Wednesday, September 12, 2007

DAN …. PERTARUNGANPUN DIMULAI

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Pengantar

Benar …. Pertarungan antar Partai Politik, sebuah pertarungan terbuka, secara resmi kini dimulai. Tepat tanggal 7 September 2007, meski beberapa Fraksi DPR RI meminta penundaan 1-2 hari memasukkan Daftar Isian Masalah (DIM), tetapi sebagian besar sudah selesai. Dan artinya, jagad politik Indonesia akan kembali hangar bingar oleh adu argumentasi, analisis, maupun adu argumentasi. Entah berdasarkan filosofi teoretis tertentu, ataupun berdasarkan pengalaman Negara lain, ataupun hanya semacam kepentingan kelompok atau partai tertentu. Semuanya sah untuk ditampilkan ke publik, sejauh pers merasa penting untuk menggarisbawahi pandangan ataupun argumentasi yang dimaksud.

Sebagaimana diketahui khalayak, revisi atas paket Undang-Undang Politik (UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, UU Pemilihan Presiden/Wkl Presiden dan UU SUSDUK) diajukan melalui usul inisiatif pemerintah. Proses dan tahapan pendalaman naskah akademis dan mendengarkan pandangan ahli sudah berlalu. Dan proses itupun berlangsung cukup alot dan ramai, karena sudah sangat jelas bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antar beberapa kelompok yang mencuat kepermukaan. Ini berarti, perbedaan pendapat dan perbedaan kepentingan secara otomatis berada dibalik adu argumentasi dan statement. Dan jika demikian, karena memang sejatinya politik memang demikian, maka bisa dipastikan wacana demokratisasi politikakan kembali menghiasi debat politik di tingkat parlemen dan masyarakat.

Perbedaan Itu …

Apa sebetulnya yang berbeda? Dan mengapa perbedaan itu demikian penting sehingga sanggup mengaduk emosi banyak kelompok kepentingan dan juga masyarakat?

Draft RUU Revisi yang diajukan pemerintah, secara otomatis membelah Parlemen Indonesia dalam 2 belahan yang berhadapan dan berlawanan. Terutama, karena draft revisi tersebut memang langsung menohok kepentingan kedua kelompok yang berbeda dengan aksentuasi atau penekanan yang juga berbeda. Belahan yang dimaksud, datang dari ide pemerintah yang bermaksud melakukan upaya efektifitas Pemerintahan dalam skema Presidensial. Artinya, memang secara teoretis, skema Sistem Presidensial tidak cocok dengan Sistem Multi Partai dengan fragmentasi (perbedaan) yang tinggi. Sementara di Indonesia, penggunaan Sistem Presidensial dilaksanakan dengan topangan system Multi Partai dengan tingkat fragmentasi (perbedaan yang menyebar dalam banyak bidang) yang snagat tinggi. Banyak memang pengalaman Negara lain menunjukkan kebenaran argumentasi pemerintah, termasuk sejumlah teori politik (Juan Linz, dkk). Ujung dari argumentasi ini adalah, bila pemerintahan diharapkan efektif, maka system berpartai seharusnya Multi Partai Sederhana atau malah system Dwi Partai seperti Amerika Serikat.

Pengalaman Indonesia dengan system multi partai (40an partai di pemilu 1999 dan 24 Partai di Pemilu 2004), menunjukkan inefisiensi pemerintahan. Hal yang membenarkan argumentasi draft Revisi UU Politik Pemerintah. Apalagi, kondisi selama hampir 10 tahun ini, masih ditopang oleh euphoria kebebasan dan demokratisasi yang dimulai tahun 1998. Karena itu, menjadi beralasan apabila kemudian pemerintah mengajukan usulan yang berujung pada “penyederhanaan” Partai Politik. Draft Revisi Pemerintah yang mengusulkan “penambahan daerah pemilihan” dan juga Electoral Treshold (ET) sebesar 5 %, bisa dipastikan hanya akan menghasilkan tidak lebih dari 7 Partai Politik yang mampu eksist di Parlemen.

Mudah ditebak, pada kutub berlawanan sudah bisa dipastikan adalah Partai Politik yang terhitung beroleh hasil “kecil” dalam pemilu 1999 dan 2004. Partai semisal PBR (Partai Bintang Reformasi), PBB (Partai Bulan Bintang), PDS (Partai Damai Sejahtera), dll, akan berhadapan vis a vis dengan usulan pemerintah. Partai yang “berpenghasilan” kecil di Pemilu 2004 ini, memang terancam eksistensinya bila ET di naikkan. Apalagi, dalam draft Revisi UU Pemilu, syarat mengikuti Pemilihan umum 2009, juga menjadi jauh lebih sulit lagi dibandingkan tahun 2004. Karena itu, Partai kecil, rata-rata mengajukan argumentasi bahwa penyederhanaan dan pembatasan seharusnya dilakukan secara terhormat, dan bukan melalui paksaan. Argumentasi ini, menunjuk pada pengalaman di Australia dan ide demokratisasi yang mesti didewasakan sebelum mengajukan ide dan usul seperti pemerintah di atas.

Dua kutub yang kemudian mengemuka di parlemen adalah: Usulan pemerintah didukung oleh Partai GOLKAR dan PDI Perjuangan yang menguasai kurang dari 40% suara Parlemen, sementara penentangnya dimotori oleh PKS, PAN, PPP dan bergabung juga PDS, PBR, PBB. Bahkan dalam sebuah acara di Hotel Mulia, Partai Demokrat dan PKB, juga bergabung membentuk Koalisi 8 Partai untuk menolak usulan penyederhanaan Partai politik. Tetapi, kedua koalisi di tingkat parlemen untuk revisi UU Politik ini, belum menjamin akan berlangsung terus, karena biasanya proses lobby dan trade off, berperan dalam pengambilan keputusan akhir. Terlebih sebuah keputusan yang terkategori rawan tetapi sangat dibutuhkan seperti paket UU Politik ini.

Citra Parpol dan Demokratisasi

Kondisi pembahasan Revisi UU Politik, sebetulnya dilakukan pada waktu yang tepat dari perspektif pemerintah. Mengapa? Karena dalam semua polling dan jajak pendapat, citra Partai Politik sedang dalam titik nadir. Jajak pendapat LSI mensinyalir lembaga politik paling “jelek” adalah Parpol, laporan Transparency Internasional, juga menetapkan Parpol sebagai lembaga terkorup. Dan, Civil Society yang bergembira karena berkuasanya Parpol dalam menentukan calon Kepala Daerah dianulir oleh Mahkamah konstitusi. Ini menunjukkan di banyak lini Parpol mengalami delegitimasi. Bahkan, Megawati Soekarnoputri, dalam pidatonya di Rakernas II PDI P baru-baru ini, juga menggarisbawahi fenomena delegitimasi partai politik ini.

Citra buruk ini, terutama karena proses kaderisasi yang tesendat, pembelajaran politik yang minimal dan money politics di banyak proses PILKADA yang sangat melukai rakyat. Belum lagi, kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat, sangat minimal dikritik oleh Partai Politik. Jikapun ada, justru PDI Perjuangan yang melakukannya dalam posisi sebagai oposisi pemerintah. Dan apresiasi atas prestasi itu ditunjukkan dalam lonjakan popularitas Partai itu dalam jajak pendapat LSI awal tahun 2007 ini. Kinerja Partai Politik semacam ini, memang membuat penghargaan publik, dan rasa memiliki masyarakat menjadi minimal. Dan apabila proses tersebut berlangsung terus, maka yang akan tergerus bukan hanya eksistensi parpol, tetapi juga proses dan kualitas demokratisasi. Fakta betapa masyarakat antusias atas keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap calon independent, adalah refleksi muaknya masyarakat terhadap Partai Politik.

Padahal, representasi atau perwakilan politik semacam apalagi yang compatible (bersesuaian) dengan demokrasi jika bukan Partai Politik? Teori dan pengalaman di banyak Negara menunjukkan betapa pentingnya eksistensi Partai politik dalam konteks demokrasi. Partai Politik adalah salah satu pilar membangun demokrasi, terutama karena fungsi agregasi aspirasi masyarakat, dan fungsi rekruitmen serta pendidikan politiknya. Institusi ini, dengan demikian menjadi vital dalam menjembatani proses-proses di tingkat masyarakat dengan di tingkat elite. Sayangnya, selain fungsi sebagai “jalan” dan “pintu masuk” ke kekuasaan (legislative dan eksekutif), serta fungsi mempertahankan eksistensi partai melalui fund raising, fungsi lain belum menonjol. Akibatnya, justru cap dan makna buruk yang menimpa lembaga bernama Partai Politik ini.

Hal buruk lain yang membuat keadaan menjadi lebih parah adalah, kondisi 4 tahun terakhir Indonesia yang menunjukkan wajah parlemen yang justru lebih kuat. Kondisi “strong parlemen” ini, menjadi menyedihkan, karena ketakberdayaan mereka untuk mengerem kebijakan pemerintah yang lebih pro pasar, pro kelas pengusaha dan melukai serta mencederai ekonomi rakyat. Penetapan UU Penanaman Modal, dinaikkannya tarif Tol dan BBM pada masa lalu secara gila-gilaan, termasuk konversi minyak tanah ke gas dewasa ini, justru tidak memperoleh pembelaan memadai dari parlemen. Bahkan kasus Lumpur lapindo yang sarat penyimpangan, pun tidak sanggup menjadikan parlemen tergerak mengangkatnya dan mempertanyakannya secara formal politik kelembagaan. Parlemen ini, ternyata memang dikangkangi oleh keputusan sebuah lembaga yang tidak dalam alat kelengkapan DPR RI bernama Fraksi, tetapi meruakan kepanjangan tangan Partai Politik. Parlemen Indonesia memang tidak immune dari partai politik, setiap keputusan parlemen pasti membayangkan keputusan Parpol. Karena banyak keputusan formal, justru diambil lewat jalur lobby pimpinan fraksi. Sementara pimpinan fraksi ditentukan oleh Partai Politik. Dengan kinerja parlemen yang kurang membela rakyat, maka otomatis, citra yang sama buruknya juga akan menimpa partai politik.

Dan hal lain, meski samar terasa adalah: Usulan pemerintah agar ada penyederhanaan Partai Politik demi efisiensi, sebenarnya menohok telak partai politik. Tersirat ingin menegaskan bahwa, karena telalu banyak parpol, maka pemerintah jadi repot mengurus banyak hal di parlemen. Untungnya lagi, ide pemerintah ini didukung oleh teori compatibilitas system presidensial dengan multi partai sederhana, bukan seperti Indonesia sekarang ini multi partai yang luar biasa terfragmentasi dan kompleks. Kondisi-kondisi ini semakin menegaskan apa yang disebut Megawati sebagai delegitimasi Partai Politik. Dan jika delegitimasi itu berlangsung terus, maka pada gilirannya, demokratisasi juga bakal mengalami stagnasi.

Mengapa? Karena tanpa partai politik, bagaimana mungkin Pemilihan umum berjalan? Bagaimana mungkin terjadi proses regenerasi kepemimpinan, dan bagaimana membentuk parlemen lewat system perwakilan? Partai Politik yang lemah, korup, managemennya lemah, rekruitmen tidak jalan, tidak seharusnya memang di paksa untuk bubar. Tetapi, juga harus diciptakan mekanisme, agar representasi atau perwakilan itu terbangun dalam konteks yang konstruktif. Tetap dibutuhkan aturan dan system yang membuat mekanisme system perwakilan bisa berjalan secara konstruktif, tidak asal jadi dan asal buat dan mengklaim perlakuan yang sama. Tetapi, proses hukuman, juga sebaiknya dilakukan lewat pilihan rakyat terhadap partai tersebut. Dalam hal ini, Electoral Treshold (seharusnya berlaku di parlemen, tetapi di Indonesia berlaku untuk menentukan kepersertaan Pemilu), merupakan mekanisme yang berlaku jamak. Hanya soal angka dan prosentase yang berbeda-beda.

Dengan demikian, maka memang beralasan bila pemerintah mengusulkan penyerderhanaan Partai Politik. Karena terlampau banyak parpol, juga menyulitkan baik secara tehnis, maupun ke pendalaman system politik Indonesia. Tetapi, seharusnya dipikirkan juga, bahwa titik pijak dan titik berangkat parpol berbeda-beda. Partai GOLKAR dan PDI P sudah lama bertarung di pentas politik Indonesia, jauh dibandingkan partai-partai baru lainnya. Karena itu, proses penyederhanaan partai politik, perlu ditempatkan dalam perspektif yang lebih berkeadilan. Yakni meningkatkan ET secara gradual, dengan titik maksimal 3-5%, dan jika mau lebih efektif, sebaiknya diterapkan di parlemen. Karena parpol yang tidak memiliki perwakilan di parlemen, dengan sendirinya akan mengalami kesulitan dalam menata partainya. Argumentasi bahwa dalam alam demokrasi ET tidak demokratis, tidaklah seluruhnya benar. Karena demokrasi membutuhkan aturan dan mekanisme, tanpa aturan maka demokrasi akan menimbulkan anarkhi. Jika dmeokrasi yang dimaksudkan smeua aspirasi individual ditampung, maka apa gunanya mekanisme perwakilan dan aturan yang mengaturnya? Pengaturan parpol melalui ET, juga bermakna demikian. Yakni menata dan mengatur agar mekanisme politik Indonesia bisa berjalan melalui proses perwakilan yang bisa berjalan baik, bukannya sulit berjalan karena terlampau gemuk.

Kompromi atau ?

Inilah yang dinantikan pada akhir tahun 2007 ini. Apakah yang akan terjadi? Atau apakah dan bagaimanakah keputusan soal Revisi UU Politik Indonesia? Sebuah pertanyaan menarik dan tentu menggelitik. Pemerintah sudah tentu menghendaki penyederhanaan Partai politik, dan menunjangnya mereka mengusulkan penambahan Derah pemilihan, Pemilu berdasarkan system proporsional list terbuka dan suara terbanyak yang maju ke parlemen, dan menerapkan ET 5%. Partai pendukungnya dewasa ini adalah Partai GOLKAR dan PDI Perjuangan. Sementara di kelompok seberang adalah Koalisi 8 Partai. Meskipun soliditas kedua kubu, diragukan, karena akan sangat tergantung kepentingan apa dan bagaimana diakomodasi oleh proses pembahasan selanjutnya.

Lepas dari kubu-kubu tersebut, melihat urgensi UU tersebut, maka bisa dipastikan pembahasannya akan alot. Padahal, UU tersebut dibutuhkan selambatnya akhir tahun 2007 untuk memulai persiapan verifikasi partai politik menuju Pemilu 2009. Menilik waktu, maka dipastikan pembahasannya akan berlarut-larut baik di tingkat Panitia Khusu maupun Panitia Kerja DPR RI. Dan jika sudah demikian, apakah yang akan terjadi? Bisa dipastikan, lobby dan kompromi akan ditempuh. Nampaknya, kompromi akan diambil dalam hal: Daftar terbuka dalam system proporsional bisa dipastikan ditolak, dan dikompromikan dengan 20-25% dari BPP. Nampaknya, electoral threshold juga akan panas diperdebatkan, bisa tetap 3% atau bisa juga berubah, entah 4 atau 5% dari total kursi parlemen. Daerah pemilihan, jika diperluas, jelas akan menguntungkan GOLKAR dan PDI P, dan ini terang akan ditolak partai lainnya. Siapa yang akan menarik keuntungan dari siapa, akan menjadi agenda petarungan dalam waktu dekat ini.

Di atasnya, meskipun revisi UU Politik ini nampaknya masih belum akan memuaskan public politik Indonesia, tetapi setidaknya akan ada perubahan. Meksipun mungkin belum cukup signifikan. Harapan terbesar adalah, Partai politik akan melakukan refleksi ulang jati diri dan kinerjanya, sehingga bukan hanya terhindar dari eliminasi, tetapi akan lebih mempertimbangkan kepentingan konstituen dan masyarakat Indonesia. Pembahasan atau revisi UU Politik ini, mau tidak mau membuat para petinggi partai mulai memikirkan ulang frame work serta kinerja mereka. Sebab, jika tidak, eliminasi akan menanti mereka. Pada titik inilah, masyarakat Indonesia menanti. Demokratisasi memang tidaklah mungkin berjalan dalam sehari atau semalam, bahkan dalam setahun atau dua tahun. Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis membutuhkan waktu ratusan tahun untuk mencapai kematangannya. Dan tidaklah mungkin Indonesia mencapainya, kematangan itu, dalam waktu hanya 1,2 atau bahkan 10 tahun. Revisi demi revisi, adalah momentum memikirkan ulang format politik, mekanisme dan mplementasi setiap kebijakan partai politik.

Jikapun belum menerapkan perolehan suara terbanyak di daerah pemilihan (list terbuka proporsional) sebagai caleg yang menjadi anggota legislative, maka kita memang perlu menunggu. Begitu juga soal penyederhanaan partai, nampaknya masih akan terkompromikan. Banyak yang memang masih harus dikompromikan untuk diuji perlahan dalam perjalanan ber Negara. Tetapi, apapun, nampaknya pematangan demokrasi akan terus berlangsung di Indonesia. Karena itu, marilah kita menunggu. Sekarang, gong pertarungan terbuka antar partai sudah berbunyi. Pertarunganpun dimulai.

Catatan:
Penulis adalah pemerhati masalah social-politik