Thursday, August 23, 2007

REFLEKSI MENINGKATNYA KEMISKINAN DI SULUT

Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi

Kemiskinan di Sulawesi Utara mengalami peningkatan. Demikian data terakhir yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ketika melansir update atau perkembangan terakhir seputar situasi kemiskinan Indonesia dalam data dan angka. Dibandingkan dengan angka kemiskinan pada tahun 2006 yang bertengger di kisaran 10,7%, maka angka 11,42 % (atau 250,100 orang total) pada tahun 2007 tentu sangat menyentak. Sekilas, angka ini akan sangat ampuh untuk menuding bahwa program pengentasan kemiskinan di Sulawesi Utara terkesan kurang komprehensif. Meskipun benar, bahwa trend peningkatan angka kemiskinan menjadi trend nasional dan bukan cuma dialami oleh Sulawesi Utara.

Tetapi, model ataupun cara salah menyalahkan tidak pada tempatnya dengan hanya menggunakan satu indikator belaka. Apalagi tanpa pencermatan mendalam terhadap acuan dan pijakan data yang digunakan oleh BPS. Salah-salah, justru tudingan semacam hanya akan menjadi tuduhan tak berdasar dan konsumsi politik segelintir orang yang bermotif tidak jelas. Adalah baik, bahkan lebih bijak mencermati fenomena nasional ini dengan menempatkannya dalam perspektif yang lebih jelas. Dan bahkan merangsang komitmen semua komponen masyarakat untuk terlibat dalam proses pengentasan kemiskinan. Sebab pemerintah sendirian, jelas tidaklah akan mampu untuk menjawab persoalan klasik ini, persoalan yang juga sangat gampang dipolitisasi dalam sejarah peradaban manusia.

Angka yang meningkat dalam hal jumlah orang miskin di Indonesia dan SULUT, betapapun memang merefleksikan ada sesuatu yang kurang beres. Dalam konteks Nasional, sebagai misal: Regime SBY-JK yang mengusung ide “perubahan”, ternyata sudah tega mencederai kepercayaan rakyat dengan kenaikan BBM lebih dari 100% dalam masa awal pemerintahannya. Dan kebijakan yang tidak mencerminkan “pro rakyat” ini terus berlanjut sampai dengan penetapan UU Penanaman Modal yang sangat pro rakyat dan kapitalisme. Dan dalam waktu dekat, tarif tilpon lokal dan tariff jalan Tol, juga akan segera menanjak. Bukannya turun. Service yang coba ditingkatkan dengan menciptakan Indonesia menjadi “sorga” bagi investasi asing, jelas menjadi pilihan keberpihakan kepada pemodal. Dan jelas bukan pilihan bagi penguatan ekonomi kerakyatan. Karena itu, menjadi sangat masuk akal jika menyebutkan bahwa pemerintahan dewasa ini memang kurang menunjukkan keberpihakan kepada rakyat. Artinya, kenaikan angka orang miskin menjadi sesuatu yang wajar dan bahkan predictable alias bisa diprediksi.

Bahkan, World Bank masih lebih kejam dengan merilis jumlah orang miskin di Indonesia yang mencapai angka 100 juta orang. Artinya, nyaris separuh orang Indonesia adalah orang miskin. Menurut World Bank. Tentu, kedua lembaga tersebut, yakni World Bank dan Badan Pusat Statistik menggunakan asumsi yang berbeda serta parameter (alat ukur) dan indikator berbeda dalam penarikan kesimpulan atas data temuannya. Tetapi, pada aras nasional, kecenderungan yang menunjukkan penciptaan lapangan kerja yang tidak sanggup meraup ketersediaan tenaga kerja, serta kualitas dan daya beli masyarakat yang tidak menanjak naik, menjadi alas an bahwa kemiskinan benar terus menanjak. Apalagi, dengan berkaca dari kebijakan regime yang kurang berpihak kepada rakyat.

Dalam konteks Sulawesi Utara, memang beralasan menyebutkan bahwa kenaikan angka kemiskinan tersebut masih belum mengkhawatirkan. Karena selain angka kemiskinan Sulawesi Utara relatif baik dibandingkan Provinsi lain (peringkat III dari rendahnya angka kemiskinan), juga dalam laporan HDI (Human Development Index) yang dikeluarkan UNDP (Badan PBB untuk Pembangunan), Sulut tidak pernah beranjak dari peringkat 2 sampai 4. Baik parameternya tingkat melek huruf, partisipasi perempuan, good governance maupun indikator lain yang ditetapkan badan dunia tersebut. Selain itu, data BPS yang dikeluarkan, juga menggunakan asumsi baru. Pada tahun 2006, angka Garus Kemiskinan yang digunakan adalah Rp. 146,340 sementara pada tahun 2007 ini angka Garis Kemiskinan ada di titik Rp. 156,550 atau meningkat sekitar 6,98%. Artinya, dengan asumsi Garis Kemiskinan tahun 2006, bukan tidak mungkin kemiskian di SULUT justru turun, tetapi karena menggunakan asumsi angka baru, maka hasilnya di tahun 2007, justru angka kemiskinan SULUT mengalami peningkatan.

Dari asumsi yang digunakan BPS di atas, jelas bisa dibedakan mengapa angkanya berbeda dengan World Bank. Karena dengan meningkatkan saja angka GK (Garis Kemiskinan), misalnya pada angka Rp. 160.000 per keluarga, sebagai contoh, maka angka kemiskinan Indonesia bisa melonjak drastis. Karena itu, perolehan angka World Bank dan BPS sangat bisa dipahami. Tetapi, di pihak lain, dalam konteks Sulawesi Utara, angka tersebut merefleksikan tetap ada “sesuatu” yang dikerjakan. Meskipun masih belum sanggup berhasil secara signifikan. Seandainya dengan menggunakan asumsi GK baru angka kemiskinan SULUT tetap tidak berubah, maka artinya pekerjaan pengentasan kemiskinan menunjukkan indikasi keberhasilan yang sangat bermakna. Sehingga benar, bahwa naikya angka kemiskinan di SULUT masih belum mengkhawatirkan.

Tetapi, masih belum mengkhawatirkan tidaklah berarti tiada red alert (atau tanda bahaya). Dalam arti, pekerjaan penanggulangan kemiskinan di SULUT masih tetap membutuhkan perhatian serius dari seluruh stake holder terkait. Angka yang dihasilkan BPS dengan menempatkan SULUT sebagai peringkat III dalam segi rendahnya angka kemisknan, tidaklah berarti kemiskinan bukan lagi masalah di SULUT. Angka 11% atau 250.000 orang miskin, tetap menjadi beban dan pekerjaan rumah yang harus ditangani. Bukan cuma dengan pilihan pembangunan berorientasi rakyat, tetapi juga dengan program pengentasan kemskinan yang komprehensif. Penyebutan pilihan pendekatan dan program yang penad atau tepat disini untuk mengingatkan semua, bahwa pilihan membangun bagi rakyat bias hanya retorika. Hampir semua pemimpin di Indonesia dewasa ini berkampanye bagi kesejahteraan rakyat, tetapi saat berkasa kurang tahu atau kurang mau menggenapi janji kampanye tersebut.

Refleksi kasus Indonesia, sebetulnya sudah dianalisis mendalam di Negara-negara Amerika Latin. Betapa semua Presiden dalam masa transisi demokrasi di regional itu, berkampanye dengan tema-tema sosialis. Tema-tema kerakyatan, tetapi ketika berkuasa, janji-janj kampanye dengan sangat “telanjang” diingkari. Mengapa? Karena realitas politik yang dihadapi membutuhkan cost dan dana segar yang sulit dikapitalisasi dengan gaya sosialis. Dan akibatnya, pilihan berhutang menjadi jalan keluar tunggal yang terpikirkan, sebab taruhannya adalah kelanjutan kekuasaannya. Negara-negara semisal Cili, Peru, Brazil, Uruguay dan Argentina pernah merefleksikan politisasi kemiskinan dalam bentuk janji sosialis bagi rakyat. Tetapi praktek berkuasa terpaksa harus meminggirkan ide kampanye agar kekuasaan boleh terus langgeng.

Jadi, ketika kemudian pengalaman serupa dialami dan ditemukan di Indonesia, terlebih dalam masa-masa awal pelaksanaan PILKADA, maka hal tersebut memang tak terelakkan. Selain pada aras nasional kecenderungan berakrab ria dengan kapitalisme global, aturan pertanggungjawaban terhadap konstituen, hubungan legislative dan executive, masih belum tertata baik. Ketiadaan aturan yang memadai serta kondisi awal yang masih mencari bentuk terbaik, membuat banyak kreatifitas tergantung terhadap penguasa. Dan pemerintahan terpilih, pasti akan memilih cara yang paling aman untuk sebisa mungkin melanggengkan kekuasannya. Pada titik ini, tidak ada jaminan sedikitpun, janji kampanye yang sangat pro rakyat bias direalisasikan. Dalam banyak kasus, baik di tingkat nasional maupun daerah, kampanye menjadi arena menjanjikan sesuatu yang kemungkinan besarnya akan teringkari.

Sulawesi Utara yang menggebrak dengan crash program jagung, menunjukkan minat dan keberpihakan terhadap produk yang dekat dengan petani. Pada titik ini, komitmen untuk memberdayakan petani sangat patut dihargai, ketimbang menggenjot investor dengan mekanisme birokrasi yang masih belum tertata baik. Serta juga, secara nasional iklim investasi masih belum sanggup menempatkan Indonesia sebagai salah satu Negara tujuan investasi yang “aman”. Tidak ada jalan lain sebetulnya, sebagaimana telah ditunjukkan oleh kebertahanan sektor informal dalam masa krisis. Membangun sektor ekonomi yang tidak berbasis kekuatan riil ekonomi masyarakat banyak, sangat rentan diterjang spekulasi perekonomian global. Pada masa krisis, pertanian, kelautan dan perkebunan, adalah sektor yang tetap stabil dibandingkan sektor lain yang ambruk diterjang krisis ekonomi.

Sayangnya, sektor tersebut masih tetap belum menggoda penguasa untuk memberdayakannya dengan memilih membiarkan tryliunan rupiah menganggur di SBI. Entah benar negeri ini enggan belajar dari masa lalunya. Yang jelas, sejalan dengan ditetapkannya UU Penanaman Modal yang sangat kental berbau neo liberalis, Indonesia memilih memanjakan para investor. Nampaknya, pilihan mengembangkan sektor kelautan, pariwisata, agro industri, masih tetap menjadi alternative. Revisi UU UKM, Pariwisata yang masih dalam bentuk kajian akademis menuju ke draft RUU Pariwisata, belum dimilikinya UU Kemaritiman, dan seterusnya menggambarkan didahuluannya dan diprioritaskannya pilihan menyandarkan perekonomian Indonesia dalam fondasi perekonomian global.

Apakah makna dan artinya bagi Sulawesi Utara? Benar, bahwa angka kemiskinan yang meningkat memang tidaklah sangat mengkhawatirkan. Yang mengkhawatirkan sebenarnya adalah ketika pilihan strategis dalam membangun, termasuk dalam mengentaskan kemiskikan, hanya bagus dalam janji dan konsep, tetapi memble di tingkat implementasi. Keberpihakan kepada penguatan ekonomi yang menjadi sari pati ekonomi masyarakat Sulawesi Utara seharusnya menjadi main strategi yang terimplementasikan dalam kebijakan dan program nyata. Kinerja Pemerintah Provinsi yang berusaha menekan angka kemiskinan dengan bekerja dan berinteraksi langsung dengan masyarakat dari desa ke desa adalah pilihan yang tepat. Tetapi, paham bahwa kemiskinan dikarenakan kebodohan, keterbelakangan, tetap tidak memadai jika kendala structural dalam pengembangan perekonomian rakyat tidak ditebas.

Bukannya sedikit petani yang memang tidak sanggup memberdayakan dirinya karena akibat atau kendala struktural. Contoh yang paling gamblang misalnya tercermin dari produk cengkeh dan cap tikus, yang sebetulnya secara tradisional menjadi salah satu kekuatan ekonomi rakyat di Sulawesi Utara. Cengkeh harus berhadapan dengan koalisi kekuatan multinasional untuk menekan harga cengkeh agar keuntungan berlipat di tangan pemodal. Dalam kasus ini petani yang memanfaatkan tenaga fisiknya 2-3 kali dibanding pemodal, malah merugi, karena keuntungannya dimakan para pemodal. Celakanya, Negara yang seharusnya melindungi petani dan memberdayakannya, justru lebih suka berkongsi dengan pemodal. Apalagi, jika dalam Negara dimana pemodal dan penguasa nyaris sulit untuk dibedakan. Ironisnya, Indonesia sedang mengalaminya dewasa ini. Dan rasionalisasinya adalah: “ach, kita kan sedang dalam masa transisi”.

Cap Tikus, sebagaimana Cengkeh, juga mengalami perlakuan yang kurang fair. Tidak adil. Produk yang menyekolahkan banyak anak desa, kini dituding “haram” karena menyebabkan banyak penyakit social. Padahal, penyakit sosial itu, muncul bukan terutama karena Cap Tikus, tetapi karena lapangan pekerjaan dan frustasi sosial berkepanjangan. Jika kemudian Cap Tikus diburu sebagai barang haram, padahal dia lahir dari haribaan ekonomi rakyat tradisional SULUT, sungguh sulit mengerti, bagaimana mengentaskan kemiskinan di tingkat petani jika demikian? Masalahnya bukan soal petani yang malas bekerja, tetapi regulasi dan fasilitasi pemerintah sungguh memukul para petani. Masalahnya, bukan kemalasan, tetapi juga struktural. Artinya, kemiskinan, datang dan asalnya bukan sekedar kemalasan dan keterbelakangan, tetapi juga regulasi dan aturan yang harus setidaknya memberi ruang affirmative action (pembelaan lebih) kepada petani.

Tanpa kombinasi ini, maka pekerjaan pengentasan kemiskinan akan mengalami stagnasi. Akan mengalami kemandegan. Boleh saja Gubernur menyusuri semua desa, semua kantong kemiskinan, semua sentra orang miskin SULUT, tetapi bila terapinya keliru, maka bukan kemiskinan yang terentaskan. Karena masalahnya, bukan cuma bersarang di komunitas yang dikategorikan miskin itu, tetapi juga sebagian bersarang di tingkat aturan dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Artinya, di tingkat pemerintah, bukan hanya good will atau kemauan baik yang dibutuhkan, tetapi juga political will alias kemauan politik. Dan jika demikian, maka rembesannya bukan hanya ke tingkat eksekutif (Gubernur dan jajarannya) tetapi juga ke tingkat legislatif (DPRD) dan bahkan stake holder lai yang terkait, civil society, lembaga keagamaan, dst. Pekerjaan mengentaskan kemiskinan jadinya menjadi agenda bersama seluruh lapisan masyarakat, dengan aktor penggeraknya pemerintah diawas legislatif dan juga komponen masyarakat sipil termasuk Gereja, Mesjid dan lembaga agama lain.

Jadi, jika angka kemiskinan di SULUT meningkat, biarlah disikapi secara bijak. Tanpa harus menuding satu komponen paling bersalah, tetapi menginspirasi baik pemerintah maupun masyarakat untuk melanjutkan tugas yang tidak akan pernah selesai ini.

Catatan:
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-politik.