Sunday, March 16, 2008

ADA APA DENGAN TONDANO III

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Pengantar

Penulis pernah mengemukakan peringatan bahwa Tondano sedang terancam “tenggelam” secara fisik, kurang lebih 2-3 tahun lalu. Terutama setelah rangkaian bencana yang terjadi di Manado dan sekitarnya serta fakta betapa Danau Tondano dan Sungai Tondano mengalami pendangkalan secara signifikan. Bagi mereka yang menghabiskan waktu di Kota Bersejarah itu pada 20-25 tahun lalu, pasti bisa secara telanjang memperhatikan fakta tersebut. Karena memang, di sisi timur Lapangan Samratulangi, depan Kantor Bupati Minahasa sekarang, adalah aliran Sungai Tondano yang permukaannya naik tajam. Ancaman tenggelamnya Kota Tondano mungkin terkesan sebuah dramatisasi, tetapi bahwa Kota Tondano tua, bernama Minawanua yang terletak di Desa Toulour, sebagian besarnya sudah terendam air adalah benar belaka. Ancaman itu, dengan demikian bukanlah sebuah kisah fiksi untuk menarik perhatian orang, tetapi ancaman serius.

Padahal, ancaman lain yang tidak kurang bahayanya adalah: “tenggelamnya” kemegahan Kota Tondano yang memiliki sejarah panjang. Bahkan kota dengan system penataan modern yang diwariskan penjajah Belanda bagi tanah Minahasa, tetapi yang “terbengkalai” dengan banyak alasan. Selain pusatnya sebagai aktivitas politik tanah Minahasa sudah tergerus oleh sejumlah pemekaran, posisi Minahasa sebagai Kota Budaya, juga tidaklah mentereng lagi. Tondano bak kota mati. Begitu gumam para perantau asal kota Tondano yang pada masa lalu menghabiskan masa kecilnya di Kota itu. Dan memanglah begitu tampilannya secara fisik. Kota Tondano kalah bersaing dengan Kota Tomohon atau bahkan Kota Bitung yang jauh lebih muda. Kota Tondano bagaikan Kota bersejarah yang enggan dan malas mendandani dirinya, karena puas dan bermegah dengan kemegahan masa lalunya.

Setelah kehilangan posisi sebagai pusat politik Minahasa pasca termekarkannya menjadi 5 Daerah Otonom, Tondano juga perlahan kehilangan posisinya sebagai pusat budaya. Bukan apa-apa, karena memang mispersepsi soal budaya yang lebih dikedepankan sebagai asset untuk kepentingan komersial. Bukan sebagai sebuah proses bersama yang melibatkan masa lalu dan pencapaian masa depan secara sistemik. Jangankan menjadi pusat budaya dalam pengertian koleksi peninggalan masa lalu (artefak), atau keberadaan sebuah museum budaya. Bahkan sebagai “play maker” (pengendali) sebuah aktifitas budayapun, sudah tidak terpusat dan berpusat di Tondano, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa dulu. Dan itu berarti, Tondano memang tidak tersiapkan dan tidak menyiapkan diri memasuki geliat perubahan yang begitu cepat. Bukan saja mengalami kemunduran, tetapi bahkan menghadapi ancaman secara fisik atas eksistensinya. Ada apa dengan Tondano jika demikian? Pada akhirnya memang banyak yang berpikir demikian.

Apa Soal ?

Pertama, karena berhadapan dengan ancaman fisik, pendangkalan Danau Tondano, maka sebaiknya pertama-tama kita memandang ke masalah ini. Bagaimana pemerintah Kabupaten Minahasa dan masyarakat Minahasa memandang dan memperlakukan Danau Tondano? Tidak perlu diungkapkan lagi, bahwa bagi masyrakat seputar Danau, Danau Tondano atau “Lour” bukan cuma sumber kehidupan. Tetapi bahkan menjadi entitas pengikat, dan karenanya, sub etnis ini dinamakan “Toulour” atau “manusia danau”. Lour adalah panggilan atau penamaan masyarakat sub etnis Toulour terhadap Danau Tondano kebanggaannya itu. Dan jika memang Lour adalah bagian entitas atau identitas sub etnis ini, maka mustahil mereka berniat merusak atau mendangkalkan Danau Tondano.

Tetapi, kenyataannya, setelah sekian lama, Danau Tondano menghadapi pendangkalan yang berlangsung secara sistematis. Setelah hutan produktif yang menjadi sumber air dibabat dan berubah menjadi IKIP (sekarang UNIMA), sumber mata air besar di ujung desa Koya, juga disedot habis untuk keperluan PAM. Anehnya, sebagian dari air tersebut, bukannya dialirkan di areal yang kembali meresap ke tanah Tondano, tetapi malah dialirkan ke daerah Tomohon. Dan proses ini masih terus berlangsung hingga saat ini, diawali ketika Bupati Minahasa ditangani oleh seorang putra Tomohon. Fakta ini bukan untuk mempertengkarkan Tomohon dan Tondano, tetapi untuk menyebutkan, betapa penanganan dan pembangunan di Tondano, memang sangat tidak sistematis dan bagaikan bergerak tanpa VISI sejak dulu. Akibat yang segera dialami di Koya adalah: Debit air Uluna Roong berkurang drastis, bahkan desa Koya yang menjadi sumber air, sering mengalami “mati air” bahkan pada penghujung tahun 2007 ketika masyarakat bersiap merayakan perpisahan tahun. Dan yang paling parah adalah, terancamnya status Koya sebagai produsen Kangkung akibat aliran air yang berkurang dari mata air Uluna Roong.

Padahal, kasus di Koya, hanya salah satu contoh dari pendangkalan Danau Tondano. Belum lagi dengan perbukitan di Lembean yang juga mengalami penebangan yang mengurangi kemampuannya mensuplai air buat Danau Tondano. Bukan air saja pada akhirnya yang dialirkan ke danau, tetapi juga lumpur, dan ada akhirnya mengakibatkan pendangkalan Danau Tondano. Begitupun, upaya komprehensif mengatasi persoalan Danau Tondano, masih tetap belum dikemukakan dan diupayakan. Bukannya upaya mencari solusi komprehensif dengan melibatkan masyarakat, elite pemerintah malah lebih tertarik memberi janji membersihkan enceng gondok dalam waktu setahun. Dan hebatnya, dengan anggaran yang hanya Rp. 1 Milyar. Benar, membersihkan enceng gondok adalah prioritas jangka pendek, tetapi solusi komprehensif jangka panjang bagi Danau Tondano apa? Karena ketiadaan ide komprehensif ini, maka bukan hanya dana minim Rp. 1 Milyar yang membuat orang mengelus dada, tetapi juga fakta bahwa Danau Tondano masih akan terus merana. Dan itu berarti, ancaman secara fisik yang dikemukakan diatas, masih belum dianggap sebagai sesuatu yang serius. Entah kita memang menunggu perlahan-lahan kota Tondano tergenang air baru tergerak untuk mengatasi, atau karena memang kita selalu menunggu bahaya didepan mata baru siuman. Tapi orang Tondano memang hebat, suatu saat pasti dia akan berkata “better late than do nothing” (lebih baik terlambat daripada tidak melakukan apa-apa). Padahal, sekarangpun sudah sedikit terlambat.

Kedua, beberapa tahun lalu, penulis berpandangan bahwa, untuk memajukan Kota Tondano, nampaknya dibutuhkan Bupati atau Kepala Daerah yang berdarah Tondano. Hal ini dikarenakan, pada masa lalu, Bupati Minahasa nyaris selalu berasal dari luar Tondano, dan selalu sibuk memajukan daerah asalnya. Tetapi, pandangan penulis pada akhirnya kembali bergeser. Mengapa? Karena bukan soal asal daerah seorang Kepala Daerah yang menentukan. Tetapi Visi kepemimpinan, komitmen dan konsistensi dalam menjalankan amanat pembangunan yang lebih diutamakan. Artinya, membangun Tondano, tidak harus dengan membelakangi dan menempatkan daerah lain dibelakang Tondano. Selain itu, toch belum dan bukan berarti seorang putra Tondano juga memiliki Visi, komitmen dan konsistensi guna membangun kota Tondano dan Minahasa secara keseluruhan. Siapapun bisa memiliki Visi dan Konsistensi dan komitmen membangun.

Pada kenyataannya, system politik yang menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan politik disatu sisi; serta akses rakyat terhadap kebijakan public yang nyaris tidak ada pada masa orde baru, membuat pembangunan berlangsung seremonial. Jikapun bukan seremonial, maka proses tersebut lebih sebagai sebuah upaya untuk menyenangkan “centre of power”. Minahasa menjadi daerah peripheral yang mensuplay sentral, Jakarta, dan berjalan tertatih-tatih dalam proses pembangunannya. Maka, tidak heran jika Minahasa dan Tondano yang memiliki infra struktur yang baik pasca penjajahan Belanda, juga tidak mampu mengembangkan diri.

Celakanya, proses buruk itu berlangsung puluhan tahun. Lebih dari 30 tahun lamanya, dan telah menumbuhkan sebuah generasi pembangun yang terbiasa jauh dari rakyatnya. Generasi yang terbiasa mengambil keputusan atas pikiran dan kepentingannya dan bertindak seolah-olah yang dilihat dan dipikirkannya bagus, pastilah bagus untuk rakyatnya. Padahal, tidaklah demikian yang terjadi dalam kenyataannya. Generasi pembangun yang jauh dari rakyat menghadapi kebangkitan rakyat yang diapresiasi oleh reformasi 1998 dan karena itu gelombang kritik dan kritispun mulai bermunculan. Sayangnya, masih belum ditemukan formula yang tepat untuk memajukan Kota Tondano. Apalagi, karena gerakan kritis dan kritik, belakangan ternyata juga sangatlah mudah untuk dibeli dan dengan cepat terkooptasi kepentingan politik.

Kondisi pemerintah dan gerakan Civil Society (LSM) seperti ini sama sekali tidaklah mujarab bagi upaya membangun Tondano. Program-program pemerintah, seperti segera nyata, tidaklah mampu meningkatkan daya beli masyarakat Tondano. Selain secara kualitatif tidak meningkat daya belinya, secara fisik, Tondano juga kurang menarik untuk menjadi kota tujuan belanja. Justru Tomohon dan Manado yang jauh lebih menarik sebagai tempat belanja dan tempat berputarnya uang rakyat Tondano. Pada sisi ini, nampak persoalan Tondano sangatlah kritis. Melibatkan persoalan-persoalan kebijakan publik yang tidak merakyat, melibatkan program pemerintah yang tidak memberdayakan rakyat dan juga memperlihatkan kemajuan fisik Kota Tondano yang tidak memadai. Wajar, jika orang Tondano sendiripun melirik kurang bergairah dengan perekonomian di kota Tondano. Sementara itu, elite kota Tondano, masih terpesona dengan jargon-jargon model “Sei re’en” yang sebetulnya tidak relevan lagi. Kemegahan masa lalu Tondano hanya akan menjadi daya dorong positif manakala prestasi memajukan Kota Tondano menghadirkan rasa bangga bagi penghuninya. Saat ini, hanya kalimat-kalimat jargon dan kata-kata “Dulu ….. Samratulangi lahir disini” atau juga “dulu …. Tondano ibukota Kabupaten Minahasa yang belum mekar” atau juga “dulu ….. Perang Tondano terjadi disini”. Dan sejumlah kebanggaan masa lalu yang tidak lagi tercermin dalam kondisi fisik kota Tondnao modern. Menyedihkan.

Ketiga, masakan hanya seorang Samratulangi yang bisa dibanggakan Tondano? Dan jika Tondano menjadi arena sampyuh warga Minahasa dalam Perang Tondano, mana mungkin tiada lagi semangat kejuangan sebesar itu pada masa kini? Artinya, kualitas SDM dan kuantitas SDM Tondano memang perlu dipertanyakan. Banyak yang bertanya-tanya “mengapa tiada lagi orang Tondano di tempat-tempat strategis di Provinsi, Universitas dan bahkan di level Nasional”? Pertanyaan yang wajar. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya mempertanyakan ada dimana sekarang kualitas SDM Tondano?

Beberapa kawan bahkan mengatakan: “Tondano itu terlalu banyak premannya”. Tetapi, penulis berpikir, “apakah memang benar demikian”?. Entahlah, mudah-mudahan tidaklah demikian. Tetapi, akan menjadi sangat menyedihkan jika memang kenyataannya memang begitu. Persoalan Kota Tondano dan Sub Etnis Toulour akan menjadi semakin panjang jika demikian. Dan dengan sendirinya, juga akan membebani Minahasa (Kabupaten) secara keseluruhan. Terkait dengan masalah SDM, maka kembali fakta berbicara, bahwa Sekolah-sekolah di Tondano, memang sejak dulu lebih kalah mutu dibandingkan jangankan Manado bahkan kalah terhadap Tomohon sekalipun. Tidak mengherankan jika kemudian Universitas Manado menghadirkan Rektor terpilih yang berasal dari Tomohon yang belakangan tradisi belajarnya justru lebih terpupuk.

Jika SDM menjadi salah satu persoalan, maka gebrakan masalah pendidikan seharusnya dikedepankan. Selain tentu persoalan lapangan pekerjaan yang dikombinasikan dengan pembangunan ekonomi yang menguatkan ekonomi rakyatnya. Dengan pengairan yang memburuk dan Danau yang kualitasnya menurun, maka sama saja dengan menelantarkan masyarakat Tondano yang banyak bekerja sebagai petani dan menggantungkan hidupnya di Danau. Selain itu, maka sebuah terobosan Visioner, sudah sangat mendesak untuk menemukan kekuatan utama rakyat Tondano dan Minahasa untuk melakukan lompatan kemajuan kedepan. Bukan hanya rakyat yang kreatif yang diperlukan, tetapi juga pemerintah yang inovatif dan menghargai kemampuan dan kekuatan rakyatnya. Penulis kadang atau bahkan sering cemburu dengan inovasi ala kota Tomohon. Karena, bukan salah belajar dari orang yang lebih muda sekalipun, jika memang yang dipelajari itu mendatangkan keuntungan, sekarang maupun kedepan nanti.

Mengurai Benang Kusut Masalah Tondano ?

Tulisan ini, bagaikan sedang mengurai benang kusut persoalan yang dihadapi Kota Tondano (dan sekitarnya). Karena itu, sangatlah bermakna jika kemudian wacana mengurai persoalan Kota Tondano menjadi agenda bagi banyak orang Tondano. Hal ini penting untuk menemukan kembali momentum kebangkitan bagi Tondano untuk tidak terus menerus terpuruk dalam kemegahan masa lalunya. Dan hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

Penulis sendiri ingin memulai dengn mengatakan bahwa, persoalan Tondano adalah persoalan struktural dan kultural sekaligus. Apa maksudnya? Persoalan struktural yang dimaksudkan adalah, rendahnya kesempatan yang diberikan kepada rakyat Tondano dalam ikut menentukan kebijakan atas mereka. Atau, tiadanya akses untuk mengetahui kebijakan publik yang terkait dengan mereka. Akibatnya, elite politik/pemerintah dengan bebas menentukan apa yang baik dan apa yang tidak baik bagi rakyat. Dengan dinamika politik yang tinggi serta mental elite yang masih terpola pada pengalaman masa lalu, maka pengabaian kepentingan rakyat menjadi terbuka. Dan bahkan terus terjadi. Bahkan akses terhadap evaluasi kebijakan public, juga sangat sangat minimal. Karena itu, rakyat kurang mengerti dan kurang memahami mengapa proyek yang terkait mereka tidak optimal diperoleh. Pendeknya, jarak antara penguasa dan rakyat terhitung sangat jauh. Jikapun pemerintah memberi sumbangan, seakan-akan sumbangan itu berasal dari aparat atau pejabat yang bersangkutan, padahal sumbangan itu memang diperuntukkan rakyat karena asalnya dari rakyat pula. Skema seperti ini, berlangsung bahkan dibanyak bidang kehidupan. Akibatnya, dominasi elite politik/pemerintah jadi sangat meluas dan juga menimbulkan ketergantungan yang tidak produktif.

Persoalan kultural yang dimaksudkan terkait dengan sikap hidup terhadap kemajuan, inovasi, kreatifitas. Atau dengan kata lain, sikap terhadap hidup itu sendiri. Sebetulnya terhitung mengherankan komunitas Minahasa dan Tondano yang terbuka terhadap pengaruh luar, bahkan yang dipengaruhi kebudayaan Eropa menjadi kurang kreatif dan inovatif dalam memandang kemajuan dan hidup. Pernyataan ini sangat mungkin menimbulkan debat berkepanjangan. Tetapi, fakta berbicara, bahwa semua kehebatan dan kemegahan masa lalu, bagaikan tak bersisa di Tondano. Sisa perlawanan terhadap penjajahan bagaikan tak bersignifikansi dengan perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan lainnya. Bahkan penggunaan istilah “Sei Re’en” jadi lebih terkesan negative ketimbang positif. Beberapa pengamat bahkan bertanya: “Entah mengapa protestantisme yang mensejahterakan Eropa tidak mampu mengangkat Minahasa” (Tesis Weber soal Etika Protestan dan Kapitalisme). Kadang penulis sendiri berpikir, “mungkinkah ini disebabkan oleh hancurnya tatanan budaya Minahasa di Tondano pasca Perang Tondano? Ataukah, persenyawaan yang kurang tepat antara komunalisme (Mapalus) ala timur dengan individualisme ala Barat (melalui Belanda) ? entahlah, yang jelas sikap positif terhadap kerja dan kehidupan nampaknya kurang berkorelasi penting untuk menghadirkan orang Tondano yang kreatif dan inovatif.

Jika begitu persoalannya, maka mengurai masalah di Tondano (dan Minahasa) bukan pekerjaan pemerintah belaka. Tetapi menjadi pekerjaan budaya, ekonomi, social dan politik segenap komponen tou Tondano. Pekerjaan yang meliputi aspek pendidikan, dibutuhkannya good will dan political will pemerintah, dibutuhkan kreatifitas dan ruang beraspirasi bagi rakyat, dan menetapkan visi kedepan bersama. Terdengarnya begitu sederhana, tetapi justru dalam kesederhanaan itulah terletak kerumitannya. Sederhana dalam ide, tetapi sulit dan rumit dalam pelaksanaannya. Karena factor budaya dan factor struktur politik yang masih belum memungkinkan pendekatan penanganan semacam itu. Jadi, sampai kapan kita terus bertanya ADA APA DENGAN TONDANO?

Catatan:
Penulis adalah pengamat masalah Sosial Kemasyarakatan

(Harian Komentar: 17 Maret 2008)

ADA APA DENGAN TONDANO (II)

(Catatan Pasca Bencana di Sulawesi Utara)

Oleh:
Audy WMR Wuisang



“… Oh Minahasa tempat lahirku…
Sungguh bangga rasa hatiku, memandang keindahanmu.
Namamu mashyur di Nusantara
Karena cengkeh pala dan kopra, harumkan pasaran dunia.
Danau Tondano dan sawah ladangmu …”


Tondano terancam tenggelam? Benar. Tapi apakah ini disadari oleh masyarakat sekitar Ibu Kota Kabupaten Minahasa (dulu) ini? Sebagian kecil ya, dan sebagian terbesar pastilah tidak. Rangkaian bencana yang terjadi sejak akhir tahun 1990-an dan semakin dahsyat pada akhir-akhir ini menunjukkan trend yang mengerikan, dan bukan tidak mungkin Tondano tenggelam. Setelah peran histories dan cultural serta politis Tondano “tenggelam”, maka kini secara fisikpun Tondano terancam tenggelam. Artikel ini, mengajak semua, bukan hanya orang atau Tou Tondano untuk memikirkan posisi kota sejarah bagi Minahasa ini pada masa-masa mendatang. Tulisan inipun bisa menjadi lanjutan dari artikel dengan judul yang sama yang pernah dipublikasikan salah satu media di propinsi ini beberapa tahun lalu.

Bagi beberapa orang, tulisan Tondano terancam “tenggelam” mungkin terasa dramatisasi. Tetapi, bila dibandingkan antara posisi dan letak “Minawanua” atau Tondano tua yang terletak di Desa Toulour, dimana sebagian terbesarnya sudah terendam air, maka ancaman tersebut baru terasa. Selain itu, bagi mereka yang menghabiskan waktu dan masa kecil di Tondano, tahu belaka, betapa permukaan sungai Tondano sudah meningkat beberapa meter dibanding 20-25 tahun silam. Tentu, naiknya permukaan sungai Tondano bukan terjadi tiba-tiba, alias sim salabim, jadi dan naiklah permukaan sungai tersebut. Sama halnya dengan terendamnya sebagian daerah di desa Toulour dewasa ini. Semua proses tersebut tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan akumulasi dan proses panjang dari perusakan lingkungan yang terjadi diseputar Danau Tondano.

Jika ditelusuri lebih jauh, proses-proses pembabatan hutan, baik di daerah perkebunan Koya, Tounsaru, Peleloan dan Urongo yang telah berubah menjadi areal pendidikan; Kemudian ditambah dengan penggundulan hutan yang dirubah menjadi perkebunan di daerah utara Tataaran dan Koya, serta juga terutama pembabatan hutan di Pegunungan Lembean, menyebabkan ancaman tersebut menjadi semakin riil. Dengan semakin jarangnya pepohonan yang dulunya rindang dan lebat, maka daya resap air menjadi berkurang, pada gilirannya kerusakan hutan menyebabkan bukan hanya air yang dialirkan ke Danau Tondano, tetapi juga lumpur. Akumulasi lumpur inilah yang menyebabkan pendangkalan danau, sehingga pada gilirannya memaksa permukaan danau dan sungai Tondano naik.

Memang, untuk tahun-tahun ini, mendengar kata “Tondano Tenggelam” pastilah dianggap sekedar olok-olok, atau cari sensasi. Tapi, sebagaimana dunia diramalkan menghadapi naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global, demikian juga sebetulnya ancaman tenggelamnya Tondano. Artinya, areal-areal yang lebih rendah, semisal desa-desa di Kota Tondano yang dipinggiran Sungai Tondano, bukan tidak mungkin terendam, meskipun dalam hitungan puluhan tahun. Artinya, selain arena perjuangan Perang Tondano ikutan tenggelam, juga sejumlah desa lain semisal Koya dan Tataaran serta puluhan desa lain seputaran Danau, harus menyingkir ke real yang lebih tinggi. Tapi … memang, bukan dalam hitungan hari, minggu dan bulan, tapi tahunan, bahkan puluhan tahun.


Kompleksitas Persoalan

Bilapun pemerintah memiliki good will (kemauan baik) atau juga political will dalam menanggulangi persoalan ini, tidaklah berarti masalah dengan mudah diatasi. Mengapa? Karena mengatasi persoalan pendangkalan danau Tondano, bukanlah persoalan Lingkungan semata. Persoalan perusakan Lingkungan di Minahasa, terutama seputar Danau Tondano, bukan persoalan Lingkungan semata. Apabila teropong persoalannya dilihat semata masalah lingkungan, maka solusi yang dihadirkan pastilah partial, tidak menyeluruh. Proses perusakan dan pembabatan hutan dan pohon di Pegunungan Lembean dan di areal Perkebunan sebelah barat Danau Tondano, serta di Selatan, daerah Kakas dan Langowan, tidak masalah tunggal. Bukan semata “ketidaktahuan” penduduk yang merambah hutan. Bukan juga semata iseng-iseng menebangi hutan buat dijadikan “bahan baker tradisional”. Lebih dari itu, sebuah permasalahan social yang melibatkan masalah kemiskinan.

Karena itu, penghijauan kembali atau reboisasi tidak menunjukkan manfaat yang optimal. Karena memang mengatasi masalah pendangkalan, hanya dengan menangani persoalan-persoalan yang terkait Lingkungan, tidak menyelesaikan salah satu akar persoalan. Bagaimana mungkin masyarakat tidak tergoda melakukan ekstensifikasi areal pertanian dan menebangi hutan apabila hidupnya morat-marit? Bagaimana mungkin masyarakat tertarik melanggengkan bibit pohon dalam rangka penghijauan sementara kebutuhan keseharian mereka masih ragu didapat dimana? Ironisnya, kadang tudingan penyebab pendangkalan secara semena-mena dibebankan kepada para penduduk yang dianggap “kanibal” terhadap pohon-pohon penting itu. Tanpa pernah peduli bahwa memang hanya pohon dan lahan itu yang mungkin mereka kais untuk menyambung hidupnya.

Bila sudah terkait dengan masalah kemiskinan, maka kebijakan dan proses penyembuhan, pasti akan menjadi lebih rumit. Dalam konteks prilaku dan kecenderungan elite politik yang lebih kapitalis, mementingkan modal, mementingkan dunia usaha, maka problematika kemiskinan tetap belum akan tersentuh komprehensif. Konsentrasi dana, sayangnya tidaklah ke Usaha Kecil Menengah. Buktinya, bukannya diupayakan mencari market alternative bagi “Cap Tikus” misalnya, justru larangan yang dituai. Artinya, terserah mau diapakan hasil Pohon Seo, dan terserah mau digimanakan Cap Tikus itu, yang penting dilarang. Padahal, justru Cap Tikus ini menjadi salah satu sumber penghasilan utama banyak petani. Apa alternative yang disiapkan bagi petani Cap Tikus? Tidak ada, yang penting dilarang dulu.

Atau, kemanakah target penguatan kelompok ekonomi lemah dan usaha kecil lainnya apabila tidak menyentuh kelompok miskin? Kita tentu layak bertanya. Karena memang, kekisruhan persoalan penanganan kemiskinan bermuara ke banyak masalah social lainnya, bukan hanya persoalan pendangkalan Sungai dan Danau Tondano. Artinya, memang persoalan dan ancaman pendangkalan bermuara pada core persoalan pilihan pembangunan kita. Kita, termasuk Minahasa (dulu), tidaklah memberi perhatian dan mengapresiasi upaya mengangkat kehidupan petani. Selalu yang diutamakan adalah “mencari investor”, meski mayoritas penduduk Minahasa adalah petani. Karena sejak dulu favorit adalah “investor” dan sering dengan kategori yang diimpikan “kakap”, akhirnya sentuhan pembangunan jadi tidak relevan dan tidak bersignifikansi (bermakna) positif bagi mayoritas penduduk Minahasa.

Akhirnya … justru bukan pemerintah dan program pemerintah terutama yang berupaya melestarikan sungai dan danau Tondano. Justru lembaga-lembaga asing, Non Government Organization (atau LSM) yang giat melakukan program penyadaran masyarakat, advocacy masyarakat miskin, dalam melestarikan aliran sungai dan danau. Tetapi … sejauh manakah kelompok masyarakat semacam ini melakukan tugasnya sementara pemerintah tidak cukup siuman memperhatikan persoalan itu? Pemegang otoritas adalah pemerintah. Tanpa support penuh dan kepedulian yang mendalam pemerintah, maka sangat sulit diharapkan pencegahan yang komprehensif. Hanya melalui kerjasama yang komplementer antara semua pihak, maka persoalan yang kusut masai dan kompleks antara persoalan lingkungan dan masalah social ini bisa ditangani secara baik.

Tondano terancam tenggelam. Memang bukan sekarang. Tapi nanti. Artinya, kita sedang mewariskan Kota Tondano yang penuh sejarah kepada anak cucu kita dengan membentuknya menjadi “sesuatu yang lain”. Atau sedang memerosokkan kota sejarah di Minahasa ini kebentuk yang ahistoris, alias kehilangan sejarahnya. Kita semua. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga kita yang berdiam diseputar Danau Tondano, sedang berupaya “menenggelamkan” kota itu, akibat frustasi mendalam terhadap tuntutan kehidupan dan tuntutan keseharian.
Tondano: Kehilangan Segalanya?

Berkali-kali, saya menyebutkan Tondano sebagai kota sejarah dan kota budaya, selain juga menyebut arti pentingnya dalam konteks politik. Tondano, menjadi saksi bisu pertarungan berlarut-larut antara penjajah (spanyol dan belanda) dengan para walak Minahasa pada tahun 1600-1800an. Berkali-kali pada tahun tahun tersebut Tondano menjadi arena tumpah darah, sebagian melibatkan nyaris seluruh walak di tanah Minahasa. Yang kemudian pada akhirnya berujung pada bumi hangus perkampungan Minawanua, perkampungan Tondano pertama di tepi Danau Tondano, mengikuti alur sungai Tondano. Fakta sejarah ini, justru jauh lebih kokoh ketimbang mengenal Tondano hanya sebagai kota yang melahirkan Sam Ratulangi.

Kota Tondano ini pula, yang kemudian menjadi Ibu Kota Kabupaten Minahasa untuk sekian waktu lamanya. Sebagai “capital city” atau Ibu Kota, Tondano menjadi pusat budaya Minahasa, terlebih karena pada masa itu Minahasa selain sebagai kesatuan politik (Kabupaten) juga menjadi kesatuan Budaya (melingkupi seluruh etnis Minahasa. Di kota ini pula, diletakkan Rumah Tua Minahasa yang saat ini sudah nyaris tinggal puing, selain kuburan Pahlawan Nasional Sam Ratulangi. Di Kota ini jugalah pada masa lalu, aktifitas budaya Minahasa coba dipelihara melalui rangkaian aktifitas budaya yang melibatkan seluruh sekolah di Minahasa. Jadi, tidak salah bila Tondano menjadi satu Kota bermakna cultural bagi Minahasa, meskipun Batu Pinabetengan berada jauh di sebelah selatan.

Sayangnya, kini bagi Minahasa, Tondano sudah kehilangan predikatnya sebagai pusat politik, karena Minahasa sudah termekarkan menjadi 4 Daerah: Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Induk, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Minahasa Utara. Sudah agak sulit menerima consensus bahwa Tondano masih menjadi pusat Politik Minahasa. Bahkan menyebutnya sebagai pusat budaya, juga menjadi semakin sulit. Tinggal kenangan dan rasa hormat terhadap “bekas” Ibu Kota Kabupaten Minahasa sajalah yang melatari rasa “segan” Kabupaten lain terhadap Tondano yang semakin kehilangan geliatnya. Terlebih karena akselerasi pertumbuhan ekonominya relative tertinggal dari beberapa kota lain semisal Tomohon.

Menghadapi ancaman dari Sungai dan Danau Tondano yang semakin dangkal, sungguh dikhawatirkan, Tondano kehilangan segala-galanya. Kehilangan predikat pusat budaya, pusat politik dan kini juga terancam kehilangan sejarahnya. Karena bahkan “nama besarnya” boleh dikata sudah “tenggelam” dan hanya tinggal nama. Apakah untuk sekedar mempertahankan sejarahnyapun kita tidak bisa? Dan kalau harus bisa, apa dan bagaimana seharusnya melakukannya? Sungguh sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Bukan cuma oleh Bupati Kabupaten Minahasa induk, tetapi juga harus dijawab oleh Universitas Manado yang seharusnya diberi nama Universitas Tondano atau Universitas Minahasa. Karena diatasmu, adalah areal yang dulu menyanggah Danau, dan anda menyumbang terhadap proses pendangkalan Danau itu. Jadi, bila dituntut namamu menjadi Universitas Tondano ataupun Universitas Minahasa, karena memang anda berhutang atas tanah itu. Berhutang atas sejarah dan eksistensi tanah itu.

Tanggungjawab juga harus dijawab oleh para petinggi dan pemuka di tanah Tondano. Baik elite politik, maupun elite agama dan tokoh informal lainnya. Sudah cukup lama Tondano terlelap, dan kini kita dibangunkan dari mimpi buruk, betapa kita menyumbang atas meningkatnya kualitas bencana di Manado. Kita membiarkan penduduk merusak hutan, kita membiarkan pemerintah tidak memperhatikan petani, kita sangat permisif dengan semua pelanggaran tersebut di atas. Jadi, kita semua bertanggungjawab atas mundurnya Kota Tondano. Meski masih belum terlambat, kita perlu menyadari betapa berat langkah itu. Tetapi, biarlah kita terlambat sebelum kita ‘KEHILANGAN SEGALANYA”.

“… Oh Tempat lahirku Minahasa ..
Aku rindu setiap masa, AMAN DAMAI DAN SENTOSA”


Penulis, Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan.
(Dipublikasikan Harian Komentar)

GORESAN HIDUP "TONAAS WEWENE" MINAHASA

(In memoriam Henriette Marianne Katoppo)

Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi



Perempuan tegar ini lahir dengan nama lengkap HENRIETTE MARIANNE KATOPPO, atau kemudian lebih dikenal dengan nama Marianne Katoppo. Lahir di Tomohon, Sulawesi Utara pada tanggal 9 Juni 1943 sebagai bungsu dari pasangan Elvianus Katoppo dan Agnes Rumokoij. Dari sebuah kota kecil yang dikenal sebagai jantungnya “Kekristenan” Sulawesi Utara, Marianne kemudian memulai sebuah “journey of live” (perjalanan kehidupan) yang penuh warna dan prestasi. Si bungsu perempuan yang mencetak banyak garis tebal dalam sejarah hidupnya, dan menjadi warisan bersejarah bagi perjalanan generasi penerusnya. Perempuan yang kokoh dan tegar dalam mengarungi kehidupannya, dan bahkan ulet dan tegas dalam mempertahankan prinsip serta pandangan-pandangannya. Tidak heran, jika dalam beberapa pertemuan, baik dalam skala nasional maupun internasional, perempuan yang satu ini hadir dalam warna yang unik dan menonjol. Sangat wajar, karena sepengetahuan penulis, dia menguasai banyak bahasa dunia, Inggeris, Jerman, Spanyol, Perancis, dan entah bahasa apalagi. Tentu termasuk bahasa Indonesia didalamnya.

Pada tahun 1998, manakala suhu politik sedang memanas, Marianne yang kritis terhadap regime orde baru sibuk memarah-marahi yunior-yuniornya yang sedang dalam pergerakan. Salemba Raya 10, Kantor MPH-PGI dan juga sekretariat PP GMKI dan DPP GAMKI, sedang menjadi markas dan pertemuan banyak aktivis muda Kristen. Disana, selain memompakan spirit dan amarah terhadap regime yang menjelang tumbang, Marianne juga sibuk mencari penjaga bagi puluhan ekor kucing dirumahnya. Dan biasanya, aktivis bernama Aryawirawan Simauw yang menjadi sasaran tembak karena menjadi yuniornya di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta (STT Jakarta), meski Arwi, tidak pernah menyelesaikan studynya itu. Marianne yang menyelesaikan study di STT Jakarta pada tahun 1977, dan memperoleh gelar Theol.lic dari Institute Ekumenis Bossey, Swiss, 1992 memang seorang penggemar dan pencinta fanatik kucing. Seorang pendeta GMIM kawan saya, Pdt. Lili Danes, STh, waktu itu Kepala Biro Wanita PGI, selalu kerepotan mengundang Marianne sebagai pembicara dalam setiap acaranya. Alasannya selalu adalah, kepada siapa kucing-kucing itu harus dititipkan?. Unik memang.

Tetapi jangan salah, kecintaannya terhadap kucing-kucing peliharaannya, tidak mengurangi kapasitas dan komitmennya terhadap feminisme dan dunia sastra. Sebuah novel yang sangat kental dengan kultur dan budaya Minahasa berjudul “Raumanen”, mendapat penghargaan dari Dewan kesenian Jakarta (1975) dan juga Yayasan Buku Utama (1978). Bahkan lebih jauh lagi, Marianne menjadi penerima penghargaan sebagai South East Asian Writer pada tahun 1982, dan menjadi wanita pertama yang memenangkan penghargaan tersebut. Buku yang inspiratif dan cemerlang itu, pada tahun 2006 diterbitkan kembali oleh Penerbit Metafor. Buku itu sendiri seperti menjadi salah satu puncak pencapaian Marianne sebagai penulis, dan bagi saya, menjadi salah satu bukti keterikatan kultural yang dalam dengan Minahasa. Karena itulah akar budayanya, dan dari haribaan tanah itu pula dia memulai kehidupannya. Bahkan pada pertemuan terakhir dengannya, disela Kongres GMKI di Tondano, Marianne sedang menjajaki kemungkinan “pulang kampung” dan mengajar di Fakultas Theologi UKIT. Sayang, cita-citanya ini tidak pernah kesampaian. Sesuatu yang lama diimpikannya, sejak beberapa kali penulis berjumpa dan berdiskusi dengannya di Jakarta. Dalam sebuah kesempatan acara Seminar Nasional di Jogyakarta, secara sengit dia sempat berkata: “he ngana lei, keapa nda pulang-pulang”?, maksudnya kembali ke Manado.

Selebihnya, Raumanen sebetulnya bukanlah menjadi satu-satunya master piece Marianne yang memulai menulis banyak cerpen sejak masa Harian Sinar Harapan dan bahkan juga Majalah Ragi Buana. Ada cukup banyak cerpen dan novel lain yang lahir dari tangannya, seperti Dunia Tak Bermusim (1974), Anggrek Tak Pernah Berdusta (1977), Terbangnya Punai (1978) dan juga Rumah Diatas Jembatan (1981). Rangkaian tulisan Novel di atas seakan menegaskan pilihannya sebagai seorang penulis dan sastrawan yang dimulainya sejak tahun 1960-an. Karena itu, tidak mengherankan apabila Marianne kemudian pada tahun 1995 mewakili Pramoedya Ananta Toer menerima penghargaan Magsasay di manila Philipina. Keberanian Marianne yang luar biasa, mengingat Pramoedya dianggap “kutu busuk” di Negerinya sendiri, meskipun prestasinya melangit. Tetapi sayang, kedua sasrawan Indonesia yang dikenal mendunia itu, kini sudah meninggalkan kita.

Selain menulis, Marianne juga terkenal sebagai seorang Teolog Feminism pertama di Indonesia dan bahkan Asia. Karyanya yang terkenal di bidang teologi Feminis adalah Compassionate and Free: An Asian Woman's Theology (1979). Buku tulisannya ini di terjemahkan dalam banyak bahasa, antaranya Belanda, Jerman, Swedia dan bahkan Tagalog dan menjadi bahan ajar di banyak Sekolah Teologi di dunia. Bahkan, buku ini merupakan buku feminis pertama asal Indonesia yang masuk dalam katalog dan serial literatur dunia mengenai Feminism. Kapasitasnya sebagai Teolog, selain muncul dalam tulisan dan komitmennya terhadap Teologi Feminisme, tetapi juga diekspresikan pada masa menjadi anggota Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI). Tidak heran bila Presiden Dewan Persekutuan Gereja-Gereja di Sedunia (WCC = World Council of Churche), Pdt. Dr. SAE Nababan, juga berprihatin dan berduka dengan kepergiannya. Selebihnya, Marianne juga adalah anggota pendiri dan mantan Koordinator Ecumenical Association of Third World Theologians (EATWOT). Hal yang menegaskan kapasitas Perempuan yang satu ini. Berjaya dan sukses bukan hanya di Indonesia, tetapi bahkan memperoleh dan mencapai prestasi yang mendunia.

Pada masa-masa pergerakan menuju transisi demokrasi, Marianne juga aktif menjadi anggota Kelompok Hati (1980) dan kemudian juga terutama Forum Demokrasi (1992). Sebuah kelompok yang dikategorikan oleh Anders Uhlin sebagai kelompok pembangkang intelektual, yang membangun opini publik untuk mendorong Indonesia memasuki masa demokratisasi. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan menulis yang baik, bahkan memiliki reputasi mendunia, Marianne menempatkan dirinya pada tempat yang tepat. Dan, komitmennya terhadap demokrasi jugalah yang mendorongnya bukan hanya menulis, tetapi juga bersedia mewakili Pramoedya menerima penghargaan di Phillipina, dan tidak banyak tokoh di Indonesia yang berani melakukannya. Toch, sejarah mencatat Indonesia memasuki alam demokrasi sejak tahun 1998, dan syukurlah, Marianne masih smepat menyaksikan dan mengecapinya.

Marianne sendiri sebetulnya adalah figur yang unik. Dia memiliki energi yang besar atau snagat besar malah untuk berdebat, dan memiliki kemampuan untuk adu argumentasi, bahkan tidak takut untuk menjadi emosional sekalipun. Beberapa kali penulis menjumpainya terlibat adu argumentasi yang panas dan dalam tensi sangat tinggi. Tidaks egan-segan dia menumpahkan kemarahannya dalam berdiskusi dan dalam tempramen yang tinggi. Apalagi, jika menyangkut hal yang sangat dikuasainya, semisal isu feminis. Tetapi, Marianne, juga sangat mudah melanjutkan diskusi dalam tensi yang rendah ketika forum diskusi berakhir dan bersama mendalami persoalan yang diperdebatkan sebelumnya. Kesan yang ditangkap penulis, termasuk dari tokoh-tokoh baik lingkungan gereja maupun pergerakan, bahkan di acara berlevel internasionalpun, Marianne menunjukkan tipikal yang sama. Karena itu, wajar jika dia mengenal banyak tokoh dunia secara dekat, bahkan termasuk pemimpin-pemimpin Negara di Skandinavia yang sadar gender.

Perjumpaan terakhir di Tomohon dengan Marianne, juga berkaitan dengan Gerakan Oikumenis dan dengan issue gender. Diundang oleh beberapa aktivis perempuan GMKI untuk urusan yang belum jelas benar, Marianne di siapkan untuk ikut menyuarakan persoalan yang sebetulnya bisa diselesaikan di luar forum Kongres. Selaku senior GMKI dan aktivis Perempuan, Marianne dengan bersemangat memenuhi undangan tersebut. Bahkan memarahi penulis yang akhirnya ketahuan mengajaknya berjalan-jalan berkeliling Danau Tondano (bersama Ibu Stien Djalil) agar forum Kongres GMKI menyelesaikan persoalan internalnya. Meksipun marah, dan bahkan sempat murka besar terhadap penulis, pada akhirnya Marianne yang juga adalah aktivis GMKI pada masanya, akhirnya menyadari persoalan utamanya. Betapapun GMKI adalah tempat dia mulai membesarkan dirinya, setidaknya begitu ungkapan akhirnya.

Dan, akhir dari perjumpaan itu adalah: Seorang Marianne yang berkerinduan untuk kembali tinggal di tanah leluhurnya, tanah kelahirannya Tomohon. Sekaligus ingin menuntaskan keinginan lainnya, mengajar di Fakultas Theologi Tomohon UKIT. Sayang, keinginannya ini rupanya gagal, oleh sebab yang tidak sempat diucapkannya. Tetapi bukan sebab itu yang mengharukan penulis, tetapi keinginannya untuk menyumbangkan apa yang telah dimilikinya dan kapasitasnya untuk tanah leluhurnya. Dia memang dikenal luas secara nasional ataupun bahkan internasional, tetapi di tanahnya sendiri, dia seperti bukan apa apa. Meskipun keinginannya untuk kembali, bukanlah berarti dia ingin menjadi “apa-apa” di tanahnya. Setidaknya, masih ada panggilan tanah leluhur baginya untuk kembali dan menyumbangkan apa yang dimilikinya bagi penerus penerusnya. Karena betapapun, sangat langka dan sangat jarang Minahasa menyumbangkan seorang tokohnya pada level seperti yang dicapai Marianne akhir-akhir ini. Lebih sering dan lebih banyak berita kurang menyenangkan, women traficking, dunia malam, ataupun informasi miring dan stereotype perempuan Minahasa/Manado yang menggema di persada Nusantara ini.

Untuk seorang Marianne, dia bukan hanya harum di tingkat nasional, tapi bahkan dunia. Setidaknya, sedikit mengharumkan bau kurang sedap yang selalu dilekatkan sebagai stereotype perempuan Minahasa/Manado. Tidak berlebihan bila Perpustakaan Minahasa milik dr. Bert Supit mencantumkan profile Perempuan Minasa yang satu ini. Dan tidak berlebihan bila penulis menyebutnya sebagai “TONAAS WEWENE” Minahasa. Dia tidak pernah memintanya, tidak pernah menuntutnya, tidak untuk motif publikasi dan motif politik. Tetapi, dia telah memberi warna dan bau harum Perempuan Minahasa dalam sejarah perjalanan kehidupannya. Bukankah memang Tonaas itu dinilai dari prestasinya dan bukan dari uangnya? Apakah yang masih kurang dari yang sudah dicapainya? Untuk itu, Marianne Henrieta Katoppo, berhak menyandangnya, meski dia tidak pernah mimpi menyandangnya. Setidaknya bagi Penulis, dia lebih dari pantas.

Pada tanggal 12 Oktober 2007, Henriette Marianne Katoppo, menghembuskan nafas terakhir di Bogor, di rumah kakaknya Pericles Katoppo. Selamat Jalan Kak Marianne.