Saturday, July 26, 2014

KOPI PAHIT TOU MINAHAS

KOPI PAHIT TOU MINAHASA
(Catatan Budaya HASIL PILPRES 2014)

Oleh:
Audy WMR Wuisang

Pengantar

Pemilihan Umum 2014 sudah berakhir. Partai PDI Perjuangan lahir sebagai pemenangnya. Pemilihan Presiden 2014 juga sudah berakhir. Pemenangnya atau Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2014-2019 sudah ditetapkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum), yakni JOKO WIDODO + JUSUF KALLA. Benar, masih akan ada proses lanjutan berupa arena tarung lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi selisih 6% lebih atau sekitar 8 juta suara, membuat posisi membalik keunggulan sungguh kecil. Apapun, sesuai hasil hitung di Pleno KPU, sudah ditetapkan adanya "PEMENANG". Benar, setipis apapun harapan itu masih ada. Tetapi, bukan harapan itu yang menarik untuk dianalisis.

Apa jika demikian? Hamparan tulisan dan lontaran unek-unek baik di media sosial, di gadget (smartphone) yang tertuang di sms dan status, bahkan di media cetak, kita menyaksikan terlampau besar dan lebar jurang beda pendapat antara Tou Minahasa. Apa pasal? Untuk pertama kalinya Pemilihan Presiden di Indonesia melibatkan seorang tokoh yang setengah darahnya berasal dari MINAHASA. Dialah LetJend (Purn) Prabowo Subianto yang diusung oleh gabungan partai dalam Koalisi Merah Putih (Partai GERINDRA, Partai PAN, Partai PPP, Partai PKS, Partai GOLKAR, Partai PBB dan belakangan juga oleh Partai Demokrat). Belum cukup? Koalisi ini, juga didukung oleh FPI dan rekan-rekan organisasinya yang terkenal sangar dan beraliran keras.

Terlepas dari Koalisi Besar tersebut, menelisik seorang PRABOWO SUBIANTO yang beribukan Tou Minahasa dengan marga SIGAR (Langowan) dan bahkan Oma MAENGKOM (Tondano), benar-benar melahirkan harapan dan pertentangan yang besar dan tajam. Belum pernah dalam Pilpres, Tou Minahasa begitu antusias dan begitu bersemangat. Tetapi, jangan salah, bukan hanya untuk MENDUKUNG seorang Prabowo, tetapi juga mendukung calon lainnya, JOKO WIDODO. Bahkan, seorang sahabat mengatakan: Tou Minahasa yang tidak memilih PRABOWO = TIDAK TAHU ADAT.

Ketika kemudian Prabowo+Hatta kalah di Sulawesi Utara, ironisnya dikalahkan baik di Langowan (asal marga SIGAR) dan juga di Tondano (asal marga Maengkom), persoalan bukan mereda. Justru semakin menajam. Pendukung kedua belah pihak, Prabowo+Hatta dan Jokowi+Kalla, saling serang, saling kritik, bahkan saling "menghina", saling "bantai", hingga ke bahasa yang sangat kasar sekalipun. Wuaduh ..... ini benar-benar KOPI PAHIT yang sangat PAHIT bagi Tou Minahasa.

Mengapa Prabowo Subianto Kalah di Tanah Leluhurnya?

Tepat sekali. Bukan sedikit yang bingung dengan fakta kekalahan ini. Bahkan, kelihatannya kubu Jokowi+Kalla sendiri tidaklah menduga bakal meraup kemenangan di bumi Nyiur Melambai. Maklum, mereka cukup sadar jika Prabowo Subianto beribukan Orang Minahasa (Tou Minahasa). Dan bahkan bapaknya juga akrab dengan Gerakan PERMESTA yang masih banyak menyisakan beberapa pendukung "fanatiknya" di Tanah Minahasa. Maka, sungguh masuk diakal jika Prabowo memenangkan pertarungan PILPRES 2014 di tanah kelahiran ibunya. Dan itu juga sentimen yang selalu didengung-dengungkan oleh Pendukung Prabowo+Hatta di Tanah Minahasa. Mereka bahkan menjuluki Prabowo Subianto sebagai TUAMA MINAHASA (Lelaki Dari MINAHASA). Mirip dengan TUAMA MINAHASA sebelumnya VREEKE RUNTU yang kalah menggunakannya di PILKADA Minahasa sebelumnya.

Di Sulawesi Utara, Prabowo Subianto justru menang di daerah Bolaang Mongondouw, daerah basis komunitas Muslim. Tetapi, IRONISNYA, kalah di Minahasa (Manado, Bitung, Minahasa) yang notabene adalah tanah leluhur ibunya. Realitas ini sebetulnya bisa dijelaskan, meski sejujurnya, tetap sangat mengejutkan. Bahkan mengejutkan juga bagi Jokowi+Kalla karena menang PILPRES di SULUT yang diakui sebagai salah satu basis yang diproyeksikan menang oleh kubu Prabowo+Hatta.

Bagaimana pula menjelaskannya?

Pertama, dan yang utama, sebelum pelaksanaan PilPres 2014, masyarakat Minahasa terlampau jarang mendengar Prabowo Subianto mengaku dan membanggakan KEMINAHASAANNYA. Yang justru melekat di memory Orang Minahasa, adalah tulisan dan kesaksian seorang Tonaas Minahasa lainnya, yakni LetJend (Purn) J. Lumintang. Tokoh yang cuma belasan jam menjadi PANGKOSTRAD ini, konon mengalami pengalaman tidak menyenangkan karena dia seorang KRISTEN. Dan, menuduh (koreksi saya jika keliru) salah satu dalang dibalik diskriminasi yang dialaminya adalah seorang PRABOWO (http://www.minihub.org/siarlist/msg04563.html).

Harus dicatat, LetJend (Purn) J. Lumintang ini terhitung orang yang dihormati di Minahasa dan sangatlah bangga dengan Keminahasaannya. Bahkan sebelum menjadi Duta Besar di Philipina, beliau "berkebun" di tanah kelahirannya RATAHAN. Dan hingga menjelang pelaksanaan PilPres 2014, tidak sekalipun tudingannya di atas ada yang mengklarifikasi. Kombinasi dua hal di atas membekas dan tidak diobati sekian lama dan karena itu, tersimpan dalam memory politik orang Minahasa.

Kedua, salah satu faktor yang SANGAT menentukan pilihan Orang Minahasa untuk tidak MEMILIH Prabowo yang punya talian darah dengan mereka adalah fakta politik: "Bahwa di belakang Prabowo Subianto adalah mereka-mereka yang tidak ramah dengan pluralisme, yang bahkan terkenal rajin mendukung gerakan anti pluralisme". Masuknya PPP dan terutama PKS yang kemudian disusul dengan sejumlah komunikasi politik dengan FPI yang terkenal sebagai "Islam Garis Keras", sangat menentukan pilihan politik Orang Minahasa.

Menjelang Pemilihan Presiden, sosialisasi siapa-siapa di balik KOalisi Besar dan Team Kampanye Prabowo,  rekam jejak dari kelompok dan tokoh tersebut, secara massal dipercakapkan dan didiskusikan oleh Tou Minahasa. Benar, tidak semua termakan dengan topik tersebut, tetapi harus dikatakan, cara tersebut teramat ampuh untuk membuat Tou Minahasa memutuskan untuk TIDAK MEMILIH seorang Prabowo.  Dan ini terbukti dengan perolehan suara Prabowo yang tercecer dari Jokowi di semua daerah budaya MINAHASA (Kab. Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Kota Tomohon, Kota Manado dan Kota Bitung). Harus dicatat, di Kota Manado, Kota Tomohon dan Kab. Minahasa Selatan, birokrasinya dikuasai oleh Partai GOLKAR dan Partai Demokrat yang merupakan bagian dari Koalisi Merah Putih pengusung Prabowo+Hatta.

Ketiga, memang benar mayoritas Bupati/Walikota di Daerah Budaya MINAHASA dipegang oleh partai atau tokoh yang Pro Jokowi. Gubernur Sulawesi Utara, DR. SH Sarundajang adalah Team Sukses Jokowi, Bupati Minahasa, MInahasa Tenggara dan Minahasa Utara adalah pendukung PDI Perjuangan, sementara Kota Bitung di komandani oleh kader PKPI. Bukan cuma itu, tokoh politik yang  sangat berpengaruh di SULUT selain Gubernur, adalah Bendahara Umum/Ketua DPD PDI Perjuangan SULUT, Olly Dondokambey, SE. Diakui atau tidak, kombinasi SARUNDAJANG + DONDOKAMBEY ini, akan sangat menentukan arah pilihan banyak Tou Minahasa dalam pentas PILPRES 2014. Apalagi, ketika keduanya bergandeng-tangan memenangkan PILPRES 2014 bagi Jokowi+Kalla.

Kombinasi kekuatan birokrasi dan kekuatan politik utama ini adalah yang "paling bertanggungjawab" atas kemenangan Jokowi+Kalla di Sulawesi Utara. Sehingga, meski kalah di Bolaang Mongondouw, tetapi bisa diimbangi dengan kemenangan di Tanah Minahasa dan penentu kemenangan adalah daerah Sangihe, Talaud dan SITARO. Ini sebabnya di Provinsi Sulawesi Utara Prabowo Subianto mengalami kekalahan. Bagaimanapun, harus dikatakan, pengaruh politik Sarundajang+DOndokambey memang sangat menentukan kemenangan kubu pilihan mereka.

Adalah kekuatan mesin Partai dan pengaruh Olly Dondokambeylah yang menentukan kemenangan Jokowi di kandang keluarga SIGAR di LANGOWAN dengan memenangkan 3 dari 4 kecamatan disana. Mesin kemenangan PDI Perjuangan benar-benar menunjukkan tajinya. Apalagi, masih diperkuat dengan mesin birokrasi mengingat Kabupaten Minahasa dikuasai oleh PDI Perjuangan dewasa ini. Dan, seperti di Langowan, begitu pula dengan di Tondano. Perimbangan kekuatan kedua pasangan di dalam kota, digoyahkan oleh perolehan menyolok JOKOWI+JK di Tondano Selatan yang dimenangkan secara mutlak. Dan, kalah pulalah Prabowo di Kota leluhur marga MAENGKOM itu.

Haruslah dicatat, bahwa 3 faktor yang disebutkan di atas merupakan faktor utama yang menentukan kekalahan Prabowo di tanah leluhur ibunya. Meskipun beberapa kali Prabowo datang mengadakan acara keluarga di Tanah Minahasa, tetapi teramat terlambat karena waktu yang dipilih justru mendekati pelaksanaan PilPres. Selain, Prabowo sendiri memang teramat jarang menyebutkan dia memiliki kaitan keturunan dan ikatan darah dengan Tanah Minahasa. Paling tidak, ini dalam catatan pribadi saya. Dan ditambah dengan barisan dibalik koalisinya yang rekam jejaknya kurang toleran sementara tanah Minahasa justru mayoritas Kristen dan membanggakan tradisi pluralisme dan egalitariannya.

Di Tanah Minahasa: Kopi PILPRES Itu Sungguh Pahit ......

Tetapi, haruslah juga dicatat, meskipun Prabowo kalah di Tanah Minahasa, tetapi selisih kekalahan tersebut sangatlah tipis. Artinya, Tou Minahasa sebetulnya TERBELAH dalam menentukan pilihannya di Bilik Suara dalam PILPRES 2014 ini. Meski jarang mengaku MINAHASA, harus dicatat, Prabowo Subianto memang berdarah MINAHASA. Meski dia tidak pernah mengakuinya sekalipun, tetapi ikatan darah adalah ikatan takdir. Kita tidak memilih dilahirkan menjadi TOU MINAHASA atau ORANG JAWA, tetapi kita lahir dengan takdir bahwa kita TOU MINAHASA. Begitu jugalah seorang PRABOWO. Jika dia boleh memilih, mungkin dia tidak akan memilih dilahirkan dari Ibu Minahasa, tetapi tidaklah dapat dia menolak kenyataan mengalirnya darah Minahasa dalam dirinya.

Inilah fakta yang membuat para PENDUKUNG PRABOWO SUBIANTO demikian FANATIK dan begitu bergairah dalam mendukung Prabowo. Catat, bukan terutama karena dia GAGAH, PENSIUNAN JENDRAL atau karena dia KAYA dan BERGAYA. Bukan juga karena dia akan menjadi PRESIDEN jika menang dalam Pemilihan PRESIDEN. Tetapi, karena dia TOU MINAHASA. Tidak perduli, setengah, seperempat atau sepersekian persen belaka darah Minahasanya. Semua itu, realitas yang megah dan agung itu, grandeur itu  (http://indoprogress.com/2014/07/awal-dari-sebuah-akhir-untuk-prabowo-subianto), secara sangat kebetulan bermuara di PILPRES. Dia berdarah Minahasa, dia Calon Presiden, Dia gagah dan tegas (anti tesis ambruknya psikologi Politik SBY yang lamban dan peragu), dia bergaya dengan naik kuda, pensiunan Jendral, Kaya dan bergaya.

Secara psikologis, realitas tersebut memenuhi impian dan fantasi politik banyak Tou Kawanua yang sudah lama merindukan hadirnya TOKOH UTAMA pasca Sam Ratulangi. Apalagi, capaian Prabowo jika terpilih, justru melampaui capaian politik Samratulangi hingga sekarang ini Menteri Mangindaan. Sudah sangat lama Tou Kawanua mengalami stagnasi (kemandegan) politik dan harus memandang ke Selatan Sulawesi ketika Jusuf Kalla dan Habiebie menjadi petinggi puncak Negeri ini. Fantasi politik yang terkesan liar dalam skema politik Indonesia dewasa ini, secara tiba-tiba (akan) menemukan oase yang memuaskan dahaga politik yang lama terpendam itu.

Maka, tidaklah keliru sama sekali jika kemudian demikian banyak Tou Kawanua yang SANGAT BERSEMANGAT atau bahkan terkesan FANATIK dalam mendukung Prabowo. Mereka menafikan fakta bahwa ada kelompok non toleran dibalik Prabowo. Mereka menafikan betapa banyak petinggi Tou Kawanua yang mendukung pasangan lain, yakni JOKOWI+KALLA. Mereka tidak perduli dengan fakta bahwa Prabowo pernah memelopori Jendral hijau di lingkungan ABRI pada masa lalu dan yang juga mengorbankan seorang LETJEND (PURN) JOHNY LUMINTANG. Bagi mereka, IT IS NOW OR NEVER. Ini penting sekali, menurut mereka. Karena kapan lagi Tou Minahasa punya keturunan yang akan MEMERINTAH NEGERI bernama Indonesia ini?

Soal kelompok garis keras, "acccccch gampang itu. Prabowo akan dengan mudah menjinakkan mereka. Bukankah dia terkenal sangat tegas? berani mengambil keputusan? Dia akanpunya kemampuan menekan mereka semua.......". Soal fakta bahwa Prabowo jarang mengaku berdarah MInahasa ......., "achhhhh, itu kan masa lalu, bukankah dia sudah mengaku berdarah Minahasa waktu kampanye dulu ....."?. Soal masa lalunya yang terbelenggu persoalan HAM ....... "accccch, nonsense itu, kan cuma  kampanye hitam Jendral seniornya yang cemburu kepadany"?. Apapun yang dikatakan kepada kelompok pendukung fanatik Jendral PRabowo Subianto ini akan ada jawabannya. Tidak perduli apakah jawaban itu rasional ataukah tidak. Begitu antusiasme banyak pendukung Prabowo yang sangat fanatik di Tanah Minahasa.

Tetapi ...... repotnya, justru Prabowo kalah di Tanah Minahasa. Dan sebagai akibatnya, terjadi tempur frontal dan cenderung irrasional (tidak masuk akal) antara kedua pendukung. Sepertinya, mereka, terutama pendukung Prabowo memang sudah mengidentifikasi diri sebagai ORANG DEKAT PRABOWO atau bahkan berjuang atas nama Prabowo sendiri. Apa yang dikatakan Prabowo adalah SABDA dan WAJIB dilaksanakan. Tengoklah di media sosial, di media diskusi Tou Minahasa, bukan sedikit yang mati-matian dengan mengabaikan banyak fakta untuk tetap setia mendukung PRABOWO. Dan yang paling pahit KOPI tarung itu adalah: KALIAN TOU MINAHASA YANG TIDAK MENDUKUNG PRABOWO SUDAH MENGKHIANATI KEMINAHASAAN.

Sungguh PAHIT Kopi itu. Suara ini adalah suara sahabat saya. Seorang yang saya kenal memang sangat MENCINTAI KEMINAHASAAN. Tetapi, saya harus dengan rendah hati mengurangi pahitnya kopi lontaran pernyataannya. Bukan apa-apa, sebagaimana saya menolak dan memandang penuh rasa malu khobtah politik yang dibalut agama oleh PDT. NAHUWAE, begitu juga saya akan berusaha menjernihkan keruh dan kaburnya justifikasi/pembenaran budaya untuk memilih seseorang.

Benarkah bagi TOU MINAHASA adalah WAJIB hukumnya memilih PRABOWO SUBIANTO? Ini jika kita menyederhanakan pertanyaan atas statement tersebut. Bagi saya, jawabannya adalah TIDAK. Memilih Prabowo dalam konteks PILPRES bukanlah sebuah KEWAJIBAN ADAT. Jika agama dipolitisasi oleh seorang JACOB NAHUWEA dengan pernyataan yang sama: TIDAK PILIH PRABOWO BERARTI BERDOSA, maka ADAT MINAHASA dipolitisasi dengan statement yang sama dan sebangun: TIDAK PILIH PRABOWO BERARTI MENGHIANATI ADAT MINAHASA.

Orang-orang bertanya kepada JACOB N itu, "TUHAN YANG MANA YANG SAYA DOSAI ITU"? dan pertanyaan kepada yang satu lagi: "ADAT MINAHASA MANA YANG SAYA KHIANATI"? Apa otoritas dari kedua pencetus statement di atas? Siapa yang berhak menentukan saya berdoa dalam kontes iman Kristen dan dalam konteks Adat Minahasa?

Di luar debat mana Adat Minahasa dan mana Pemegang Otoritas Adat yang layak menentukan khianat atau tidaknya mereka yang memilih bukan Prabowo Subianto, statement itu sendiri kabur dalam dirinya. Adat terutama merupakan "gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, kebiasaan, kelembagaan yang lazim berlaku disatu tempat, sering juga disebut dilakukan sejak jaman dahulu". Atau dalam kalimat lain sering disebut sebagai  wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dgn lainnya berkaitan menjadi suatu sistem;  Dalam konteks BER-INDONESIA, maka belum ada tatanan dan praktek yang dibakukan bagi Minahasa mengenai PILPRES dan harus memilih Tou Minahasa, karena relatif proses memilih seperti ini adalah realitas yang baru. Jika kita mendesak untuk menggunakan ADAT atau BUDAYA dalam konteks ini.

ADAT tidak mengatur dan tidak mewajibkan pilihan politik ditujukan kepada si A atau si B. Bagi Tou Minahasa yang egaliter, persoalan kepemimpinan biasanya tidak terutama terletak pada pilihan rakyatnya, tetapi kepada kemampuan seseorang menunjukkan kualitas dirinya dengan mengalahkan kualitas orang lain. Karena itu, MUSYAWARAH MINAWANUA tidak memperlihatkan bagaimana memilih seorang TETERUSAN atau PANGLIMA PERANG, tetapi bermusyawarah untuk menentukan strategi perang. Mengapa? Karena mereka sudah memiliki dan mengakui ada orang yang terbaik diantara mereka dan tidak pelru dipilih lagi.

Karena itu, statement TIDAK TAHU ADAT rasanya tidak pada tempatnya, karena tidak ada tempat di ADAT MINAHASA yang bisa kita rujuk sebagai panduan. Selain itu, ketika kita BERINDONESIA realitas politik yang kita hadapi terhitung baru dan belum diatur. Terlebih ketika ADAT MINAHASA sendiripun tidak memiliki pemangku yang mengatasnamakannya dan kepada mereka otoritas diberikan. Maka, atas nama ADAT MINAHASA sebetulnya hanya bisa dilakukan sebagai KLAIM dan bukan sebagai JUDGMENT (Penghakiman) ataupun Penegasan.

Pada titik ini, saya ingin menegaskan untuk sebaiknya kita tidak melakukan politisasi atas ADAT MINAHASA juga atas BUDAYA MINAHASA. Jika kita mengaku egaliter dan rasional, maka kita akan menemukan diri kita dalam proses yang sedang MENJADI terus dan terus.

Ketika menuliskan ini, saya membaca bagaimana Tou Minahasa saling SAHUT MENYAHUT dengan sangat emosional. Emosional para pendukung Prabowo sangat saya pahami karena alasan yang saya sebutkan diatas. Tetapi, yang sulit saya bayangkan adalah, bagaimana para pendukung JOKOWI yang Tou Minahasa melakukan upaya yang bagi saya MENYEDIHKAN. Seakan Prabowo adalah SAMPAH, seakan Prabowo adalah ORANG TAK TAHU MALAH. Tidak terima kalah dan manusia yang sangat memalukan bagi mereka. Dengan penuh hormat dan respek kepada KEMINAHASAAN, mari kita semua mengerti dan menerima, bahwa PRABOWO adalah bagian dari kita, suka atau tidak. Bahkan jika dia tidak mengakuinya sekalipun. Karena dia, anda dan saya, tidak meminta dilahirkan sebagai TOU MINAHASA, tetapi karena memang itu takdir yang tidka kita pilih. Bahasa Teologisnya, karena itu ANUGERAH TUHAN bagi kita.

Jika pendukung yang sednag kecewa meluapkan kekecewaannya, semestinya bagi yang menang tetap adem seperti JOKOWI pilihannya dan bukannya membentang bendera kemenangan dan mengejek yang kalah. Apalagi dengan menghina dan memfitnah seorang PRABOWO yang juga bagian dari darah yang mengalir dalam dirinya.

Sungguh, KOPI PILPRES 2014 ini sangat PAHIT bagi TOU MINAHASA. Tetapi, akan bertambah PAHIT jika kita tidak mampu menerima siapa kita, siapa PRABOWO, siapa Tou Minahasa.


Jakarta, 26 Juli 2014

Thursday, July 24, 2014

Krisis Berkelanjutan

KRISIS BERKELANJUTAN
(Catatan atas krisis moral dan etika politik di Indonesia)
Oleh : Audy W.M.R. Wuisang

Wacana Development Sustainability (pembangunan berkelanjutan) tentu bukan barang aneh lagi bagi kita. Kajian atas gagasan tersebut sudah dilakukan berulang-ulang dan bahkan implementasi dan strategi penerapannya sudah dikunyah habis dalam kajian kajian mutakhir. Ide bahwa pembangunan nantinya mensejahterakan rakyat dan berlangsung terus secara gradual/bertahap dengan penerapan indiktor fisik maupun non fisik dalam mengukur kesuksesannya sudah agak dikenal. Bahkan kemudian ketika pembangunan berkelanjutan menjadi semacam “dogma” bagi program-program “development” diterima sebagai sebuah keniscayaan.

Ada sebuah sustainability (berkelanjutan) yang lain. Yang ini tidak berkaitan dengan dogma pembangunan berkelanjutan. Sama sekali bukan. Yang satu ini bernama KRISIS BERKELANJUTAN. Sebuah fenomena menggiriskan yang kini terpampang secara telanjang bagi masyarakat dunia dan Indonesia sendiri. Tetapi masih tetap coba diselimuti dengan berbagai cara oleh elite politik Indonesia. Masyarakat Indoensia dan dunia, sudah nyaris diyakinkan bahwa yang dialami Indonesia adalah sebuah “Krisis Ekonomi” semata. Benar bahwa Krisis Ekonomi kemudian menyeret bangsa ini ke krisis lainnya yang memang sisi sebelah dari mata uang yang sama : politik. Krisis Ekonomi telah membuka borok-borok politik Indonesia yang coba dikangkangi segelintir orang dan kini terbaca secara telanjang. Tetapi rangkaian perangai elite politik Indonesia dewasa ini membuat bukannya krisis ekonomi teratasi, sebaliknya semakin membenamkan Indonesia kelumpur kenistaan yang menyedihkan.

Perjalanan 5 tahun sejak krisis menerpa benar-benar dilalui bangsa ini dengan segenap energi yang dimiliki. Dan ini tentu sangat melelahkan. Berbagai kebijakan dan upaya sudah ditempuh, termasuk menggadaikan diri kepada IMF, tetapi ternyata semua upaya seperti menabur garam ke tengah lautan. Perbaikan ekonomi tidak berlangsung secara signifikan, sebaliknya malah semakin menindih kesabaran dan emosi rakyat. Apalagi, pada saat bersamaan sejumlah konflik berdarah terjadi “seakan” merata di pelosok Indonesia, mulai dari Aceh, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Ambon dan Papua. Penanganan masalah berdarah inipun, masih mendatangkan keraguan akibat pendekatan yang masih khas pemerintah : top down.

Apakah sudah cukup derita bangsa ini dengan deretan kasus yang akan sangat panjang bila dibuat detailnya itu ? ternyata tetap masih belum cukup. Perbedaan persepsi pengusaha dan pemerintah serta buruh misalnya, membuat banyak perusahaan garmen hengkang dari Indonesia. Atau setidaknya mengurangi kapasitas produksi dan berdampak pada pemutusan hubungan kerja dalam jumlah massal. Belum lagi masalah kenaikan upah buruh dan keamanan berinvestasi yang disyaratkan oleh Investor Jepang untuk masuk ke Indonesia selain “tax holiday”. Dan kemudian ditambahi oleh sejumlah komponen syarat lain dari USA semisal masalah teroris dan penerapan e-commerce. Bila kemudian semua dikalkulasi, maka himpitan yang maha dahsyat memang menerpa secara bergelombang.

Tapi yang membuat banyak orang geregetan adalah, ternyata pada saat masyarakat sedang prihatin dan marah, tingkah elite politik sungguh memuakkan. Lihatlah pertarungan antara BRIMOD dan Militer di Binjai yang diwarnai oleh “perang kota” yang “ramai” dan mencekam. Dan kemudian datang kasus heboh lainnya ketika seorang selevel Jaksa Agung ternyata tidak menyertakan dalam laporan kekayaannya sejumlah deposit dan sebuah rumah maha mewah. Celakanya, di tengah desakan arus bawah dan bahkan banyak legislator terhadap Jaksa Agung, para pejabat Kejaksaan Agung malah menyatakan dukungan terhadapnya. Bila dalam kasus perang kota di Binjai, TNI langsung memecat banyak personalnya, dalam kasus Jaksa Agung, justru muncul dukungan yang terkesan menggelikan.

Tapi itulah wajah Indonesia terkini. Dari yang seharusnya berpikir menganalisis kenapa 5 tahun membenahi krisis dan gagal, serta mencari jawaban mengapa, justru menambahi borok dari waktu kewaktu. Sudah cukup santer suara bahwa krisis kita bukan sekedar krisis ekonomi dan politik. Krisis ekonomi dan politik dapat diatasi dengan perubahan kebijakan dan pengaturan kembali strategi implementasi program reformasi, begitu juga krisis politik. Tetapi ternyata, meski banyak perubahan kebijakan dilakukan, termasuk melaksanakan PEMILU yang relatif jujur dan adil, toch krisis tetap berkepanjangan. Meski Presiden juga diganti beberapa kali, ternyata belitan budaya korupsi benar-benar sudah mengakar pada system birokrasi kita. Bahkan kemudian Otonomi Daerah seakan sedang membangun mekanisme korupsinya sendiri dengan beberapa pergeseran dan varian baru.

Kitapun kemudian ikut heran, dalam belantara politik dewasa ini, seakan kejujuran tidak laris lagi. Moral dan etika politik nyaris menjadi pajangan yang enak diucapkan tetapi sangat tidak pas untuk diimplementasi pada semua level dan disemua lapisan. Atau mungkin sudah dapat diucapkan bahwa elite politik kita sedang membangun moral dan etika politiknya sendiri. Betapa jauh beda antara sumpah jabatan dengan kenyataan di lapangan, apalagi ketika berjumpa sejumlah fakta dimana kejujuran menjadi tidak laku dan barang langka. Kesiapan mengakui kesalahan juga sangat sulit ditemuan, dengan segala macam cara diupayakan agar yang hitam bias kelihatan kelabu atau putih kalau masih bisa. Kasus Akbar Tanjung yang berkali-kali mendustai publik dengan keterangan berbelit, masih coba diselamatkan melalui lobby dan tawar-menawar. Betapa besar political cost (harga politik) yang harus dibayar negri ini akibat pertarungan elite yang menyertai kasus tersebut. Hebatnya, meski sudah melakukan kebohongan publik, sang pejabat publik masih tetap duduk tenang di atas kursi yang memanaskan jagat politik Indonesia saat ini.

Moral dan etika politik memang adalah perangkat absurd yang berproses dan dianggap sebagai ukuran kepantasan dalam berpolitik. Layakkah uang suap itu diterima ? bukankah tak seorangpun tahu ? bukankah money politik dilakukan tanpa ada kemungkinan ketahuan ? pantaskah itu ? pertanyaan-pertanyaan seperti ini memperlihatkan betapa hanya dengan kelayakan dan kepantasan sajalah kita bisa menjawabnya. Disinilah moral dan etika politik berperan. Sayangnya, ukuran kuantitas terhadap pelanggaran moral dan etika politik nyaris tidak ada dan justru karena kekenyalan inilah maka persoalan pelanggaran etika dan moral politik sulit dijerat. Lebih celaka lagi, begitu banyak cela hukum yang dapat diakali guna menghindar dari pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Pada titik ini pulalah kita memandang dan meletakkan rumitnya persoalan Akbar, Jaksa Agung dan bahkan banyak kasus lokal semisal rencana DPRD jalan-jalan ke Luar Negeri, kasus suap dewan dan banyak yang lain. Kesemua kasus itu nyaris sulit ditangkap dan diselesaikan dengan system hukum kita dewasa ini. Apalagi ketika nilai kelayakan dan kepantasan seperti sudah bergeser dan semakin membudaya apa yang namanya “suap” untuk menyenangkang atasan. Nampaknya akar budaya di Indonesia memang banyak terkait dengan yang namanya “suap”, yang mungkin dulu digunakan dengan kata berbeda “upeti”. Intinya masih tetap sama, yakni upaya menyenangkan atasan dengan menggunakan barang atau sekarang uang. Bila nilai seperti ini masih subur di tengah masyarakat Indonesia, maka bukan pekerjaan gampang memberantas korupsi. Karena dalam banyak kasus uang jasa dan uang pelicin sebenarnya digunakan dengan maksud maksud yang jelas. Dan proses seperti inlah yang banyak terjadi di DPR RI dewasa ini, hingga ke kasus penyuapan US$ 1,000 dari BPPN untuk beberapa anggota Komisi IX DPR RI.

Elite politik kita sungguh memahami “budaya” ini dan dalam banyak kasus, seperti terbaca dari kasus Jaksa Agung dan rasanya juga Akbar, mencuat paham bahwa “hal seperti itu nyaris biasa”. Inilah yang membuat banyak elite politik kita masih memiliki keberanian untuk bertahan di posisinya meskipun dikritik atau bahkan di demo oleh sejumlah besar massa. Tapi fakta ini jugalah yang membuktikan betapa patokan moral dan etika politik antara pejabat/elite dengan masyarakat sungguh sangat lebar. Tudingan dan tekanan untuk menyelesaikan kasus secara hukumpun masih tetap berupa serpihan tuntutan yang masih sulit direspons. Pengalaman amandemen UUD 45 yang sarat kepentingan baik komponen Civil Society (LSM, Akademisi), maupun Partai dan bahkan para pejabat publik, menjadi pelajaran yang sangat bermakna. Betapa hampir semua paham, hampir semua pandangan banyak didasarkan atas kepentingan kelompok, entah itu partai atau kelompok kepentingan lainnya.

Meskipun nampak ada upaya membatasi kemungkinan korupsi dan pembohongan publik, tetapi pada saat bersamaan diciptakan juga wacana dan prilaku baru yang bias dari kepantasan publik. Kita memang boleh berharap bahwa ini dilakukan sekedar sebagai pemanfaatan detik-detik terakhir tindakan yang tidak terkontrol hukum bisa tetap dilakukan. Tetapi mencermati betapa perdebatan soal RUU Pemilu dan Amandemen UUD 45 beberapa waktu lalu, nampak adanya kecenderungan sistematisasi mekanisme dan gaya korupsi baru. Bahkan banyak kalangan, pengamat, akademisi maupun aktivis beranggapan bahwa cara dan gaya korupsi dewasa ini masih jauh lebih kasar dan lebih telanjang disbanding masa Orde Baru. Bila demikian, sudahkah tercipta mekanisme korupsi gaya baru di era reformasi ini ? dan pertanyaan penting lainnya, masihkah era ini disebut era reformasi menuju system yang lebih demokratis ?
Bila dilakukan penelitian dan kajian lebih cermat, penulis yakin bahwa jawaban-jawaban atas pertanyaan itu akan seperti ini : Pemerintah dan para elite bakal beranggapan bahwa inilah proses transfirmasi atau reformasi dan menuju demokrasi tidaklah mungkin dalam waktu 1 malam saja. Pemberantasan korupsi masih terus berlangsung, karena memang dibutuhkan kesabaran dan perangkat hukum yang jelas untuk melakukannya secara tuntas. Tetapi pada pihak lain, rakyat yang marah atas situasi yang tidak nampak berubah secara signifikan, pasti punya pandangan lain. Beban yang terus menerus ditimpakan kepundak mereka sudah cukup berat, karena layak mereka berpikir bahwa “terserah apa yang mau dilakukan, yang penting keamanan dan penghasilan dapat terus terjamin”. Tapi bukankah keamanan sekarang juga menjadi barang mahal ? sama mahalnya dengan pekerjaan yang semakin sepi dengan takutnya investor memasuki negri ini. Dan tentu bila ditanyakan kepada kelompok menengah, akan lain lagi komentarnya. Elite yang ada sekarang tidak lagi dapat diandalkan untuk mengayuh dan mendorong proses reformasi. Persekongkolan poltik antara mereka semakin memperlambat proses reformasi, malah semakin melanggengkan budaya korupsi.

Bila dicermati lebih jauh, menjadi masuk akal bila kemudian terjadi beda persepsi antara elite dengan kelompok menengah dan bahkan dengan masyarakat. Persepsi dan kepentingan yang berbeda ini, belum pernah terfasilitasi dan terinstitusionalisasi secara baik. Akibatnya adalah, kekuasaan masih berlangsung dalam semangat memperkaya diri untuk semua elite yang memiliki akses ke kekuasaan dan uang. Pada sisi lain, upaya-upaya kelas menengah untuk memperjuangkan mekanisme dan system yang lebih berjalan terus dalam semangat perlawanan terhadap kebekuan elite politik. Sementara rakyat menjadi komponen rentan yang dapat dimobilisasi sewaktu-waktu akibat kelelahan yang sangat melewati masa krisis yang berkepanjangan.

Kesenjangan visi dan persepsi di atas, sayangnya tidak mampu dijembatani oleh sejumlah negarawan dan intelektual. Eksploitasi berlebihan terhadap kelemahan Megawati disatu sisi dan kurang pekanya Megawati dalam menyikapi banyak masalah krusial, memperparah keadaan. Nampaknya, perubahan yang signifikan dan tidak berdarah-darah, hanya mungkin melalui proses politik yang bertahap dan gradual. Tetapi proses itu tetap mensyaratkan tersedianya cukup resource yang committed dan peduli terhadap nasib angsa dan nasib orang banyak. Itu berarti, berharap kepada aktor-aktor dan elite yang dimiliki Indonesia sekarang ini adalah sebuah pekerjaan “menjaring angin”. Tetapi membiarkan proses di tangan elite politik dewasa ini, juga adalah ketololan karena akan menambah daftar panjang kebobrokan yang harus diperbaiki nantinya. Kondisi problematis inilah yang membuat kita masih harus dengan rendah hati menatap proses KRISIS BERKEPANJANGAN di Indonesia.

Penulis,
Pengamat Sosial

www.sulutlink.com 18 Okt 2002
DEMOKRATISASI DI INDONESIA DAN CHILI:
PERSPEKTIF POLITIK PERBANDINGAN



Oleh:
Audy W.M.R. Wuisang




I. Pendahuluan

Demokratisasi dan perjuangan demi demokrasi kembali menjadi agenda dan sekaligus ciri yang sangat penting dalam konteks perkembangan politik terutama setelah Samuel Huntingthon mempublikasikan sebuah karya maha penting soal Gelombang Demokrasi Ketiga[1]. Gelombang Demokratisasi Pertama menurut Huntingthon terjadi pada tahun 1828 hingga 1926 dan kemudian disusul dengan Gelombang kedua pada tahun 1943 hingg 1962 dan Gelombang Ketiga diawali dengan jatuhnya Rezim Portugal tahun 1974 hingga transisi demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada akhir 1989. Gelombang Demokratisasi ini, juga melanda semenanjung Timur Asia dan menumbuhkan benih demokrasi di Korea Selatan dan Taiwan, juga melanda Asia Tenggara dengan Philipina sebagai contohnya[2].

Apabila titik balik dan proses redemokratisasi di Chili dihitung sejak gagalnya Jendral Pinochet[3] memperjuangkan Plebisit melalui referendum untuk memperpanjang kekuasaannya pada tahun 1988 dan kemudian terpilih Presiden baru pada tahun 1989, maka Chili juga termasuk dalam Gelombang Ketiga Demokratisasi ini[4]. Sementara Indonesia, berbeda dengan tahun penerbitan buku Anders Uhlin[5] yang menggagas tentang Gelombang Ketiga Demokratisasi dan pengaruhnya di Indonesia, justru sedang memulai dan merintis jalan transisinya. Buku Uhlin sendiri, membahas pengaruh Gelombang ketiga Demokratisasi di Indonesia, dan nampaknya Uhlin sedikit pesimistis dengan masa depan demokratisasi di Indonesia sebagaimana yang ditunjukkannya melalui penyimpulan sebagai berikut:

…”The “third wave” has obviously failed to have any profound impact on Indonesia’s political development, as no transition to democracy has taken place”[6].

Padahal, setahun kemudian regime Orde Baru yang dikatakannya relatif “imun” terhadap pengaruh Gelombang Ketiga Demokratisasi dan karenanya dalam menganalisis Demokratisasi di Indonesia dia menyimpulkan baru pada tahapan pra transisi[7], justru menghadapi masa-masa keruntuhannya. Bila ditarik kedepan, terlaksananya Pemilihan umum yang jujur dan adil pada tahun 1999 dan 2004 serta sejumlah pembangunan politik yang menyertainya dianalisis lebih jauh[8], maka Transisi Demokrasi di Indonesia juga termasuk dalam jajaran “Gelombang Demokrasi Ketiga”.

Tetapi persoalan utama bukanlah apakah Indonesia dan Chili masuk dalam kategori Gelombang Ketiga Demokratisasi dunia. Lebih dari itu, makalah ini berupaya dan mencoba untuk menganalisis proses-proses Transisi Demokrasi di kedua Negara tersebut dan memperbandingkannya. Pertanyaan lebih jauh kemudian muncul pada titik ini. Apa yang akan dan mau diperbandingkan? Dan bagaimana memperbandingkannya? dan tentu pertanyaan yang menyentuh perspektif teoretis adalah, dengan apa membandingkannya? Pertanyaan pertama terkait dengan persoalan “permasalahan” atau “masalah” yang harus dirumuskan lebih dahulu, sehingga fokus pembahasan tidak bias. Pertanyaan kedua yang nanti terkait dengan pertanyaan ketiga adalah persoalan perspektif politik perbandingan dan pendekatan teoretis. Makalah ini dikerjakan dalam perspektif Politik Perbandingan, dan untuk mengerjakannya penulis mencoba mendasarkan pada kajian Roy Macridis dan Bernard Brown[9] terutama soal fokus kajian dan pekerjaan Politik Perbandingan. Menyebut Politik Perbandingan berarti memberi prioritas kepada semua manifestasi, sikap dan gerakan terorganisasi dari Negara; Negara itu sendiri, dalam hal ini study tentang lembaga-lembaga Negara, organisasinya, lingkup pengambilan keputusannya; Kemudian juga terkait dengan sikap politik dan civic culture (dengan mengutip Almod[10]); juga terakhir soal infrastruktur dunia politik yaitu sikap dan ide politik, ekonomi dan kebudayaan, lembaga sosial, norma dan nilai yang menonjol dalam masyarakat tertentu.

Sehubungan dengan hal itu, maka masalah yang ingin dikaji dalam makalah ini tentu terkait dengan Transisi Demokrasi di Indonesia dan Chili. Dalam konteks tersebut, maka makalah ini ingin menjawab masalah dan pertanyaan soal bagaimanakah prospek dan kondisi Demokrasi di Indonesia dan Chili, terutama dalam selang waktu 1973 – 2004 di Chili dan 1967 – 2004 di Indonesia. Pertanyaan pertama ini, secara khusus ingin menjawab prospek demokrasi setelah 1989 di Chili dan 1998 di Indonesia. Dalam selang waktu itu, masalah dan pertanyaan kedua, apa yang dipikirkan oleh masing-masing Negara tentang peran Militer, terutama terkait dengan upaya militerisasi? Dan terakhir, bagaimana pembangunan politik di kedua Negara pada masa tersebut?

Pertanyaan pertama terkait momentum dan penyebab dari Transisi Demokrasi. Artinya, Transisi Demokrasi bukannya terjadi secara ahistoris dan terlepas dari konteks social-ekonomi dan budaya baik di Chili maupun Indonesia. Sehingga perlu diperhatikan konteks sejarah serta kondisi social-budaya-ekonomi yang bersignifikansi terhadap terciptanya momentum transisi demokrasi. Pertanyaan kedua terkait dengan peran elite dalam baik proses terciptanya momentum transisi serta bagaimana menyikapi peran militer yang kuat di kedua Negara. Sementara pertanyaan ketiga terkait dengan apa dan bagaimana proses-proses institusionalisasi perubahan politik tersebut sehingga proses transisi tidaklah gagal tetapi dapat terkonsolidasi secara baik[11].

Kajian makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bagian pertama adalah Pendahuluan yang terutama berisi gambaran dan deskripsi masalah yang dibahas oleh makalah dalam rangka Ujian Akhir Mata Kuliah Perbandingan Politik Universitas Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan bagian kedua, Penjelasan terminology penting dalam kajian, Ketiga memuat Pendekatan teoretis, Keempat Perspektif Perbandingan Politik di Chili dan Indonesia dalam hal Demokrasi, Demiliterisasi dan Pembangunan Politik dan Kelima adalah Penutup dan kesimpulan.

II. Beberapa Terminologi Penting

Untuk menjawab dan menjelaskan pertanyaan serta masalah di atas, maka kajian ini akan mempergunakan Teori Transisi Demokrasi, Teori Elite (Klasik dan Pluralis dengan tekanan terutama pada Teori Elite Pluraist) dan Teori Institutionalisasi atau Kelembagaan (Klasik dan Kontemporer). Tetapi sebelum menjelaskan pendekatan teoretis yang digunakan, maka sangat perlu untuk menjelaskan dan menegaskan beberapa terminology penting yang dipergunakan dalam kajian makalah ini.
Terminologi-terminologi penting yang dipergunakan dan dikaji dalam makalah ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu makna dan pengertiannya:
a. Demokrasi: Pemahaman demokrasi bisa dibedakan atas pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif berkaitan dengan demokrasi sebagai tujuan atau sebenarnya persoalan sekitar, bagaimana demokrasi yang seharusnya ataupun sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah Negara[12]. Sementara pendekatan empiric terkait dengan system politik dan karenanya baik oleh Gaffar[13] maupun James Ferguson[14] disebut sebagai “procedural democracy”. Karena terkait dengan Sistem Politik, maka Demokrasi dikaitkan dengan soal Perwakilan Langsung[15]. Tetapi tidak jarang dikaitkan juga model lain yang dikenal dengan Perwakilan Demokratis[16]. Kalangan Ilmuwan Politik kemudian secara empiric dengan mengamati praktek Demokrasi merumuskan demokrasi dengan beberapa indicator seperti misalnya Larry Diamond[17] yang mengetengahkan Demokrasi dengan 3 ciri: Pertama – persaingan ekstensif untuk menduduki posisi politis Negara melalui Pemilu yang teratur, bebas dan adil, kedua – Partisipasi politik menyeluruh dan ketiga – kebebasan pers, berserikat dan ditegakkannya Hukum. Sementara Bingham Powell[18] menyebut criteria sebagai berikut:
…”1) The legitimacy of the government rests on a claim to represent the desire of its citizens… 2) The organized arrangement that regulates this bargain of legitimacy is the competitive political election… 3) Most adults can participate in the electoral process both as voters and as candidate … 4) Citizens votes are secret and not coerced; 5) Citizens and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly and organizations…
Sementara Robert Dahl[19] sendiri mengajukan 7 indikator yang bisa diringkaskan sebagai berikut: 1) Kontrol atas keputusan pemerintah, 2) Pergantian elite atau pemimpin melalui Pemilu yang bebas, adil dan jujur dan secara regular, 3) Semua orang dewasa memiliki hak suara, 4) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk menjadi kandidat dipilih, 5) Adanya hak berekspresi, termasuk mengritik pemerintah, 6) Termasuk juga akses ke sumber informasi alternative, 7) Juga hak berkumpul dan berorganisasi dan masuk partai politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, dari sekian banyak konsep dan teori demokrasi termasuk indicator demokrasi, maka setidaknya yang dimaksudkan dengan demokrasi adalah: Pertama, adanya Pemilihan Umum yang regular, jujur dan adil yang memungkinkan pergantian elite dan pemerintahan dengan semua orang dewasa berhak memilih dan dipilih. Kedua, adanya pertanggungjawaban pemerintah terhadap kekuasaan yang dimilikinya kepada masyarakat. Ketiga, adanya kontrol rakyat terhadap kebijakan pemerintahan yang diekspresikan dalam bentuk memilih kembali atau menolak pemerintahan yang ada dalam Pemilu kemudian. Keempat, adanya kebebasan berekspresi, berorganisasi, berkumpul dan akses informasi yang bebas.
b. Demiliterisasi: Terminologi ini, nampaknya banyak dikaitkan dengan upaya demokratisasi dan khususnya banyak dipandang dari segi dan sudut kepentingan perkembangan demokrasi di dunia ketiga[20]. Pada umumnya secara sederhana demiliterisasi diartikan sebagai upaya dan proses mengurangi intervensi dan aktifitas milter dalam ranah politik. Atau mengikuti penjelasan Isima dalam membangun pendekatan teoritis terhadap demiliterisasi di Negara-negara Sub Sahara menyebutkan:
…” drastic reduction of the political influence of the military and security agencies of the state (demilitarisation) as part of the broader agenda of democratisation[21]
Isima menyimpulkan adanya trend reduksi pengaruh politik kekuatan militer sebagai bagian dari agenda yang luas dari proses demokratisasi. Beberapa rujukan lain yang terkait dengan study di bidang ini misalnya datang dari Luckman[22] yang menyimpulkan bahwa “demiliterisasi” merupakan prasyarat bagi demokratisasi itu sendiri. Study-study di Afrika mengenai demiliterisasi nampaknya memang bermuara pada pandangan bahwa reduksi kekuatan militer, pengaruh, resourses dan aktifitasnya dalam politik, termasuk pembatasan kekuasaan dan pengaruhnya yang seharusnya datang dan diberikan oleh pemerintahan. Pandangan semacam ini juga diperkuat oleh Guy Lamb[23] dalam menjelaskan reduksi kekuatan militer dan artinya demiliterisasi dalam politik lokal. Senada dengan itu, kajian-kajian dari Anak Agung dan Kusnanto dari perspektif Asia Tenggara dan lebih spesifik Indonesia, juga menunjuk kecenderungan yang serupa, yakni bagaimana kekuatan militer tunduk dibawah supremasi sipil dan dikukuhkan melalui konstitusi.
c. Pembangunan Politik: Pembangunan Politik merupakan salah satu istilah tehnis dalam khasanah Ilmu Politik. Harry Eckstein menjelaskan bahwa study-study tentang Political Development atau Pembangunan Politik berlangsung secara cepat sejak tahun 1960-an dan bahkan pada tahun 1975 sudah mencatat sekitar 200 karya bidang ini yang cukup menonjol[24]. Haruslah dicatat, sebagaimana dicatat oleh Stephen Chilton[25] gambaran serta analisis dan definisi tentang Pembangunan Politik terhitung membingungkan. Bahkan Ekcstein sendiri menyebutkan bahwa persoalan mengenai Pembangunan Politik sering tidak secara memadai merepresentasikan penyelidikan dan pendalaman soal Pembangunan (development) itu sendiri[26]. Tetapi, meski dengan sejumlah kebingungan, jelas bahwa menurut Chilton[27]:
…”Political development clearly arises from and affects individuals, cultural-institutional forms, and objective, regularized patterns of social interaction”
Memang nampaknya penjelasan ini seakan memisahkan pendekatan perubahan pada tingkat individu dengan lembaga-lembaga social, tetapi sebagaimana kemudian didalami lagi oleh Chilton, pendasaran definisi dan pemahaman Pembangunan Politik, mestilah memadukan kedua pendekatan tersebut secara simultan[28] dan sekaligus bagaimana menghubungkannya. Dengan pendasaran demikian, maka beberapa definisi tentang Pembangunan Politik dapat diajukan seperti misalnya Huntingthon mendefiniskan:
…”political development is "the institutionalization of political organizations and procedures[29]
Defini ini menegaskan pembangunan Politik sebagai proses atau pelembagaan dari organisasi-organisasi politik serta proseduralnya. Sementara definisi lain misalnya mendefisinikannya sebagai berikut:
…” Political development is the process in which major cluster of old social, economic and psychological concomitants are eroded or broken and people become available for new patterns of social and behavior[30]
Konsep lain yang coba diketengahkan datang dari John Dorsey, dengan mendefinisikan Political Development sebagai:
…”the change in power structure and processes that occur concomitantly with changes in energy conversion levels in the social system, whether such conversion levels change primarily in their political, social, and economic manifestations or in various combinations of the three"[31]
Terakhir, Harry Eckstein menjelaskan konsep Political Development sebagai pertumbuhan yang muncul dalam politik[32]. Dengan demikian, maka setidaknya Pembangunan politik dapat digambarkan sebagai korelasi atau hubungan antara individu dan lembaga-lembaga social serta aturan-aturan dari interkasi social tersebut (Chilton) dan juga melibatkan proses pelembagaan dari prosedur dan organisasi-organisasi politik (Huntingthon) serta perubahan dan struktur kekuasaan akibat energi-energi perubahan yang datang dari dinamika social, politik dan ekonomi.
Makalah ini memandang dan menggunakan terminology Pembangunan Politik dengan banyak mendasarkannya pada pemahaman Huntinthon, yakni proses pelembagaan atau institusionalisasi dari organisasi-organisasi politik beserta dengan tata kerjanya dengan juga memberi perhatian pada konsep Eckstein dan Dorsey soal energi perubahan pada Politik, Sosial, Ekonomi (Dorsey) dan konsep pertumbuhan dalam politik (Ekckstein). Suatu hal yang perlu dicatat Eckstein nampaknya secara implisit memandang bahwa pertumbuhan yang dimaksudkannya dalam Pembangunan Politik agak dekat dengan konsep modernisasi, terutama ketika dia membahas Pembangunan Politik dan mendasarkan konsep pembangunannya pada soal modernitas dan konsep Durkheim tentang pembangunan[33]. Implikasinya, ketika diterapkan dalam konteks dunia ketiga adalah bagaimana proses pembangunan politik berusaha memandang dan meninjau proses di pemerintahan berkembang dengan mengacu ke pemerintahan yang lebih maju.
III. Pendekatan Teoretis
Sebagaimana diungkapkan pada bagian terdahulu, dalam membahas dan menjawab masalah dan pertanyaan yang dirumuskan pada bagian pendahuluan, maka pendekatan teoritis yang akan digunakan adalah Teori Transisi Demokrasi, Teori Elite dan Teori Kelembagaan. Karenanya, sebelum membahas permasalahan, perlu diuraikan terlebih dahulu pendekatan teoretis tersebut:
a. Teori Transisi Demokrasi
Apabila Demokrasi telah dijelaskan dalam bagian terdahulu, maka penting juga untuk memahami apa yang dimaksud dengan demokratisasi. Secara sederhana demokratisasi dapat diterjemahkan secara harafiah, yakni proses menuju demokrasi, tetapi makalah ini akan menggunakan dan mengikuti defisini yang digunakan oleh David Potter tentang demokratisasi yang dirumuskannya sebagai proses-proses perubahan politik yang bergerak maju kearah demokrasi[34]. Demokratisasi dengannya menunjuk pada proses-proses perubahan politik yang mengarah ke peningkatan kualitas demokrasi dan bukanlah sebaliknya, sebab dalam beberapa kasus proses demokratisasi dapat saja gagal dan malah kembali ke model yang tidak demokratis. Atau dalam bahasa Potter, yang dimaksudkan dengan demokratisasi jelas adalah:
…”that the character of such movement over time is from less accountable to more accountable government, from less competitive election to freeer and fairer competitive election, from severely restricted to better protected civil and political rights, from weak (or non existent) autonomous associations in civil society to more aotunomous and more numerous associations”[35]
Setelah menjelaskan terminology demokratisasi, maka muncul kebutuhan baru untuk menjelaskan jika demikian, bagaimanakah model-model dan pola demokratisasi itu. Terlebih, bila dikaitkan dengan konsep dan penjelasan Huntingthon soal demokratisasi sejak Gelombang pertama hingga Gelombang ketiga. Untuk kebutuhan inilah kemudian Potter mengembangkan pendekatan teoretis terhadap pola ataupun model demokratisasi, yang baginya ada 3 pendekatan teoretis[36]. Pendekatan pertama adalah Pendekatan Modernisasi yang banyak berhutang budi kepada kajian-kajian Seymour Martin Lipset, terutama dalam bukunya Political Man (1960)[37] dimana disimpulkan bahwa perkembangan politik dan demokrasi ditentukan oleh level modernisasi atau perkembangan social-ekonomi. Pendekatan kedua adalah Pendekatan Structural yang mendasarkan kajiannya terutama kepada Barrington Moore[38]. Pendekatan ini menekankan proses jangka panjang dari perubahan struktur yang akan kemudian menentukan demokratisasi.
Pendekatan ketiga, yang akan digunakan dalam kajian ini, adalah Pendekatan Transisi Demokrasi yang memberi tekanan kepada proses-proses politik serta inisiatif dan pilihan-pilihan kelompok elite yang menyebabkan dan menentukan pergerakan dari regime otoriter ke demokrasi liberal[39]. Study tentang Transisi Menuju Demokrasi umumnya dikenal dan diawali dengan artikel Dankwart Rustow yang berjudul “Transition to Demokracy” yang diterbitkan pada tahun 1970[40]. Rustow bersama dengan para ahli yang lain memberi perhatian terutama kepada Negara-negara berkembang yang mempertanyakan bagaimana demokrasi boleh mendapatkan tempatnya yang utama. Dan untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan di atas, Rustow kemudian berdasarkan study analisis perbandingan sejarah Turki dan Swedia mengemukakan pendekatan yang komprehensif. Berdasarkan kajiannya atas Turki dan Swedia, kemudian Rustow mengemukakan bahwa ada semacam “route umum” yang akan dilalui oleh semua Negara selama masa demokratisasi. Route tersebut dibaginya dalam 4 tahapan, yakni: Pertama, tahapan penyatuan secara nasional dalam sebuah teritori tertentu. Kedua, disebutnya sebagai fase persiapan yang ditandai dengan perjuangan politik yang panjang. Ketiga, disebutnya sebagai transisi pertama, yaitu tahapan dimana para kelompok yang bertarung pada tahapan sebelumnya bersedia untuk berkompromi dan mengadopsi aturan demokratis. Bagi Rustow, teorinya selalu menegaskan adanya kesadaran elite untuk menerima aturan demokratis sebagai sebuah syarat penting. Keempat, adalah second transition atau transisi kedua atau disebut juga fase pembiasaan atau pembudayaan. Artinya, kompromi yang dicapai kemudian disahkan dalam kesepakatan mengikat dan menjadi rujukan bersama[41].
Fase ketiga dan keempat dari Teori Rustow inilah yang kemudian dielaborasi oleh para pemikir selanjutnya. Tercatat disini adalah Guilermo O’Donnel (Transition from Autoritharian Rule – 4 volume), Juan Mainwaring, Yossi Shain, Juan Linz, dll, yang kemudian membedakan fase 3 sebagai fase Transisi dari Autoritarian menuju Demokrasi Liberal dan fase keempat yang disebut sebagai fase konsolidasi demokrasi[42]. Alasan utama mereka, sebagaimana disinggung didepan adalah karena transisi bisa saja sukses dan berarti terkonsolidasi dan mungkin pula gagal.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Potter nampaknya memberi aksentuasi yang sangat nyata dan kuat terhadap peran elite dalam proses transisi. Baginya, segera setelah terjadi pemaksaan dan represi, yang menjadi karakteristik dari regime otoriter[43], maka para actor akan terbelah menjadi 2 kubu, yakni regime dan pendukungnya melawan pihak oposisi. Dalam koalisis otoriter masih terbagi antara elite yang “hardliner” dan yang “softliner”. Sementara pada kubu Oposisi terbai antara: Oportunist, moderat dan radikal. Dalam kasus Amerika Latin, koalisi antara yang “softliner” dari regime otoriter dengan “moderate” dari kubu oposisi yang memungkinkan proses transisi boleh berlangsung dengan signifikan[44].
Selanjutnya Linz dan Shain[45] menegaskan bahwa dalam periode antara (transisi), maka hasil dari demokratisasi sangat tergantung pada siapa yang memerintah dan bagaimana mereka menggunakan kekuasaannya. Mereka kemudian menyimpulkan adanya 4 format ideal penguasa pada masa interim: Pertama, Oposisi yang memerintah untuk sementara, terutama elite yang berhasil menumbangkan regime sebelumnya melalui kudeta. Elite ini biasanya memproklamirkan dirinya sebagai pemerintahan sementara yang kemudian akan mengantarkan pemerintahan dan masyarakat menuju pemilu[46]. Kedua, Pembagian Kekuasaan antara regime otoriter terdahulu dengan gerakan demokrasi oposisi dalam sebuah pemerintahan sementara. Ketiga, Pemerintah yang ada masih bertugas sebagai caretaker untuk menghantarkan proses pemerintahan hingga ke Pemilu. Keempat, pembentukan pemerintahan oleh PBB melalui campur tangan internasional. Kasus ini beberapa kali terjadi, termasuk Namibia, Kamboja dan terakhir East Timor.
Terkait dengan kajian-kajian peran elite di atas, maka Potter menyebutkan, meskipun memang sangat mungkin elite yang ada tidaklah komitmen penuh dengan demokrasi liberal, tetapi pada dasarnya timbul keengganan untuk kembali ke masa otoritarianisme[47]. Karena pertimbangan itu, maka Potter melanjutkan, kelompok elite demokrasi yang masih minoritas perlu melakukasn 4 langkah utama agar demokratisasi terkonsolidasi secara baik: pertama, netralisasi actor politik yang otoriter; kedua, promosikan keinginan akan demokrasi dengan implementasinya yang saling terkait dengan memfungsikan demokrasi; ketiga, perbesar jumlah elite demokratis ataupun actor demokratis; keempat, integrasikan dan sub ordinasikan strategi actor demokrasi dengan memfasilitasi keinginan untuk tidak kembali ke periode otoriter[48].
Bila disimpulkan, maka pendekatan Teori Transisi Demokrasi menekankan pada Elite-elite Politik, pada aksi-aksi mereka yang jelas, pilihan dan strategi politik, serta membedakan proses transisi dengan konsolidasi demokrasi dan bahwa perjalanan sejarah menuju demokrasi liberal dilalui bukan dengan perubahan struktur tetapi dengan inisiatif dan tindakan para elite[49]. Dengan demikian, pendekatan teori Transisi Demokrasi memberi perhatian yang sangat besar terhadap peran elite. Dan ini pula sebabnya perspektif teori elite menjadi pilihan pendekatan teoretis kedua dalam kajian ini
b. Pendekatan Teori Elite
“Government is always government by the few, whether in the name of the few, the one or the many”, demikian ungkapan Harold Lasswell[50]. Elite dalam konteks Ilmu Politik menunjuk kesekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan, sebaliknya massa adalah bagian terbesar yang justru tidak memiliki kekuasaan[51]. Demokrasi adalah pemerintahan oleh banyak orang, tetapi dalam prakteknya demokrasi bergantung kepada sekelompok kecil orang dalam menjalankannya, inilah yang disebut dengan Ironi Demokrasi, dan bagi Harild Lasswell[52] dan bahkan dalam demokrasi, pembagian masyarakat kedalam elite dan massa bersifat universal. Elite, tidaklah dibentuk atau dilahirkan oleh sosialisme atau kapitalisme, oleh system represif atau demokratis, agricultural atau industrial, tetapi karena semua masyarakat membutuhkan elite. Apakah masyarakat itu otoriter, demokratis ataupun setengah demokratis.
Pembahasan-pembahasan tentang Teori Elite Klasik sebenarnya ditemui awalnya dalam tradisi berpikir di Italia, khususnya melalui Mosca dan Pareto dan pemikir Perancis Roberto Michels[53]. Mosca menegaskan bahwa masyarakat modern sejak dahulu selalu memunculkan 2 kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Mosca juga berpandangan, bahwa kelas penguasalah yang menentukan struktur politik masyarakat[54]. Mengapa demikian, karena meskipun jumlah elite kecil, tetapi sebetulnya dialah yang mengatur kehidupan secara keseluruhan, dan semakin besar masyarakat, semakin sukar kelompok massa mayoritas untuk mengorganisasikan sikap mereka terhadap kelompok elite minoritas itu[55]. Mosca, juga percaya dengan pergantian elite, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Moran[56]: bahwa apabila elite tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan kecakapan di hadapan kelas yang dikuasai, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai.
Sementara Pareto membedakan masyarakat menjadi 2 kelas, sama dengan Mosca. Pareto membagi dalam Lapisan Atas, yaitu elite yang masih terbagi atas elite yang memerintah dan elite yang tidak memerintah (governing and non governing elite), sedang lapisan bawah adalah non elite[57]. Baik Pareto maupun Mosca lebih memusatkan perhatiannya kepada elite yang memerintah. Konsep pergantian atau sirkulasi elite juga diperhatikan oleh Pareto, yang baginya elite yang berkuasa bisa saja kehilangan kekuasaannya akibat gangguan terhadap keseimbangan masyarakat. Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elite yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elite itu sendiri dan yang kedua dari penduduk biasa menjadi elite. Patut juga dicatat, Pareto secara tersirat memberi kesempatan dan pengesahan soal penggunaan kapasitas serta kemauan para elite untuk menggunakan kekerasan[58].
Teori-teori elite diatas, bersama dengan Robert Michel yang terkenal dengan “the iron law of oligarchy” termasuk dalam kategori teoretisi elite klasik. Percakapan tentang Teori Elite kemudian juga merambah Amerika Serikat melintasi samudrea Atlantik dan sekaligus mencoba menautkan Teori Elite dengan Demokrasi[59]. Schumpeter[60] sebagaimana Weber dan Mosca menekankan bahwa Demokrasi sebenarnya meski berpinsip pemerintahan oleh rakyat, tetapi prakteknya diperintah oleh elite. Ide utama Schumpeter kemudian adalah bagaimana proses persiapan dan pencapaian kekuasaan oleh elite dilakukan melalui kompetisi yang jujur dan adil melalui pilihan rakyat atau Pemilihan Umum. Hal ini disebabkan Schumpeter tidak yakin adanya saluran lain mengontrol elte oleh massa pemilih kecuali melalui Pemilu.
Dengan upaya-upaya panjang dalam mempertautkan Teori Elite Klasik dengan Demokrasi, sebagaimana dilakukan oleh Schumpeter di atas juga berlanjut dalam tradisi berpikir tokoh lain semisal Harold Lasswell, Robert Dahl dan Giovani Sartori[61]. Sebagaimana dikutip pada awal pembahasan Teori ini, Lasswell menekankan bahwa betapapun memang masyarakat secara politik akan terbagi atas elite dan massa. Sementara Dahl dan Sartori mengidentikkan demokrasi dengan poliarkhi yang berarti terjadinya sebuah kompetisi yang fair dan adil diantara para minoritas berpengaruh dan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan[62]. Selanjutnya Dahl menyatakan bahwa melalui proses yang kompetitif, maka elite dan pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga Negara biasa[63] dan dengan cara itu, maka interaksi aktif akan terjadi antara mereka. Rakyatpun dengan demikian akan memiliki pengaruh terhadap elite, meskipun secara alamiah posisi rakyat dan massa akan menjadi lebih lemah[64].
Kajian-kajian kaitan antara Teori Elite dengan Demokrasi yang secara luas dikemukakan melalui para tokoh di atas, sebetulnya datang dari konsep bagaimana kekuasaan elite tersebut boleh dipengaruhi oleh massa atau rakyat. Artinya, bagaimana mempertautkan apa yang dinamakan ironi demokrasi pada bagian depan, sehingga benar-benar esensi dan substansi bahwa demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat terekspresikan dalam elite pemerintahannya melalui proses-proses yang memungkinkan rakyat dalam mengontrol elite yang minoritas. Sampai pada titik ini, kemudian Lasswell menyimpulkan:
…”In western democracies, elites have multiple institutional bases of power. Not all power is lodged in government, nor is all power derived from wealth. Democracies legitimaze the existence of opposition parties as well as of organized interest groups…But it is really the power and autonomy of non governmental elites, and their recognized legitimacy, that distinguishes the elite structure of democratic nations from thoseof totalitarian state[65]”.
Dengan melintasi samudera Atlantik, maka teori elite kemudian memperoleh perspektif baru, yakni bersinergi dengan demokrasi serta bahkan menerima sumbangan dari paham pluralisme dalam demokrasi. Sebagaimana disebutkan oleh Dahl dalam Poliarkhi serta juga penegasan lain dari Sartori ketika menyatakan bahwa:
“Democracies are characterized by diffusion of power … by a multiplicity of criss-crossing power groups engaged in coalitional maneuverings[66]”.
Hal ini nampaknya mirip dengan penegasan Dahl dalam Poliarkhi soal adanya multiple power yang dapat merepresentasi berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam berkontribusi terhadap keterkaitan demokrasi plural dengan teori elite, Lasswell kemudian menekankan beberapa hal[67] bahwa dalam paham pluralism ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, masyarakat terbagi atas berbagaikelompok yang memiliki keinginan dan tuntutan kepada pemerintah tanpa mendominasi proses pembuatan keputusan. Kedua, meskipun warga Negara tidak berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan, pemimpin mereka mampu mengadopsi pikiran mereka melalui mekanisme tawar menawar, akomodasi maupun kompromi. Ketiga, kompetisi antar para pemimpin menolong terakomodasinya kepentingan mereka. Keempat, Kepemimpinan terbuka, kelompok baru boleh dibentuk untuk ikut memperjuangkan kepentingan politiknya. Kelima, meskipun pengaruh politik dalam masyarakat terdistribusi, tetapi kekuasaan sebetulnya tersebar. Kepemimpinan yang berasal dari banyak basis kekuasaan eksist, dan tiada satupun kelompok yang sangat dominant dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan pemikiran demikian, maka Etzioni-Haleva[68] menyimpulkan bahwa Elite bisa didefinisikan sebagai:
…”those people who have an inordinate share of power, on the basis of their control of resources. Resources are simply those things which are scarce, which affect people’s live, which at least some people require or want, and for which there is more demand than supply[69]”.
Dengan defines ini kemudian Etzioni membedakan elite dan sub elite. Elite adalah mereka yang berada pada top level atau puncak kekuasaan sementara sub elite adalah mereka yang menduduki ranking atau tingkatan menengah dari struktur kekuasaan, sementara rakyat berada pada tingkat yang paling bawah[70]. Lapisan elite terdiri dari: Pemerintah, anggota dari parlemen atau kongres, serta juga anggota pemerintah dan pimpinan partai dan kelompok oposisi (bila ada disatu Negara). Termasuk dalam kategori elite adalah, Birokrasi, militer, polisi dan para penegak Hukum (judiciary). Termasuk juga dalam kategori ini adalah elite ekonomi (bisnis), terutama top manajer dari organisasi bisnis berskala besar serta juga pemimpin utama dari buruh serta organisasi perdagangan, mereka terkategori kelompok kepentingan dalam masyarakat modern. Di posisi elite, juga masuk para tokoh utama media, baik elektronik maupun media cetak, juga apara akademisi dan kelompok intelektual serta akhirnya pemimpin-pemimpin utama dari gerakan-gerakan social ataupun gerakan demokratis/gerakan protest.
Sub elite, memiliki kekuasaan yang sedikit dibawah elite, termasuk disini adalah pemimpin-pemimpin kelompok kepentingan yang tidak terlalu besar, dari kalangan bisnis juga para pemilik dan manager dari perusahaan besar (tidak sebesar di kelompok elite). Termasuk juga, kalangan menengah dari birokrasi Negara termasuk polisi dan tentara pada rangking menengah, pemimpin gerakan social yang lebih kecil, juga media dan akademisi serta acitivist partai buruh dan pimpinan gerakan social. Atau dengan kata lain, sub elite adalah mereka yang menduduki posisi kedua dibawah posisi elite dari struktur dan organisais mana mereka berasal.
c. Teori Institusionalism/Kelembagaan
Guy Peters[71] mendiskusikan 7 pendekatan Kelembagaan dalam ilmu politik dan sosiologi sebagai Pendekatan Neo Institutionalism atau pendekatan “Kelembagaan Baru”. Tetapi, bukan pada tempatnya mendiskusikan dan mengkaji ketujuh pendekatan kelembagaan menurut Guy Peters tersebut. Untuk kebutuhan analisis Kelembagaan bagi makalah ini, maka akan dikaji pendekatan Neo Institutionalism mengikuti David Apter[72] dan tentu dengan berupaya mengkombinasikan beberapa argumentasi yang dibangun Guy Peters.
Pendekatan Kelembagaan (Klasik) memberikan perhatian utamanya kepada pada Hukum dan Konstitusi, dalam bagaimana Pemerintah dan Negara, Kedaulatan, Juridiksi, lembaga perwakilan bekerja dan berevolusi dalam bentuk-bentuknya yang berbeda. Guy Peters[73] menegaskan, bahwa memang karakteristik pertama dari pendekatan kelembagaan adalah berpusat pada Hukum dan peran Konstitusi dalam memerintah. Guy Peters menyimpulkannya melalui kajian dan perbandingan dengan peran Hukum di Eropa dan Anglo-Amerikan, dimana Hukum memegang peranan yang sangat penting dalam mengatur sector publik[74]. Karena itu, Guy Peters kemudian menyatakan:

…”Therefore, to be concerned with political institution was (and is) to be concerned with law”[75].

Pendekatan Kelembagaan memang mendasarkan pendekatannya terutama kepada lembaga-lembaga pemerintahan yang dipikirkan menentukan kehidupan politik sebuah Negara. Evolusi fungsi lembaga-lembaga tersebut, dirunut kebelakang oleh Apter[76] dan bahkan kemudian dengan sangat mengagungkan western karakter dari Demokrasi, juga mengklaim prinsipnya sebagai universal. Terutama dengan mengandalkannya pada differensiasi pemerintahan sipil, system perwakilan dan pengadilan, kekuasaan eksekutif dan pemerintahan lokal. Pendekatan Perbandingan Politik dengan menggunakan Kelembagaan berupaya melihat bagaimana semua lembaga ini bekerja, termasuk kemungkinan-kemungkinan perubahannya.

Neo Institutionalisme – Kelembagaan Baru: Apter memandang dan menggambarkan pendekatan Kelembagaan Baru sebagai sintesa atau perpaudan antara pendekatan kelembagaan lama dengan kepedulian terhadap Developmentalisme[77]. Hal ini sedikit berbeda dengan pendekatan Guy Peters yang menyimpulkan bahwa rasionalisasi kehadiran pendekatan kelembagaan Baru adalah penafsiran kembali atas disiplin Behavioralisme dan Pilihan-Pilihan Rasional[78]. Tetapi, bila mempertimbangkan kembali bahwa kritik terhadap behavioralisme terutama karena ketidakmampuannya dalam menjelaskan fenomena politik dan krisis besar pada masa itu (tahun 1960an) dan keinginan melahirkan ilmu politik yang dapat melayani orang miskin, tertindas dan terbelakang[79], maka bisa diduga sebenarnya argumentasi mereka bergerak sejajar. Selain itu, Apter juga membahas sekitar teori pilihan rasional[80] sebagai salah satu pijakan kuat dari apa yang disebutnya pendekatan kelembagaan baru. Dengan demikian, apabila Apter banyak memberi perhatian dan membahas soal komitmen ke dunia ketiga dan bahkan transisi demokrasi, maka Guy Peter membangun pendekatan teoretis terutama dengan mengkaji revolusi behavioralisme dan pilihan rasional serta juga kemudian kajian-kajian yang ditulis oleh James March dan Johan Olsen[81].

Mengikuti Apter, selanjutnya Sistem Politik kembali menelaah dengan mengkombinasikan apa yang disebut sebagai kepentingan Negara-negara tertinggal (Dunia Ketiga) dengan kepentingan-kepentingan di Eropa. Pendekatan ini, juga memperhatikan tingkah laku politik (political behaviour), termasuk tindakan dan prilaku memilih dan analisa perubahan partai politik serta implikasi ataupun signifikansi perubahan tersebut terhadap Negara (Lipset dan Rokkan)[82]; serta bahkan juga memasukkan masalah-masalah elite dan demokratisasi (Linz and Stephen). Kepedulian khusus terhadap Kesejahteraan Sosial dan Sosial Demokrasi sebagai alternatif dari Autoritarianisme, Paham ini beranjak dari apa yang oleh Paham kelembagaan lama disebut sebagai “Great Depression” dipahami kemudian lebih jauh menjadi generalisasi dari Negara Kesejahteraan Sosial, dengan ujung tombak Sosial Demokrat dan Partai Buruh sebagai contoh di Inggeris. Dimana-mana di Eropa, campur tangan Negara dalam kehidupan politik menjadi meningkat atas nama perhatian terhadap masyarakat yang kurang beruntung.

Neo Institutionalisme menjadi dekat dengan Developmentalisme justru ketika berbicara masalah Transisi Demokrasi. Meskipun keduanya menggunakan strategi yang berbeda untuk menganalisis masalah tersebut, terutama juga berdasarkan pengamatan dan analisis empiris yang berbeda. Study-study yang dikategorikan oleh Apter sebagai “post Weberian”[83] dilakukan oleh Reinhard Bendix, Barrington Moore, Skockpol dan bahkan hingga ke Guilermo O’Donnel, Schimtter dan Whitehead dengan melakukan komparasi histories atas perkembangan dan kasus-kasus di Perancis dan Inggeris, India dan jepang, Rusia dan China yang terutama menggunakan pendekatan kelas dan kasus Amerika Latin dalam kaitan hubungan Birokrasi dan Negara. Semua menggambarkan bagaimana bentuk Negara dan pembentukan Negara dikaitkan dengan Demokrasi dan Autoritarianism.

Posisi penting lainnya dari pendekatan ini adalah penggunaan teori pilihan rasional, yang menjadi semakin penting dan semakin sering digunakan dan diaplikasikan dalam menjawab pertanyaan tentang apa yang dalam demokrasi disebut sebagai “double market”, yakni ruang diantara pasar ekonomi dengan politik, sebagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Downs dan Olson dan variannya ditemukan antara lain hingga ke Hetcher, Bates dan Przeworski. Yang terakhir ini berargumentasi bahwa, kemampuan regime dalam bertahan secara demokratis, antaranya melalui apa yang disebutnya “Insentive” yang memungkinkan kelompok politik ataupun regime berkuasa masih dapat terus berkompetisi secara demokratis. Dengan menyelesaikan persaolan-persoalan kesejahteraan social dan dengannya mereduksi inequality, maka lembaga pemerintahan dapat kembali berada pada pusat tetapi juga sekaligus menjawab persaoalan-persoalan kesejahteraan.

Menurut Apter, pendekatan Kelembagaan Baru ini tidak seketat pendekatan Kelembagaan Lama dalam memandang Konstitusi, dan lebih menekankan factor-faktor social-ekonomi dan analisisnya serta kebijakan moneter dan globalisasi. Tetapi, seperti juga Pendekatan kelembagaan Lama, Pendekatan kelembagaan Baru juga peduli dengan Negara dalam fungsi intrumentalnya, dengan kecenderungan dan kebutuhannya dan bagaimana konfigurasi kekuasaan serta bagaimana cara Negara memperlakukan Civil Society. Dengan ringkas kata, Pendekatan kelembagaan Baru lebih terkait dengan Teori Sosial dan Politik sementara Kelembagaan Lama lebih terkait dengan Filsafat politik, juga Kelembagaan Baru dekat dengan Ekonomi-Politik.

IV. Demokrasi – Demiliterisasi – Pembangunan Politik di Indonesia dan Chili
Secara umum, route atau perjalanan menuju demokrasi antara Chili dan Indonesia nyaris mirip. Chili[84], mengalami proses panjang berdemokrasi sebelum kudeta militer yang dipimpin Jendral Pinochet memimpin kudeta militer dan mengungkung Negara tersebut dalam periode panjang otoriterism. Padahal, sebelumnya Chili sudah mengalami proses bernegara yang demokratis[85], hanya saja gagal menangani depresi ekonomi pada tahun 1970-an yang memuncak pada konflik politik dan mengakhiri kekuasaan regime socialist Allende melalui Kudeta Militer[86]. Menurut Javier Causo, proses demokrasi Chili terinterupsi, karena konstitusi yang mendukung demokrasi juga mengalami interupsi[87] selama 17 tahun sampai kemudian Jendral Pinochet mengalami kekalahan dalam Plebisit Oktober 1988 dalam upayanya mencari dukungan untuk terus berkuasa sampai tahun 1997. Pinochet membangun kekuasaannya dengan kekuatan militer pada tahun 1974-1979 yang kemudian diteguhkan dengan Pelibist pertama pada tahun 1980 yang menguatkan peran otoriterisme Pinochet dan kuatnya pengaruh militer dalam struktur politiknya[88]. Tetapi, tekanan internasional dan dugaan bahwa perbaikan ekonomi akan memenangkan pilihannya, justru membuat Pinochet, terlalu yakin dan gagal melegitimasi kekuasaannya pada tahun 1988[89]. Plebisit kedua gagal yang segera dilanjutkan dengan pemilihan Presiden baru pada tahun 1990 dan menghasilkan Patricio Alwyn dari Partai Kristen Demokrat sebagai Presiden dan proses redemokratisasi kembali berjalan di Chili meski kekuatan dan pengaruh militer masih tetap kuat[90].
Indonesia[91] juga mengalami proses berdemokrasi sebelum tahun 1967, terutama pada proses Demokrasi Liberal berlangsung di Indonesia tahun 1950-1959. Tetapi, memasuki masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno pada tahun 1959-1967 dan kemudian masa Orde Baru 1967-1998, Demokrasi di Indonesia mengalami periode suram. Terutama dibawah pemerintahan Soeharto, kondisi Indonesia nyaris mirip Chili. Penjelasan O’Donnel dan juga Hikam mengenai Negara Birokrasi Otoriter (Negara BA menurut O’Donnel)[92], benar-benar memenuhi kriteria Indonesia dan sangat memadai menjelaskan watak regime orde baru yang sangat militeristik. Harus juga diingat, bahwa dalam kasus Amerika Latin, O’Donnel mencatat bahwa Chili adalah prototype sempurna dalam kasus Latin yang memenuhi penjelasannya soal transisi dari Negara BA atau Birokratik Otoriter ke Demokrasi[93]. Kekuasaan otoriter Soeharto baru berakhir setelah 32 tahun mencengkeram Indonesia pada tahun 1998, diawali oleh krisis ekonomi yang luar biasa parahnya[94]. Akibatnya, gelombang protes yang digalang kekuatan pro-demokrasi bersama dengan mahasiswa memaksa Soeharto mengundurkan diri dan Pemilu pertama yang demokratis dilaksanakan pada tahun 1999, untuk kemudian memulai kembali proses demokratisasi di Indonesia.

1. Demokrasi Indonesia dan Chili

Bila indikator ataupun parameter yang ditetapkan dalam kajian terdahulu soal Demokrasi yang diterapkan dalam menganalisis demokrasi di Indonesia dan Chili, maka secara umum Indonesia dan Chili masih belum jauh berbeda. Pemilihan Umum yang regular sudah berlangsung dengan baik di kedua Negara, baik Chili maupun Indonesia dengan tingkat kompetisi yang semakin berkualitas. Chili, terutama sejak kemenangan koalisi partai yang didukung oleh Gereja Katolik dan menghasilkan 55% suara, kemudian sudah beberapa kali melakukan pemilihan presiden secara regular dan teratur, sementara Indonesia sudah melakukan Pemilihan Umum regular yang demokratis pada tahun 1999 dan tahun 2004. Bahkan, untuk pertama kalinya dilakukan Pemilihan Presiden secara langsung pada tahun 2004 sebagaimana Chili melakukannya setelah tahun 1988. Dengan demikian, baik Chili maupun Indonesia memenuhi standar atau criteria pertama dari demokrasi liberal, dalam hal terjadinya kompetisi yang fair dan adil melalui Pemilihan Umum.

Parameter kedua, adalah adanya pertanggungjawaban pemerintah dalam hal ini kebijakan-kebijakannya berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya dari rakyat kepada masyarakat. Di Chili, setelah pemilihan Presiden tahun 1989, kemudian disusul dengan pemilihan Anggota Kongres yang pada gilirannya meneguhkan kepemimpinan sipil atau pemerintahan sipil disana. Sementara di Indonesia, relatif setelah Pemilu 1999 dan kemudian 2004, pemerintahan memang sudah sebagaimana yang dialami Chili, yakni Pemerintahan sipil, meskipun bukannya tanpa masalah. Persoalan-persoalan demokrasi di Chili dan Indonesia nampaknya tidak banyak berkutat dengan masalah pertanggungjawaban pemerintah atas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kemungkinan besar, karena semakin berperannya Kongres di Chili dan Perwakilan (MPR dan DPR) di Indonesia, sehingga proses control melalui mekanisme perwakilan relative secara kelembagaan eksist.

Parameter ketiga mengenai kontrol masyarakat dalam ekspresi memilih kembali atau memilih yang lain melalui Pemilu, relatif sudah terpenuhi dengan mekanisme pada parameter pertama dan kedua. Sementara parameter keempat, dalam bentuk kebebasan berkumpul, berserikat serta berekspresi dan pers bebas, juga relatif berada dalam kondisi yang serupa. Masalah-masalah demokrasi yang utama dibahas dan masih dipersoalkan di Chili dan Indonesia memang bukan lagi masalah ini. Hal ini nantinya akan semakin jelas dalam persoalan pembangunan politik atau konsolidasi demokrasi.

Bila demikian, sebenarnya, baik Chili dan Indonesia sudah memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai Negara Demokrasi. Dengan berlangsungnya pemilu secara regular, berfungsinya alat perwakilan rakyat (Kongres di Chili dan MPR/DPR RI di Indonesia), terjaminnya kebebasan berorganisasi dengan dipulihkannya kekuatan dan eksistensi Partai Politik di Chili dan berlakunya kembali system multi partai di Indonesia, dan jaminan atas HAM serta kebebasan pers di kedua negara. Tetapi, apa persoaan Demokrasi dan Demokratisasi dewasa ini di Chili dan Indonesia? Atau lebih tepatnya, bagaimana kondisi relatif demokratis di Chili dan Indonesia tercipta dewasa ini? Hal ini nampaknya yang perlu dijelaskan dalam perspektif teoretis yang menjadi pendekatan kajian ini:

Harus ditegaskan, bahwa baik Chili maupun Indonesia bukannya tidak menghadapi persoalan dalam masa peralihan atau transisi, baik di Chili sejak tahun 1973, maupun di Indonesia sejak tahun 1998. Penjelasan soal transisi ini, juga nanti akan menyinggung dan berkaitan dengan tema dan topik Demiliterisasi dan Pembangunan Politik, dan karenanya beberapa hal akan lebih diperjelas dalam tajuk tersebut. Persoalan-persoalan yang dihadapi Chili pasca tahun 1973 dan proses transisi menuju demokrasi Dijelaskan dengan baik oleh Ferguson[95] dan Portales[96]. Chili berkutat dengan persoalan control penggunaan dana kampanye yang sangat minimal, juga krisis ekonomi pada awal 1980-an, pemilihan senator-senator, Presiden tidak punya kekuatan untuk mengganti Panglima Militer, Kekuatan militer yang masih sangat signifikan berdasarkan Plebisit 1980 yang belum mampu direform, serta masih diawasinya kepemimpinan sipil oleh militer, selain juga Pinochet menjadi Senator seumur hidup dan masih memegang jabatan Pimpinan Tertinggi militer dan sangat berpengaruh. Sementara di Indonesia, persoalan pengaruh militer dalam bidang politik, juga tetap menjadi persoalan dalam transisi, sementara juga krisis ekonomi masih tetap membayang dan implikasi lain seperti masalah korupsi dan masalah otonomi daerah terkait ancaman disintegrasi serta toleransi horisontal atau solidaritas horizontal.

Dalam perspektif Study Transisi Demokrasi, maka depresi ekonomi pada tahun-tahun 1987-1988 bersamaan dengan tekanan Internasional di Chili, telah merangsang pergerakan kembali kelompok oposisi. Keuntungan besar bagi gerakan ini adalah dukungan Gereja Katolik yang memainkan peranan sangat signifikan, sebagaimana digambarkan oleh Monicca Jimenez de Baros[97]. Kelompok Oposisi Partai dan terutama Gereja Katoliklah yang menjadi penentu utama dalam perspektif Teori Elite Pluralist, yang kemudian didukung oleh gerakan-gerakan civil society, dalam hal ini aktivis NGO, yang berhasil membendung Plebist II tahun 1988 yang akan melegitimasi regime militer-politik meminjam bahasa O’Donnel di Chili. Strategi penggalangan kampanye yang digambarkan Monicca, menggambarkan betapa penetrasi gerakan civil society ini mampu menembus semua kalangan dan kebetulan pada saat yang sama media juga terlibat dalam proses perlawanan terhadap upaya plebisit kedua tersebut. Sementara di Indonesia, upaya memecah kebuntuan melawan regime orde baru, juga sama dengan Chili, menemukan momentumnya pada saat krisis ekonomi. Akumulasi gerakan civil society[98] yang kemudian pada tahun 1998 dipelopori oleh elite anomaly-mahasiswa, ternyata mampu menembus tembok kekuatan regime Soeharto.

Proses transisi di Chili dan Indonesia, nampaknya bila mengikuti logika pemerintahan interim Shain dan Linz sebagaimana digambarkan dalam bagian terdahulu, mengambil bentuk paduan antara Gerakan Oposisi dan Regime terdahulu. Ini, menurut Shain and Linz sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu, merupakan salah satu jalan yang bisa menjamin proses transisi. Di Chili, regime Pinochet, tidak langsung diberantas habis, malah Pinochet masih menjadi Senator seumur hidup dan kekuatan militer masih sangat signifikan. Demikian juga di Indonesia, peran mesin politik Orde Baru dalam hal ini GOLKAR dan Militer masih sangat signifikan, karena itu proses paduan kedua kekuatan ini menjadi pilihan pada masa transisi. Tetapi, pada saat yang sama terjadi peningkatan peran yangs angat signifikan pada tataran elite dan sub elite mengikuti pemikiran Etzioni, dalam hal ini peningkatan peran pimpinan puncak dan menengah baik media, akademisi, maupun partai politik.

2. Demiliterisasi di Chili dan Indonesia

Sebagaimana diungkapkan di atas, persoalan militer adalah agenda utama demokratisasi baik di Chili maupun di Indonesia. Tulisan-tulisan yang dikutip mengenai Chili dan Indonesia, baik Ferguson, Hudson ataupun Skidmore dan Potales tentang Chili serta Kusnanto Anggoro, Anak Agung, Emmerson dan Douglas Ramage, memperlihatkan bagaimana upaya menempatkan militer pada porsi yang sebenarnya. Atau, mengikuti logika Isima: mereduksi peran militer dalam ranah politik.

Tetapi, haruslah diakui bahwa memang pekerjaan tersebut bukan pekerjaan mudah. Proses militerisasi berjalan dengan cara agak berbeda di beberapa Negara, sehingga mereduksi peran militer menjadi minimal juga dibutuhkan cara dan pendekatan yang akan berbeda. Andre Gunder Frank, seorang pengikut mazhab ketergantungan (mazhab dependency), misalnya menjelaskan persoalan intervensi militer atau militerisasi sebagai kegagalan demokrasi dan bentuk lain Negara borjuis dalam menyelaraskan tuntutan kebutuhan modal dunia dengan mengendalikan konflik local, titik ini akan dipergunakan sebagai kesempatan militer untuk mengambil alih dan memperbesar kekuasaannya[99]. Tetapi, O’Donnel menggunakan logika Negara Birokratik otoriter dalam menjelaskan kasus Amerika Latin[100]. Baginya regime militer semacam ini, muncul pada saat tertentu dalam suasana ketergantungan akibat pengeroposan industri substitusi impor sebagai sarana perluasan ekonomi domestic. Hasilnya adalah krisis ekonomi yang parah dan meningkatykan mobilisasi rakyat, mobilisasi ini dianggap bahaya dan dalam doktrin “keamanan nasional”, maka perwira militer akan melakukan campur tangan. Tetapi, di Indonesia, penjelasannya bisa sangat berbeda. Ramage Douglas[101] misalnya menegaskan bahwa militer Indonesia memahami dirinya sebagai bagian dari rakyat dan ikut bersama memperjuangkan Negara, dan ini melahirkan politik jalan tengah Nasution pada tahun 1950-an. Meskipun demikian, penjelasan teoritisnya, bisa saja kemudian mengikuti logika O’Donnel maupun Frank, terutama pada tahun 1967 dan seterusnya yang menandai regime orde baru yang sangat otoriter dan didukung sepenuhnya oleh militer.

Sebagaimana Chili dengan pinochetnya, demikian juga Indonesia dengan Soehartonya, merupakan top elite dari Chili dan Indonesia. Melalui Plebisit 1980, Pinochet memegang kekuasaan tidak terbatas di Chili dengan dukungan militer, sehingga Manuel Garriton[102] menyebut regim ini adalah regime “militer-politik”. Sementara di Indonesia, Soeharto membangun kekuatan dirinya berbasiskan militer dan birokrasi, mirip Chili, dan meneguhkan doktrin dwi-fungsi ABRI tahun 1960-an sebagai salah satu entry-point militer mengintervensi secara luas dunia politik Indonesia.

Dalam perspektif Transisi Demokrasi, inilah tantangan terberat dari demokratisasi di Chili dan Indonesia, yakni bagaimana mengembalikan militer pada fungsi profesionalnya, atau kasarnya bagaimana mengembalikan militer ke barak. Persoalan ini menjadi lebih rumit, karena campur tangan dan kewenangan militer dalam ranah public Chili dan Indonesia, dalam perspektif institusionalisme justru terlembagakan, baik dari segi doktrin maupun dukungan konstitusi dan keterlibatan personal militer di lembaga perwakilan rakyat, dan ini terjadi di kedua Negara. Indonesia pernah memiliki Kopkamtib dengan kewenangan yang luar biasa represifnya, demikian juga Chili pernah militer dan kelembagaannya memiliki otonomi, dimana Panglimanya bahkan setelah Pinochet dikalahkan, tetap tidak bisa diganti oleh Presiden.

Meskipun demikian, tuntutan melakukan pembaharuan di Indonesia dengan menggugat Dwi Fungsi Militer sebagaimana digambarkan Anak Agung dalam bagian terdahulu, haruslah diletakkan dalam konteks keinginan perubahan secara institusional. Demikian juga dengan UU Pertahanan yang baru, dengan mereduksi bisnis militer meski masih tersisa jejak “terotorialisme” militer, tetapi merupakan sebuah langkah maju. Percakapan soal Defence White Paper 2003, adalah upaya untuk melakukan demiliterisasi secara gradual[103], sementara UU pertahanan merupakan proses pelembagaan dalam perspektif kelembagaan. Perubahan yang drastic dalam bentuk mengembalikan militer ke Barak, mungkin memang masih akan butuh waktu lagi, tetapi proses menuju kesana dilakukan, bahkan oleh banyak kalangan. Dalam perspektif elite, tuntutan ini dilakukan terutama oleh kalangan elite kelas menengah dari kelompok NGO’s dan juga mahasiswa serta akademisi, sementara di tingkat Legislatif, upaya tersebut masih diperjuangkan terus.

Demiliterisasi di Chili, masih merupakan persoalan besar. Mengapa? Karena rembesan dan legitimasi kelembagaan bagi intervensi militer malah jauh lebih parah disbanding Indonesia. Portales menggambarkannya dengan baik[104] dan karenanya beranggapan perjuangan utama demiliterisasi di Chili harus dengan melakukan perubahan dan reduksi judicial dan konstitusional yang melegitimasi pelembagaan campur tangan militer dalam ranah public Chili. Karena itu, Portales menegaskan:

…”Reforming the judicial structure of the country, including the military court system, and in the process fostering democratic development, appeared as an attainable goal for the new government[105]

Konstitusi 1980-an lah yang memberi legitimasi besar kepada Pinochet dan Militer untuk mengintervensi politik, bahkan juga system peradilan militer Chili. Karena itu, proses peradilan terhadap para petinggi militer Chili selalu gagal, selain juga pimpinan militer tidak tersentuh oleh Presiden. Presiden Alwyn dan juga Frei, terhitung tidak berdaya berhadapan dengan impunity Pinochet dan militer Chili, meski perjuangan untuk melakukan demiliterisasi terus menerus dilakukan.

Nampaknya, proses demiliterisasi di Indonesia relatif berjalan lebih mulus dibandingkan dengan Chili, padahal top elite orde baru Indonesia masih hidup dan masih cukup berpengaruh. Meskipun awalnya resistensi militer termasuk kuat dalam menyikapi demiliterisasi di Indonesia, tetapi proses demi proses, tahap demi tahap, seperti menghilangkan representasi tidak dipilih militer di DPR RI dan MPR RI sudah terbilang sukses, juga mekanisme kekaryaan militer aktif sudah dibatalkan, termasuk pelembagaan baru militer melalui UU Pertahanan No 12 tahun 2004. Dipandang dari sudut transisi demokrasi, fenomena ini, terutama dengan dukungan kuat komitmen demokrasi dari civil society, legislator dan pemerintah sipil, merupakan sebuah prestasi dan peningkatan kualitas demokrasi yang signifikan, meski tetap menyisakan agenda lainnya. Chili nampaknya bergerak jauh lebih lamban dalam proses demiliterisasi, meski transisinya berjalan sejak tahun 1990-an. Ferguson mencatat:

…”However, we should note that the current stability in part has been achieved by a certain convergence between the main parties, a relatively strong economy, and the ability to avoid a head-on conflict over the Allende and Pinochet legacies (Reuss 2001). Certain features of the democracy remain unusual … the implicit recognition that the army does have a special political role in the nation, in part through the National Security Counsel - the Cosena, the fact that the President cannot directly dismiss military commanders as well as retaining a certain degree of immunity, even if this is not invoked[106].
Memang, pergerakan dan arah menuju demiliterisasi sudah dan sedang dilakukan, tetapi progress kearah itu terasa lamban, sebagaimana Ferguson juga menunjukkan kutipannya atas upaya tersebut melalui Bearman (2001), bahwa:
…”Efforts have been made to reform these areas through 2000-2001, with moves to constitutionally remove unelected senators and to ensure presidential/civil control of the military. But progress has been slow”[107].
Sementara di Indonesia sendiri, meski pengaruh militer juga relatif kuat, tetapi secara kelembagaan militer berada di bawah Presiden, berbeda dengan di Chili yang masih sedang mengupayakannya.
3. Pembangunan Politik
Pembangunan Politik, sebagaimana telah didefisinikan di depan, merupakan proses pelembagaan atau institusionalisasi organisasi-organisasi politik lengkap dengan tata kerjanya, dan dengan memperhatikan pula factor-faktor pendorong yang disebut energi perubahan yang bersumber dari ekonomi, politik dan social dan menampakkan pertumbuhan dan perkembangan lembaga terkait. Konsep ini, sebagaimana diungkap pada bagian awal, nampaknya percaya dengan tahapan perkembangan atau progress yang sejalan dengan ide modernisasi, yakni adanya pertumbuhan positif dari yang lebih terbelakang ke tahapan yang lebih maju dan modern.

Pembangunan Politik di Chili dan Indonesia, tentu haruslah disebut dalam sisi progress yang positif. Meskipun beberapa ahli semisal Hikam menyebut bahwa proses yang terjadi sebenarnya adalah redemokratisasi[108], dengan asumsi yang dibangun di atas pemahaman O’Donnel dan tentu karena Indonesia dan Chili pernah mengalami masa demokrasi liberal, tetapi dalam konteks Institusionalisasi, terjadi sejumlah perubahan signifikan baik peran maupun proses ekspresi banyak lembaga politik di Chili dan Indonesia. Di Chili, krisis ekonomi dan ancaman kelanjutan regime Pinochet apabila menang dalam Plebisit II tahun 1980, memaksa banyak lembaga civil society untuk bekerja keras[109]

Makalah ini memandang dan menggunakan terminology Pembangunan Politik dengan banyak mendasarkannya pada pemahaman Huntinthon, yakni proses pelembagaan atau institusionalisasi dari organisasi-organisasi politik beserta dengan tata kerjanya dengan juga memberi perhatian pada konsep Eckstein dan Dorsey soal energi perubahan pada Politik, Sosial, Ekonomi (Dorsey) dan konsep pertumbuhan dalam politik (Ekckstein). Suatu hal yang perlu dicatat Eckstein nampaknya secara implisit memandang bahwa pertumbuhan yang dimaksudkannya dalam Pembangunan Politik agak dekat dengan konsep modernisasi, terutama ketika dia membahas Pembangunan Politik dan mendasarkan konsep pembangunannya pada soal modernitas dan konsep Durkheim tentang pembangunan Implikasinya, ketika diterapkan dalam konteks dunia ketiga adalah bagaimana proses pembangunan politik berusaha memandang dan meninjau proses di pemerintahan berkembang dengan mengacu ke pemerintahan yang lebih maju. Demikian juga Partai Politik, yang pada akhirnya berkoalisi untuk memenangkan mosi menentang Plebisit, sebanyak 13 partai berkoalisi dan didukung oleh Gereja Katolik.

Pada sisi lain, secara kelembagaan, terjadi reduksi peran kelembagaan regime Pinochet akibat kegagalannya dalam mengatasi krisis ekonomi dan menjawab tantangan dan kritik serta tekanan Internasional. Upaya Plebisit, sebenarnya adalah upaya Pinochet untuk menggali kembali legitimasi kekuasaannya dan melanjutkan penguasaannya secara otoriter atas Chili. Tetapi, kondisi social, politik dan ekonomi, tidak lagi menguntungkannya dan berakibat kekalahan baginya. Pergeseran yang kontradiktif terjadi. Pada masa keemasan Pinochet, kelompok Oposisi relatif kehilangan arah perjuangan, demikian juga kelompok civil society. Tetapi, arus perubahan disertai degradasi legitimasi Pinochet dan regime otoriter-birokrasinya, menghembuskan angina perubahan dan mengkonsolidasi kelompok oposisi, civil society dan gereja untuk membaharui fungsi dan eksistensinya. Kelompok-kelompok ini jugalah yang kemudian menjadi tokoh-tokoh utama dalam konteks elite teori yang mempengaruhi proses pelembagaan politik pasca jatuhnya regime Pinochet. Pelaksanaan Pemilihan Umum di Chili hingga saat ini, menunjukkan semakin stabilnya peran masing-masing lembaga politik tersebut, baik Pemerintahan Sipil dan peran signifikan Pers, Partai Politik baik sayap kanan maupun kiri, hingga ke gerakan Civil Society.

Sementara di Indonesia, kondisi yang kurang lebih sama dengan akselerasi yang berbeda ditinjau dari segi waktu juga terjadi. Proses-proses pelembagaan peran dan dorongan perubahan yang dihasilkan oleh perubahan pada bidang ekonomi terutama karena krisis ekonomi, serta tuntutan politik kelompok pro demokrasi, membuat proses delegitimasi kekuasaan Orde Baru terjadi. Meskipun demikian, tidaklah berarti kelembagaan politik orde baru tumbang dan secara otomatis lembaga-lembaga politik alternatif kelompok perjuangan demokrasi berkibar. Jatuhnya regime orde baru, kemudian disusul dengan sejumlah perubahan yang cukup signifikan dalam konteks poilitik Indonesia. Seperti dihapuskannya militer dari perwakilan rakyat, pers bebas, serta aturandemonstrasi yang lebih longgar.

Pembangunan Politik di Chili dan Indonesia, memang mengalami peningkatan yang signifikan bila dikaitkan dengan ukuran modernisasi. Sejumlah lembaga yang berciri demokrasi, seperti Pemilihan Umum, perwakilan rakyat, pers bebas dan ruang yang jelas bagi kelompok civil society terlembagakan secara gradual. Semua pelembagaan ini merupakan indicator yang standar diterima dan diakui dalam tradisi demokrasi liberal, meskipun masih menyisakan agenda demiliterisasi di Chili dan Indonesia dengan skala lebih berat di Chili.

Dari perspektif elite pluralist, secara otomatis pengaruh dan peran elite maupun sub elite menjadi semakin berimbang dalam posisi dan perannya masing-masing. Proses kelembagaan yang baik, baik Kongres dan Senator di Chili maupun MPR dan DPR di Indonesia, memberi konsekwensi positif bagi pelembagaan peran elite dalam konteks politik kedua Negara.

E. Kesimpulan dan Penutup

Proses Transisi di Chili dan Indonesia, meski secara out line dan garis besar memiliki banyak kemiripan, tetapi juga sebenarnya memiliki beberapa perbedaan. Dalam kasus Chili, proses transisi ditandai dengan koalisi diantara Partai Politik Oposisi yang mampu kemudian merumuskan arah perjuangan baru dalam krisis ekonomi Chili, berkolaborasi dengan kekuatan civil society. Di Indonesia, peran partai politik relative kecil dan kurang signifikan, kecuali misalnya PDI Perjuangan, tetapi peran terbesar datang dari kelompok pro demokrasi yang lebih banyak berbasis NGO’s dan mahasiswa. Peran kecil dari Partai Politik di Indonesia, sebenarnya disebabkan oleh dikkoptasinya parpol tersebut selama masa orde baru, sehingga jejak-jejak multi partai yang kuat pada demokrasi liberal nyaris tidak ditemukan. Berbeda dengan Chili, yang mampu merekonsolidasi perjuangan parpol sehingga bersignifikansi positif dalam mengalahkan Pinochet dalam Plebisit tahun 1988 dan setahun kemudian menghasilkan Presiden baru.

Peran gereja Katolik, sebagaimana digambarkan Monicca dan juga Manuel Garreton, sangatlah signifikan, karena lembaga itu menjadi satu-satunya lembaga yang masih diterima oleh masyarakat Chili dalam kaitan dengan represi Pinochet. Sementara di Indonesia, peran agama-agama lebih ke sumber dan inspirasi moral bagi perjuangan melawan penindasan. Kooptasi regime orde baru, juga merambah lembaga keagamaan, karena itu sangat sulit mengharapkan peran taktis lembaga agama dalam mendorong gerakan oposisi terhadap orde baru. Meskipun demikian, lembaga agama mampu dengan cepat dan tanggap melakukan reposisi politik pasca jatuhnya Soeharto, dan berperan cukup positif dalam proses transisi. Mungkin konteks ini masih dapat dianalisis dan diperdebatkan lebih jauh.

Konsekwensi dari berbedanya sentral peran elite dalam transisi kedua Negara, di Chili partai politik mampu kemudian berperan tanggap dan sentral dalam proses pergantian pemerintah, sementara elite partai di Indonesia relatif “ambigu”, karena memang sebagian besar elite dibesarkan oleh orde baru. Yang menjadi sentral justru adalah elite anomaly-mahasiswa bersama dengan para pejuang demokrasi dan pers yang dengan setia terus mengawal proses reformasi.

Proses demiliterisasi, juga berjalan berbeda dan dengan akselerasi yang juga berbeda di Chili dan Indonesia. Hingga saat ini, militer Chili masih tetap otonom dan masih belum dibawah control sipil serta memiliki system pengadilan militernya. Masalah ini merupakan ganjalan bagi kualitas demokrasi dan pembangunan politik di Chili hingga saat ini. Sementara di Indonesia, doktrin keramat militer, dwifungsi sudah digugat dan mengalami revisi dari waktu ke waktu, bahkan perwakilan tidak dipilih militer dalam MPR RI dan DPR RI sudah dihapuskan dan Panglima Militer berada dibawah supremasi pemerintahan sipil.

Diatas semua perbedaan tersebut, haruslah diapresiasi bahwa kualitas pertumbuhan demokrasi di kedua Negara boleh disebut berjalan cukup signifikan dengan berlangsungnya Pemilu secara regular, menguatnya supremasi sipil, adanya pergantian elite penguasa secara regular melalui pemilu dan adanya kebebasan berorganisasi dan pers bebas. Memang, masih ada sejumlah agenda demokratisasi yang masih harus ditinggalkan, tetapi baik Chili maupun Indonesia sebenarnya sudah mulai memasuki tahapan konsolidasi demokrasi, dimana lembaga-lembaga demokrasi mulai dibudayakan dan dilembagakan.

















KEPUSTAKAAN



Afan Gaffar. (1999), Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Jogyakarta: Pustaka Pelajar.

Almond, Gabriel A and Sydney, Verba (1963). The Civic Culture. Boston: Little Brown

Anak Agung Banyu Perwita., Security Sector Reform in Indonesia: The Case of Indonesia’s Defence White Paper 2003, Journal of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004;

Apter, David E., Comparative Politics, Old and New., dalam Goodin, Robert E & Klingermann, Dieter (ed)., (1996), A New Handbook of Political Science, London: Oxford University Press

Ariel Heryanto&Sumit Kamal-ed-., (2004), Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Anatara Indonesia dan Malaysia, Jakarta: PT Gramedia

Broody, Reed "Pinochet's Arrest Challenges Impunity for Heads of State", LASA Forum, Winter 1999;

Chilton, Stephen., (1988), Defining Political Development, Denver: Lynne Rienner Publisher.

Dahl, Robert A, (1989)., Democracy and Its Critics, Connecticut, New Haven: Yale University Press.

Dahl, Robert., (1992) Demokrasi dan Para Pengritiknya – terjemahan, jilid II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Dahl, Robert., (1966), A Preface to Democratic Theory, Chicago: University of Chicago Press

David Potter., (2000)., Explaining Democratization, dalam David Potter, et all (ed)., (2000), Democratization, Cambridge: Unity Press

Deutsch, Karl W., Jorge I. Dominguez, and Hugh Heclo (1981) Comparative Government: Politics of Industrialized and Developing Nations, Boston, MA: Houghton

Dorsey, John T., Jr. (1963) "The Bureaucracy and Political Development in Viet Nam" in Joseph LaPalombara (ed), Bureaucracy and Political Development., Princeton: Princeton University Press

Dorfman, Ariel "Hostage", LASA Forum, Winter 1999:

Douglas E Ramage., (2002), Percaturan Politik di Indonesia: Demokratisasi, Islam dan Ideologi Toleransi, Jogyakarta: Mata Bangsa

DRAKE, Paul W. "The Presidential Election of 1999/2000 and Chile's Transition to Democracy", LASA Forum Online, Spring 2000

Dye, Thomas R & Ziegler, Harmon., (1998), The Irony of Democracy: An Uncommon Introduction to American Politics, Duxburry Press

Eckstein, Harry., (1982), The Idea of Political Development: From Dignity to Efficiency,” World Politics.

Emmerson, Donald., (2001)., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia

Etzioni-Halevy, E., (1993), The Elite Connection: Problems and Potential of Western Democracy, Cambridge: Polity Press

Farrar, Cynthia (1988). The Origins of Democracy Thinking, Cambridge: CUP

Ferguson, James R (2002). Latin America in International System, Queensland: Bond University. Lecture 9

Finley, MI (1985)., Democracy Ancient and Modern, London: Hogwart Press

Frank, Andre Gundar., (1981). Crisis in the Third World, London: Holmes and Meier

Guy Peters., (2000 – reprinted)., Institutional Theory in Political Theory: The New Institutionalism, London&New York: Continuum Press

Guy Lamb, ‘Reflections on Demilitarisation: A Southern African Perspective’, in International Peacekeeping, vol. 7, no. 3, Autumn 2000

Giovani Sartori., (1965), Democratic Theory, New York: Praeger

Guilermo O’Donnel, et all (ed)., Transisi menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin – terjemahan., Jakarta: LP3ES

Guilermo O’Donnel., Tensions in the Bureaucratic-Authoritarian State and the Question of Democracy, dalam David Collier (ed)., New Authoritarianism in Latin America, Princeton, University Press, 1980.

Guilermo, O’Donnel., (1978). Reflection on the Patterns of Change in the Bureuacratic-Authoritarian State”. Latin Amerika Research Review, vol 13.

Harold Lasswell & Daniel Lernenr (1952)., The Comparative Study of Elite.,Stanford=California: Stanford University Press

Harold Lasswell., (1951), The Political Writing of Harold Lasswell, New York: Free Press

Dahl, Robert., (1966), A Preface to Democratic Theory, Chicago: University of Chicago Press

Harold Laswell & Abraham Kaplan., (1950)., Power and Society, New Haven: Conn, Yale University Press

Hikam Muhammad., (1996), Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES;


Hudson, Rex A (1994). Chile: A Countrry Study, Washongton: Library of Congres

Huntingthon, Samuel P. (1991), The Third Wave: Democratization in the Late Twntieth Century, Norman and London: University of Oklahoma Press

Huntingthon, Samuel., (1965), Political Order in Changing Societies, New Haven: Yale University Press.

Javier A Causo., (1999), Jorge Arrate: Transitions to Democracy in Latin America – The Case of Chili, Center of American Latin Study, University of Berkeley

Jeffrie Isima., Demilitarization, Non State Actor and Public Security in Africa: A Preliminery Survey of the Literature, of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004.

Luckham, R. (1998), ‘The Military, Militarism and Democratisation in Africa: A Survey of Literature and Issues’, in Hutchful, E. and Bathily, A. (eds), The Military and Militarism in Africa, Dakar: CODESRIA.

Macridis, Roy C& Brown. Bernard E. (1999), Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan (Terjemahan), Jakarta: Penerbit Erlangga, hal 18-20

Monicca Jimenez de Baros., Mobilisasi Untuk Demokrasi di Chili: Kampanye Untuk Partisipasi Warga Negara dan Di Luar, Jakarta: LP3ES

Pater Bacrach., (1967), The Theory of Democratic Elitism, A Critique, Boston & Toronto

Portales, Nirbaldo., (2000), The Politics of Judicial Reform in the Democratic Transition: An Analysis of the Chilean Case, Ontario: McMaster University

Powel, Bingham P (1982). Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Harvard university Press

Sartori, Giovanni., (1987), The Theory of Democracy Revisited, Chatam (USA): Chatam Publisher

Schumpeter, Joseph A., (1962), Capitalism, Socialism and Democracy, 3rd edn, New York: Harper;

Shain Y, Linz, J (ed)., Between States: Interim Governments and Democratic Transition, Cambrigde: Cambridge University Press, 1995

Skidmore, Thomas E. & SMITH, Peter H. (2000), Modern Latin America, Oxford, OUP, 2000;

Uhlin, Anders (1997). Indonesia and the Third Wave Demoratization: The Indonesian Pro Democracy Movement in a Changing Wolrd, London: Curzon Press

Watson, Patrick & Barber, Benyamin (1990). The Struggle for Democracy. London: W.H. Allen.












[1] Huntingthon, Samuel P. (1991), The Third Wave: Democratization in the Late Twntieth Century, Norman and London: University of Oklahoma Press
[2] Afan Gaffar. (1999), Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Jogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 2
[3] Skidmore, Thomas E. & SMITH, Peter H. (2000) Modern Latin America, Oxford, OUP, 2000, p 135-136; Juga Hudson, Rex A (1994). Chile: A Countrry Study, Washongton: Library of Congres (Internet Access via http://lcweb2.loc.gov/frd/cs/cltoc.html;
[4] Memang terdapat kontroversi pada titik ini, terutama soal kategori apakah Chili sudah memulai transisi demokrasi setelah Pinochet memperoleh dukungan hanya 43% melawan 55% terhadap upayanya melegitimasi regime otoriternya. Karena toch, masih banyak persoalan mengganjal bahkan hingga tahun-tahun sesudahnya. Masalah ini misalnya dibahas oleh: BRODY, Reed "Pinochet's Arrest Challenges Impunity for Heads of State", LASA Forum, Winter 1999; DORFMAN, Ariel "Hostage", LASA Forum, Winter 1999: DRAKE, Paul W. "The Presidential Election of 1999/2000 and Chile's Transition to Democracy", LASA Forum Online, Spring 2000
[5] Uhlin, Anders (1997). Indonesia and the Third Wave Demoratization: The Indonesian Pro Democracy Movement in a Changing Wolrd, London: Curzon Press
[6] Ibid, p 3
[7] Ibid.
[8] Kualifikasi dan perumusan konsep transisi demokrasi dan pembangunan politik, nanti akan membuktikan kualitas transisi demokrasi dan pembangunan politik di Indonesia. Apakah mengikuti pemikiran Uhlin bahwa regime orde baru masih tetap immune atau justru terjadi perubahan yang cukup mendasar yang membawa Indonesia ke gerbang demokrasi yang lebih substansial. Masalah ini akan dijelaskan dalam uraian konsep transisi demokrasi dan analisis perbandingan Indonesia dan Chili dengan menggunakan pendekatan “Teori Transisi Demokrasi”.
[9] Macridis, Roy C& Brown. Bernard E. (1999), Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan (Terjemahan), Jakarta: Penerbit Erlangga, hal 18-20
[10] Almond, Gabriel A and Sydney, Verba (1963). The Civic Culture. Boston: Little Brown
[11] Tidak semua proses transisi demokrasi bisa terkonsolidasi, ada yang gagal dan ada pula yang mengalami pelambatan atau bahkan tertunda. Mengenai pembahasan topik ini, akan lebih jelas dalam pembahasan soal pendekatan teori transisi dalam menjelaskan proses demokratisasi.
[12] Affan Gaffar, Op cit hal 3
[13] Ibid
[14] Ferguson, James R (2002). Latin America in International System, Queensland: Bond University. Lecture 9
[15] Farrar, Cynthia (1988). The Origins of Democracy Thinking, Cambridge: CUP; Finley, MI (1985)., Democracy Ancient and Modern, London: Hogwart Press
[16] Watson, Patrick & Barber, Benyamin (1990). The Struggle for Democracy. London: W.H. Allen.
[17] Larry Diamond, Op cit hal 10
[18] Powel, Bingham P (1982). Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Harvard university Press. P 3
[19] Dahl, Robert A, (1989)., Democracy and Its Critics, Connecticut, New Haven: Yale University Press. P 233
[20] Berkaitan dengan tema ini, bacaan dan rujukan yang digunakan adalah: Anak Agung Banyu Perwita., Security Sector Reform in Indonesia: The Case of Indonesia’s Defence White Paper 2003, Journal of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004; Jeffrie Isima., Demilitarization, Non State Actor and Public Security in Africa: A Preliminery Survey of the Literature, of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004.
[21] Isima, op cit, hal 3
[22] Luckham, R. (1998), ‘The Military, Militarism and Democratisation in Africa: A Survey of Literature and Issues’, in Hutchful, E. and Bathily, A. (eds), The Military and Militarism in Africa, Dakar: CODESRIA. Hal 589
[23] Guy Lamb, ‘Reflections on Demilitarisation: A Southern African Perspective’, in International Peacekeeping, vol. 7, no. 3, Autumn 2000
[24] Eckstein, Harry., (1982), The Idea of Political Development: From Dignity to Efficiency,” World Politics. P 451-486; Juga dimuat dalam Macridis, Roy C & Brwon, Bernard E., op cit, hal 481-504.
[25] Chilton, Stephen., (1988), Defining Political Development, Denver: Lynne Rienner Publisher p5
[26] Eckstein, op cit, p 454
[27] Chilton, op cit hal 6
[28] Ibid, hal 9
[29] Huntingthon, Samuel., (1965), Political Order in Changing Societies, New Haven: Yale University Press, p 387
[30] Deutsch, Karl W., Jorge I. Dominguez, and Hugh Heclo (1981) Comparative Government: Politics of Industrialized and Developing Nations, Boston, MA: Houghton, p 102
[31] Dorsey, John T., Jr. (1963) "The Bureaucracy and Political Development in Viet Nam" in Joseph LaPalombara (ed), Bureaucracy and Political Development., Princeton: Princeton University Press, p 320
[32] Eckstein, Op cit hal 470
[33] Ibid, p 483
[34] David Potter., (2000)., Explaining Democratization, dalam David Potter, et all (ed)., (2000), Democratization, Cambridge: Unity Press, p 3
[35] Ibid, hal 6
[36] Ibid, hal 10
[37] Ibid, hal 11
[38] Ibid, hal 19
[39] Ibid, hal 10; Bacaan lain yang juga menjadi rujukan utama adalah Guilermo O’Donnel, et all (ed)., Transisi menuju Demokrasi: Kasus Emrika Latin – terjemahan., Jakarta: LP3ES
[40] Ibid, hal 14
[41] Ibid. Bagian ini terutama disarikan dari Potter dengan mengutip Rustow.
[42] Ibid, hal 15
[43] Study menarik soal ini dalam kasus Amerika Latin dapat juga ditemukan dalam Guilermo O’Donnel., Tensions in the Bureaucratic-Authoritarian State and the Question of Democracy, dalam David Collier (ed)., New Authoritarianism in Latin America, Princeton, University Press, 1980. Hal 286-302
[44] Potter, op cit, hal 15
[45] Shain Y, Linz, J (ed)., Between States: Interim Governments and Democratic Transition, Cambrigde: Cambridge University Press, 1995, hal 21
[46] Ibid, hal 28
[47] Potter, David, op cit, hal 17
[48] Ibid
[49] Ibid, hal 17-18
[50] Harold Lasswell & Daniel Lernenr (1952)., The Comparative Study of Elite.,Stanford=California: Stanford University Press, hal 7
[51] Dye, Thomas R & Ziegler, Harmon., (1998), The Irony of Democracy: An Uncommon Introduction to American Politics, Duxburry Press, p 1
[52] Harold Laswell & Abraham Kaplan., (1950)., Power and Society, New Haven: Conn, Yale University Press, hal 219
[53] Pemikiran ketiganya disarikan dari: Etzioni-Halevy, E., (1993), The Elite Connection: Problems and Potential of Western Democracy, Cambridge: Polity Press, hal 53-70, cf Varma, SP., (2003), Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali Press, hal 199-225
[54] Hetzioni, ibid hal 58
[55] Moran, op cit hal 203
[56] Ibid
[57] Ibid, hal 200
[58] Ibid, hal 202.
[59] Ibid, hal 210
[60] Schumpeter, Joseph A., (1962), Capitalism, Socialism and Democracy, 3rd edn, New York: Harper; Bandingkan juga Etzioni-Haleva, op cit hal 60
[61] Moran, op cit, hal 214; Karya-karya yang ditunjuk oleh Moran disini adalah – Harold Lasswell., (1951), The Political Writing of Harold Lasswell, New York: Free Press; Robert Dahl., (1966), A Preface to Democratic Theory, Chicago: University of Chicago Press; Giovani Sartori., (1965), Democratic Theory, New York: Praeger
[62] Bahasan Robert Dahl tentang Poliarkhi, juga sudah ditemukan dalam literature Bahasa Indonesia, yaitu terjemahan buku Robert Dahl: Robert Dahl., (1992) Demokrasi dan Para Pengritiknya – terjemahan, jilid II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
[63] Dahl, op cit hal 150-151, dikutip juga oleh Moran, op cit hal 215
[64] Moran, ibid hal 216: Juga memperkuatnya dengan analisis Pater Bacrach., (1967), The Theory of Democratic Elitism, A Critique, Boston & Toronto.
[65] Dye, Thomas, op cit hal 11
[66] Sartori, Giovanni., (1987), The Theory of Democracy Revisited, Chatam (USA): Chatam Publisher, hal 147-148
[67] Dye, Thomas, op cit hal 12
[68] Etzioni-Haleva, op cit hal 94-96
[69] Ibid
[70] Ibid, hal 95
[71] Guy Pters., (2000 – reprinted)., Institutional Theory in Political Theory: The New Institutionalism, London&New York: Continuum Press
[72] Apter, David E., Comparative Politics, Old and New., dalam Goodin, Robert E & Klingermann, Hans-Dieter (ed)., (1996), A New Handbook of Political Science, London: Oxford University Press
[73] B Guy Peters, op cit hal 6

[74] Ibid, hal 2-3
[75] Ibid, hal 6
[76] Terutama dengan mengutip Bryce, yakni ketika ide tentang Sistem Politik mulai dikembangkan dengan Demokrasi sebagai hasil atau tujuan (teleologis)
[77] Apter, David, op cit hal 386
[78] Guy Peters, op cit hal 15
[79] Moran SP, op cit hal 46-47
[80] Apter David, Comparative Politics, op cit hal 388
[81] Guy Peters, Institutional Theory, op cit hal 15-22: Bangun teoritis ini sangat sistematik, tetapi untuk kebutuhan kajian makalah ini, kajian Peters atas karya ini tidak dikaji lebih jauh.
[82] Apter, op cit hal 386
[83] Ibid, hal 387
[84] Pembahasan soal Chili merujuk: Hudson, Rex A., Chili: A Country Study, op cit, juga Thomas Skidmore, Thomas E. & SMITH, Peter H. (2000) Modern Latin America, op cit dan Ferguson, James., Latin America in International System, op cit
[85] Hudson, op cit
[86] Javier A Causo., (1999), Jorge Arrate: Transitions to Democracy in Latin America – The Case of Chili, Center of American Latin Study, University of Berkeley
[87] Ibid
[88] Hudson, op cit
[89] Kerjasama 14 partai dan terutama dukungan Gereja Katolik menghasilkan dukungan 55% menolak kelanjutan regime militer Pinochet berbanding 43% yang mendukung Pinochet. Ferguson, op cit, juga Hudson, op cit dan Skidmore, op cit.
[90] Ferguson, op cit hal 11
[91] Pembahasan mengenai Indonesia merujuk ke Gaffar, op cit; Uhlin Anders, op cit; Stanley (ed), Indonesia Di Tengah Transisi, op cit; Douglas E Ramage., (2002), Percaturan Politik di Indonesia: Demokratisasi, Islam dan Ideologi Toleransi, Jogyakarta: Mata Bangsa; Hikam Muhammad., (1996), Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES; Emmerson, Donald., (2001)., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia;
[92] Guilermo O’Donnel., Berbagai ketegangan, op cit; Hikam, op cit
[93] Guilermo O’Donnel., Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin, op cit hal 5
[94] Kegagalan regime ini serta gugatan atas otoriterisme Asia Tenggara termasuk Indonesia menarik untuk dirujuk juga ke Ariel Heryanto&Sumit Kamal-ed-., (2004), Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Anatara Indonesia dan Malaysia, Jakarta: PT Gramedia
[95] Ferguson, op cit hal 11
[96] Portales, Nirbaldo., (2000), The Politics of Judicial Reform in the Democratic Transition: An Analysis of the Chilean Case, Ontario: McMaster University
[97] Monicca Jimenez de Baros., Mobilisasi Untuk Demokrasi di Chili: Kampanye Untuk Partisipasi Warga Negara dan Di Luar, dalam Diamon, Larry., Revolusi Demokrasi, hal 96-117
[98] Uhlin Anders, op cit; meskipun dia sedikit skeptis dengan menggambarkan terseraknya gerakan perlawanan di Indonesia dan membuatnya juga skeptis terhadap masa depan demokratisasi di Indonesia, tetapi terbukti dia gagal mengantisipasi akumulasi gerakan civil society setahun setelah bukunya diterbitkan.
[99] Frank, Andre Gundar., (1981). Crisis in the Third World, London: Holmes and Meier, hal 258-259
[100] O’Donnel, Guilermo., (1978). Reflection on the Patterns of Change in the Bureuacratic-Authoritarian State”. Latin Amerika Research Review, vol 13, hal 3-38, juga dalam O’Donnel, Berbagai Ketegangan, op cit.
[101] Ramage Douglas, op cit hal 221
[102] Manuel Garriton, Evaluasi Rezim Militer Chili dan persoalan Transisi., Dalam, O’Donnel, Transisi Menuju, op cit hal 144-185
[103] Anak Agung, op cit
[104] Portales, op cit hal 2-5
[105] Ibid, hal 3
[106] Ferguson, op cit hal 12
[107] Ibid
[108] Hikam, op cit hal 30-40
[109] Monica, op cit


(Edisi Revisi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Politik, Pasca Sarjana UI)