Tuesday, October 2, 2007

MENUNGGU AKHIR DRAMA DEMOKRASI MYANMAR

Oleh: Audy WMR Wuisang, STh, MSi

Pengantar

Gelombang demokratisasi masih terus bergaung. Meskipun Larry Diamond pernah menyebutkan ada semacam gelombang balik demokratisasi (dalam kasus Thailand misalnya), tetapi kasus terakhir Myanmar seperti akan menyanggahnya. Memang, akhir drama demokrasi Myanmar masih belum bisa ditebak. Tetapi, bahwa kepercayaan bahwa demokrasi merupakan bentuk pilihan yang lebih baik, masih tetap bergaung. Dan kali ini, kembali secara deras melanda Myanmar, setelah pada tahun 1988 hembusan itu dihentikan secara kasar oleh junta militer yang berkuasa sejak tahun 1962. Tetapi, akankah angin demokrasi tahun 2007 ini berakhir sama seperti tahun 1988, masih belum bisa dipastikan. Terlebih, karena pilar utama, yakni Bhiksu Budha Myanmar, sudah terlibat. Dan tinggal menunggu satu pilar lainnya, yakni MAHASISWA untuk bergabung melawan Militer Myanmar. Dalam sejarahnya, Myanmar memang mengenal 3 pilar utama ini: Bhiksu, Mahasiswa dan Militer, dimana Bhiksu dan Mahasiswa pernah bersatu melawan militer tahun 1988.

Masih hangat dalam ingatan, betapa militer Myanmar membungkam gerakan demokrasi tahun 1988, dengan membunuh ratusan demonstran, termasuk Bhiksu. Dan dilanjutkan dengan penjara tanpa proses peradilan atas ribuan aktivis pro demokrasi. Bahkan berlanjut hingga ke penahanan rumah atas ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang memenangkan Pemilihan Umum tahun 1990. Fakta tahun 1988 hingga tahun 1990 menunjukkan bahwa legitimasi moral atas junta militer sebetulnya sudah minimal. Tetapi, sayangnya, lawan gerakan demokrasi waktu itu, yakni junta militer masih mendominasi kekuatan represif (polisi dan militer). Dan terlebih, junta waktu itu juga masih sangat solid hingga sangat sulit dijatuhkan hanya dengan demonstrasi massal belaka.

Bila kemudian dua kekuatan itu, Bhiksu Budha dan Mahasiswa Myanmar bangkit kembali melawan militer pada tahun 2007 ini, maka sebetulnya gerakan tersebut benar tinggal menunggu waktu. Beban yang ditanggung oleh masyarakat Myanmar sudah semakin mencekik pasca dinaikkannya harga solar sampai berlipat ganda. Dan beban mencekik itu, pada akhirnya mengundang Bhiksu Budha Myanmar kembali turun kejalan dengan demonstrasi damai, pada tanggal 28 Agustus 2007. Dan secara gradual, perlahan tapi pasti, proses damai Bhiksu Budha ini mengundang simpati masyarakat hingga dalam beberapa hari hingga bulan September meledak menjadi ribuan, bahkan terakhir ratusan ribu peserta demonstrasi. Batas kesabaran sudah terlampaui, tapi akankah akhir drama demokrasi ini berakhir happy ending dalam bentuk sebuah transisi demokrasi bagi Myanmar?

Gelombang Ketiga Demokratisasi

Study Third Wave Democratization atau Gelombang Ketiga Demokratisasi pertama kali menjadi fenomenal pasca terbitnya thesis Samuel Huntingthon tahun 1991 berjudul Third Wave Democratization (Gelombang Ketiga Demokratisasi). Thesisnya sederhana, dalam kurun waktu yang sama, gelombang Negara-negara yang mengarah ke demokratisasi dari pemerintahan otoritarian terjadi. Dan menurutnya, awal Gelombang Ketiga Demokratisasi terjadi sejak tahun 1975 di Portugal, diikuti Spanyol (1976), Yunani (1977) dan Polandia (1979). Bahkan kemudian diikuti runtuhnya tembok Berlin, amburadulnya regime Komunis Uni Sovyet, dan terus berlanjut hingga ke Korea Selatan, Negara Amerika Latin, sejumlah Negara Afrika dan terakhir Indonesia pada tahun 1998. Puluhan Negara dalam kurun waktu sejak tahun 1975, mengalami transisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis.

Dalam konteks study transisional, ada sejumlah paths atau model sebuah Negara mengalami transisi demokrasi. Ada yang regimenya ditumbangkan melalui sebuah demonstrasi missal semisal Phillipina, ada yang melalui negosiasi antar faksi seperti Spanyol, dan ada yang setelah tekanan massa maka dilakukan negosiasi antar elite seperti Indonesia. Study mengenai paths sudah dilakukan oleh Schmiter dan juga Stepan Albert, dan mengidentifikasi 8 model. Meskipun secara garis besar, dalam konteks Gelombang Ketiga Demokratisasi paths di atas yang mendominasi perjalanan Negara-negara menuju demokrasi.

Benar ada beberapa varian dari hasil modes atau model tersebut, namun dalam konteks pergantian regime ada 3 hal yang biasanya berulang: Pertama yang disebut transformasi (Reforma pactada menurut Juan Linz atau Transaction menurut Mainwairing), ketika demokrasi dipelopori oleh regime yang berkuasa. Hal ini terjadi dalam kasus Uni Sovyet. Kedua adalah replacement (rupture oleh Juan Linz atau Collapse menurut Mainwairing), ketika regime otoriter tumbang dan diganti oleh kelompok oposisi seperti di Portugal, Philipina, Rumania. Ketiga adalah transplacement (Extication menurut Mainwairing) ketika terjadi kerjasama antara kelompok oposisi dan regime menuju demokrasi seperti kejadian di Polandia, Indonesia dan Chekoslowakia. Dan dalam semua kasus tersebut, maka kekuatan kelompok oposisi atau Gerakan Pro Demokrasi sangatlah kuatnya sehingga memaksakan proses demokratisasi untuk terjadi.

Myanmar – Bagaimana Akhirnya?

Dalam semua transisi demokrasi, terutama sejak tahun 1975, sangat jelas bahwa prose situ boleh berjalan salah satunya akibat keretakan internal regimen otoriter. Keretakan dalam regime itulah yang memberi peluar bergabungnya kelompok garis lunak di dalam regime otoriter dengan gerakan pro demokrasi. Kualitas dan kekuatan garis lunak dalam regime itu sendiri berbeda-beda. Indonesia misalnya, kekuatan kelompok ini relative kecil, tetapi cukup mampu menghindarkan pertempuran dan pertumpahan darah massal. Militer Indonesia yang sudah terbagi dalam beberapa faksi akibat pertarungan panjang internal regime orde baru dalam proses suksesi membuat demo missal menjadi mungkin. Demikian juga adanya sempalan militer Philipina yang memudahkan gerakan pro demokrasi mengkonsolidasi menjadi kekuatan missal dan sangat menentukan.

Salah satu defisit yang nyata dari demokrasi dan gerakan demokrasi Myanmar adalah soliditas militer dan polisi Myanmar yang berkuasa cukup lama. Meskipun demikian, junta militer Myanmar akan berhadapan dengan kekuatan massal rakyat Myanmar. Apabila gerakan pro demokrasi yang dipelopori Bhiksu Budhis Myanmar berlangsung terus, bisa dipastikan akan menimbulkan efek luar biasa dalam bentuk dukungan masyarakat yang menderita di bawah junta militer. Hal ini, bukannya tidak dimengerti oleh junta militer Myanmar yang tentunya belajar banyak dari Philipina da Indonesia. Memberi angina gerakan itu, akan menuai efek snow ball atau efek bola salju, dimana massa demonstran akan membludak dan meledak jumlahnya dari hari ke hari.

Peristiwa dimana militer dan polisi Myanmar mulai berlaku keras pada tanggal 26 September 2007, adalah tanda bahwa junta militer akan kembali siap melakukan tindakan kejam seperti tahun 1988. Hanya, persoalannya akan berbeda dengan peristiwa tahun 1988. Ancaman baik terselubung maupun terbuka dari sejumlah Negara, dan bahkan Cina yang berlaku lunak, akan sangat menentukan apakah jalan represif akan tetap digunakan atau tidak. Disatu sisi, China selalu memback up junta militer Myanmar, tetapi denga redemokratisasi dari dalam yang diupayakan PKC, akan berdampak buruk bagi citra China yang juga membutuhkan pencitraan baru bagi politik Luar Negerinya. Sementara baik USA, Jepang, Uni Eropa, Kanada, sangat keras menekan junta militer untuk tidak menggunakan jalan represif. Padahal, jika jalan represif tidak digunakan, maka hampir bisa dipastikan, gerakan itu akan smakin membesar dar hari ke hari.

Dalam pilihan sulit seperti ini, maka Myanmar boleh dikatakan berada di ambang 2 pintu yang sangat mungkin dialami: Pertama pintu pertumpahan darah massal dimana junta militer memaksakan kekerasan dan menuai kemarahan rakyat secara besar-besaran dan dengan resiko ambruknya perekonomian; Kedua, proses memasuki transisi demokrasi dengan transaksi politik antara kelompok demonstran atau pro demokrasi dengan junta militer. Kedua jalan itu sangatlah mungkin dialami Myanmar dewasa ini, terutama dengan memperhatikan konsentrasi massa demonstran dan gelagat yang diambil oleh junta militer.

Momentum tahun 2007 ini, sungguh harus benar-benar diperhatikan oleh junta militer Myanmar. Setidaknya, gelombang ketiga demokratisasi, sejak tahun 1975, selalu menciptakan kejadian monumental. Bisa dicatat misalnya, sejak tahun 1975-1976, Portugal dan Spanyol mengalami dmeokratisasi melalui rangkaian panjang demonstrasi massal, tahun 1986 people power di Philipina menumbangkan regime Marcos, tahun 1997-1998 rangkaian demonstrasi massal atau bahkan people power di Indonesia menendang Soeharto dari kursi kekuasaan. Dan 10 tahun setelah Indonesia apakah Myanmar akan mengalami demokratisasi sebagaimana yang dialami oleh Philipina dan Indonesia? Nampaknya hal tersebut sangat memungkinkan. Pengalaman setiap 10 tahun sejak tahun 1975, awal gelombang ketiga demokratisasi, selalu ditandai dengan sebuah transisi demokrasi yang fenomenal. Mudah-mudahan tahun 2007 ini, Myanmar mengalaminya.

Karena itu, menjaid menarik menunggu apakah dan bagaimanakah gerangan akhir dari angin demokrasi yang berhembus kencang di Myanmar. Menarik mengetahui apakah dan bagaimanakah akhir dari peranan kelompok civil society, terutama ketika para Bhiksu turun tangan memainkan peran civil society mereka. Dan tentu juga menunggu akhir dari keterlibatan mahasiswa, apakah akan turun dan ikut membantu para Bhiksu di jalanan? Dan akan bagaimanakah sikap seorang ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi bersikap dalam masa yang teramat kritis ini. Betapapun, sejarah mencatat, dalam situasi kritis akan tampil seorang pahlawan, dan selalu demikian. Betapa terharu melihat ratusan ribu massa menuntut kebebasan, dan melihat puluhan ribu Bhiksu, agamawan menyuarakan hati nurani rakyat. Kebenaran betapapun akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Sejarah mencatatnya dan akan membuktikannya bagi rakyat Myanmar …….

Catatan:
Penulis adalah pengamat masalah sosial, politik dan kemasyarakatan

CERITA (NEO) LIBERALISME VS SUPER WIN

(Renungan dari Perkemahan Kerja Pemuda Gereja di Tompaso Baru)

Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi

Pengantar

Bukan ….. tulisan ini bukanlah sebuah kajian akademis ataupun literer mengenai Liberalisme dan Neoliberalisme. Meskipun, pengalaman penulis yang diminta “menstimulir” (merangsang) diskusi mengenai topik ini menghasilkan ironi. Betapa tidak, “Kekristenan” konon diperhitungkan di Negri ini karena kualitas dan kemampuan intelektualnya. Tetapi, di Perkemahan para kaum muda ini, respons dan pemahaman soal topik ini hanya sanggup diikuti 1-2 orang saja. Itupun, rata-rata peserta dari luar Sulawesi Utara. Padahalnya lagi, topik ini merupakan santapan keseharian para aktifis yang sering dituduh “kiri” atau “kurang nasionalis” karena lantang bersuara menentang agenda pemiskinan Negara berkembang termasuk Indonesia lewat perangkap WTO dan IMF. Dan, pergaulan penulis di Jakarta dan juga Sulawesi Utara menunjukkan para aktifis muda Islam, sungguh sangat akrab dan tidak gamang bercakap soal issue ini. Jadi? ….. ada di relung dan lorong mana sebenarnya Pemuda Gereja itu? Atau ada dimana gerangan pokok kajian dan keprihatinan (concern) Pemuda Gereja (GMIM, KGPM atau apa saja). Atau lagi, dimanakah letak keunggulan kualitas itu kini?

Tapi, alih-alih mendalami konteks pergelutan akademis soal Liberalisme dan Neo Liberalisme, tulisan ini sedikit menyimpang meski tetap dalam cerita Liberalisme dan Neoliberalisme. Karena mungkin, wajah gamang itu, bukan cuma ditunjukkan oleh wajah bingung dan polos Pemuda Gereja. Jangan-jangan, juga justru lembaga akademis. Bukan karena ketidak atau kekurangtahuan, tetapi karena ketakberdayaan, dan kemudian menjadi putus asa. Atau mungkin gabungan semuanya: tidak tahu, kurang tahu dan tidak berdaya.

Begitulah, akhirnya tulisan ini merupakan sebuah kisah atau sebuah permenungan atas beberapa penggalan yang coba dipadukan dalam satu bingkai. Bingkainya memang masih tetap frase yang sulit itu: Liberalisme dan Neo Liberalisme, tetapi ingin melihat kompleksitas persoalan didalamnya. Titik berangkatnya adalah dinamika percakapan di Perkemahan Pemuda, beberapa kisah temuan di Tumani –Tompaso Baru dan rumitnya persoalan sekitar tema itu.

Tema Itu …

Liberalisme dan Neo Liberalisme atau dalam judul coba disederhanakan di atas menjadi (neo) Liberalisme, sebenarnya merujuk ke paham besar yang secara revolusioner mengubah dunia dewasa ini. Bukan hanya mempengaruhi aktifitas perekonomian, tetapi juga bahkan lapangan social budaya dan juga Politik. Isme-isme seperti Kapitalisme, Demokrasi, Sekularisme, sulit dilepaskan dari proses pembentukan liberalisme. Dan bahkan semuanya sokong menyokong dan saling menyuburkan pertumbuhan masing-masing. Liberalisme yang mendewakan hak milik, minimalnya campur tangan Negara dalam perekonomian selain menjadi “penjaga malam” alias mengawasi prosesnya lewat penetapan aturan, dan seterusnya; Serta Neo Liberalisme yang menemukan momentumnya kembali lewat Reaganomics dan Tacherism dan peran besar WTO, IMF dan lembaga multilateral lainnya; serta tentu implikasinya yang semakin memperkerdil Negara berkembang lewat lembaga multilateral tersebut.

Bagi kaum muda yang sebagian besarnya sedang memburu “fun” dan “rekreasi” di sebuah Camp perkemahan, tentu rumit berpikir berat. Dan karena itu, ada semacam excuse atau alasan, mengapa ketertarikan peserta perkemahan bukan di tema berat macam itu. Tetapi, pertanyaan yang seterusnya menyeruak adalah: Benarkah ketaktertarikan itu hanya di kompleks perkemahan belaka? Ataukah, jangan-jangan ini menjadi semacam indikasi bahwa tema-tema mendasar semacam ini memang bukan kegemaran pemuda Gereja? Bila disempitkan lagi, jangan-jangan tradisi intelektualitas Pemuda Gereja (termasuk GMIM, KGPM, dll di SULUT) sepi dari hangar bingar yang demikian. Dan jika demikian, bagaimana mungkin menjawab ide kreatif kawan-awan dari Palangkaraya dan Ambon yang berpikiran begini:

“Liberalisme dan Neoliberalisme tidak mungkin lagi dihadapi vis a vis (berhadap hadapan) sebagai lawan. Karena dia telah merasuk demikian jauh dalam detail kehidupan kemanusiaan. Handphone, Sinetron, fashion, gaya hidup, dan hampir semua segmen kehidupan, secara detail disusupi oleh tangan-tangan dan produk liberalisme-neo liberalisme. Yang mungkin dilakukan adalah, bagaimana reformulasi pelayanan Pemuda di tengah terpaan yang begitu total dari kedua isme besar dunia itu” demikian komentar kawan dari Ambon. Sementara kawan dari Palangkaraya menyebut begini: “Melawan isme itu adalah berat, yang paling mungkin adalah mengedepankan basis kita, yakni kearifan lokal. Bagaimana akar akar kultural sebagai benteng pertahanan terakhir menyediakan basis identifikasi personal dan kultural untuk tidak terbawa hanyut pusaran global. Dan Pemuda Gereja dan pelayanannya, sangat menentukan memainkan peannya disini”

Walahualam …. Kedua pandangan kawan pemuda dari Ambon dan Palangkaraya ini, memang merupakan komentar yang tepat. Justru pada kedua titik itulah diskusi di Perkemahan Pemuda itu mau dihantarkan. Untuk merangsang kembali kapasitas intelektualitas Pemuda Gereja guna mengejar ketertinggalannya. Agenda Pemuda Gereja, seharusnya tidak berhenti pada penyaluran minat dan bakat semata, tetapi juga segmen peningkatan kapasitas intelektualitas. Itupun, bila disadari, bahwa pertarungan kedepan adalah pertarungan kualitas, bukan pertarungan kuantitas belaka. Tetapi, ada dan cukupkah ruangan tersebut dipikirkan dan diimplementasikan? Memang benar, bahwa tidak semua akan menyukainya. Tetapi, bagaimana mungkinkah kita eksists di Negara yang sangat plural semisal Indonesia tanpa kapasitas dan kemampuan intelektual yang memadai? Kecuali jika memang kita merasa cukup menjadi penumpang di Negara ini. Atau, kita selalu berteriak sebagai pemilik Negara ini, tetapi kalah bersaing dengan kelompok lain. Maka fatalisme dan ratapan adalah bagian kita. Rasanya, Pemuda Gereja kita, masih belum sampai pada taraf putus asa semacam itu. Time is a chance to change ….. waktu adalah kesempatan untuk berubah, dan masih ada waktu untuk perubahan itu,

Tentang Super Win

Cerita “Super Win” terdengar di luar kompleks perkemahan, tetapi tetap menyentak. Konon “beras varietas unggul ini” yang diberi nama “super Win” ditemukan di Desa Tumani, Tompaso Baru. Tepat di lokasi perkemahan, dan didengar penulis saat meninggalkan kompleks perkemahan. Konon beras itu termasuk kualitas beras terbaik di dunia, bahkan mengalahkan jenis beras yang disajikan di restoran fast food termasuk Hoka-Hoka Bento, dan jenis lainnya semisal McDonald, KFC, dll. Padahal, bagi penulis, beras dan nasi yang disajikan di resto fast food tersebut luar biasa enaknya. Jika masih kalah dengan kualitas beras super win itu, berarti kualitas super win memang benar benar “super”. Dan konon, beras itu sudah mulai masuk kemasan untuk dipasarkan di mall-mall di Manado.

Tetapi, yang kemudian berseliweran di kepala penulis adalah: Sampai kapan beras itu diklaim berasal dari Tumani – Tompaso Baru? Jangankan beras super win yang baru beberapa tahun terakhir muncul, bahkan alat musik Kolintang yang sudah puluhan atau mungkin ratusan tahun usianya, kini berlomba siapa pemegang patennya, antara Indonesia (Sulawesi Utara) dan Malaysia. Jika demikian, apakah salah jika kemudian penulis bertanya seperti pertanyaan di atas? Sampai kapan masyarakat Tuman bangga dengan temuan beras terbaik dari desa mereka?

Bukan tidak mungkin varietas atau jenis padi unggul tersebut sudah dan sedang di teliti dan diselidiki di banyak laboratorium hebat di dunia ini. Entah bila hal yang sama dan seharusnya lebih serius, di lakukan oleh sejumlah Fakultas Pertanian di Indonesia, ataukah mungkin di UNSRAT? Entahlah. Tetapi, penulis berharap dan berdoa, semoga lembaga akademis itu melakukan tugasnya, tugas akademisnya terkait dengan Padi tersebut. Sebab jika benar dia berkualitas unggul, maka bukan hanya soal “nama” dan “gengsi”, tetapi soal komoditas yang bisa sangat membantu bila difasilitasi dan diadvokasi pada level petani. Sayangnya, konon, padi jenis ini sering dijadikan barang pemalsuan, mencampurkannya dengan jenis beras berkualitas lainnya dan dinamai “beras super win”.

Betapapun, bagi penulis, kisah ini sungguh ironis. Mirip dengan banyaknya bibit unggul (pelajar) yang memenangkan olimpiade matematika, fisika dan kimia di tingkat Internasional, tetapi susah bertumbuh subur di Indonesia. Bukan …. bukan karena alam Indonesia yang kurang subur, tetapi karena mental dan budaya akademis yang belum membuat kondisi kondusif dan apresiasi memadai bagi kerja akademis. Penulis tidak akan heran bila beras super win suatu saat diklaim Negara lain, sama tidak herannya dengan kenyataan betapa banyak Doktor asal Indonesia menyeberang ke Negara lain, dan sukses. Persoalan dan penyakitnya sama sejak dulu, sayangnya, upaya komprehensif untuk memperbaiki atau merawat luka itu sangat lamban dikerjakan.

Pada saat dunia semakin “menyatu”, batas teritorial semakin kabur, dan dunia semakin menuju sebuah “perkampungan global”; Pada saat persyaratan kualitas SDM mengedepan, meritokrasi semakin dituntut – Indonesia masih tebebani oleh persoalan-persoalan tradisional. Ancaman liberalisme dan neoliberalisme sudah didepan hidung, tapi kesiapan dan persiapan masih carut marut. Lihatlah, kondisi akademis kita di SULUT ini, kondisi UKIT misalnya, kondisi dan kualitas Perguruan Tinggi kita yang tidak dalam daftar Perguruan Tinggi Elite bahkan di Asia saja. Jadi, jika kemudian suatu saat kita kehilangan hak dan klaim atas sebuah varietas padi, itu masih belum dianggap kecelakaan bagi kita. Mengapa? Karena Perguruan Tinggi kita masih tetap dan terus menunggu dana penelitian. Dan ujungnya akan dikatakan, karena Pemerintah belum merealisasikan dana pendidikan 20% APBN. Lihatlah, betapa rumit dan betapa repot menelisik satu persoalan kecil yang bisa dibikin besar itu.

Akhir Permenungan Itu ….

Toch pada akhirnya penulis harus meninggalkan kompleks perkemahan itu. Tetap, cerita dan ironi yang tersaji dalam percakapan dan saat akan meninggalkan desa Tumani masih terus membayang. Benar ….. betapa banyak persoalan yang harus diselesaikan, dan tidak akan pernah terselesaikan hanya dengan “membayangkan”. Membayangkan pemerintah mengerjakan tugasnya, bukan hanya soal 20% APBN dana pendidikan, tetapi peran fasilitasi atas potensi ekonomi rakyatnya, dst; Membayangkan peran penelitian berbasis kemampuan rakyat sekitar oleh Fakultas Petanian (UNSRAT, dan Perguruan Tinggi SULUT lainnya) dan mengolah produk pertanian agar kualitasna meningkat …… dst; Membayangkan petani yang sanggup menanam padi jenis unggul tersebut dan memetik keuntungan langsung darinya …..; Dan membayangkan wajah para Pemuda Gereja yang berhadapan langsung dengan dunia yang semakin tanpa batas …..

Memang, semua bukan urusan penulis. Tetapi, tetap terasa, betapa memikirkan semua itu akan sangat penting artinya bagi memetakan dimana komunitas bernama Minahasa dan SULUT ini berada pada era AFTA dan keterbukaan global nantinya. Dan itu, bukan Cuma urusan penulis, itu uga urusan pemerintah daerah, bahkan urusan Gereja. Semoga tatap mata polos dan belum tahu itu, suatu saat berganti optimisme dan percaya diri. Dan mereka tidak tergerus zamannya untuk meringkuk penuh ketakberdayaan, tetapi menjadi penentu jamannya. Dan semoga padi unggul itu, tidak digerus ganasnya liberalisme/neoliberalisme untuk diklaim Negara lain sebagai miliknya, dan meninggalkan penemunya dibelakang karena tidak disokong lembaga peneliti dan lembaga akademis yang seharusnya menolongnya. Semoga ….. semoga!

Catatan:

Penulis adalah pemerhati masalah social-kemasyarakatan