian Masalah (DIM), tetapi sebagian besar sudah selesai. Dan artinya, jagad politik Indonesia akan kembali hangar bingar oleh adu argumentasi, analisis, maupun adu argumentasi. Entah berdasarkan filosofi teoretis tertentu, ataupun berdasarkan pengalaman Negara lain, ataupun hanya semacam kepentingan kelompok atau partai tertentu. Semuanya sah untuk ditampilkan ke publik, sejauh pers merasa penting untuk menggarisbawahi pandangan ataupun argumentasi yang dimaksud.

Sebagaimana diketahui khalayak, revisi atas paket Undang-Undang Politik (UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, UU Pemilihan Presiden/Wkl Presiden dan UU SUSDUK) diajukan melalui usul inisiatif pemerintah. Proses dan tahapan pendalaman naskah akademis dan mendengarkan pandangan ahli sudah berlalu. Dan proses itupun berlangsung cukup alot dan ramai, karena sudah sangat jelas bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antar beberapa kelompok yang mencuat kepermukaan. Ini berarti, perbedaan pendapat dan perbedaan kepentingan secara otomatis berada dibalik adu argumentasi dan statement. Dan jika demikian, karena memang sejatinya politik memang demikian, maka bisa dipastikan wacana demokratisasi politikakan kembali menghiasi debat politik di tingkat parlemen dan masyarakat.

Perbedaan Itu …

Apa sebetulnya yang berbeda? Dan mengapa perbedaan itu demikian penting sehingga sanggup mengaduk emosi banyak kelompok kepentingan dan juga masyarakat?

Draft RUU Revisi yang diajukan pemerintah, secara otomatis membelah Parlemen Indonesia dalam 2 belahan yang berhadapan dan berlawanan. Terutama, karena draft revisi tersebut memang langsung menohok kepentingan kedua kelompok yang berbeda dengan aksentuasi atau penekanan yang juga berbeda. Belahan yang dimaksud, datang dari ide pemerintah yang bermaksud melakukan upaya efektifitas Pemerintahan dalam skema Presidensial. Artinya, memang secara teoretis, skema Sistem Presidensial tidak cocok dengan Sistem Multi Partai dengan fragmentasi (perbedaan) yang tinggi. Sementara di Indonesia, penggunaan Sistem Presidensial dilaksanakan dengan topangan system Multi Partai dengan tingkat fragmentasi (perbedaan yang menyebar dalam banyak bidang) yang snagat tinggi. Banyak memang pengalaman Negara lain menunjukkan kebenaran argumentasi pemerintah, termasuk sejumlah teori politik (Juan Linz, dkk). Ujung dari argumentasi ini adalah, bila pemerintahan diharapkan efektif, maka system berpartai seharusnya Multi Partai Sederhana atau malah system Dwi Partai seperti Amerika Serikat.

Pengalaman Indonesia dengan system multi partai (40an partai di pemilu 1999 dan 24 Partai di Pemilu 2004), menunjukkan inefisiensi pemerintahan. Hal yang membenarkan argumentasi draft Revisi UU Politik Pemerintah. Apalagi, kondisi selama hampir 10 tahun ini, masih ditopang oleh euphoria kebebasan dan demokratisasi yang dimulai tahun 1998. Karena itu, menjadi beralasan apabila kemudian pemerintah mengajukan usulan yang berujung pada “penyederhanaan” Partai Politik. Draft Revisi Pemerintah yang mengusulkan “penambahan daerah pemilihan” dan juga Electoral Treshold (ET) sebesar 5 %, bisa dipastikan hanya akan menghasilkan tidak lebih dari 7 Partai Politik yang mampu eksist di Parlemen.

Mudah ditebak, pada kutub berlawanan sudah bisa dipastikan adalah Partai Politik yang terhitung beroleh hasil “kecil” dalam pemilu 1999 dan 2004. Partai semisal PBR (Partai Bintang Reformasi), PBB (Partai Bulan Bintang), PDS (Partai Damai Sejahtera), dll, akan berhadapan vis a vis dengan usulan pemerintah. Partai yang “berpenghasilan” kecil di Pemilu 2004 ini, memang terancam eksistensinya bila ET di naikkan. Apalagi, dalam draft Revisi UU Pemilu, syarat mengikuti Pemilihan umum 2009, juga menjadi jauh lebih sulit lagi dibandingkan tahun 2004. Karena itu, Partai kecil, rata-rata mengajukan argumentasi bahwa penyederhanaan dan pembatasan seharusnya dilakukan secara terhormat, dan bukan melalui paksaan. Argumentasi ini, menunjuk pada pengalaman di Australia dan ide demokratisasi yang mesti didewasakan sebelum mengajukan ide dan usul seperti pemerintah di atas.

Dua kutub yang kemudian mengemuka di parlemen adalah: Usulan pemerintah didukung oleh Partai GOLKAR dan PDI Perjuangan yang menguasai kurang dari 40% suara Parlemen, sementara penentangnya dimotori oleh PKS, PAN, PPP dan bergabung juga PDS, PBR, PBB. Bahkan dalam sebuah acara di Hotel Mulia, Partai Demokrat dan PKB, juga bergabung membentuk Koalisi 8 Partai untuk menolak usulan penyederhanaan Partai politik. Tetapi, kedua koalisi di tingkat parlemen untuk revisi UU Politik ini, belum menjamin akan berlangsung terus, karena biasanya proses lobby dan trade off, berperan dalam pengambilan keputusan akhir. Terlebih sebuah keputusan yang terkategori rawan tetapi sangat dibutuhkan seperti paket UU Politik ini.

Citra Parpol dan Demokratisasi

Kondisi pembahasan Revisi UU Politik, sebetulnya dilakukan pada waktu yang tepat dari perspektif pemerintah. Mengapa? Karena dalam semua polling dan jajak pendapat, citra Partai Politik sedang dalam titik nadir. Jajak pendapat LSI mensinyalir lembaga politik paling “jelek” adalah Parpol, laporan Transparency Internasional, juga menetapkan Parpol sebagai lembaga terkorup. Dan, Civil Society yang bergembira karena berkuasanya Parpol dalam menentukan calon Kepala Daerah dianulir oleh Mahkamah konstitusi. Ini menunjukkan di banyak lini Parpol mengalami delegitimasi. Bahkan, Megawati Soekarnoputri, dalam pidatonya di Rakernas II PDI P baru-baru ini, juga menggarisbawahi fenomena delegitimasi partai politik ini.

Citra buruk ini, terutama karena proses kaderisasi yang tesendat, pembelajaran politik yang minimal dan money politics di banyak proses PILKADA yang sangat melukai rakyat. Belum lagi, kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, sangat minimal dikritik oleh Partai Politik. Jikapun ada, justru PDI Perjuangan yang melakukannya dalam posisi sebagai oposisi pemerintah. Dan apresiasi atas prestasi itu ditunjukkan dalam lonjakan popularitas Partai itu dalam jajak pendapat LSI awal tahun 2007 ini. Kinerja Partai Politik semacam ini, memang membuat penghargaan publik, dan rasa memiliki masyarakat menjadi minimal. Dan apabila proses tersebut berlangsung terus, maka yang akan tergerus bukan hanya eksistensi parpol, tetapi juga proses dan kualitas demokratisasi. Fakta betapa masyarakat antusias atas keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap calon independent, adalah refleksi muaknya masyarakat terhadap Partai Politik.

Padahal, representasi atau perwakilan politik semacam apalagi yang compatible (bersesuaian) dengan demokrasi jika bukan Partai Politik? Teori dan pengalaman di banyak Negara menunjukkan betapa pentingnya eksistensi Partai politik dalam konteks demokrasi. Partai Politik adalah salah satu pilar membangun demokrasi, terutama karena fungsi agregasi aspirasi masyarakat, dan fungsi rekruitmen serta pendidikan politiknya. Institusi ini, dengan demikian menjadi vital dalam menjembatani proses-proses di tingkat masyarakat dengan di tingkat elite. Sayangnya, selain fungsi sebagai “jalan” dan “pintu masuk” ke kekuasaan (legislative dan eksekutif), serta fungsi mempertahankan eksistensi partai melalui fund raising, fungsi lain belum menonjol. Akibatnya, justru cap dan makna buruk yang menimpa lembaga bernama Partai Politik ini.

Hal buruk lain yang membuat keadaan menjadi lebih parah adalah, kondisi 4 tahun terakhir Indonesia yang menunjukkan wajah parlemen yang justru lebih kuat. Kondisi “strong parlemen” ini, menjadi menyedihkan, karena ketakberdayaan mereka untuk mengerem kebijakan pemerintah yang lebih pro pasar, pro kelas pengusaha dan melukai serta mencederai ekonomi rakyat. Penetapan UU Penanaman Modal, dinaikkannya tarif Tol dan BBM pada masa lalu secara gila-gilaan, termasuk konversi minyak tanah ke gas dewasa ini, justru tidak memperoleh pembelaan memadai dari parlemen. Bahkan kasus Lumpur lapindo yang sarat penyimpangan, pun tidak sanggup menjadikan parlemen tergerak mengangkatnya dan mempertanyakannya secara formal politik kelembagaan. Parlemen ini, ternyata memang dikangkangi oleh keputusan sebuah lembaga yang tidak dalam alat kelengkapan DPR RI bernama Fraksi, tetapi meruakan kepanjangan tangan Partai Politik. Parlemen Indonesia memang tidak immune dari partai politik, setiap keputusan parlemen pasti membayangkan keputusan Parpol. Karena banyak keputusan formal, justru diambil lewat jalur lobby pimpinan fraksi. Sementara pimpinan fraksi ditentukan oleh Partai Politik. Dengan kinerja parlemen yang kurang membela rakyat, maka otomatis, citra yang sama buruknya juga akan menimpa partai politik.

Dan hal lain, meski samar terasa adalah: Usulan pemerintah agar ada penyederhanaan Partai Politik demi efisiensi, sebenarnya menohok telak partai politik. Tersirat ingin menegaskan bahwa, karena telalu banyak parpol, maka pemerintah jadi repot mengurus banyak hal di parlemen. Untungnya lagi, ide pemerintah ini didukung oleh teori compatibilitas system presidensial dengan multi partai sederhana, bukan seperti Indonesia sekarang ini multi partai yang luar biasa terfragmentasi dan kompleks. Kondisi-kondisi ini semakin menegaskan apa yang disebut Megawati sebagai delegitimasi Partai Politik. Dan jika delegitimasi itu berlangsung terus, maka pada gilirannya, demokratisasi juga bakal mengalami stagnasi.

Mengapa? Karena tanpa partai politik, bagaimana mungkin Pemilihan umum berjalan? Bagaimana mungkin terjadi proses regenerasi kepemimpinan, dan bagaimana membentuk parlemen lewat system perwakilan? Partai Politik yang lemah, korup, managemennya lemah, rekruitmen tidak jalan, tidak seharusnya memang di paksa untuk bubar. Tetapi, juga harus diciptakan mekanisme, agar representasi atau perwakilan itu terbangun dalam konteks yang konstruktif. Tetap dibutuhkan aturan dan system yang membuat mekanisme system perwakilan bisa berjalan secara konstruktif, tidak asal jadi dan asal buat dan mengklaim perlakuan yang sama. Tetapi, proses hukuman, juga sebaiknya dilakukan lewat pilihan rakyat terhadap partai tersebut. Dalam hal ini, Electoral Treshold (seharusnya berlaku di parlemen, tetapi di Indonesia berlaku untuk menentukan kepersertaan Pemilu), merupakan mekanisme yang berlaku jamak. Hanya soal angka dan prosentase yang berbeda-beda.

Dengan demikian, maka memang beralasan bila pemerintah mengusulkan penyerderhanaan Partai Politik. Karena terlampau banyak parpol, juga menyulitkan baik secara tehnis, maupun ke pendalaman system politik Indonesia. Tetapi, seharusnya dipikirkan juga, bahwa titik pijak dan titik berangkat parpol berbeda-beda. Partai GOLKAR dan PDI P sudah lama bertarung di pentas politik Indonesia, jauh dibandingkan partai-partai baru lainnya. Karena itu, proses penyederhanaan partai politik, perlu ditempatkan dalam perspektif yang lebih berkeadilan. Yakni meningkatkan ET secara gradual, dengan titik maksimal 3-5%, dan jika mau lebih efektif, sebaiknya diterapkan di parlemen. Karena parpol yang tidak memiliki perwakilan di parlemen, dengan sendirinya akan mengalami kesulitan dalam menata partainya. Argumentasi bahwa dalam alam demokrasi ET tidak demokratis, tidaklah seluruhnya benar. Karena demokrasi membutuhkan aturan dan mekanisme, tanpa aturan maka demokrasi akan menimbulkan anarkhi. Jika dmeokrasi yang dimaksudkan smeua aspirasi individual ditampung, maka apa gunanya mekanisme perwakilan dan aturan yang mengaturnya? Pengaturan parpol melalui ET, juga bermakna demikian. Yakni menata dan mengatur agar mekanisme politik Indonesia bisa berjalan melalui proses perwakilan yang bisa berjalan baik, bukannya sulit berjalan karena terlampau gemuk.

Kompromi atau ?

Inilah yang dinantikan pada akhir tahun 2007 ini. Apakah yang akan terjadi? Atau apakah dan bagaimanakah keputusan soal Revisi UU Politik Indonesia? Sebuah pertanyaan menarik dan tentu menggelitik. Pemerintah sudah tentu menghendaki penyederhanaan Partai politik, dan menunjangnya mereka mengusulkan penambahan Derah pemilihan, Pemilu berdasarkan system proporsional list terbuka dan suara terbanyak yang maju ke parlemen, dan menerapkan ET 5%. Partai pendukungnya dewasa ini adalah Partai GOLKAR dan PDI Perjuangan. Sementara di kelompok seberang adalah Koalisi 8 Partai. Meskipun soliditas kedua kubu, diragukan, karena akan sangat tergantung kepentingan apa dan bagaimana diakomodasi oleh proses pembahasan selanjutnya.

Lepas dari kubu-kubu tersebut, melihat urgensi UU tersebut, maka bisa dipastikan pembahasannya akan alot. Padahal, UU tersebut dibutuhkan selambatnya akhir tahun 2007 untuk memulai persiapan verifikasi partai politik menuju Pemilu 2009. Menilik waktu, maka dipastikan pembahasannya akan berlarut-larut baik di tingkat Panitia Khusu maupun Panitia Kerja DPR RI. Dan jika sudah demikian, apakah yang akan terjadi? Bisa dipastikan, lobby dan kompromi akan ditempuh. Nampaknya, kompromi akan diambil dalam hal: Daftar terbuka dalam system proporsional bisa dipastikan ditolak, dan dikompromikan dengan 20-25% dari BPP. Nampaknya, electoral threshold juga akan panas diperdebatkan, bisa tetap 3% atau bisa juga berubah, entah 4 atau 5% dari total kursi parlemen. Daerah pemilihan, jika diperluas, jelas akan menguntungkan GOLKAR dan PDI P, dan ini terang akan ditolak partai lainnya. Siapa yang akan menarik keuntungan dari siapa, akan menjadi agenda petarungan dalam waktu dekat ini.

Di atasnya, meskipun revisi UU Politik ini nampaknya masih belum akan memuaskan public politik Indonesia, tetapi setidaknya akan ada perubahan. Meksipun mungkin belum cukup signifikan. Harapan terbesar adalah, Partai politik akan melakukan refleksi ulang jati diri dan kinerjanya, sehingga bukan hanya terhindar dari eliminasi, tetapi akan lebih mempertimbangkan kepentingan konstituen dan masyarakat Indonesia. Pembahasan atau revisi UU Politik ini, mau tidak mau membuat para petinggi partai mulai memikirkan ulang frame work serta kinerja mereka. Sebab, jika tidak, eliminasi akan menanti mereka. Pada titik inilah, masyarakat Indonesia menanti. Demokratisasi memang tidaklah mungkin berjalan dalam sehari atau semalam, bahkan dalam setahun atau dua tahun. Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis membutuhkan waktu ratusan tahun untuk mencapai kematangannya. Dan tidaklah mungkin Indonesia mencapainya, kematangan itu, dalam waktu hanya 1,2 atau bahkan 10 tahun. Revisi demi revisi, adalah momentum memikirkan ulang format politik, mekanisme dan mplementasi setiap kebijakan partai politik.

Jikapun belum menerapkan perolehan suara terbanyak di daerah pemilihan (list terbuka proporsional) sebagai caleg yang menjadi anggota legislative, maka kita memang perlu menunggu. Begitu juga soal penyederhanaan partai, nampaknya masih akan terkompromikan. Banyak yang memang masih harus dikompromikan untuk diuji perlahan dalam perjalanan ber Negara. Tetapi, apapun, nampaknya pematangan demokrasi akan terus berlangsung di Indonesia. Karena itu, marilah kita menunggu. Sekarang, gong pertarungan terbuka antar partai sudah berbunyi. Pertarunganpun dimulai.

Catatan:
Penulis adalah pemerhati masalah social-politik

Thursday, August 23, 2007

REFLEKSI MENINGKATNYA KEMISKINAN DI SULUT

Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi

Kemiskinan di Sulawesi Utara mengalami peningkatan. Demikian data terakhir yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ketika melansir update atau perkembangan terakhir seputar situasi kemiskinan Indonesia dalam data dan angka. Dibandingkan dengan angka kemiskinan pada tahun 2006 yang bertengger di kisaran 10,7%, maka angka 11,42 % (atau 250,100 orang total) pada tahun 2007 tentu sangat menyentak. Sekilas, angka ini akan sangat ampuh untuk menuding bahwa program pengentasan kemiskinan di Sulawesi Utara terkesan kurang komprehensif. Meskipun benar, bahwa trend peningkatan angka kemiskinan menjadi trend nasional dan bukan cuma dialami oleh Sulawesi Utara.

Tetapi, model ataupun cara salah menyalahkan tidak pada tempatnya dengan hanya menggunakan satu indikator belaka. Apalagi tanpa pencermatan mendalam terhadap acuan dan pijakan data yang digunakan oleh BPS. Salah-salah, justru tudingan semacam hanya akan menjadi tuduhan tak berdasar dan konsumsi politik segelintir orang yang bermotif tidak jelas. Adalah baik, bahkan lebih bijak mencermati fenomena nasional ini dengan menempatkannya dalam perspektif yang lebih jelas. Dan bahkan merangsang komitmen semua komponen masyarakat untuk terlibat dalam proses pengentasan kemiskinan. Sebab pemerintah sendirian, jelas tidaklah akan mampu untuk menjawab persoalan klasik ini, persoalan yang juga sangat gampang dipolitisasi dalam sejarah peradaban manusia.

Angka yang meningkat dalam hal jumlah orang miskin di Indonesia dan SULUT, betapapun memang merefleksikan ada sesuatu yang kurang beres. Dalam konteks Nasional, sebagai misal: Regime SBY-JK yang mengusung ide “perubahan”, ternyata sudah tega mencederai kepercayaan rakyat dengan kenaikan BBM lebih dari 100% dalam masa awal pemerintahannya. Dan kebijakan yang tidak mencerminkan “pro rakyat” ini terus berlanjut sampai dengan penetapan UU Penanaman Modal yang sangat pro rakyat dan kapitalisme. Dan dalam waktu dekat, tarif tilpon lokal dan tariff jalan Tol, juga akan segera menanjak. Bukannya turun. Service yang coba ditingkatkan dengan menciptakan Indonesia menjadi “sorga” bagi investasi asing, jelas menjadi pilihan keberpihakan kepada pemodal. Dan jelas bukan pilihan bagi penguatan ekonomi kerakyatan. Karena itu, menjadi sangat masuk akal jika menyebutkan bahwa pemerintahan dewasa ini memang kurang menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Artinya, kenaikan angka orang miskin menjadi sesuatu yang wajar dan bahkan predictable alias bisa diprediksi.

Bahkan, World Bank masih lebih kejam dengan merilis jumlah orang miskin di Indonesia yang mencapai angka 100 juta orang. Artinya, nyaris separuh orang Indonesia adalah orang miskin. Menurut World Bank. Tentu, kedua lembaga tersebut, yakni World Bank dan Badan Pusat Statistik menggunakan asumsi yang berbeda serta parameter (alat ukur) dan indikator berbeda dalam penarikan kesimpulan atas data temuannya. Tetapi, pada aras nasional, kecenderungan yang menunjukkan penciptaan lapangan kerja yang tidak sanggup meraup ketersediaan tenaga kerja, serta kualitas dan daya beli masyarakat yang tidak menanjak naik, menjadi alas an bahwa kemiskinan benar terus menanjak. Apalagi, dengan berkaca dari kebijakan regime yang kurang berpihak kepada rakyat.

Dalam konteks Sulawesi Utara, memang beralasan menyebutkan bahwa kenaikan angka kemiskinan tersebut masih belum mengkhawatirkan. Karena selain angka kemiskinan Sulawesi Utara relatif baik dibandingkan Provinsi lain (peringkat III dari rendahnya angka kemiskinan), juga dalam laporan HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan UNDP (Badan PBB untuk Pembangunan), Sulut tidak pernah beranjak dari peringkat 2 sampai 4. Baik parameternya tingkat melek huruf, partisipasi perempuan, good governance maupun indikator lain yang ditetapkan badan dunia tersebut. Selain itu, data BPS yang dikeluarkan, juga menggunakan asumsi baru. Pada tahun 2006, angka Garus Kemiskinan yang digunakan adalah Rp. 146,340 sementara pada tahun 2007 ini angka Garis Kemiskinan ada di titik Rp. 156,550 atau meningkat sekitar 6,98%. Artinya, dengan asumsi Garis Kemiskinan tahun 2006, bukan tidak mungkin kemiskian di SULUT justru turun, tetapi karena menggunakan asumsi angka baru, maka hasilnya di tahun 2007, justru angka kemiskinan SULUT mengalami peningkatan.

Dari asumsi yang digunakan BPS di atas, jelas bisa dibedakan mengapa angkanya berbeda dengan World Bank. Karena dengan meningkatkan saja angka GK (Garis Kemiskinan), misalnya pada angka Rp. 160.000 per keluarga, sebagai contoh, maka angka kemiskinan Indonesia bisa melonjak drastis. Karena itu, perolehan angka World Bank dan BPS sangat bisa dipahami. Tetapi, di pihak lain, dalam konteks Sulawesi Utara, angka tersebut merefleksikan tetap ada “sesuatu” yang dikerjakan. Meskipun masih belum sanggup berhasil secara signifikan. Seandainya dengan menggunakan asumsi GK baru angka kemiskinan SULUT tetap tidak berubah, maka artinya pekerjaan pengentasan kemiskinan menunjukkan indikasi keberhasilan yang sangat bermakna. Sehingga benar, bahwa naikya angka kemiskinan di SULUT masih belum mengkhawatirkan.

Tetapi, masih belum mengkhawatirkan tidaklah berarti tiada red alert (atau tanda bahaya). Dalam arti, pekerjaan penanggulangan kemiskinan di SULUT masih tetap membutuhkan perhatian serius dari seluruh stake holder terkait. Angka yang dihasilkan BPS dengan menempatkan SULUT sebagai peringkat III dalam segi rendahnya angka kemisknan, tidaklah berarti kemiskinan bukan lagi masalah di SULUT. Angka 11% atau 250.000 orang miskin, tetap menjadi beban dan pekerjaan rumah yang harus ditangani. Bukan cuma dengan pilihan pembangunan berorientasi rakyat, tetapi juga dengan program pengentasan kemskinan yang komprehensif. Penyebutan pilihan pendekatan dan program yang penad atau tepat disini untuk mengingatkan semua, bahwa pilihan membangun bagi rakyat bias hanya retorika. Hampir semua pemimpin di Indonesia dewasa ini berkampanye bagi kesejahteraan rakyat, tetapi saat berkasa kurang tahu atau kurang mau menggenapi janji kampanye tersebut.

Refleksi kasus Indonesia, sebetulnya sudah dianalisis mendalam di Negara-negara Amerika Latin. Betapa semua Presiden dalam masa transisi demokrasi di regional itu, berkampanye dengan tema-tema sosialis. Tema-tema kerakyatan, tetapi ketika berkuasa, janji-janj kampanye dengan sangat “telanjang” diingkari. Mengapa? Karena realitas politik yang dihadapi membutuhkan cost dan dana segar yang sulit dikapitalisasi dengan gaya sosialis. Dan akibatnya, pilihan berhutang menjadi jalan keluar tunggal yang terpikirkan, sebab taruhannya adalah kelanjutan kekuasaannya. Negara-negara semisal Cili, Peru, Brazil, Uruguay dan Argentina pernah merefleksikan politisasi kemiskinan dalam bentuk janji sosialis bagi rakyat. Tetapi praktek berkuasa terpaksa harus meminggirkan ide kampanye agar kekuasaan boleh terus langgeng.

Jadi, ketika kemudian pengalaman serupa dialami dan ditemukan di Indonesia, terlebih dalam masa-masa awal pelaksanaan PILKADA, maka hal tersebut memang tak terelakkan. Selain pada aras nasional kecenderungan berakrab ria dengan kapitalisme global, aturan pertanggungjawaban terhadap konstituen, hubungan legislative dan executive, masih belum tertata baik. Ketiadaan aturan yang memadai serta kondisi awal yang masih mencari bentuk terbaik, membuat banyak kreatifitas tergantung terhadap penguasa. Dan pemerintahan terpilih, pasti akan memilih cara yang paling aman untuk sebisa mungkin melanggengkan kekuasannya. Pada titik ini, tidak ada jaminan sedikitpun, janji kampanye yang sangat pro rakyat bias direalisasikan. Dalam banyak kasus, baik di tingkat nasional maupun daerah, kampanye menjadi arena menjanjikan sesuatu yang kemungkinan besarnya akan teringkari.

Sulawesi Utara yang menggebrak dengan crash program jagung, menunjukkan minat dan keberpihakan terhadap produk yang dekat dengan petani. Pada titik ini, komitmen untuk memberdayakan petani sangat patut dihargai, ketimbang menggenjot investor dengan mekanisme birokrasi yang masih belum tertata baik. Serta juga, secara nasional iklim investasi masih belum sanggup menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara tujuan investasi yang “aman”. Tidak ada jalan lain sebetulnya, sebagaimana telah ditunjukkan oleh kebertahanan sektor informal dalam masa krisis. Membangun sektor ekonomi yang tidak berbasis kekuatan riil ekonomi masyarakat banyak, sangat rentan diterjang spekulasi perekonomian global. Pada masa krisis, pertanian, kelautan dan perkebunan, adalah sektor yang tetap stabil dibandingkan sektor lain yang ambruk diterjang krisis ekonomi.

Sayangnya, sektor tersebut masih tetap belum menggoda penguasa untuk memberdayakannya dengan memilih membiarkan tryliunan rupiah menganggur di SBI. Entah benar negeri ini enggan belajar dari masa lalunya. Yang jelas, sejalan dengan ditetapkannya UU Penanaman Modal yang sangat kental berbau neo liberalis, Indonesia memilih memanjakan para investor. Nampaknya, pilihan mengembangkan sektor kelautan, pariwisata, agro industri, masih tetap menjadi alternative. Revisi UU UKM, Pariwisata yang masih dalam bentuk kajian akademis menuju ke draft RUU Pariwisata, belum dimilikinya UU Kemaritiman, dan seterusnya menggambarkan didahuluannya dan diprioritaskannya pilihan menyandarkan perekonomian Indonesia dalam fondasi perekonomian global.

Apakah makna dan artinya bagi Sulawesi Utara? Benar, bahwa angka kemiskinan yang meningkat memang tidaklah sangat mengkhawatirkan. Yang mengkhawatirkan sebenarnya adalah ketika pilihan strategis dalam membangun, termasuk dalam mengentaskan kemiskikan, hanya bagus dalam janji dan konsep, tetapi memble di tingkat implementasi. Keberpihakan kepada penguatan ekonomi yang menjadi sari pati ekonomi masyarakat Sulawesi Utara seharusnya menjadi main strategi yang terimplementasikan dalam kebijakan dan program nyata. Kinerja Pemerintah Provinsi yang berusaha menekan angka kemiskinan dengan bekerja dan berinteraksi langsung dengan masyarakat dari desa ke desa adalah pilihan yang tepat. Tetapi, paham bahwa kemiskinan dikarenakan kebodohan, keterbelakangan, tetap tidak memadai jika kendala structural dalam pengembangan perekonomian rakyat tidak ditebas.

Bukannya sedikit petani yang memang tidak sanggup memberdayakan dirinya karena akibat atau kendala struktural. Contoh yang paling gamblang misalnya tercermin dari produk cengkeh dan cap tikus, yang sebetulnya secara tradisional menjadi salah satu kekuatan ekonomi rakyat di Sulawesi Utara. Cengkeh harus berhadapan dengan koalisi kekuatan multinasional untuk menekan harga cengkeh agar keuntungan berlipat di tangan pemodal. Dalam kasus ini petani yang memanfaatkan tenaga fisiknya 2-3 kali dibanding pemodal, malah merugi, karena keuntungannya dimakan para pemodal. Celakanya, Negara yang seharusnya melindungi petani dan memberdayakannya, justru lebih suka berkongsi dengan pemodal. Apalagi, jika dalam Negara dimana pemodal dan penguasa nyaris sulit untuk dibedakan. Ironisnya, Indonesia sedang mengalaminya dewasa ini. Dan rasionalisasinya adalah: “ach, kita kan sedang dalam masa transisi”.

Cap Tikus, sebagaimana Cengkeh, juga mengalami perlakuan yang kurang fair. Tidak adil. Produk yang menyekolahkan banyak anak desa, kini dituding “haram” karena menyebabkan banyak penyakit social. Padahal, penyakit sosial itu, muncul bukan terutama karena Cap Tikus, tetapi karena lapangan pekerjaan dan frustasi sosial berkepanjangan. Jika kemudian Cap Tikus diburu sebagai barang haram, padahal dia lahir dari haribaan ekonomi rakyat tradisional SULUT, sungguh sulit mengerti, bagaimana mengentaskan kemiskinan di tingkat petani jika demikian? Masalahnya bukan soal petani yang malas bekerja, tetapi regulasi dan fasilitasi pemerintah sungguh memukul para petani. Masalahnya, bukan kemalasan, tetapi juga struktural. Artinya, kemiskinan, datang dan asalnya bukan sekedar kemalasan dan keterbelakangan, tetapi juga regulasi dan aturan yang harus setidaknya memberi ruang affirmative action (pembelaan lebih) kepada petani.

Tanpa kombinasi ini, maka pekerjaan pengentasan kemiskinan akan mengalami stagnasi. Akan mengalami kemandegan. Boleh saja Gubernur menyusuri semua desa, semua kantong kemiskinan, semua sentra orang miskin SULUT, tetapi bila terapinya keliru, maka bukan kemiskinan yang terentaskan. Karena masalahnya, bukan cuma bersarang di komunitas yang dikategorikan miskin itu, tetapi juga sebagian bersarang di tingkat aturan dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Artinya, di tingkat pemerintah, bukan hanya good will atau kemauan baik yang dibutuhkan, tetapi juga political will alias kemauan politik. Dan jika demikian, maka rembesannya bukan hanya ke tingkat eksekutif (Gubernur dan jajarannya) tetapi juga ke tingkat legislatif (DPRD) dan bahkan stake holder lai yang terkait, civil society, lembaga keagamaan, dst. Pekerjaan mengentaskan kemiskinan jadinya menjadi agenda bersama seluruh lapisan masyarakat, dengan aktor penggeraknya pemerintah diawas legislatif dan juga komponen masyarakat sipil termasuk Gereja, Mesjid dan lembaga agama lain.

Jadi, jika angka kemiskinan di SULUT meningkat, biarlah disikapi secara bijak. Tanpa harus menuding satu komponen paling bersalah, tetapi menginspirasi baik pemerintah maupun masyarakat untuk melanjutkan tugas yang tidak akan pernah selesai ini.

Catatan:
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-politik.

Monday, June 18, 2007

DISORIENTASI MENSEJAHTERAKAN RAKYAT

DISORIENTASI MENSEJAHTERAKAN RAKYAT:

KASUS CAP TIKUS DI SULUT

Oleh:

Audy WMR Wuisang

Pengantar

Sebuah “tragedi”, begitu sebaiknya penggambarannya. Ketika produk pertanian ataupun perkebunan rakyat, bukannya difasilitasi, malah diberangus. Entah mengapa dan apa sebabnya. Logika aparat kepolisian dan bahkan mungkin banyak elite politik (entah elite agama?!), begitu terpaku pada efek negatif dari produk tersebut. Namanya CAP TIKUS. Dan tidak pernah mau memikirkan latar sejarah dan bahkan lokus budaya yang kental mengiringi produk bernama “aneh” itu. Paling akhir, kembali terjadi dua truk kontainer cap tikus ditahan polisi. Akhir-akhirnya, produk dari usaha rakyat, yang seharusnya difasilitasi dan diberdayakan, justru dianggap “haram” dan berniat ditiadakan.

Debat masalah Cap Tikus ini, sebenarnya merefleksikan banyak hal. Bukan semata cara pandang terhadap produk itu. Tetapi sekaligus membaca gelagat dan keberpihakan elite birokrasi dan aparat keamanan terhadap dinamika kehidupan masyarakatnya. Bahkan sebelum negeri ini bernama Indonesia, produk itu dan konsumsi atas produk itu, sudah hadir bersama dengan para petani. Bahkan menghiasi gaya dan cara kehidupan para petani menghadapi dinginnya udara pagi di pegunungan. Karena itu, minum dan mengkonsumsi cap tikus, sangat keliru jika hanya dikaitkan dengan mereka yang mengkonsumsinya bukan untuk kesehatan. Dan sangat keliru jika hanya memandang cap tikus sebagai biang onar. Karena jika demikian, maka cara pandang itu menjadi bias, tendensius dan membelakangi fakta sejarah dan budaya.

Tiadanya Keberpihakan Atas Rakyat

Yang terutama ingin dikemukakan adalah: reaksi berlebihan aparat keamanan (dan juga Pemerintah?) terhadap produk tersebut merupakan refleksi ketidakberpihakan kelompok elite terhadap rakyat. Ketidakberpihakan itu, bukan hanya karena kekurangpahaman atas fakta sejarah dan budaya setempat, tetapi juga atas pilihan paradigma membangun masyarakat. Aparat keamanan kita dan juga Birokrasi kita, meskipun sudah mengalami reformasi, tetapi masih tetap bermental “pro pasar”. Buktinya, UU Penanaman Modal Asing membuat Indoensia menjadi seperti “pasar raksasa” yang bebas dipermainkan kekuatan Kapitalisme global. Disini, investor asing akan menjadi primadona, sementara kekuatan ekonomi rakyat, jika bisa minggir dulu.

Karena itu juga, bukan persoalan lagi, bila ekonomi berbasis rakyat bukan hanya mendapat perhatian terbatas, tetapi juga pemberdayaan yang terkesan “memperdayai”. Maklum. Tapi, jangan salah. Pada masa Pemilihan Umum, semua calon pastilah akan menjadi pro rakyat, pro ekonomi rakyat dan berjanji memberdayakan rakyat. Praktek seperti ini bukan cuma monopoli Indonesia, tetapi juga negara-negara Latino dan Negara baru yang sedang berkembang. Pro rakyat ketika kampanye dan memperdayai rakyat ketika berkuasa. Tentu, memang tidak semua. Terutama ketika Brazil menghasilkan seorang Presiden baru beberapa tahun sebelumnya yang sangat pro rakyat. Tetapi, sayangnya, Indonesia dan Sulaweasi Utara masih belum yakin, bahwa membangun di atas kekuatan ekonomi rakyat adalah modal utama yang mesti dikedepankan.

Mungkin, ini baru kemungkinan, meskipun Indonesia pro pasar, tetapi setidaknya, janganlah produk dan kekuatan ekonomi rakyat ditindas dan coba dibungkam. Seperti cap negatif yang dilekatkan kepada CAP TIKUS. Aparat keamanan, dan bahkan beberapa elite agama, seragam menyebut cap tikus adalah biang keributan. Lupa, bahwa cap tikus itu, justru membesarkan banyak anak rakyat, dan bukan tidak mungkin, beberapa dari yang memberi cap negatif itu dibesarkan oleh produk itu. Ironis memang nampaknya. Kegamangan dan ketidakmampuan mengelolah dan memasarkan produk itu dan memperkuat ekonomi rakyat, membuat cap negatif adalah yang paling mudah dilakukan. Dan model dan metode itu, merupakan gambaran ketidakberpihakan elite atas dinamika ekonomi rakyat.

Pemiskinan Struktural

Orang miskin karena apa? Ada dua cara pandang yang bertolak belakang, dan keduanya bisa digunakan dalam konteksnya masing-masing. Cara pandang pertama adalah, kemiskinan disebabkan kemalasan, ketidaktahuan, keterbelakangan. Benarkah demikian? Tentu saja. Keterbelakangan di Papua, kekurangpendidikan, kekurangtahuan, membuat mayoritas masyarakat terbelakang berada di bawah garis kemiskinan. Kemalasan dan keengganan bekerja keras, juga sering dilihat sebagai penyebab kemiskinan. Tetapi, ada cara pandang kedua, cara pandang struktural yang berkata begini: Kemiskinan, bisa disebabkan oleh karena kesempatan untuk memberdayakan diri tidak diberi kemungkinan dan kesempatan. Atau dengan kata lain, struktur-struktur kemasyarakatan dan politik, terlampau memberi peluang bagi kelompok “the haves” (berada) dan membiarkan kelompok miskin untuk tetap terpuruk dalam kemiskinan.

Penahanan dua (2) truk kontainer cap tikus, bagi penulis, adalah refleksi Pemiskinan Struktural sebagai akibat keberpihakan atas ekonomi rakyat yang tidak jelas. Adalah tugas pemerintah untuk memfasilitasi perekonomian rakyat melalui fasilitas infra struktur dan membuka pasar alternatif. Atau juga, mendorong dengan melakukan penelitian agar tercipta produk alternatif yang lebih advance (maju) dan bernilai lebih. Tetapi, bukan cara ini yang dilakukan pemerintah dan aparat keamanan. Tetapi cara sebaliknya, yakni mencederai nama baik “produk” itu, dan kemudian melakukan serangkain tindakan non populis yang cenderung membuat para petani semakin terpuruk.

Bila pemerintah tidak mengupayakan pasar alternatif, memberdayakan petani, kemudian adanya kajian pengembangan produk disatu sisi; dan disisi lain tetap tidak memberi peluang bagi pengembangan ekonomi rakyat ini, maka tindakan aparat kepolisian adalah refleksi dari PEMISKINAN STRUKTURAL. Belum lagi, bukan rahasia, bahwa sering terjadi kong kalikong untuk meloloskan barang tersebut, praktek sogokan sering terjadi. Sehingga praktis, perolehan atau pendapatan rakyat lewat Cap Tikus, selain menghadapi ketiadaan fasilitasi pemerintah, ancaman penahanan dan uang keamanan, juga minimnya pasar alternatif. Bukankah fakta ini menunjukkan betapa petani kita betul-betul dikondisikan agar tetap Miskin?

Peran Civil Society?

Ada dimana gerangan Dunia pendidikan kita? Ada dimana gerangan Gereja kita? Ada dimana gerangan ORNOP – Organisasi Non Pemerintah (NGO, padanan dari LSM) kita?

Dunia pendidikan kita, seharusnya memberi perhatian bukan sebatas lip service terhadap konteks perekonomian daerah. Bukan hanya dengan menghadirkan rumusan-rumusan dan teori mutakhir yang non aplicable (tidak bisa diaplikasikan), tetapi dengan basis dan orientasi kemasyarakatan yang jelas. Seperti misalnya: apa kontribusi dunia pendidikan Indonesia terhadap produk pengembangan kopra, cengkeh dan juga tentu Cap Tikus? Tanpa pengembangan melalui penelitian dan pengkajian, maka produk itu akan terus termakan fluktuasi harga pasar. Selain itu, juga fakta dan data pasar potensial mana yang seharusnya dikembangkan dalam konteks produk tersebut. Jika dunia pendidikan terus berkutat dengan teori dan rumusan yang non aplicable, maka kontribusinya bagi masyarakat mesti kita pertanyakan. Padahal, dan ini lagi, ketersediaan dana penelitian di pihak swasta dan apalagi pemerintah bagi dunia pendidikan, juga praktis sangat minimal. Kita kembali seakan dilemparkan dalam situasi “lingkaran setan”. Tetapi, penulis pribadi masih yakin, masih ada sekelompok pribadi yang mampu bekerja tanpa pamrih bagi upaya itu. Semoga kedepan kita menemukannya.

Gereja? Sebagai lembaga yang memperjuangkan bukan hanya teologi dan bukan hanya pertambahan umatnya, tetapi memperjuangkan perubahan nasib umatnya, Gereja adalah bagian civil society. Apakah ada peran tersebut? Ataukah Gereja terlampau sibuk bagi upaya-upaya menambah umatnya, sibuk dengan pengembangan teologinya, dan lupa bahwa umatnya juga butuh perhatian akibat keberpihakan elite politik yang sangat minimal. Protestantism dan belakangan Katolikhism pasca Konsili Vatikan II 1965, sudah sangat ramah dengan pemberdayaan rakyat. Adakah implikasinya mulai terasa di SULUT? Atau masih sama dengan gambaran betapa seluruh daerah kepulauan di lingkar luar Indonesia adalah basis kemiskinan? Dan rata-rata daerah itu daerah mayoritas Kristen (Nias, Mentawai, NTT, Ambon, Papua dan Sanger – Talaud). Sudahkah Gereja kita ikut memperjuangkan nasib petani? Mungkin bukan melalui demo, tetapi melalui surat pastoral dan jika perlu teguran kritis atas fungsi pastoral sosialnya bagi perkembangan politik daerah. Ataukah, Gereja justru terlibat dalam pemiskinan struktural dengan menuduh cap tikus sebagai barang haram yang harus diberangus? Ada dimana engkau Gerejaku?

Dan pada akhirnya adalah ORNOP atau LSM (penulis cenderung menggunakan ORNOP). Bukannya sedikit lembaga-lembaga jejadian yang mengklaim dirinya sebagai LSM, dengan target mencari keuntungan (politik maupun material). Yang seperti ini, pasti menganggap tidak pada tempatnya membela petani. Tetapi, ORNOP yang tampil membela masyarakat dan bermotivasi utama mengedepankan kepentingan pemberdayaan rakyat, adalah mereka yang tidak ragu membela rakyat. Siapapun bisa menilai dan melihat secara telanjang kelak. Dan merekalah yang dalam kategori Civil Society, sebuah lembaga yang berada di antara pemerintah dan rakyat dan memfasilitasi rakyat untuk mengedepankan aspirasi dan suaranya. Dan adakah itu di SULUT? Kita amsih optimis bahwa ada peran-peran itu di Sulawesi Utara.

Berdayakan Petani Kita ....

Berdayakan petani Cap Tikus kita. Jangan diperdayai. Fasilitasi usaha rakyat itu, dan bukannya dijelek-jelekkan dan kemudian diancam. Apalagi kemudian di kurangi penghasilan mereka. Sementara produk minuman keras asing dengan bebgas merajalela di pasar SULUT. Bukankah ini tragis? Barang “haram” hasil rakyat kita diberangus dan mendudukkan barang “haram” orang lain di etalase elite pasar Sulawesi Utara. Tragis dan memilukan. Beginikah kita memperlakukan petani daerah kita sendiri? Sudah susah hidupnya, sudah berkontribusi lama dalam sejarah perkeonomian SULUT, dan ketika pasar bebas menerjang datang, dia dikambinghitamkan, diharamkan dan bahkan dieksploitasi. Beginikah pemberdayaan ekonomi rakyat model kita?

Aparat keamanan sudah waktunya melepaskan mental pro pasar yang memiskinkan rakyat. Peningkatan jumlah pengangguran yang mengkonsumsi produk itu, juga akibat ketidaktersediaan lapangan kerja. Tak ada orang saat ini yang rela membiarkan dirinya miskin. Tetapi dengan orientasi pembangunan pasar berskala dunia disatu sisi, dengan ketersediaan lapangan kerja dan dukungan dunia pendidikan yang minimal, bukankah tidak terleakkan kondisi itu? Mengapa sekali lagi petani kita disalahkan, produk mereka dihambat, ditilang, di mintai uang pengamanan? Dan mengapa bukan pemerintah yang mengaku dosa karena belum sanggup memfasilitasi mereka secukupnya?

Dan mengapa pula belum muncul kesadaran, bahwa pemiskinan struktural terus dan terus berlangsung. Belum juga lahir kesadaran kelompok intelektual dan bahkan elite agama SULUT, bahwa basis-basis ekonomi rakyat masih belum terbangunkan secara proporsional. Mengapa kita begitu memprimadonakan investasi asing yang bahkan untuk masukkpun ketakutan dengan birokrasi yang berlapis, dan mempersempit peluang usaha petani kita? Bukankah dengan demikian kita tidak berjalan kedepan dan melangkah melangkah kebelakang? Lihatlah, SULUT memiliki infrastruktur terbaik pasca Kolonialisme Belanda, bahkan dengan tingkat literacy tertinggi dewasa itu, tapi apa hasilnya setelah 60 tahun Indonesia merdeka? Ada dimana posisi dunia perguruan tinggi SULUT di Indonesia? Ada dimana peringkat kesejahteraan SULUT saat ini?

Dan, masih haruskah kita membiarkan petani Cap Tikus kita digerogoti kekayaannya oleh pemiskinan struktural itu? Biarlah kita masing-masing menjawab dengan nurani kita. Tapi, demo para petani itu, seharusnya didukung, jika mungkin oleh para aktivis ORNOP, Pendeta dan Pastor dan juga para Kiai serta para pendidik dan Intelektual SULUT. Tapi mungkinkah itu?

(Dimuat Harian komentar 18 Juni 2007)

Sunday, May 27, 2007

SBY Vs Amien Rais: Kemana Arah Demokrasi Indonesia?

Oleh: Audy WMR Wuisang

Kemana arah demokrasi Indonesia? Pertanyaan ini layak diajukan bukan untuk memperingati 9 tahun reformasi Indonesia. tetapi, lebih untuk memperkirakan, ujung pertarungan elite politik Indonesia, pasca pengungkapan rahasia Dana kampanye Pemilihan Presiden tahun 2004 lalu oleh salah seorang tokoh Nasional Amien Rais.

Amien Rais, selain mengakui menerima dana DKP yang bermasalah, juga menyatakan bahwa seluruh Dana Kampanye harus diperiksa kembali. Termasuk dana Kampanye pasangan pemenang yang disinyalir menggunakan dana asing. Telak. Sungguh sebuah tuduhan telak. Dan, hal ini memancing reaksi Presiden SBY, yang juga menjawab secara lugas dan menuduh Amien Rais telah memperolok-olokkannya.

Tapi, anehnya, beberapa tokoh membawa persoalan ini pada soal KOMUNIKASI POLITIK. Bukan persoalan HUKUM. Pelanggaran aturan adalah pelanggaran HUKUM, terlebih dalam kasus Dana Kampanye yang sumbernya dana asing, yang jelas-jelas di larang UU Pemilihan Presiden. Sementara, kalangan Civil Society, jelas-jelas meminta pesoalan tersebut diselesaikan diarena HUKUM.

Kembali kesenjangan berpikir dan bertindak nampak disini. Dan sekali lagi menunjukkan, bahwa sebenarnya KALANGAN ELITE yang menyandera demokrasi Indonesia, bukan kalangan Civil Society. Jika ada komitmen memperkuat demokrasi, maka seharusnya, semua pihak sepakat untuk menyelesaikan persoalan ini secara HUKUM. Bukannya menyelesaikan soal ini secara komunikatif antara elite dan kemudian dianggap tidak ada.

Masalah Dana Kampanye dengan menggunakan Uang Bantuan Asing, akan menguji sekali lagi kualitas demokrasi Indonesia. Bukan dengan upaya menjatuhkan SBY, tetapi dengan membuktikan sejumlah kekeliruan dan pelanggaran siapapun orangnya. Dan kemudian, melengkapi dan merevisi UU pemilihan presiden, khususnya dana kampanye agar membuka kemungkinan tindak lanjut penuntutan.

Sementara disisi lain, masalah ini, juga akan membuktikan sekali lagi, apakah Indonesia benar-benar Negara Hukum atau Negara yang Hukumnya dipreteli atau dikangkangi kekuasaan. Tidak perlu upaya Hukum berakhir dengan impeachment, bahkan jika mengarah kesanapun, prosesnya sangat panjang. tetapi, penyidikan penyimpangan dan pelanggaran, harus dilakukan agar menjadi pelajaran bagi semua.

Penanganan masalah ini, adalah sebuah upaya penguatan Hukum. Dan upaya memperdalam kualitas demokrasi Indonesia. jadi, kita sedang menunggu, dimana ujung pertikaian SBY vs Amien Rais yang berujun pada pertanyaan: Sampai dimana dan kemanakah arah demokratisasi Indonesia?

Catatan:
Tulisan pribadi, pikiran pribadi, pada 28 Mei 2007

Wednesday, May 23, 2007

Tentang Minahasa?

Bulan berselang, salah seorang "Pendeta-Sastrawan", Froly Lelengboto
di New Zealand, mengirimkan artikel yang cukup menarik. Atau, bagi saya pribadi, malah teramat menarik. Yaitu, sebuah tulisan bernuansa antropology mengenai MINAHASA. Tulisan tersebut sungguh menarik, ditulis oleh DR. Michael Jacobsen, dan dipublikasikan dalam bahasa Inggeris.

Untuk menjaga agar dokumen tersebut boleh tersosialisasi di kalangan komunitas Minahasa, maka abstract dan link mengakses file tersebut di muat disini. Semoga bermanfaat bagi yang berminat bagi study mengenai Minahasa.

Audy


On the Question of Contemporary
Identity in Minahasa, North Sulawesi
Province, Indonesia

By: Michael JACOBSEN


Abstract
The article analyzes the developments behind the current shift in
Indonesian nation building by discussing how the present societal
changes in post-Suharto Indonesia have enabled the Minahasa, a
Christian ethnic group in North Sulawesi Province, to initiate a reevaluation
of their current identity in anticipation of more room for
political maneuvers during the implementation of the national
programme of economic decentralisation and regional autonomy,
initiated on 1 January 2001. After positioning the Minahasa on the
political map of contemporary North Sulawesi Province, the article
focuses on past and present perceptions of Minahasa identity. This is then
discussed in relation to new initiatives concerning a revival of precolonial
culture in order to boost contemporary Minahasa identity. The
objective is to be able to distinguish between three main aspects within
contemporary Minahasa identity formation: the creation of Minahasa as
an imagined community, the background for the current elusive
Minahasa identity, and finally, the ongoing quest for an invigorated
identity that is capable of dealing with the current political changes in
North Sulawesi and Indonesia in general.

www.chineseupress.com/promotion/AsianAnthroV1sample/2.pdf
DEMOKRATISASI DI INDONESIA DAN CHILI:
PERSPEKTIF POLITIK PERBANDINGAN



Oleh:
Audy W.M.R. Wuisang



I. Pendahuluan

Demokratisasi dan perjuangan demi demokrasi kembali menjadi agenda dan sekaligus ciri yang sangat penting dalam konteks perkembangan politik terutama setelah Samuel Huntingthon mempublikasikan sebuah karya maha penting soal Gelombang Demokrasi Ketiga[1]. Gelombang Demokratisasi Pertama menurut Huntingthon terjadi pada tahun 1828 hingga 1926 dan kemudian disusul dengan Gelombang kedua pada tahun 1943 hingg 1962 dan Gelombang Ketiga diawali dengan jatuhnya Rezim Portugal tahun 1974 hingga transisi demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada akhir 1989. Gelombang Demokratisasi ini, juga melanda semenanjung Timur Asia dan menumbuhkan benih demokrasi di Korea Selatan dan Taiwan, juga melanda Asia Tenggara dengan Philipina sebagai contohnya[2].

Apabila titik balik dan proses redemokratisasi di Chili dihitung sejak gagalnya Jendral Pinochet[3] memperjuangkan Plebisit melalui referendum untuk memperpanjang kekuasaannya pada tahun 1988 dan kemudian terpilih Presiden baru pada tahun 1989, maka Chili juga termasuk dalam Gelombang Ketiga Demokratisasi ini[4]. Sementara Indonesia, berbeda dengan tahun penerbitan buku Anders Uhlin[5] yang menggagas tentang Gelombang Ketiga Demokratisasi dan pengaruhnya di Indonesia, justru sedang memulai dan merintis jalan transisinya. Buku Uhlin sendiri, membahas pengaruh Gelombang ketiga Demokratisasi di Indonesia, dan nampaknya Uhlin sedikit pesimistis dengan masa depan demokratisasi di Indonesia sebagaimana yang ditunjukkannya melalui penyimpulan sebagai berikut:

…”The “third wave” has obviously failed to have any profound impact on Indonesia’s political development, as no transition to democracy has taken place”[6].

Padahal, setahun kemudian regime Orde Baru yang dikatakannya relatif “imun” terhadap pengaruh Gelombang Ketiga Demokratisasi dan karenanya dalam menganalisis Demokratisasi di Indonesia dia menyimpulkan baru pada tahapan pra transisi[7], justru menghadapi masa-masa keruntuhannya. Bila ditarik kedepan, terlaksananya Pemilihan umum yang jujur dan adil pada tahun 1999 dan 2004 serta sejumlah pembangunan politik yang menyertainya dianalisis lebih jauh[8], maka Transisi Demokrasi di Indonesia juga termasuk dalam jajaran “Gelombang Demokrasi Ketiga”.

Tetapi persoalan utama bukanlah apakah Indonesia dan Chili masuk dalam kategori Gelombang Ketiga Demokratisasi dunia. Lebih dari itu, makalah ini berupaya dan mencoba untuk menganalisis proses-proses Transisi Demokrasi di kedua Negara tersebut dan memperbandingkannya. Pertanyaan lebih jauh kemudian muncul pada titik ini. Apa yang akan dan mau diperbandingkan? Dan bagaimana memperbandingkannya? dan tentu pertanyaan yang menyentuh perspektif teoretis adalah, dengan apa membandingkannya? Pertanyaan pertama terkait dengan persoalan “permasalahan” atau “masalah” yang harus dirumuskan lebih dahulu, sehingga fokus pembahasan tidak bias. Pertanyaan kedua yang nanti terkait dengan pertanyaan ketiga adalah persoalan perspektif politik perbandingan dan pendekatan teoretis. Makalah ini dikerjakan dalam perspektif Politik Perbandingan, dan untuk mengerjakannya penulis mencoba mendasarkan pada kajian Roy Macridis dan Bernard Brown[9] terutama soal fokus kajian dan pekerjaan Politik Perbandingan. Menyebut Politik Perbandingan berarti memberi prioritas kepada semua manifestasi, sikap dan gerakan terorganisasi dari Negara; Negara itu sendiri, dalam hal ini study tentang lembaga-lembaga Negara, organisasinya, lingkup pengambilan keputusannya; Kemudian juga terkait dengan sikap politik dan civic culture (dengan mengutip Almod[10]); juga terakhir soal infrastruktur dunia politik yaitu sikap dan ide politik, ekonomi dan kebudayaan, lembaga sosial, norma dan nilai yang menonjol dalam masyarakat tertentu.

Sehubungan dengan hal itu, maka masalah yang ingin dikaji dalam makalah ini tentu terkait dengan Transisi Demokrasi di Indonesia dan Chili. Dalam konteks tersebut, maka makalah ini ingin menjawab masalah dan pertanyaan soal bagaimanakah prospek dan kondisi Demokrasi di Indonesia dan Chili, terutama dalam selang waktu 1973 – 2004 di Chili dan 1967 – 2004 di Indonesia. Pertanyaan pertama ini, secara khusus ingin menjawab prospek demokrasi setelah 1989 di Chili dan 1998 di Indonesia. Dalam selang waktu itu, masalah dan pertanyaan kedua, apa yang dipikirkan oleh masing-masing Negara tentang peran Militer, terutama terkait dengan upaya militerisasi? Dan terakhir, bagaimana pembangunan politik di kedua Negara pada masa tersebut?

Pertanyaan pertama terkait momentum dan penyebab dari Transisi Demokrasi. Artinya, Transisi Demokrasi bukannya terjadi secara ahistoris dan terlepas dari konteks social-ekonomi dan budaya baik di Chili maupun Indonesia. Sehingga perlu diperhatikan konteks sejarah serta kondisi social-budaya-ekonomi yang bersignifikansi terhadap terciptanya momentum transisi demokrasi. Pertanyaan kedua terkait dengan peran elite dalam baik proses terciptanya momentum transisi serta bagaimana menyikapi peran militer yang kuat di kedua Negara. Sementara pertanyaan ketiga terkait dengan apa dan bagaimana proses-proses institusionalisasi perubahan politik tersebut sehingga proses transisi tidaklah gagal tetapi dapat terkonsolidasi secara baik[11].

Kajian makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bagian pertama adalah Pendahuluan yang terutama berisi gambaran dan deskripsi masalah yang dibahas oleh makalah dalam rangka Ujian Akhir Mata Kuliah Perbandingan Politik Universitas Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan bagian kedua, Penjelasan terminology penting dalam kajian, Ketiga memuat Pendekatan teoretis, Keempat Perspektif Perbandingan Politik di Chili dan Indonesia dalam hal Demokrasi, Demiliterisasi dan Pembangunan Politik dan Kelima adalah Penutup dan kesimpulan.

II. Beberapa Terminologi Penting

Untuk menjawab dan menjelaskan pertanyaan serta masalah di atas, maka kajian ini akan mempergunakan Teori Transisi Demokrasi, Teori Elite (Klasik dan Pluralis dengan tekanan terutama pada Teori Elite Pluraist) dan Teori Institutionalisasi atau Kelembagaan (Klasik dan Kontemporer). Tetapi sebelum menjelaskan pendekatan teoretis yang digunakan, maka sangat perlu untuk menjelaskan dan menegaskan beberapa terminology penting yang dipergunakan dalam kajian makalah ini.
Terminologi-terminologi penting yang dipergunakan dan dikaji dalam makalah ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu makna dan pengertiannya:
a. Demokrasi: Pemahaman demokrasi bisa dibedakan atas pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif berkaitan dengan demokrasi sebagai tujuan atau sebenarnya persoalan sekitar, bagaimana demokrasi yang seharusnya ataupun sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah Negara[12]. Sementara pendekatan empiric terkait dengan system politik dan karenanya baik oleh Gaffar[13] maupun James Ferguson[14] disebut sebagai “procedural democracy”. Karena terkait dengan Sistem Politik, maka Demokrasi dikaitkan dengan soal Perwakilan Langsung[15]. Tetapi tidak jarang dikaitkan juga model lain yang dikenal dengan Perwakilan Demokratis[16]. Kalangan Ilmuwan Politik kemudian secara empiric dengan mengamati praktek Demokrasi merumuskan demokrasi dengan beberapa indicator seperti misalnya Larry Diamond[17] yang mengetengahkan Demokrasi dengan 3 ciri: Pertama – persaingan ekstensif untuk menduduki posisi politis Negara melalui Pemilu yang teratur, bebas dan adil, kedua – Partisipasi politik menyeluruh dan ketiga – kebebasan pers, berserikat dan ditegakkannya Hukum. Sementara Bingham Powell[18] menyebut criteria sebagai berikut:
…”1) The legitimacy of the government rests on a claim to represent the desire of its citizens… 2) The organized arrangement that regulates this bargain of legitimacy is the competitive political election… 3) Most adults can participate in the electoral process both as voters and as candidate … 4) Citizens votes are secret and not coerced; 5) Citizens and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly and organizations…
Sementara Robert Dahl[19] sendiri mengajukan 7 indikator yang bisa diringkaskan sebagai berikut: 1) Kontrol atas keputusan pemerintah, 2) Pergantian elite atau pemimpin melalui Pemilu yang bebas, adil dan jujur dan secara regular, 3) Semua orang dewasa memiliki hak suara, 4) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk menjadi kandidat dipilih, 5) Adanya hak berekspresi, termasuk mengritik pemerintah, 6) Termasuk juga akses ke sumber informasi alternative, 7) Juga hak berkumpul dan berorganisasi dan masuk partai politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, dari sekian banyak konsep dan teori demokrasi termasuk indicator demokrasi, maka setidaknya yang dimaksudkan dengan demokrasi adalah: Pertama, adanya Pemilihan Umum yang regular, jujur dan adil yang memungkinkan pergantian elite dan pemerintahan dengan semua orang dewasa berhak memilih dan dipilih. Kedua, adanya pertanggungjawaban pemerintah terhadap kekuasaan yang dimilikinya kepada masyarakat. Ketiga, adanya kontrol rakyat terhadap kebijakan pemerintahan yang diekspresikan dalam bentuk memilih kembali atau menolak pemerintahan yang ada dalam Pemilu kemudian. Keempat, adanya kebebasan berekspresi, berorganisasi, berkumpul dan akses informasi yang bebas.
b. Demiliterisasi: Terminologi ini, nampaknya banyak dikaitkan dengan upaya demokratisasi dan khususnya banyak dipandang dari segi dan sudut kepentingan perkembangan demokrasi di dunia ketiga[20]. Pada umumnya secara sederhana demiliterisasi diartikan sebagai upaya dan proses mengurangi intervensi dan aktifitas milter dalam ranah politik. Atau mengikuti penjelasan Isima dalam membangun pendekatan teoritis terhadap demiliterisasi di Negara-negara Sub Sahara menyebutkan:
…” drastic reduction of the political influence of the military and security agencies of the state (demilitarisation) as part of the broader agenda of democratisation[21]
Isima menyimpulkan adanya trend reduksi pengaruh politik kekuatan militer sebagai bagian dari agenda yang luas dari proses demokratisasi. Beberapa rujukan lain yang terkait dengan study di bidang ini misalnya datang dari Luckman[22] yang menyimpulkan bahwa “demiliterisasi” merupakan prasyarat bagi demokratisasi itu sendiri. Study-study di Afrika mengenai demiliterisasi nampaknya memang bermuara pada pandangan bahwa reduksi kekuatan militer, pengaruh, resourses dan aktifitasnya dalam politik, termasuk pembatasan kekuasaan dan pengaruhnya yang seharusnya datang dan diberikan oleh pemerintahan. Pandangan semacam ini juga diperkuat oleh Guy Lamb[23] dalam menjelaskan reduksi kekuatan militer dan artinya demiliterisasi dalam politik lokal. Senada dengan itu, kajian-kajian dari Anak Agung dan Kusnanto dari perspektif Asia Tenggara dan lebih spesifik Indonesia, juga menunjuk kecenderungan yang serupa, yakni bagaimana kekuatan militer tunduk dibawah supremasi sipil dan dikukuhkan melalui konstitusi.
c. Pembangunan Politik: Pembangunan Politik merupakan salah satu istilah tehnis dalam khasanah Ilmu Politik. Harry Eckstein menjelaskan bahwa study-study tentang Political Development atau Pembangunan Politik berlangsung secara cepat sejak tahun 1960-an dan bahkan pada tahun 1975 sudah mencatat sekitar 200 karya bidang ini yang cukup menonjol[24]. Haruslah dicatat, sebagaimana dicatat oleh Stephen Chilton[25] gambaran serta analisis dan definisi tentang Pembangunan Politik terhitung membingungkan. Bahkan Ekcstein sendiri menyebutkan bahwa persoalan mengenai Pembangunan Politik sering tidak secara memadai merepresentasikan penyelidikan dan pendalaman soal Pembangunan (development) itu sendiri[26]. Tetapi, meski dengan sejumlah kebingungan, jelas bahwa menurut Chilton[27]:
…”Political development clearly arises from and affects individuals, cultural-institutional forms, and objective, regularized patterns of social interaction”
Memang nampaknya penjelasan ini seakan memisahkan pendekatan perubahan pada tingkat individu dengan lembaga-lembaga social, tetapi sebagaimana kemudian didalami lagi oleh Chilton, pendasaran definisi dan pemahaman Pembangunan Politik, mestilah memadukan kedua pendekatan tersebut secara simultan[28] dan sekaligus bagaimana menghubungkannya. Dengan pendasaran demikian, maka beberapa definisi tentang Pembangunan Politik dapat diajukan seperti misalnya Huntingthon mendefiniskan:
…”political development is "the institutionalization of political organizations and procedures[29]
Defini ini menegaskan pembangunan Politik sebagai proses atau pelembagaan dari organisasi-organisasi politik serta proseduralnya. Sementara definisi lain misalnya mendefisinikannya sebagai berikut:
…” Political development is the process in which major cluster of old social, economic and psychological concomitants are eroded or broken and people become available for new patterns of social and behavior[30]
Konsep lain yang coba diketengahkan datang dari John Dorsey, dengan mendefinisikan Political Development sebagai:
…”the change in power structure and processes that occur concomitantly with changes in energy conversion levels in the social system, whether such conversion levels change primarily in their political, social, and economic manifestations or in various combinations of the three"[31]
Terakhir, Harry Eckstein menjelaskan konsep Political Development sebagai pertumbuhan yang muncul dalam politik[32]. Dengan demikian, maka setidaknya Pembangunan politik dapat digambarkan sebagai korelasi atau hubungan antara individu dan lembaga-lembaga social serta aturan-aturan dari interkasi social tersebut (Chilton) dan juga melibatkan proses pelembagaan dari prosedur dan organisasi-organisasi politik (Huntingthon) serta perubahan dan struktur kekuasaan akibat energi-energi perubahan yang datang dari dinamika social, politik dan ekonomi.
Makalah ini memandang dan menggunakan terminology Pembangunan Politik dengan banyak mendasarkannya pada pemahaman Huntinthon, yakni proses pelembagaan atau institusionalisasi dari organisasi-organisasi politik beserta dengan tata kerjanya dengan juga memberi perhatian pada konsep Eckstein dan Dorsey soal energi perubahan pada Politik, Sosial, Ekonomi (Dorsey) dan konsep pertumbuhan dalam politik (Ekckstein). Suatu hal yang perlu dicatat Eckstein nampaknya secara implisit memandang bahwa pertumbuhan yang dimaksudkannya dalam Pembangunan Politik agak dekat dengan konsep modernisasi, terutama ketika dia membahas Pembangunan Politik dan mendasarkan konsep pembangunannya pada soal modernitas dan konsep Durkheim tentang pembangunan[33]. Implikasinya, ketika diterapkan dalam konteks dunia ketiga adalah bagaimana proses pembangunan politik berusaha memandang dan meninjau proses di pemerintahan berkembang dengan mengacu ke pemerintahan yang lebih maju.
III. Pendekatan Teoretis
Sebagaimana diungkapkan pada bagian terdahulu, dalam membahas dan menjawab masalah dan pertanyaan yang dirumuskan pada bagian pendahuluan, maka pendekatan teoritis yang akan digunakan adalah Teori Transisi Demokrasi, Teori Elite dan Teori Kelembagaan. Karenanya, sebelum membahas permasalahan, perlu diuraikan terlebih dahulu pendekatan teoretis tersebut:
a. Teori Transisi Demokrasi
Apabila Demokrasi telah dijelaskan dalam bagian terdahulu, maka penting juga untuk memahami apa yang dimaksud dengan demokratisasi. Secara sederhana demokratisasi dapat diterjemahkan secara harafiah, yakni proses menuju demokrasi, tetapi makalah ini akan menggunakan dan mengikuti defisini yang digunakan oleh David Potter tentang demokratisasi yang dirumuskannya sebagai proses-proses perubahan politik yang bergerak maju kearah demokrasi[34]. Demokratisasi dengannya menunjuk pada proses-proses perubahan politik yang mengarah ke peningkatan kualitas demokrasi dan bukanlah sebaliknya, sebab dalam beberapa kasus proses demokratisasi dapat saja gagal dan malah kembali ke model yang tidak demokratis. Atau dalam bahasa Potter, yang dimaksudkan dengan demokratisasi jelas adalah:
…”that the character of such movement over time is from less accountable to more accountable government, from less competitive election to freeer and fairer competitive election, from severely restricted to better protected civil and political rights, from weak (or non existent) autonomous associations in civil society to more aotunomous and more numerous associations”[35]
Setelah menjelaskan terminology demokratisasi, maka muncul kebutuhan baru untuk menjelaskan jika demikian, bagaimanakah model-model dan pola demokratisasi itu. Terlebih, bila dikaitkan dengan konsep dan penjelasan Huntingthon soal demokratisasi sejak Gelombang pertama hingga Gelombang ketiga. Untuk kebutuhan inilah kemudian Potter mengembangkan pendekatan teoretis terhadap pola ataupun model demokratisasi, yang baginya ada 3 pendekatan teoretis[36]. Pendekatan pertama adalah Pendekatan Modernisasi yang banyak berhutang budi kepada kajian-kajian Seymour Martin Lipset, terutama dalam bukunya Political Man (1960)[37] dimana disimpulkan bahwa perkembangan politik dan demokrasi ditentukan oleh level modernisasi atau perkembangan social-ekonomi. Pendekatan kedua adalah Pendekatan Structural yang mendasarkan kajiannya terutama kepada Barrington Moore[38]. Pendekatan ini menekankan proses jangka panjang dari perubahan struktur yang akan kemudian menentukan demokratisasi.
Pendekatan ketiga, yang akan digunakan dalam kajian ini, adalah Pendekatan Transisi Demokrasi yang memberi tekanan kepada proses-proses politik serta inisiatif dan pilihan-pilihan kelompok elite yang menyebabkan dan menentukan pergerakan dari regime otoriter ke demokrasi liberal[39]. Study tentang Transisi Menuju Demokrasi umumnya dikenal dan diawali dengan artikel Dankwart Rustow yang berjudul “Transition to Demokracy” yang diterbitkan pada tahun 1970[40]. Rustow bersama dengan para ahli yang lain memberi perhatian terutama kepada Negara-negara berkembang yang mempertanyakan bagaimana demokrasi boleh mendapatkan tempatnya yang utama. Dan untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan di atas, Rustow kemudian berdasarkan study analisis perbandingan sejarah Turki dan Swedia mengemukakan pendekatan yang komprehensif. Berdasarkan kajiannya atas Turki dan Swedia, kemudian Rustow mengemukakan bahwa ada semacam “route umum” yang akan dilalui oleh semua Negara selama masa demokratisasi. Route tersebut dibaginya dalam 4 tahapan, yakni: Pertama, tahapan penyatuan secara nasional dalam sebuah teritori tertentu. Kedua, disebutnya sebagai fase persiapan yang ditandai dengan perjuangan politik yang panjang. Ketiga, disebutnya sebagai transisi pertama, yaitu tahapan dimana para kelompok yang bertarung pada tahapan sebelumnya bersedia untuk berkompromi dan mengadopsi aturan demokratis. Bagi Rustow, teorinya selalu menegaskan adanya kesadaran elite untuk menerima aturan demokratis sebagai sebuah syarat penting. Keempat, adalah second transition atau transisi kedua atau disebut juga fase pembiasaan atau pembudayaan. Artinya, kompromi yang dicapai kemudian disahkan dalam kesepakatan mengikat dan menjadi rujukan bersama[41].
Fase ketiga dan keempat dari Teori Rustow inilah yang kemudian dielaborasi oleh para pemikir selanjutnya. Tercatat disini adalah Guilermo O’Donnel (Transition from Autoritharian Rule – 4 volume), Juan Mainwaring, Yossi Shain, Juan Linz, dll, yang kemudian membedakan fase 3 sebagai fase Transisi dari Autoritarian menuju Demokrasi Liberal dan fase keempat yang disebut sebagai fase konsolidasi demokrasi[42]. Alasan utama mereka, sebagaimana disinggung didepan adalah karena transisi bisa saja sukses dan berarti terkonsolidasi dan mungkin pula gagal.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Potter nampaknya memberi aksentuasi yang sangat nyata dan kuat terhadap peran elite dalam proses transisi. Baginya, segera setelah terjadi pemaksaan dan represi, yang menjadi karakteristik dari regime otoriter[43], maka para actor akan terbelah menjadi 2 kubu, yakni regime dan pendukungnya melawan pihak oposisi. Dalam koalisis otoriter masih terbagi antara elite yang “hardliner” dan yang “softliner”. Sementara pada kubu Oposisi terbai antara: Oportunist, moderat dan radikal. Dalam kasus Amerika Latin, koalisi antara yang “softliner” dari regime otoriter dengan “moderate” dari kubu oposisi yang memungkinkan proses transisi boleh berlangsung dengan signifikan[44].
Selanjutnya Linz dan Shain[45] menegaskan bahwa dalam periode antara (transisi), maka hasil dari demokratisasi sangat tergantung pada siapa yang memerintah dan bagaimana mereka menggunakan kekuasaannya. Mereka kemudian menyimpulkan adanya 4 format ideal penguasa pada masa interim: Pertama, Oposisi yang memerintah untuk sementara, terutama elite yang berhasil menumbangkan regime sebelumnya melalui kudeta. Elite ini biasanya memproklamirkan dirinya sebagai pemerintahan sementara yang kemudian akan mengantarkan pemerintahan dan masyarakat menuju pemilu[46]. Kedua, Pembagian Kekuasaan antara regime otoriter terdahulu dengan gerakan demokrasi oposisi dalam sebuah pemerintahan sementara. Ketiga, Pemerintah yang ada masih bertugas sebagai caretaker untuk menghantarkan proses pemerintahan hingga ke Pemilu. Keempat, pembentukan pemerintahan oleh PBB melalui campur tangan internasional. Kasus ini beberapa kali terjadi, termasuk Namibia, Kamboja dan terakhir East Timor.
Terkait dengan kajian-kajian peran elite di atas, maka Potter menyebutkan, meskipun memang sangat mungkin elite yang ada tidaklah komitmen penuh dengan demokrasi liberal, tetapi pada dasarnya timbul keengganan untuk kembali ke masa otoritarianisme[47]. Karena pertimbangan itu, maka Potter melanjutkan, kelompok elite demokrasi yang masih minoritas perlu melakukasn 4 langkah utama agar demokratisasi terkonsolidasi secara baik: pertama, netralisasi actor politik yang otoriter; kedua, promosikan keinginan akan demokrasi dengan implementasinya yang saling terkait dengan memfungsikan demokrasi; ketiga, perbesar jumlah elite demokratis ataupun actor demokratis; keempat, integrasikan dan sub ordinasikan strategi actor demokrasi dengan memfasilitasi keinginan untuk tidak kembali ke periode otoriter[48].
Bila disimpulkan, maka pendekatan Teori Transisi Demokrasi menekankan pada Elite-elite Politik, pada aksi-aksi mereka yang jelas, pilihan dan strategi politik, serta membedakan proses transisi dengan konsolidasi demokrasi dan bahwa perjalanan sejarah menuju demokrasi liberal dilalui bukan dengan perubahan struktur tetapi dengan inisiatif dan tindakan para elite[49]. Dengan demikian, pendekatan teori Transisi Demokrasi memberi perhatian yang sangat besar terhadap peran elite. Dan ini pula sebabnya perspektif teori elite menjadi pilihan pendekatan teoretis kedua dalam kajian ini
b. Pendekatan Teori Elite
“Government is always government by the few, whether in the name of the few, the one or the many”, demikian ungkapan Harold Lasswell[50]. Elite dalam konteks Ilmu Politik menunjuk kesekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan, sebaliknya massa adalah bagian terbesar yang justru tidak memiliki kekuasaan[51]. Demokrasi adalah pemerintahan oleh banyak orang, tetapi dalam prakteknya demokrasi bergantung kepada sekelompok kecil orang dalam menjalankannya, inilah yang disebut dengan Ironi Demokrasi, dan bagi Harild Lasswell[52] dan bahkan dalam demokrasi, pembagian masyarakat kedalam elite dan massa bersifat universal. Elite, tidaklah dibentuk atau dilahirkan oleh sosialisme atau kapitalisme, oleh system represif atau demokratis, agricultural atau industrial, tetapi karena semua masyarakat membutuhkan elite. Apakah masyarakat itu otoriter, demokratis ataupun setengah demokratis.
Pembahasan-pembahasan tentang Teori Elite Klasik sebenarnya ditemui awalnya dalam tradisi berpikir di Italia, khususnya melalui Mosca dan Pareto dan pemikir Perancis Roberto Michels[53]. Mosca menegaskan bahwa masyarakat modern sejak dahulu selalu memunculkan 2 kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Mosca juga berpandangan, bahwa kelas penguasalah yang menentukan struktur politik masyarakat[54]. Mengapa demikian, karena meskipun jumlah elite kecil, tetapi sebetulnya dialah yang mengatur kehidupan secara keseluruhan, dan semakin besar masyarakat, semakin sukar kelompok massa mayoritas untuk mengorganisasikan sikap mereka terhadap kelompok elite minoritas itu[55]. Mosca, juga percaya dengan pergantian elite, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Moran[56]: bahwa apabila elite tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan kecakapan di hadapan kelas yang dikuasai, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai.
Sementara Pareto membedakan masyarakat menjadi 2 kelas, sama dengan Mosca. Pareto membagi dalam Lapisan Atas, yaitu elite yang masih terbagi atas elite yang memerintah dan elite yang tidak memerintah (governing and non governing elite), sedang lapisan bawah adalah non elite[57]. Baik Pareto maupun Mosca lebih memusatkan perhatiannya kepada elite yang memerintah. Konsep pergantian atau sirkulasi elite juga diperhatikan oleh Pareto, yang baginya elite yang berkuasa bisa saja kehilangan kekuasaannya akibat gangguan terhadap keseimbangan masyarakat. Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elite yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elite itu sendiri dan yang kedua dari penduduk biasa menjadi elite. Patut juga dicatat, Pareto secara tersirat memberi kesempatan dan pengesahan soal penggunaan kapasitas serta kemauan para elite untuk menggunakan kekerasan[58].
Teori-teori elite diatas, bersama dengan Robert Michel yang terkenal dengan “the iron law of oligarchy” termasuk dalam kategori teoretisi elite klasik. Percakapan tentang Teori Elite kemudian juga merambah Amerika Serikat melintasi samudrea Atlantik dan sekaligus mencoba menautkan Teori Elite dengan Demokrasi[59]. Schumpeter[60] sebagaimana Weber dan Mosca menekankan bahwa Demokrasi sebenarnya meski berpinsip pemerintahan oleh rakyat, tetapi prakteknya diperintah oleh elite. Ide utama Schumpeter kemudian adalah bagaimana proses persiapan dan pencapaian kekuasaan oleh elite dilakukan melalui kompetisi yang jujur dan adil melalui pilihan rakyat atau Pemilihan Umum. Hal ini disebabkan Schumpeter tidak yakin adanya saluran lain mengontrol elte oleh massa pemilih kecuali melalui Pemilu.
Dengan upaya-upaya panjang dalam mempertautkan Teori Elite Klasik dengan Demokrasi, sebagaimana dilakukan oleh Schumpeter di atas juga berlanjut dalam tradisi berpikir tokoh lain semisal Harold Lasswell, Robert Dahl dan Giovani Sartori[61]. Sebagaimana dikutip pada awal pembahasan Teori ini, Lasswell menekankan bahwa betapapun memang masyarakat secara politik akan terbagi atas elite dan massa. Sementara Dahl dan Sartori mengidentikkan demokrasi dengan poliarkhi yang berarti terjadinya sebuah kompetisi yang fair dan adil diantara para minoritas berpengaruh dan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan[62]. Selanjutnya Dahl menyatakan bahwa melalui proses yang kompetitif, maka elite dan pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga Negara biasa[63] dan dengan cara itu, maka interaksi aktif akan terjadi antara mereka. Rakyatpun dengan demikian akan memiliki pengaruh terhadap elite, meskipun secara alamiah posisi rakyat dan massa akan menjadi lebih lemah[64].
Kajian-kajian kaitan antara Teori Elite dengan Demokrasi yang secara luas dikemukakan melalui para tokoh di atas, sebetulnya datang dari konsep bagaimana kekuasaan elite tersebut boleh dipengaruhi oleh massa atau rakyat. Artinya, bagaimana mempertautkan apa yang dinamakan ironi demokrasi pada bagian depan, sehingga benar-benar esensi dan substansi bahwa demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat terekspresikan dalam elite pemerintahannya melalui proses-proses yang memungkinkan rakyat dalam mengontrol elite yang minoritas. Sampai pada titik ini, kemudian Lasswell menyimpulkan:
…”In western democracies, elites have multiple institutional bases of power. Not all power is lodged in government, nor is all power derived from wealth. Democracies legitimaze the existence of opposition parties as well as of organized interest groups…But it is really the power and autonomy of non governmental elites, and their recognized legitimacy, that distinguishes the elite structure of democratic nations from thoseof totalitarian state[65]”.
Dengan melintasi samudera Atlantik, maka teori elite kemudian memperoleh perspektif baru, yakni bersinergi dengan demokrasi serta bahkan menerima sumbangan dari paham pluralisme dalam demokrasi. Sebagaimana disebutkan oleh Dahl dalam Poliarkhi serta juga penegasan lain dari Sartori ketika menyatakan bahwa:
“Democracies are characterized by diffusion of power … by a multiplicity of criss-crossing power groups engaged in coalitional maneuverings[66]”.
Hal ini nampaknya mirip dengan penegasan Dahl dalam Poliarkhi soal adanya multiple power yang dapat merepresentasi berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam berkontribusi terhadap keterkaitan demokrasi plural dengan teori elite, Lasswell kemudian menekankan beberapa hal[67] bahwa dalam paham pluralism ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, masyarakat terbagi atas berbagaikelompok yang memiliki keinginan dan tuntutan kepada pemerintah tanpa mendominasi proses pembuatan keputusan. Kedua, meskipun warga Negara tidak berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan, pemimpin mereka mampu mengadopsi pikiran mereka melalui mekanisme tawar menawar, akomodasi maupun kompromi. Ketiga, kompetisi antar para pemimpin menolong terakomodasinya kepentingan mereka. Keempat, Kepemimpinan terbuka, kelompok baru boleh dibentuk untuk ikut memperjuangkan kepentingan politiknya. Kelima, meskipun pengaruh politik dalam masyarakat terdistribusi, tetapi kekuasaan sebetulnya tersebar. Kepemimpinan yang berasal dari banyak basis kekuasaan eksist, dan tiada satupun kelompok yang sangat dominant dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan pemikiran demikian, maka Etzioni-Haleva[68] menyimpulkan bahwa Elite bisa didefinisikan sebagai:
…”those people who have an inordinate share of power, on the basis of their control of resources. Resources are simply those things which are scarce, which affect people’s live, which at least some people require or want, and for which there is more demand than supply[69]”.
Dengan defines ini kemudian Etzioni membedakan elite dan sub elite. Elite adalah mereka yang berada pada top level atau puncak kekuasaan sementara sub elite adalah mereka yang menduduki ranking atau tingkatan menengah dari struktur kekuasaan, sementara rakyat berada pada tingkat yang paling bawah[70]. Lapisan elite terdiri dari: Pemerintah, anggota dari parlemen atau kongres, serta juga anggota pemerintah dan pimpinan partai dan kelompok oposisi (bila ada disatu Negara). Termasuk dalam kategori elite adalah, Birokrasi, militer, polisi dan para penegak Hukum (judiciary). Termasuk juga dalam kategori ini adalah elite ekonomi (bisnis), terutama top manajer dari organisasi bisnis berskala besar serta juga pemimpin utama dari buruh serta organisasi perdagangan, mereka terkategori kelompok kepentingan dalam masyarakat modern. Di posisi elite, juga masuk para tokoh utama media, baik elektronik maupun media cetak, juga apara akademisi dan kelompok intelektual serta akhirnya pemimpin-pemimpin utama dari gerakan-gerakan social ataupun gerakan demokratis/gerakan protest.
Sub elite, memiliki kekuasaan yang sedikit dibawah elite, termasuk disini adalah pemimpin-pemimpin kelompok kepentingan yang tidak terlalu besar, dari kalangan bisnis juga para pemilik dan manager dari perusahaan besar (tidak sebesar di kelompok elite). Termasuk juga, kalangan menengah dari birokrasi Negara termasuk polisi dan tentara pada rangking menengah, pemimpin gerakan social yang lebih kecil, juga media dan akademisi serta acitivist partai buruh dan pimpinan gerakan social. Atau dengan kata lain, sub elite adalah mereka yang menduduki posisi kedua dibawah posisi elite dari struktur dan organisais mana mereka berasal.
c. Teori Institusionalism/Kelembagaan
Guy Peters[71] mendiskusikan 7 pendekatan Kelembagaan dalam ilmu politik dan sosiologi sebagai Pendekatan Neo Institutionalism atau pendekatan “Kelembagaan Baru”. Tetapi, bukan pada tempatnya mendiskusikan dan mengkaji ketujuh pendekatan kelembagaan menurut Guy Peters tersebut. Untuk kebutuhan analisis Kelembagaan bagi makalah ini, maka akan dikaji pendekatan Neo Institutionalism mengikuti David Apter[72] dan tentu dengan berupaya mengkombinasikan beberapa argumentasi yang dibangun Guy Peters.
Pendekatan Kelembagaan (Klasik) memberikan perhatian utamanya kepada pada Hukum dan Konstitusi, dalam bagaimana Pemerintah dan Negara, Kedaulatan, Juridiksi, lembaga perwakilan bekerja dan berevolusi dalam bentuk-bentuknya yang berbeda. Guy Peters[73] menegaskan, bahwa memang karakteristik pertama dari pendekatan kelembagaan adalah berpusat pada Hukum dan peran Konstitusi dalam memerintah. Guy Peters menyimpulkannya melalui kajian dan perbandingan dengan peran Hukum di Eropa dan Anglo-Amerikan, dimana Hukum memegang peranan yang sangat penting dalam mengatur sector publik[74]. Karena itu, Guy Peters kemudian menyatakan:

…”Therefore, to be concerned with political institution was (and is) to be concerned with law”[75].

Pendekatan Kelembagaan memang mendasarkan pendekatannya terutama kepada lembaga-lembaga pemerintahan yang dipikirkan menentukan kehidupan politik sebuah Negara. Evolusi fungsi lembaga-lembaga tersebut, dirunut kebelakang oleh Apter[76] dan bahkan kemudian dengan sangat mengagungkan western karakter dari Demokrasi, juga mengklaim prinsipnya sebagai universal. Terutama dengan mengandalkannya pada differensiasi pemerintahan sipil, system perwakilan dan pengadilan, kekuasaan eksekutif dan pemerintahan lokal. Pendekatan Perbandingan Politik dengan menggunakan Kelembagaan berupaya melihat bagaimana semua lembaga ini bekerja, termasuk kemungkinan-kemungkinan perubahannya.

Neo Institutionalisme – Kelembagaan Baru: Apter memandang dan menggambarkan pendekatan Kelembagaan Baru sebagai sintesa atau perpaudan antara pendekatan kelembagaan lama dengan kepedulian terhadap Developmentalisme[77]. Hal ini sedikit berbeda dengan pendekatan Guy Peters yang menyimpulkan bahwa rasionalisasi kehadiran pendekatan kelembagaan Baru adalah penafsiran kembali atas disiplin Behavioralisme dan Pilihan-Pilihan Rasional[78]. Tetapi, bila mempertimbangkan kembali bahwa kritik terhadap behavioralisme terutama karena ketidakmampuannya dalam menjelaskan fenomena politik dan krisis besar pada masa itu (tahun 1960an) dan keinginan melahirkan ilmu politik yang dapat melayani orang miskin, tertindas dan terbelakang[79], maka bisa diduga sebenarnya argumentasi mereka bergerak sejajar. Selain itu, Apter juga membahas sekitar teori pilihan rasional[80] sebagai salah satu pijakan kuat dari apa yang disebutnya pendekatan kelembagaan baru. Dengan demikian, apabila Apter banyak memberi perhatian dan membahas soal komitmen ke dunia ketiga dan bahkan transisi demokrasi, maka Guy Peter membangun pendekatan teoretis terutama dengan mengkaji revolusi behavioralisme dan pilihan rasional serta juga kemudian kajian-kajian yang ditulis oleh James March dan Johan Olsen[81].

Mengikuti Apter, selanjutnya Sistem Politik kembali menelaah dengan mengkombinasikan apa yang disebut sebagai kepentingan Negara-negara tertinggal (Dunia Ketiga) dengan kepentingan-kepentingan di Eropa. Pendekatan ini, juga memperhatikan tingkah laku politik (political behaviour), termasuk tindakan dan prilaku memilih dan analisa perubahan partai politik serta implikasi ataupun signifikansi perubahan tersebut terhadap Negara (Lipset dan Rokkan)[82]; serta bahkan juga memasukkan masalah-masalah elite dan demokratisasi (Linz and Stephen). Kepedulian khusus terhadap Kesejahteraan Sosial dan Sosial Demokrasi sebagai alternatif dari Autoritarianisme, Paham ini beranjak dari apa yang oleh Paham kelembagaan lama disebut sebagai “Great Depression” dipahami kemudian lebih jauh menjadi generalisasi dari Negara Kesejahteraan Sosial, dengan ujung tombak Sosial Demokrat dan Partai Buruh sebagai contoh di Inggeris. Dimana-mana di Eropa, campur tangan Negara dalam kehidupan politik menjadi meningkat atas nama perhatian terhadap masyarakat yang kurang beruntung.

Neo Institutionalisme menjadi dekat dengan Developmentalisme justru ketika berbicara masalah Transisi Demokrasi. Meskipun keduanya menggunakan strategi yang berbeda untuk menganalisis masalah tersebut, terutama juga berdasarkan pengamatan dan analisis empiris yang berbeda. Study-study yang dikategorikan oleh Apter sebagai “post Weberian”[83] dilakukan oleh Reinhard Bendix, Barrington Moore, Skockpol dan bahkan hingga ke Guilermo O’Donnel, Schimtter dan Whitehead dengan melakukan komparasi histories atas perkembangan dan kasus-kasus di Perancis dan Inggeris, India dan jepang, Rusia dan China yang terutama menggunakan pendekatan kelas dan kasus Amerika Latin dalam kaitan hubungan Birokrasi dan Negara. Semua menggambarkan bagaimana bentuk Negara dan pembentukan Negara dikaitkan dengan Demokrasi dan Autoritarianism.

Posisi penting lainnya dari pendekatan ini adalah penggunaan teori pilihan rasional, yang menjadi semakin penting dan semakin sering digunakan dan diaplikasikan dalam menjawab pertanyaan tentang apa yang dalam demokrasi disebut sebagai “double market”, yakni ruang diantara pasar ekonomi dengan politik, sebagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Downs dan Olson dan variannya ditemukan antara lain hingga ke Hetcher, Bates dan Przeworski. Yang terakhir ini berargumentasi bahwa, kemampuan regime dalam bertahan secara demokratis, antaranya melalui apa yang disebutnya “Insentive” yang memungkinkan kelompok politik ataupun regime berkuasa masih dapat terus berkompetisi secara demokratis. Dengan menyelesaikan persaolan-persoalan kesejahteraan social dan dengannya mereduksi inequality, maka lembaga pemerintahan dapat kembali berada pada pusat tetapi juga sekaligus menjawab persaoalan-persoalan kesejahteraan.

Menurut Apter, pendekatan Kelembagaan Baru ini tidak seketat pendekatan Kelembagaan Lama dalam memandang Konstitusi, dan lebih menekankan factor-faktor social-ekonomi dan analisisnya serta kebijakan moneter dan globalisasi. Tetapi, seperti juga Pendekatan kelembagaan Lama, Pendekatan kelembagaan Baru juga peduli dengan Negara dalam fungsi intrumentalnya, dengan kecenderungan dan kebutuhannya dan bagaimana konfigurasi kekuasaan serta bagaimana cara Negara memperlakukan Civil Society. Dengan ringkas kata, Pendekatan kelembagaan Baru lebih terkait dengan Teori Sosial dan Politik sementara Kelembagaan Lama lebih terkait dengan Filsafat politik, juga Kelembagaan Baru dekat dengan Ekonomi-Politik.

IV. Demokrasi – Demiliterisasi – Pembangunan Politik di Indonesia dan Chili
Secara umum, route atau perjalanan menuju demokrasi antara Chili dan Indonesia nyaris mirip. Chili[84], mengalami proses panjang berdemokrasi sebelum kudeta militer yang dipimpin Jendral Pinochet memimpin kudeta militer dan mengungkung Negara tersebut dalam periode panjang otoriterism. Padahal, sebelumnya Chili sudah mengalami proses bernegara yang demokratis[85], hanya saja gagal menangani depresi ekonomi pada tahun 1970-an yang memuncak pada konflik politik dan mengakhiri kekuasaan regime socialist Allende melalui Kudeta Militer[86]. Menurut Javier Causo, proses demokrasi Chili terinterupsi, karena konstitusi yang mendukung demokrasi juga mengalami interupsi[87] selama 17 tahun sampai kemudian Jendral Pinochet mengalami kekalahan dalam Plebisit Oktober 1988 dalam upayanya mencari dukungan untuk terus berkuasa sampai tahun 1997. Pinochet membangun kekuasaannya dengan kekuatan militer pada tahun 1974-1979 yang kemudian diteguhkan dengan Pelibist pertama pada tahun 1980 yang menguatkan peran otoriterisme Pinochet dan kuatnya pengaruh militer dalam struktur politiknya[88]. Tetapi, tekanan internasional dan dugaan bahwa perbaikan ekonomi akan memenangkan pilihannya, justru membuat Pinochet, terlalu yakin dan gagal melegitimasi kekuasaannya pada tahun 1988[89]. Plebisit kedua gagal yang segera dilanjutkan dengan pemilihan Presiden baru pada tahun 1990 dan menghasilkan Patricio Alwyn dari Partai Kristen Demokrat sebagai Presiden dan proses redemokratisasi kembali berjalan di Chili meski kekuatan dan pengaruh militer masih tetap kuat[90].
Indonesia[91] juga mengalami proses berdemokrasi sebelum tahun 1967, terutama pada proses Demokrasi Liberal berlangsung di Indonesia tahun 1950-1959. Tetapi, memasuki masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno pada tahun 1959-1967 dan kemudian masa Orde Baru 1967-1998, Demokrasi di Indonesia mengalami periode suram. Terutama dibawah pemerintahan Soeharto, kondisi Indonesia nyaris mirip Chili. Penjelasan O’Donnel dan juga Hikam mengenai Negara Birokrasi Otoriter (Negara BA menurut O’Donnel)[92], benar-benar memenuhi kriteria Indonesia dan sangat memadai menjelaskan watak regime orde baru yang sangat militeristik. Harus juga diingat, bahwa dalam kasus Amerika Latin, O’Donnel mencatat bahwa Chili adalah prototype sempurna dalam kasus Latin yang memenuhi penjelasannya soal transisi dari Negara BA atau Birokratik Otoriter ke Demokrasi[93]. Kekuasaan otoriter Soeharto baru berakhir setelah 32 tahun mencengkeram Indonesia pada tahun 1998, diawali oleh krisis ekonomi yang luar biasa parahnya[94]. Akibatnya, gelombang protes yang digalang kekuatan pro-demokrasi bersama dengan mahasiswa memaksa Soeharto mengundurkan diri dan Pemilu pertama yang demokratis dilaksanakan pada tahun 1999, untuk kemudian memulai kembali proses demokratisasi di Indonesia.

1. Demokrasi Indonesia dan Chili

Bila indikator ataupun parameter yang ditetapkan dalam kajian terdahulu soal Demokrasi yang diterapkan dalam menganalisis demokrasi di Indonesia dan Chili, maka secara umum Indonesia dan Chili masih belum jauh berbeda. Pemilihan Umum yang regular sudah berlangsung dengan baik di kedua Negara, baik Chili maupun Indonesia dengan tingkat kompetisi yang semakin berkualitas. Chili, terutama sejak kemenangan koalisi partai yang didukung oleh Gereja Katolik dan menghasilkan 55% suara, kemudian sudah beberapa kali melakukan pemilihan presiden secara regular dan teratur, sementara Indonesia sudah melakukan Pemilihan Umum regular yang demokratis pada tahun 1999 dan tahun 2004. Bahkan, untuk pertama kalinya dilakukan Pemilihan Presiden secara langsung pada tahun 2004 sebagaimana Chili melakukannya setelah tahun 1988. Dengan demikian, baik Chili maupun Indonesia memenuhi standar atau criteria pertama dari demokrasi liberal, dalam hal terjadinya kompetisi yang fair dan adil melalui Pemilihan Umum.

Parameter kedua, adalah adanya pertanggungjawaban pemerintah dalam hal ini kebijakan-kebijakannya berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya dari rakyat kepada masyarakat. Di Chili, setelah pemilihan Presiden tahun 1989, kemudian disusul dengan pemilihan Anggota Kongres yang pada gilirannya meneguhkan kepemimpinan sipil atau pemerintahan sipil disana. Sementara di Indonesia, relatif setelah Pemilu 1999 dan kemudian 2004, pemerintahan memang sudah sebagaimana yang dialami Chili, yakni Pemerintahan sipil, meskipun bukannya tanpa masalah. Persoalan-persoalan demokrasi di Chili dan Indonesia nampaknya tidak banyak berkutat dengan masalah pertanggungjawaban pemerintah atas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kemungkinan besar, karena semakin berperannya Kongres di Chili dan Perwakilan (MPR dan DPR) di Indonesia, sehingga proses control melalui mekanisme perwakilan relative secara kelembagaan eksist.

Parameter ketiga mengenai kontrol masyarakat dalam ekspresi memilih kembali atau memilih yang lain melalui Pemilu, relatif sudah terpenuhi dengan mekanisme pada parameter pertama dan kedua. Sementara parameter keempat, dalam bentuk kebebasan berkumpul, berserikat serta berekspresi dan pers bebas, juga relatif berada dalam kondisi yang serupa. Masalah-masalah demokrasi yang utama dibahas dan masih dipersoalkan di Chili dan Indonesia memang bukan lagi masalah ini. Hal ini nantinya akan semakin jelas dalam persoalan pembangunan politik atau konsolidasi demokrasi.

Bila demikian, sebenarnya, baik Chili dan Indonesia sudah memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai Negara Demokrasi. Dengan berlangsungnya pemilu secara regular, berfungsinya alat perwakilan rakyat (Kongres di Chili dan MPR/DPR RI di Indonesia), terjaminnya kebebasan berorganisasi dengan dipulihkannya kekuatan dan eksistensi Partai Politik di Chili dan berlakunya kembali system multi partai di Indonesia, dan jaminan atas HAM serta kebebasan pers di kedua negara. Tetapi, apa persoaan Demokrasi dan Demokratisasi dewasa ini di Chili dan Indonesia? Atau lebih tepatnya, bagaimana kondisi relatif demokratis di Chili dan Indonesia tercipta dewasa ini? Hal ini nampaknya yang perlu dijelaskan dalam perspektif teoretis yang menjadi pendekatan kajian ini:

Harus ditegaskan, bahwa baik Chili maupun Indonesia bukannya tidak menghadapi persoalan dalam masa peralihan atau transisi, baik di Chili sejak tahun 1973, maupun di Indonesia sejak tahun 1998. Penjelasan soal transisi ini, juga nanti akan menyinggung dan berkaitan dengan tema dan topik Demiliterisasi dan Pembangunan Politik, dan karenanya beberapa hal akan lebih diperjelas dalam tajuk tersebut. Persoalan-persoalan yang dihadapi Chili pasca tahun 1973 dan proses transisi menuju demokrasi Dijelaskan dengan baik oleh Ferguson[95] dan Portales[96]. Chili berkutat dengan persoalan control penggunaan dana kampanye yang sangat minimal, juga krisis ekonomi pada awal 1980-an, pemilihan senator-senator, Presiden tidak punya kekuatan untuk mengganti Panglima Militer, Kekuatan militer yang masih sangat signifikan berdasarkan Plebisit 1980 yang belum mampu direform, serta masih diawasinya kepemimpinan sipil oleh militer, selain juga Pinochet menjadi Senator seumur hidup dan masih memegang jabatan Pimpinan Tertinggi militer dan sangat berpengaruh. Sementara di Indonesia, persoalan pengaruh militer dalam bidang politik, juga tetap menjadi persoalan dalam transisi, sementara juga krisis ekonomi masih tetap membayang dan implikasi lain seperti masalah korupsi dan masalah otonomi daerah terkait ancaman disintegrasi serta toleransi horisontal atau solidaritas horizontal.

Dalam perspektif Study Transisi Demokrasi, maka depresi ekonomi pada tahun-tahun 1987-1988 bersamaan dengan tekanan Internasional di Chili, telah merangsang pergerakan kembali kelompok oposisi. Keuntungan besar bagi gerakan ini adalah dukungan Gereja Katolik yang memainkan peranan sangat signifikan, sebagaimana digambarkan oleh Monicca Jimenez de Baros[97]. Kelompok Oposisi Partai dan terutama Gereja Katoliklah yang menjadi penentu utama dalam perspektif Teori Elite Pluralist, yang kemudian didukung oleh gerakan-gerakan civil society, dalam hal ini aktivis NGO, yang berhasil membendung Plebist II tahun 1988 yang akan melegitimasi regime militer-politik meminjam bahasa O’Donnel di Chili. Strategi penggalangan kampanye yang digambarkan Monicca, menggambarkan betapa penetrasi gerakan civil society ini mampu menembus semua kalangan dan kebetulan pada saat yang sama media juga terlibat dalam proses perlawanan terhadap upaya plebisit kedua tersebut. Sementara di Indonesia, upaya memecah kebuntuan melawan regime orde baru, juga sama dengan Chili, menemukan momentumnya pada saat krisis ekonomi. Akumulasi gerakan civil society[98] yang kemudian pada tahun 1998 dipelopori oleh elite anomaly-mahasiswa, ternyata mampu menembus tembok kekuatan regime Soeharto.

Proses transisi di Chili dan Indonesia, nampaknya bila mengikuti logika pemerintahan interim Shain dan Linz sebagaimana digambarkan dalam bagian terdahulu, mengambil bentuk paduan antara Gerakan Oposisi dan Regime terdahulu. Ini, menurut Shain and Linz sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu, merupakan salah satu jalan yang bisa menjamin proses transisi. Di Chili, regime Pinochet, tidak langsung diberantas habis, malah Pinochet masih menjadi Senator seumur hidup dan kekuatan militer masih sangat signifikan. Demikian juga di Indonesia, peran mesin politik Orde Baru dalam hal ini GOLKAR dan Militer masih sangat signifikan, karena itu proses paduan kedua kekuatan ini menjadi pilihan pada masa transisi. Tetapi, pada saat yang sama terjadi peningkatan peran yangs angat signifikan pada tataran elite dan sub elite mengikuti pemikiran Etzioni, dalam hal ini peningkatan peran pimpinan puncak dan menengah baik media, akademisi, maupun partai politik.

2. Demiliterisasi di Chili dan Indonesia

Sebagaimana diungkapkan di atas, persoalan militer adalah agenda utama demokratisasi baik di Chili maupun di Indonesia. Tulisan-tulisan yang dikutip mengenai Chili dan Indonesia, baik Ferguson, Hudson ataupun Skidmore dan Potales tentang Chili serta Kusnanto Anggoro, Anak Agung, Emmerson dan Douglas Ramage, memperlihatkan bagaimana upaya menempatkan militer pada porsi yang sebenarnya. Atau, mengikuti logika Isima: mereduksi peran militer dalam ranah politik.

Tetapi, haruslah diakui bahwa memang pekerjaan tersebut bukan pekerjaan mudah. Proses militerisasi berjalan dengan cara agak berbeda di beberapa Negara, sehingga mereduksi peran militer menjadi minimal juga dibutuhkan cara dan pendekatan yang akan berbeda. Andre Gunder Frank, seorang pengikut mazhab ketergantungan (mazhab dependency), misalnya menjelaskan persoalan intervensi militer atau militerisasi sebagai kegagalan demokrasi dan bentuk lain Negara borjuis dalam menyelaraskan tuntutan kebutuhan modal dunia dengan mengendalikan konflik local, titik ini akan dipergunakan sebagai kesempatan militer untuk mengambil alih dan memperbesar kekuasaannya[99]. Tetapi, O’Donnel menggunakan logika Negara Birokratik otoriter dalam menjelaskan kasus Amerika Latin[100]. Baginya regime militer semacam ini, muncul pada saat tertentu dalam suasana ketergantungan akibat pengeroposan industri substitusi impor sebagai sarana perluasan ekonomi domestic. Hasilnya adalah krisis ekonomi yang parah dan meningkatykan mobilisasi rakyat, mobilisasi ini dianggap bahaya dan dalam doktrin “keamanan nasional”, maka perwira militer akan melakukan campur tangan. Tetapi, di Indonesia, penjelasannya bisa sangat berbeda. Ramage Douglas[101] misalnya menegaskan bahwa militer Indonesia memahami dirinya sebagai bagian dari rakyat dan ikut bersama memperjuangkan Negara, dan ini melahirkan politik jalan tengah Nasution pada tahun 1950-an. Meskipun demikian, penjelasan teoritisnya, bisa saja kemudian mengikuti logika O’Donnel maupun Frank, terutama pada tahun 1967 dan seterusnya yang menandai regime orde baru yang sangat otoriter dan didukung sepenuhnya oleh militer.

Sebagaimana Chili dengan pinochetnya, demikian juga Indonesia dengan Soehartonya, merupakan top elite dari Chili dan Indonesia. Melalui Plebisit 1980, Pinochet memegang kekuasaan tidak terbatas di Chili dengan dukungan militer, sehingga Manuel Garriton[102] menyebut regim ini adalah regime “militer-politik”. Sementara di Indonesia, Soeharto membangun kekuatan dirinya berbasiskan militer dan birokrasi, mirip Chili, dan meneguhkan doktrin dwi-fungsi ABRI tahun 1960-an sebagai salah satu entry-point militer mengintervensi secara luas dunia politik Indonesia.

Dalam perspektif Transisi Demokrasi, inilah tantangan terberat dari demokratisasi di Chili dan Indonesia, yakni bagaimana mengembalikan militer pada fungsi profesionalnya, atau kasarnya bagaimana mengembalikan militer ke barak. Persoalan ini menjadi lebih rumit, karena campur tangan dan kewenangan militer dalam ranah public Chili dan Indonesia, dalam perspektif institusionalisme justru terlembagakan, baik dari segi doktrin maupun dukungan konstitusi dan keterlibatan personal militer di lembaga perwakilan rakyat, dan ini terjadi di kedua Negara. Indonesia pernah memiliki Kopkamtib dengan kewenangan yang luar biasa represifnya, demikian juga Chili pernah militer dan kelembagaannya memiliki otonomi, dimana Panglimanya bahkan setelah Pinochet dikalahkan, tetap tidak bisa diganti oleh Presiden.

Meskipun demikian, tuntutan melakukan pembaharuan di Indonesia dengan menggugat Dwi Fungsi Militer sebagaimana digambarkan Anak Agung dalam bagian terdahulu, haruslah diletakkan dalam konteks keinginan perubahan secara institusional. Demikian juga dengan UU Pertahanan yang baru, dengan mereduksi bisnis militer meski masih tersisa jejak “terotorialisme” militer, tetapi merupakan sebuah langkah maju. Percakapan soal Defence White Paper 2003, adalah upaya untuk melakukan demiliterisasi secara gradual[103], sementara UU pertahanan merupakan proses pelembagaan dalam perspektif kelembagaan. Perubahan yang drastic dalam bentuk mengembalikan militer ke Barak, mungkin memang masih akan butuh waktu lagi, tetapi proses menuju kesana dilakukan, bahkan oleh banyak kalangan. Dalam perspektif elite, tuntutan ini dilakukan terutama oleh kalangan elite kelas menengah dari kelompok NGO’s dan juga mahasiswa serta akademisi, sementara di tingkat Legislatif, upaya tersebut masih diperjuangkan terus.

Demiliterisasi di Chili, masih merupakan persoalan besar. Mengapa? Karena rembesan dan legitimasi kelembagaan bagi intervensi militer malah jauh lebih parah disbanding Indonesia. Portales menggambarkannya dengan baik[104] dan karenanya beranggapan perjuangan utama demiliterisasi di Chili harus dengan melakukan perubahan dan reduksi judicial dan konstitusional yang melegitimasi pelembagaan campur tangan militer dalam ranah public Chili. Karena itu, Portales menegaskan:

…”Reforming the judicial structure of the country, including the military court system, and in the process fostering democratic development, appeared as an attainable goal for the new government[105]

Konstitusi 1980-an lah yang memberi legitimasi besar kepada Pinochet dan Militer untuk mengintervensi politik, bahkan juga system peradilan militer Chili. Karena itu, proses peradilan terhadap para petinggi militer Chili selalu gagal, selain juga pimpinan militer tidak tersentuh oleh Presiden. Presiden Alwyn dan juga Frei, terhitung tidak berdaya berhadapan dengan impunity Pinochet dan militer Chili, meski perjuangan untuk melakukan demiliterisasi terus menerus dilakukan.

Nampaknya, proses demiliterisasi di Indonesia relatif berjalan lebih mulus dibandingkan dengan Chili, padahal top elite orde baru Indonesia masih hidup dan masih cukup berpengaruh. Meskipun awalnya resistensi militer termasuk kuat dalam menyikapi demiliterisasi di Indonesia, tetapi proses demi proses, tahap demi tahap, seperti menghilangkan representasi tidak dipilih militer di DPR RI dan MPR RI sudah terbilang sukses, juga mekanisme kekaryaan militer aktif sudah dibatalkan, termasuk pelembagaan baru militer melalui UU Pertahanan No 12 tahun 2004. Dipandang dari sudut transisi demokrasi, fenomena ini, terutama dengan dukungan kuat komitmen demokrasi dari civil society, legislator dan pemerintah sipil, merupakan sebuah prestasi dan peningkatan kualitas demokrasi yang signifikan, meski tetap menyisakan agenda lainnya. Chili nampaknya bergerak jauh lebih lamban dalam proses demiliterisasi, meski transisinya berjalan sejak tahun 1990-an. Ferguson mencatat:

…”However, we should note that the current stability in part has been achieved by a certain convergence between the main parties, a relatively strong economy, and the ability to avoid a head-on conflict over the Allende and Pinochet legacies (Reuss 2001). Certain features of the democracy remain unusual … the implicit recognition that the army does have a special political role in the nation, in part through the National Security Counsel - the Cosena, the fact that the President cannot directly dismiss military commanders as well as retaining a certain degree of immunity, even if this is not invoked[106].
Memang, pergerakan dan arah menuju demiliterisasi sudah dan sedang dilakukan, tetapi progress kearah itu terasa lamban, sebagaimana Ferguson juga menunjukkan kutipannya atas upaya tersebut melalui Bearman (2001), bahwa:
…”Efforts have been made to reform these areas through 2000-2001, with moves to constitutionally remove unelected senators and to ensure presidential/civil control of the military. But progress has been slow”[107].
Sementara di Indonesia sendiri, meski pengaruh militer juga relatif kuat, tetapi secara kelembagaan militer berada di bawah Presiden, berbeda dengan di Chili yang masih sedang mengupayakannya.
3. Pembangunan Politik
Pembangunan Politik, sebagaimana telah didefisinikan di depan, merupakan proses pelembagaan atau institusionalisasi organisasi-organisasi politik lengkap dengan tata kerjanya, dan dengan memperhatikan pula factor-faktor pendorong yang disebut energi perubahan yang bersumber dari ekonomi, politik dan social dan menampakkan pertumbuhan dan perkembangan lembaga terkait. Konsep ini, sebagaimana diungkap pada bagian awal, nampaknya percaya dengan tahapan perkembangan atau progress yang sejalan dengan ide modernisasi, yakni adanya pertumbuhan positif dari yang lebih terbelakang ke tahapan yang lebih maju dan modern.

Pembangunan Politik di Chili dan Indonesia, tentu haruslah disebut dalam sisi progress yang positif. Meskipun beberapa ahli semisal Hikam menyebut bahwa proses yang terjadi sebenarnya adalah redemokratisasi[108], dengan asumsi yang dibangun di atas pemahaman O’Donnel dan tentu karena Indonesia dan Chili pernah mengalami masa demokrasi liberal, tetapi dalam konteks Institusionalisasi, terjadi sejumlah perubahan signifikan baik peran maupun proses ekspresi banyak lembaga politik di Chili dan Indonesia. Di Chili, krisis ekonomi dan ancaman kelanjutan regime Pinochet apabila menang dalam Plebisit II tahun 1980, memaksa banyak lembaga civil society untuk bekerja keras[109]

Makalah ini memandang dan menggunakan terminology Pembangunan Politik dengan banyak mendasarkannya pada pemahaman Huntinthon, yakni proses pelembagaan atau institusionalisasi dari organisasi-organisasi politik beserta dengan tata kerjanya dengan juga memberi perhatian pada konsep Eckstein dan Dorsey soal energi perubahan pada Politik, Sosial, Ekonomi (Dorsey) dan konsep pertumbuhan dalam politik (Ekckstein). Suatu hal yang perlu dicatat Eckstein nampaknya secara implisit memandang bahwa pertumbuhan yang dimaksudkannya dalam Pembangunan Politik agak dekat dengan konsep modernisasi, terutama ketika dia membahas Pembangunan Politik dan mendasarkan konsep pembangunannya pada soal modernitas dan konsep Durkheim tentang pembangunan Implikasinya, ketika diterapkan dalam konteks dunia ketiga adalah bagaimana proses pembangunan politik berusaha memandang dan meninjau proses di pemerintahan berkembang dengan mengacu ke pemerintahan yang lebih maju. Demikian juga Partai Politik, yang pada akhirnya berkoalisi untuk memenangkan mosi menentang Plebisit, sebanyak 13 partai berkoalisi dan didukung oleh Gereja Katolik.

Pada sisi lain, secara kelembagaan, terjadi reduksi peran kelembagaan regime Pinochet akibat kegagalannya dalam mengatasi krisis ekonomi dan menjawab tantangan dan kritik serta tekanan Internasional. Upaya Plebisit, sebenarnya adalah upaya Pinochet untuk menggali kembali legitimasi kekuasaannya dan melanjutkan penguasaannya secara otoriter atas Chili. Tetapi, kondisi social, politik dan ekonomi, tidak lagi menguntungkannya dan berakibat kekalahan baginya. Pergeseran yang kontradiktif terjadi. Pada masa keemasan Pinochet, kelompok Oposisi relatif kehilangan arah perjuangan, demikian juga kelompok civil society. Tetapi, arus perubahan disertai degradasi legitimasi Pinochet dan regime otoriter-birokrasinya, menghembuskan angina perubahan dan mengkonsolidasi kelompok oposisi, civil society dan gereja untuk membaharui fungsi dan eksistensinya. Kelompok-kelompok ini jugalah yang kemudian menjadi tokoh-tokoh utama dalam konteks elite teori yang mempengaruhi proses pelembagaan politik pasca jatuhnya regime Pinochet. Pelaksanaan Pemilihan Umum di Chili hingga saat ini, menunjukkan semakin stabilnya peran masing-masing lembaga politik tersebut, baik Pemerintahan Sipil dan peran signifikan Pers, Partai Politik baik sayap kanan maupun kiri, hingga ke gerakan Civil Society.

Sementara di Indonesia, kondisi yang kurang lebih sama dengan akselerasi yang berbeda ditinjau dari segi waktu juga terjadi. Proses-proses pelembagaan peran dan dorongan perubahan yang dihasilkan oleh perubahan pada bidang ekonomi terutama karena krisis ekonomi, serta tuntutan politik kelompok pro demokrasi, membuat proses delegitimasi kekuasaan Orde Baru terjadi. Meskipun demikian, tidaklah berarti kelembagaan politik orde baru tumbang dan secara otomatis lembaga-lembaga politik alternatif kelompok perjuangan demokrasi berkibar. Jatuhnya regime orde baru, kemudian disusul dengan sejumlah perubahan yang cukup signifikan dalam konteks poilitik Indonesia. Seperti dihapuskannya militer dari perwakilan rakyat, pers bebas, serta aturandemonstrasi yang lebih longgar.

Pembangunan Politik di Chili dan Indonesia, memang mengalami peningkatan yang signifikan bila dikaitkan dengan ukuran modernisasi. Sejumlah lembaga yang berciri demokrasi, seperti Pemilihan Umum, perwakilan rakyat, pers bebas dan ruang yang jelas bagi kelompok civil society terlembagakan secara gradual. Semua pelembagaan ini merupakan indicator yang standar diterima dan diakui dalam tradisi demokrasi liberal, meskipun masih menyisakan agenda demiliterisasi di Chili dan Indonesia dengan skala lebih berat di Chili.

Dari perspektif elite pluralist, secara otomatis pengaruh dan peran elite maupun sub elite menjadi semakin berimbang dalam posisi dan perannya masing-masing. Proses kelembagaan yang baik, baik Kongres dan Senator di Chili maupun MPR dan DPR di Indonesia, memberi konsekwensi positif bagi pelembagaan peran elite dalam konteks politik kedua Negara.

E. Kesimpulan dan Penutup

Proses Transisi di Chili dan Indonesia, meski secara out line dan garis besar memiliki banyak kemiripan, tetapi juga sebenarnya memiliki beberapa perbedaan. Dalam kasus Chili, proses transisi ditandai dengan koalisi diantara Partai Politik Oposisi yang mampu kemudian merumuskan arah perjuangan baru dalam krisis ekonomi Chili, berkolaborasi dengan kekuatan civil society. Di Indonesia, peran partai politik relative kecil dan kurang signifikan, kecuali misalnya PDI Perjuangan, tetapi peran terbesar datang dari kelompok pro demokrasi yang lebih banyak berbasis NGO’s dan mahasiswa. Peran kecil dari Partai Politik di Indonesia, sebenarnya disebabkan oleh dikkoptasinya parpol tersebut selama masa orde baru, sehingga jejak-jejak multi partai yang kuat pada demokrasi liberal nyaris tidak ditemukan. Berbeda dengan Chili, yang mampu merekonsolidasi perjuangan parpol sehingga bersignifikansi positif dalam mengalahkan Pinochet dalam Plebisit tahun 1988 dan setahun kemudian menghasilkan Presiden baru.

Peran gereja Katolik, sebagaimana digambarkan Monicca dan juga Manuel Garreton, sangatlah signifikan, karena lembaga itu menjadi satu-satunya lembaga yang masih diterima oleh masyarakat Chili dalam kaitan dengan represi Pinochet. Sementara di Indonesia, peran agama-agama lebih ke sumber dan inspirasi moral bagi perjuangan melawan penindasan. Kooptasi regime orde baru, juga merambah lembaga keagamaan, karena itu sangat sulit mengharapkan peran taktis lembaga agama dalam mendorong gerakan oposisi terhadap orde baru. Meskipun demikian, lembaga agama mampu dengan cepat dan tanggap melakukan reposisi politik pasca jatuhnya Soeharto, dan berperan cukup positif dalam proses transisi. Mungkin konteks ini masih dapat dianalisis dan diperdebatkan lebih jauh.

Konsekwensi dari berbedanya sentral peran elite dalam transisi kedua Negara, di Chili partai politik mampu kemudian berperan tanggap dan sentral dalam proses pergantian pemerintah, sementara elite partai di Indonesia relatif “ambigu”, karena memang sebagian besar elite dibesarkan oleh orde baru. Yang menjadi sentral justru adalah elite anomaly-mahasiswa bersama dengan para pejuang demokrasi dan pers yang dengan setia terus mengawal proses reformasi.

Proses demiliterisasi, juga berjalan berbeda dan dengan akselerasi yang juga berbeda di Chili dan Indonesia. Hingga saat ini, militer Chili masih tetap otonom dan masih belum dibawah control sipil serta memiliki system pengadilan militernya. Masalah ini merupakan ganjalan bagi kualitas demokrasi dan pembangunan politik di Chili hingga saat ini. Sementara di Indonesia, doktrin keramat militer, dwifungsi sudah digugat dan mengalami revisi dari waktu ke waktu, bahkan perwakilan tidak dipilih militer dalam MPR RI dan DPR RI sudah dihapuskan dan Panglima Militer berada dibawah supremasi pemerintahan sipil.

Diatas semua perbedaan tersebut, haruslah diapresiasi bahwa kualitas pertumbuhan demokrasi di kedua Negara boleh disebut berjalan cukup signifikan dengan berlangsungnya Pemilu secara regular, menguatnya supremasi sipil, adanya pergantian elite penguasa secara regular melalui pemilu dan adanya kebebasan berorganisasi dan pers bebas. Memang, masih ada sejumlah agenda demokratisasi yang masih harus ditinggalkan, tetapi baik Chili maupun Indonesia sebenarnya sudah mulai memasuki tahapan konsolidasi demokrasi, dimana lembaga-lembaga demokrasi mulai dibudayakan dan dilembagakan.

















KEPUSTAKAAN



Afan Gaffar. (1999), Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Jogyakarta: Pustaka Pelajar.

Almond, Gabriel A and Sydney, Verba (1963). The Civic Culture. Boston: Little Brown

Anak Agung Banyu Perwita., Security Sector Reform in Indonesia: The Case of Indonesia’s Defence White Paper 2003, Journal of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004;

Apter, David E., Comparative Politics, Old and New., dalam Goodin, Robert E & Klingermann, Dieter (ed)., (1996), A New Handbook of Political Science, London: Oxford University Press

Ariel Heryanto&Sumit Kamal-ed-., (2004), Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Anatara Indonesia dan Malaysia, Jakarta: PT Gramedia

Broody, Reed "Pinochet's Arrest Challenges Impunity for Heads of State", LASA Forum, Winter 1999;

Chilton, Stephen., (1988), Defining Political Development, Denver: Lynne Rienner Publisher.

Dahl, Robert A, (1989)., Democracy and Its Critics, Connecticut, New Haven: Yale University Press.

Dahl, Robert., (1992) Demokrasi dan Para Pengritiknya – terjemahan, jilid II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Dahl, Robert., (1966), A Preface to Democratic Theory, Chicago: University of Chicago Press

David Potter., (2000)., Explaining Democratization, dalam David Potter, et all (ed)., (2000), Democratization, Cambridge: Unity Press

Deutsch, Karl W., Jorge I. Dominguez, and Hugh Heclo (1981) Comparative Government: Politics of Industrialized and Developing Nations, Boston, MA: Houghton

Dorsey, John T., Jr. (1963) "The Bureaucracy and Political Development in Viet Nam" in Joseph LaPalombara (ed), Bureaucracy and Political Development., Princeton: Princeton University Press

Dorfman, Ariel "Hostage", LASA Forum, Winter 1999:

Douglas E Ramage., (2002), Percaturan Politik di Indonesia: Demokratisasi, Islam dan Ideologi Toleransi, Jogyakarta: Mata Bangsa

DRAKE, Paul W. "The Presidential Election of 1999/2000 and Chile's Transition to Democracy", LASA Forum Online, Spring 2000

Dye, Thomas R & Ziegler, Harmon., (1998), The Irony of Democracy: An Uncommon Introduction to American Politics, Duxburry Press

Eckstein, Harry., (1982), The Idea of Political Development: From Dignity to Efficiency,” World Politics.

Emmerson, Donald., (2001)., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia

Etzioni-Halevy, E., (1993), The Elite Connection: Problems and Potential of Western Democracy, Cambridge: Polity Press

Farrar, Cynthia (1988). The Origins of Democracy Thinking, Cambridge: CUP

Ferguson, James R (2002). Latin America in International System, Queensland: Bond University. Lecture 9

Finley, MI (1985)., Democracy Ancient and Modern, London: Hogwart Press

Frank, Andre Gundar., (1981). Crisis in the Third World, London: Holmes and Meier

Guy Peters., (2000 – reprinted)., Institutional Theory in Political Theory: The New Institutionalism, London&New York: Continuum Press

Guy Lamb, ‘Reflections on Demilitarisation: A Southern African Perspective’, in International Peacekeeping, vol. 7, no. 3, Autumn 2000

Giovani Sartori., (1965), Democratic Theory, New York: Praeger

Guilermo O’Donnel, et all (ed)., Transisi menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin – terjemahan., Jakarta: LP3ES

Guilermo O’Donnel., Tensions in the Bureaucratic-Authoritarian State and the Question of Democracy, dalam David Collier (ed)., New Authoritarianism in Latin America, Princeton, University Press, 1980.

Guilermo, O’Donnel., (1978). Reflection on the Patterns of Change in the Bureuacratic-Authoritarian State”. Latin Amerika Research Review, vol 13.

Harold Lasswell & Daniel Lernenr (1952)., The Comparative Study of Elite.,Stanford=California: Stanford University Press

Harold Lasswell., (1951), The Political Writing of Harold Lasswell, New York: Free Press

Dahl, Robert., (1966), A Preface to Democratic Theory, Chicago: University of Chicago Press

Harold Laswell & Abraham Kaplan., (1950)., Power and Society, New Haven: Conn, Yale University Press

Hikam Muhammad., (1996), Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES;


Hudson, Rex A (1994). Chile: A Countrry Study, Washongton: Library of Congres

Huntingthon, Samuel P. (1991), The Third Wave: Democratization in the Late Twntieth Century, Norman and London: University of Oklahoma Press

Huntingthon, Samuel., (1965), Political Order in Changing Societies, New Haven: Yale University Press.

Javier A Causo., (1999), Jorge Arrate: Transitions to Democracy in Latin America – The Case of Chili, Center of American Latin Study, University of Berkeley

Jeffrie Isima., Demilitarization, Non State Actor and Public Security in Africa: A Preliminery Survey of the Literature, of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004.

Luckham, R. (1998), ‘The Military, Militarism and Democratisation in Africa: A Survey of Literature and Issues’, in Hutchful, E. and Bathily, A. (eds), The Military and Militarism in Africa, Dakar: CODESRIA.

Macridis, Roy C& Brown. Bernard E. (1999), Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan (Terjemahan), Jakarta: Penerbit Erlangga, hal 18-20

Monicca Jimenez de Baros., Mobilisasi Untuk Demokrasi di Chili: Kampanye Untuk Partisipasi Warga Negara dan Di Luar, Jakarta: LP3ES

Pater Bacrach., (1967), The Theory of Democratic Elitism, A Critique, Boston & Toronto

Portales, Nirbaldo., (2000), The Politics of Judicial Reform in the Democratic Transition: An Analysis of the Chilean Case, Ontario: McMaster University

Powel, Bingham P (1982). Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Harvard university Press

Sartori, Giovanni., (1987), The Theory of Democracy Revisited, Chatam (USA): Chatam Publisher

Schumpeter, Joseph A., (1962), Capitalism, Socialism and Democracy, 3rd edn, New York: Harper;

Shain Y, Linz, J (ed)., Between States: Interim Governments and Democratic Transition, Cambrigde: Cambridge University Press, 1995

Skidmore, Thomas E. & SMITH, Peter H. (2000), Modern Latin America, Oxford, OUP, 2000;

Uhlin, Anders (1997). Indonesia and the Third Wave Demoratization: The Indonesian Pro Democracy Movement in a Changing Wolrd, London: Curzon Press

Watson, Patrick & Barber, Benyamin (1990). The Struggle for Democracy. London: W.H. Allen.












[1] Huntingthon, Samuel P. (1991), The Third Wave: Democratization in the Late Twntieth Century, Norman and London: University of Oklahoma Press
[2] Afan Gaffar. (1999), Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Jogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 2
[3] Skidmore, Thomas E. & SMITH, Peter H. (2000) Modern Latin America, Oxford, OUP, 2000, p 135-136; Juga Hudson, Rex A (1994). Chile: A Countrry Study, Washongton: Library of Congres (Internet Access via http://lcweb2.loc.gov/frd/cs/cltoc.html;
[4] Memang terdapat kontroversi pada titik ini, terutama soal kategori apakah Chili sudah memulai transisi demokrasi setelah Pinochet memperoleh dukungan hanya 43% melawan 55% terhadap upayanya melegitimasi regime otoriternya. Karena toch, masih banyak persoalan mengganjal bahkan hingga tahun-tahun sesudahnya. Masalah ini misalnya dibahas oleh: BRODY, Reed "Pinochet's Arrest Challenges Impunity for Heads of State", LASA Forum, Winter 1999; DORFMAN, Ariel "Hostage", LASA Forum, Winter 1999: DRAKE, Paul W. "The Presidential Election of 1999/2000 and Chile's Transition to Democracy", LASA Forum Online, Spring 2000
[5] Uhlin, Anders (1997). Indonesia and the Third Wave Demoratization: The Indonesian Pro Democracy Movement in a Changing Wolrd, London: Curzon Press
[6] Ibid, p 3
[7] Ibid.
[8] Kualifikasi dan perumusan konsep transisi demokrasi dan pembangunan politik, nanti akan membuktikan kualitas transisi demokrasi dan pembangunan politik di Indonesia. Apakah mengikuti pemikiran Uhlin bahwa regime orde baru masih tetap immune atau justru terjadi perubahan yang cukup mendasar yang membawa Indonesia ke gerbang demokrasi yang lebih substansial. Masalah ini akan dijelaskan dalam uraian konsep transisi demokrasi dan analisis perbandingan Indonesia dan Chili dengan menggunakan pendekatan “Teori Transisi Demokrasi”.
[9] Macridis, Roy C& Brown. Bernard E. (1999), Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan (Terjemahan), Jakarta: Penerbit Erlangga, hal 18-20
[10] Almond, Gabriel A and Sydney, Verba (1963). The Civic Culture. Boston: Little Brown
[11] Tidak semua proses transisi demokrasi bisa terkonsolidasi, ada yang gagal dan ada pula yang mengalami pelambatan atau bahkan tertunda. Mengenai pembahasan topik ini, akan lebih jelas dalam pembahasan soal pendekatan teori transisi dalam menjelaskan proses demokratisasi.
[12] Affan Gaffar, Op cit hal 3
[13] Ibid
[14] Ferguson, James R (2002). Latin America in International System, Queensland: Bond University. Lecture 9
[15] Farrar, Cynthia (1988). The Origins of Democracy Thinking, Cambridge: CUP; Finley, MI (1985)., Democracy Ancient and Modern, London: Hogwart Press
[16] Watson, Patrick & Barber, Benyamin (1990). The Struggle for Democracy. London: W.H. Allen.
[17] Larry Diamond, Op cit hal 10
[18] Powel, Bingham P (1982). Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Harvard university Press. P 3
[19] Dahl, Robert A, (1989)., Democracy and Its Critics, Connecticut, New Haven: Yale University Press. P 233
[20] Berkaitan dengan tema ini, bacaan dan rujukan yang digunakan adalah: Anak Agung Banyu Perwita., Security Sector Reform in Indonesia: The Case of Indonesia’s Defence White Paper 2003, Journal of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004; Jeffrie Isima., Demilitarization, Non State Actor and Public Security in Africa: A Preliminery Survey of the Literature, of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004.
[21] Isima, op cit, hal 3
[22] Luckham, R. (1998), ‘The Military, Militarism and Democratisation in Africa: A Survey of Literature and Issues’, in Hutchful, E. and Bathily, A. (eds), The Military and Militarism in Africa, Dakar: CODESRIA. Hal 589
[23] Guy Lamb, ‘Reflections on Demilitarisation: A Southern African Perspective’, in International Peacekeeping, vol. 7, no. 3, Autumn 2000
[24] Eckstein, Harry., (1982), The Idea of Political Development: From Dignity to Efficiency,” World Politics. P 451-486; Juga dimuat dalam Macridis, Roy C & Brwon, Bernard E., op cit, hal 481-504.
[25] Chilton, Stephen., (1988), Defining Political Development, Denver: Lynne Rienner Publisher p5
[26] Eckstein, op cit, p 454
[27] Chilton, op cit hal 6
[28] Ibid, hal 9
[29] Huntingthon, Samuel., (1965), Political Order in Changing Societies, New Haven: Yale University Press, p 387
[30] Deutsch, Karl W., Jorge I. Dominguez, and Hugh Heclo (1981) Comparative Government: Politics of Industrialized and Developing Nations, Boston, MA: Houghton, p 102
[31] Dorsey, John T., Jr. (1963) "The Bureaucracy and Political Development in Viet Nam" in Joseph LaPalombara (ed), Bureaucracy and Political Development., Princeton: Princeton University Press, p 320
[32] Eckstein, Op cit hal 470
[33] Ibid, p 483
[34] David Potter., (2000)., Explaining Democratization, dalam David Potter, et all (ed)., (2000), Democratization, Cambridge: Unity Press, p 3
[35] Ibid, hal 6
[36] Ibid, hal 10
[37] Ibid, hal 11
[38] Ibid, hal 19
[39] Ibid, hal 10; Bacaan lain yang juga menjadi rujukan utama adalah Guilermo O’Donnel, et all (ed)., Transisi menuju Demokrasi: Kasus Emrika Latin – terjemahan., Jakarta: LP3ES
[40] Ibid, hal 14
[41] Ibid. Bagian ini terutama disarikan dari Potter dengan mengutip Rustow.
[42] Ibid, hal 15
[43] Study menarik soal ini dalam kasus Amerika Latin dapat juga ditemukan dalam Guilermo O’Donnel., Tensions in the Bureaucratic-Authoritarian State and the Question of Democracy, dalam David Collier (ed)., New Authoritarianism in Latin America, Princeton, University Press, 1980. Hal 286-302
[44] Potter, op cit, hal 15
[45] Shain Y, Linz, J (ed)., Between States: Interim Governments and Democratic Transition, Cambrigde: Cambridge University Press, 1995, hal 21
[46] Ibid, hal 28
[47] Potter, David, op cit, hal 17
[48] Ibid
[49] Ibid, hal 17-18
[50] Harold Lasswell & Daniel Lernenr (1952)., The Comparative Study of Elite.,Stanford=California: Stanford University Press, hal 7
[51] Dye, Thomas R & Ziegler, Harmon., (1998), The Irony of Democracy: An Uncommon Introduction to American Politics, Duxburry Press, p 1
[52] Harold Laswell & Abraham Kaplan., (1950)., Power and Society, New Haven: Conn, Yale University Press, hal 219
[53] Pemikiran ketiganya disarikan dari: Etzioni-Halevy, E., (1993), The Elite Connection: Problems and Potential of Western Democracy, Cambridge: Polity Press, hal 53-70, cf Varma, SP., (2003), Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali Press, hal 199-225
[54] Hetzioni, ibid hal 58
[55] Moran, op cit hal 203
[56] Ibid
[57] Ibid, hal 200
[58] Ibid, hal 202.
[59] Ibid, hal 210
[60] Schumpeter, Joseph A., (1962), Capitalism, Socialism and Democracy, 3rd edn, New York: Harper; Bandingkan juga Etzioni-Haleva, op cit hal 60
[61] Moran, op cit, hal 214; Karya-karya yang ditunjuk oleh Moran disini adalah – Harold Lasswell., (1951), The Political Writing of Harold Lasswell, New York: Free Press; Robert Dahl., (1966), A Preface to Democratic Theory, Chicago: University of Chicago Press; Giovani Sartori., (1965), Democratic Theory, New York: Praeger
[62] Bahasan Robert Dahl tentang Poliarkhi, juga sudah ditemukan dalam literature Bahasa Indonesia, yaitu terjemahan buku Robert Dahl: Robert Dahl., (1992) Demokrasi dan Para Pengritiknya – terjemahan, jilid II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
[63] Dahl, op cit hal 150-151, dikutip juga oleh Moran, op cit hal 215
[64] Moran, ibid hal 216: Juga memperkuatnya dengan analisis Pater Bacrach., (1967), The Theory of Democratic Elitism, A Critique, Boston & Toronto.
[65] Dye, Thomas, op cit hal 11
[66] Sartori, Giovanni., (1987), The Theory of Democracy Revisited, Chatam (USA): Chatam Publisher, hal 147-148
[67] Dye, Thomas, op cit hal 12
[68] Etzioni-Haleva, op cit hal 94-96
[69] Ibid
[70] Ibid, hal 95
[71] Guy Pters., (2000 – reprinted)., Institutional Theory in Political Theory: The New Institutionalism, London&New York: Continuum Press
[72] Apter, David E., Comparative Politics, Old and New., dalam Goodin, Robert E & Klingermann, Hans-Dieter (ed)., (1996), A New Handbook of Political Science, London: Oxford University Press
[73] B Guy Peters, op cit hal 6

[74] Ibid, hal 2-3
[75] Ibid, hal 6
[76] Terutama dengan mengutip Bryce, yakni ketika ide tentang Sistem Politik mulai dikembangkan dengan Demokrasi sebagai hasil atau tujuan (teleologis)
[77] Apter, David, op cit hal 386
[78] Guy Peters, op cit hal 15
[79] Moran SP, op cit hal 46-47
[80] Apter David, Comparative Politics, op cit hal 388
[81] Guy Peters, Institutional Theory, op cit hal 15-22: Bangun teoritis ini sangat sistematik, tetapi untuk kebutuhan kajian makalah ini, kajian Peters atas karya ini tidak dikaji lebih jauh.
[82] Apter, op cit hal 386
[83] Ibid, hal 387
[84] Pembahasan soal Chili merujuk: Hudson, Rex A., Chili: A Country Study, op cit, juga Thomas Skidmore, Thomas E. & SMITH, Peter H. (2000) Modern Latin America, op cit dan Ferguson, James., Latin America in International System, op cit
[85] Hudson, op cit
[86] Javier A Causo., (1999), Jorge Arrate: Transitions to Democracy in Latin America – The Case of Chili, Center of American Latin Study, University of Berkeley
[87] Ibid
[88] Hudson, op cit
[89] Kerjasama 14 partai dan terutama dukungan Gereja Katolik menghasilkan dukungan 55% menolak kelanjutan regime militer Pinochet berbanding 43% yang mendukung Pinochet. Ferguson, op cit, juga Hudson, op cit dan Skidmore, op cit.
[90] Ferguson, op cit hal 11
[91] Pembahasan mengenai Indonesia merujuk ke Gaffar, op cit; Uhlin Anders, op cit; Stanley (ed), Indonesia Di Tengah Transisi, op cit; Douglas E Ramage., (2002), Percaturan Politik di Indonesia: Demokratisasi, Islam dan Ideologi Toleransi, Jogyakarta: Mata Bangsa; Hikam Muhammad., (1996), Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES; Emmerson, Donald., (2001)., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia;
[92] Guilermo O’Donnel., Berbagai ketegangan, op cit; Hikam, op cit
[93] Guilermo O’Donnel., Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin, op cit hal 5
[94] Kegagalan regime ini serta gugatan atas otoriterisme Asia Tenggara termasuk Indonesia menarik untuk dirujuk juga ke Ariel Heryanto&Sumit Kamal-ed-., (2004), Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Anatara Indonesia dan Malaysia, Jakarta: PT Gramedia
[95] Ferguson, op cit hal 11
[96] Portales, Nirbaldo., (2000), The Politics of Judicial Reform in the Democratic Transition: An Analysis of the Chilean Case, Ontario: McMaster University
[97] Monicca Jimenez de Baros., Mobilisasi Untuk Demokrasi di Chili: Kampanye Untuk Partisipasi Warga Negara dan Di Luar, dalam Diamon, Larry., Revolusi Demokrasi, hal 96-117
[98] Uhlin Anders, op cit; meskipun dia sedikit skeptis dengan menggambarkan terseraknya gerakan perlawanan di Indonesia dan membuatnya juga skeptis terhadap masa depan demokratisasi di Indonesia, tetapi terbukti dia gagal mengantisipasi akumulasi gerakan civil society setahun setelah bukunya diterbitkan.
[99] Frank, Andre Gundar., (1981). Crisis in the Third World, London: Holmes and Meier, hal 258-259
[100] O’Donnel, Guilermo., (1978). Reflection on the Patterns of Change in the Bureuacratic-Authoritarian State”. Latin Amerika Research Review, vol 13, hal 3-38, juga dalam O’Donnel, Berbagai Ketegangan, op cit.
[101] Ramage Douglas, op cit hal 221
[102] Manuel Garriton, Evaluasi Rezim Militer Chili dan persoalan Transisi., Dalam, O’Donnel, Transisi Menuju, op cit hal 144-185
[103] Anak Agung, op cit
[104] Portales, op cit hal 2-5
[105] Ibid, hal 3
[106] Ferguson, op cit hal 12
[107] Ibid
[108] Hikam, op cit hal 30-40
[109] Monica, op cit

(Edisi Revisi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Politik, Pasca Sarjana UI)