Wednesday, November 19, 2008

UU Pornografi: Akan DIpaksakan?

UU Pornografi: Akankah Dipaksakan?

Oleh: Audy WMR Wuisang

Bahkan per definisi, Pornografi dalam RUU Pornografi (UUP) sudah mengundang perdebatan. Belum lagi menyoal isinya. Jangankan mendatangi Papua dan Bali yangbakal terimbas secara kultural, mendengar suara mereka sajapun belum. Tetapi,sayangnya RUU kontroversial itu, nampaknya bakal dipaksakan untuk ditetapkan.

Meskipun misalnya, baik Fraksi PDIP maupun PDS sudah sejak awal menegaskan: UUP tidak layak diundangkan. Bukan hanya di parlemen penolakan itu bergaung, tetapi juga dikalangan civil society dan komponen masyarakat adat lainnya. Pada saat kontroversi RUU ini (ketika masih bernama Rancangan Undang UndangAnti Pornoaksi dan Pornografi) mulai merebak, saat berjalan-jalan di Mall, sempat juga terpikirkan: "sungguh repot penjara Indonesia jika dibajiri ABG-ABG ini". Maklum, Mall-Mall di Indonesia, bukan hanya di Jakarta, memang dijejali kaum muda yang diberi label "porno" atau "mengundang berahi" oleh UUP ini.

Belum lagi memikirkan, betapa banyaknya ibu-ibu atau bahkan anak gadis di kampung-kampung yang berpakaian seadanya karena memang demikianlah mereka hidup dalam kesehariannya. Harus jugakah mereka secara paksa dikategorikan "merangsang berahi" mereka yang memandangnya?Menghadang peredaran pornografi dalam bentuk cetakan atau sejenisnya memang perlu bagi kita. Tetapi melebarkan area itu melalui pemaksaan definisi yang kabur dan mengambang serta kemudian memaksakan pandangan sepihak atas penafsiran dan pemaknaan pornografi tentu keliru. Apalagi, Indonesia bukan realitas kultural yang homogen.

Menerapkan standar homogen, baik dari segi norma dan moral dengan mengabaikan realitas lokal, bakal menuai protes. Entahlah, masih belum cukupkah pengalaman Negeri ini dengan proses pemaksaan dominasi tafsir sebagaimana pada masa orde baru?Baru beberapa saat konfirmasi penolakan yang digalang masyarakat adat dan civil society masuk dalam bentuk sms. Di beberapa daerah, semisal Makasar, Ambon, Manado, NTT, Bali, Papua, Jatim, Kalsel, Kalteng, Kaltim dan menyusul banyak daerah lain terkonsolidasi untuk menolak RUUP yang kontroversial ini. Persoalannya bukan hanya menafikan konteks budaya lokal dibeberapa daerah, tetapi juga mengkategorisasi secara kasar budaya daerah sebagai porno.

Mana bisa begitu? keluh banyak aktivis. Tetapi begitulah, proses yang sudah dibuka dan dipercakapkan dibanyak media dewasa ini, masih tetap terus dipaksakan untuk ditetapkan di parlemen. Alhasil, demo dan protes digalang bukan hanya di gedung Parlemen pada Senin dan Selasa mendatang, tetapi juga secara simultan dibanyak daerah.Apa yang dicari sebenarnya? Bukankah terkait masalah susila dan pornografi sudah ada payung hukum dalam bentuk UU yang lain? apa pula signifikansinya mengatur pornografi dengan menempatkan perempuan dalam status "terdakwa". Seakan-akan perempuan adalah pengundang nafsu berahi lelaki belaka dan karenanya perlu diatur cara berpakaiannya dan cara berlakunya.

Tetapi, melupakan dan tidak memberi ruang dan tempat untuk mengatur dan menata laku para lelaki. Ach, disini, kita memasuki diskusi soal gender kembali. Tetapi memang demikian, RUUP ini memang sangat bias gender. Mereka yang paham pasti geram. Tidak usah menjadi perempuan untuk merasa tersinggung dengan bagaimana RUUP ini merumuskan rumusan diskriminatif terhadap perempuan.Banyak orang heran, termasuk saya, begitu banyak persoalan yang mesti diseriusi i Negeri ini.

Tetapi, bukannya mengurusi masalah yang nyelimet seperti lumpur porong, rekonstruksi Aceh, soal akselerasi penyebaran HIV/AIDS Papua yang tertinggi di dunia, harga BBM, kenaikan bahan pokok, masalah nuklir, atau yang lainnya, eh malah soal Pornografi yang diseriusi dan dipaksakan untuk ditetapkan. Bukannya menyepelekan dan meletakkan masalah moral pada gradasi kedua. Bukan, sama sekali bukan. Tetapi karena urusan moral ini dijadikan alasan untuk membenarkan sejumlah tindak dan pola pikir diskriminatif yang justru mau dilegalisasi dalam bentuk UU. Bagi banyak orang, bukan perkara cara berpakaian yang akan dibatasi, tetapi bahwa legalisasi pola pikir diskriminatif terhadap perempuan dan ketersinggungan pola budaya yang dikategorisasi "porno" yang menjengkelkan.

Jika memang sudah bisa dipayungi oleh UU lain, semisal UU Pers seputar pornografi serta masalah Susila yang juga sudah bisa dipayungi UU lain? mengapa memaksakan RUUP menjadi UUP? Diskusi bakal melebar jika kemudian konfigurasi di Parlemen mengerucut ke persoalan agama. Karena kebetulan pengusung RUUP adalah mayoritas Partai Islam dengan dukungan terbatas dari GOLKAR dan Demokrat. Jika konfigurasi ini mengedepan, maka dimensi persoalannya akan semakin melebar meski kemudian menjadi terpahami seputar diskriminasi perempuan dan pengabaian realitas budaya lokal. Tapi, memang trend seperti ini jugalah yang justru tersaji ke permukaan, karena aturan dan perundangan sejenis konon sudah berada diangka 247 aturan dalam berbagai bentuk: Perda,Keputusan Gubernur, dan aturan-aturan sejenis di daerah.

Jika fenomena ini dibaca sebagai sebuah rentetan legalisasi berdasarkan dominasi pandangan agama tertentu, maka besar kemungkinan RUUP akan menjadi UUP. Minggu berjalan didepan akan menyaksikan salah satu momentum legalisasi cara pandang seperti itu yang justru semakin mendegradasi KEINDONESIAAN.Sampai saat ini, aksi penolakan berdasarkan cara pandang berbeda bertebaran dimana-mana. Menyelamatkan pluralisme, mengenyahkan diskriminasi perempuan, dan tema-tema standar pergerakan dikumandangkan. Tetapi selain itu, beberapa daerah sebetulnya lantang menyuarakan suara lain: bahwa Indonesia semakin membelakangi kesepakatan bersama sebagai satu BANGSA.

Gerakan-gerakan di daerah ini semakin berhembus kencang. Tetapi, entahkah aksi-aksi di parlemen yang berlawanan dengan arus besar Parlemen akan berujung kemana? Jika dipaksakan, hampir bisa dipastikan UU itu akan tumpul dibayak daerah. Dan bukan hanya itu, benih-benih bagi mengentalnya separatisme akan menemukan lagi momentumnya. Maka, penting menunggu apakah UUP AKAN DIPAKSAKAN?

Jakarta, 12 September 08 (From My Facebook)

Sumpah Pemuda - Krisis - UU Porno

Sumpah Pemuda - Krisis Ekonomi - UU Porno

Oleh: Audy WMR Wuisang

Hari-hari terakhir terasa agak meresahkan.Setelah dunia dihentak oleh great depression di USA,Di Indonesiapun ada hentakkan baru dalam bentuk pengesahansebuah UU yang sejak awal sudah sangat kontroversial.

Dilihat sangat sekilas, seakan-akan Krisis Ekonomi di USA mestinya tidaklahmendatangkan badai bagi Indonesia. Tetapi, segera setelah beberapa waktu kemudian,badai itu menerpa juga, dan menumbangkan indeks IHSG sampai puluhan % (lebih 50%)dan membuat Rupiah tergolek lesu sampai menyentuh angka Rp. 12.000 melampauiambang angka psikologis Rp. 10.0000. Bahkan BEJ sampai harus ditutup, sebuah sinyal bahwa krisis ekonomi sedang menerpa. Kondisi yang seakan-akan memberi jawab atas semua optimisme yang dikampanyekan pemerintah sebelumnya, bahwa Pemerintahan sekarangmenghasilkan banyak "kebaikan".

Tentu, kampanye kebaikan itutidaklah menyertakan kasus Lapindo, juga tidak kasus kenaikan BBMyang anehnya masih enggan diturunkan pemerintah meskiharga minyak dunia sudah nun jauh dari angka 100 US$. Ada apa?Indonesia yang sedang lemas dan lesu akibat guncangan Krisis Ekonomi global,malah menambahi daya bikin lesu dan lemas itu lewat penetapanUU Pornografi. Walahualam ..... meski dihujani interupsi di luar dan dalam gedung,8 Fraksi pendukung dengan gagah berani menetapkan UU kontroversial tersebut.

Mereka lupa, bahwa mereka menjanjikan perubahan dan modifikasi pada UU itu setelahmenemui kubu yang anti, di Bali dan Sulawesi Utara. Di daerah yang anti tersebut,utusan DPR RI mendapatkan kiritik tajam, walk out, sindiran halus dan tajam, bahkan demodan penolakan keras lainnya. Alhasil, mereka menjanjikan perubahan, yang pada penetapannyajanji itu juga tinggal janji. Mungkin benar, bahwa berpolitik di Indonesiaharus sanggup dan berani berjanji dan harus sanggup dan berani pula melanggar janji itu.Itukah etika politik Indonesia? Mudah-mudahan tidak, tapi memang jarang menemukanfakta betapa itu bukanlah etika politik Indonesia.

Tapi, ada apa pula capek-capek menelaah Krisis Ekonomi global danPenetapan UU Pornografi? dimana juga titik singgungnya?Apakah karena kedua-duanya menghadirkan kelesuan yang rasanyamakin terakumulasi? Dan bagaimana pula kedepan?Pada saat Indonesia membutuhkan energi lebih guna lepas dari beban berat krisis ekonomi,justru DPR RI memberi kado lain yang kontroversial. Meski memang benar, bukan cuma efeknya saja saja yang relevan bagi Indonesia, tetapi karena memang neoliberalisme menyuburkan pornografi di Indonesia. Terutama, karena mekanisme pasar bebas tidak memberi peluang bagi Negara untukmengatur peredaran pornografi dalam skema neoliberalisme.

Negara, bagi kaum neo liberalisme memangbagai penjaga malam semata, penonton atas sepak terjang pasar. Pasar bebas diyakini adalahsatu satunya alat yang mampu mendistribusikan kekayaan dan pada gilirannya kesejahteraan.Sayangnya, doktrin yang sebenarnya sudah terbukti keliru dalam depressi ekonomi 1929-1930an,dan kembali diaplikasikan sejak 1980-an, kembali membuktikan bahwa Pasar tidaklah self regulating, tidaklah mampu mengatur dirinya sendiri. Krisis yang begitu cepat di USA dan melanda dunia menunjukkan bahwa pasar tanpa intervensi pemerintah justru akan semakin lebur. Titik equilibrium takkan tercapai tanpoa intervensi. Maka luluhlah tesis besar kaum neolib itu. Tetapi, akibat lain ditunjukkan oleh Richard Sinnet,yakni betapa budaya kapitalisme baru, justru memberondong dan meluluhlantakkan nilai-nilai kolektivisme dan solidaritas sosial.

Orang menjadi sangat individualis dan loyalitas ke kelompok besar termasuk Negara bisa luruh.Jika krisis ekonomi global menghentak Indonesia dengan ideologi dan dampak budaya yang demikian, maka memang masuk akal untuk mencari "institusi" yang sanggup membuat benteng perlindungan. Dalam konteks sekarang, Negara adalah yang paling mungkin. Sementara itu, pada sisi lain, dalam kasus yang berbeda, Negara juga dilekati atribut dan otoritas lain lewat penetapan UU Pornografi. Otoritas itu adalah memasuki arena privat manusia lewat sebuah pertimbangan yang kalkulasi rasionalnya sungguh sulit diterima. Bahkan, latar budaya yang dikandung UU Pornografi, UU yang memberi otoritas itu, justru tidak lahir dari kandungan budaya Indonesia.

Indonesia, sejak awal teramat plural. Bahkan definisi ketelanjanganpun akan sangat absurd jika diinterpretasi secara tunggal. Ibu-ibu dan anak gadis di desa, biasa saja mengenakan kain kebaya dan memperlihatkan dada terbuka (maaf tidak daerah terlarang) ketika ke kali untuk mencuci pakaian dan mandi. Masyarakat Papua dan Bali, tidak usah dikatakan lagi. Maka, kebudayaan dari manakah yang dirujuk oleh UU kontroversial itu? Bahkan tanah Jawa yang dikenal memiliki tradisi "kemben" ataupun goyang jaipongan dan gaya dangdut, bukankah selintar juga sangat erotis dan digemari di kampung-kampung? maka, luar biasa jika kandungan budaya yang lahir dari keseharian budaya Indonesia dituduh TIDAK SENONOH dan PORNO.

Dari mana asal muasal kategorisasi pemaknaan dan penuduhan satu fakta sebagai porno?Hebatnya lagi, anak-anak dan perempuan yang dituduh bakal menjadi korban dari pornografi, justru hanya subordinasi dari proyek besar di balik UU itu. UU itu, sebetulnya terlampau sarat kepentingan politik. Kepentingan politik yang mencoba membaurkan dengan kepentingan kelompok yang gemar mempolitisasi agama. Disanalah ujung pangkal kontroversi itu, meski banyak orang berusaha memperhalus kontroversi dan pertentangan itu. Karena selain ranah politisasi agama, UU itu juga rawan dan bias gender serta bahkan dalam definisi sudah gamang dan tak berlandasan rasionalitas yang tepat. Karena itu, pemaksaan menjadi pilihan. Kritik prinsip mayoritas dalam proses demokrasi memperoleh landasannya yang kokoh dari kasus ini. Tapi, apakah dengan demikian pornografi diijinkan?Bukan juga demikian.

Pornografi dan komersialisasi pronografi lewat mekanisme bebas sebebas-bebasnya memang harus ditangkal. Membiarkan pasar melakukan mekanismenya sendiri, pasti akan berujung pada kekisruhan sebagaimana great depression di USA dan melanda dunia belakangan ini. Tetapi, menata dan memberi aturan yang masuk akal, termasuk mana yang seharusnya di tata adalah yang terbaik. Bukan membabi buta memerangi pronografi dengan ujung-ujungnya pornografi yang dimaksud menjadi absurd dan bahkan memecah belah Bangsa Indonesia. Maksud hati memerangi pronografi anak dan eksploitasi perempuan, apa daya, yang terjadi adalah menydutukan perempuan dan memporak porandakan fundasi pluralisme Bangsa. Sungguh hebat Bangsa Indonesia melukai dan merusak dirinya sendiri.

Maka, semakin lengkaplah kritik banyak orang, bahwa tingkat kedalaman pembahasan di DPR RI sungguh menyedihkan. Hasil kali ini, memang menyedihkan. Ironis .... karena justru hadiah bagi perayaan 80 tahun Sumpah Pemuda adalah degradasi pluralisme Indonesia lewat penetapan UU Pornografi. Hadiah lainnya adalah ...... betapa pilihan pembangunan ekonomi Indonesia yang entah kapitalisme entah sosialisme alias tidak jelas itu, kembali menunjukkan tingkat kerentanannya. Indonesia, terlalu malu memilih salah satu kutub. Malu menyebut dirinya kapitalisme, tetapi malu juga mengidentifikasi regime sosialisme. Ada di tengah-tengahlah. Begitu kira-kira. Tetapi, karena selalu di tengah mencari aman, maka tingkat fleksibilitas seperti inilah yang tidak mampu dan tindak sanggup menata fundasi ekonomi secara kokoh.

Memang, era sekarang, tidak mungkin lagi menutup pasar domestik dari serbuan asing. Tetapi, tanpa pikiran dan langkah konsisten, maka Indonesia hanya akan menjadi pion yang mudah dikorbankan dalam arena pertarungan global. Karena kita kurang punya konsistensi, alias labil. Atau dalam kasus UU Pornografi, karena Bangsa Indonesia memilih untuk menjadi BANGSA MUNAFIK. Memberantas pornografi dan pelacuran jalanan, tetapi tidak akan menyentuh praktek sejenis yang berlangsung dihotel-hotel berbintang 5, tempat dimana kaum elite Negeri ini mempraktekkan apa yang dilarang oleh UU Porno itu. Inikah hadiah bagi Sumpah Pemuda 2008? Di usia 80 Sumpah Pemuda, bukannya KEINDONESIAAN semakin dirajut, bukannya PLURALISME semakin menemukan kematangannya, justru KEINDONESIAAN semakin terdegradasi.

Lihat isi sms yang beredar seperti ini misalnya: "PERLAWANAN SUDAH MAKSIMAL, BIARKAN MEREKA MEMBUSUKKAN NKRI INI DAN KITA TUNGGU NKRI BUBAR DENGAN SENDIRINYA, dst".Indonesia nampak menjadi semakin tidak nyaman dihuni oleh sebagian warganya,karena memang substansi KEINDONESIAAN semakin terdegradasi dari waktu kewaktu.

(My Facebook: 31 Oktober 2008)

Media, Hukuman Mati dan KEINDONESIAAN

Media, Hukuman Mati dan KEINDONESIAAN ....... !!!

Oleh: Audy WMR Wuisang

Astaga ....... Luar biasa media Indonesia sekarang.Secara mendadak, entah disengaja entah tidak,nyaris tak ada satu media Televisipun yang menayangkanproses menjelang eksekusi terpidana mati Amrozi, dkk dalam tradisi "both side covered".Yang terjadi adalah, pemberitaan yang cenderung berlebihandan menimbulkan belas kasihan massa kepada keluarga korbandengan kemudian melupakan mereka yang menjadi korban ledakan.Lebih miris lagi, pemberitaan mengarah ke kesimpulanbetapa keputusan eksekusi adalah "pebcideraan" atas komunitasagama tertentu di Indonesia.

Repotnya, aparat yang berwenangpun terkesan "mengulur-ulur" waktudan membuat pers mejadi punya waktu yang cukup untuk melakukan improvisasiserta dramatisasi atas kejadian yang berlangsung. Dan semuapun berlangsung dalam pemberitaan yang langsung dari lokasi dan menambah kesan dramatis dari saat kesaat. Secara pribadi, sayapun tidak begitu sepakat dengan hukuman mati, hanya sayang,kesan bahwa eksekusi ini bernuansa politis sangat tidak bisa dilepaskan dari eksekusi Tibo, dkk sebelumnya. Jika Tibo, cs dieksekusi dalam kasus Poso, maka Amrozi, dkkdieksekusi dalam kasus ledakan Bom Bali, lengkap dengan kontroversi yang menyelubungi kedua kasus kemanusiaan yang menyayat hati itu.

Betapapun, seandainya kita menempatkan diri dalam posisi korban ledakan bali,maka bagaimana perasaan kita ketika menyaksikan mereka yang menjadi pelaku dikesankan sebagai hero? Apakah sebagai keluarga korban kita tidak berhakuntuk diberitakan efeknya secara psikhis dan secara fisik bahkans ecara sosial ekonomi pasca tragedi itu? Dan mengapa justru sekarang tempat itu berada pada posisi keluarga pelaku yang menyebabkan korban Bali menghadapi beban hidup yang dulunya begitu tak tertahankan? Logika apakah gerangan ini? Logika pers yang berorientasi pasar? ataukah ada logika terselubung lainnya dibalik semua fakta ini? Ach, klise kalau berkata, bahwa inilah wajah pers Indonesia yang memang harus melakukan dramatisasi peristiwa untuk sekedar eksist dalam belantara pasar politik Indonesia kontemporer.

Bahwa kesan TV Indonesia seperti kehilangan daya kreatifitas merekat ke-Indonesia-an, justru semakin membayang dan semakin mengental. Terlampau beragamnya media Indonesia dengan ketersediaan tenaga profesional untuk mengawal kualitas dan moralitas pemberitaan, adalah gambar buram p[ers Indonesia dewasa ini, termasuk Televisi. Jadi, walahualam, begitulah wajah dunia elektronik kita.Tapi tunggu, apakah dengan demikian kita akan membiarkan kesan dan efek negatif dari proses berat sebelah itu? dan kemudian menunggu dentuman lain yang akan semakin mereduksi KEINDONESIAAN itu? Memang benar, demokrasi kita belum dewasa dan belum matang. Sayapun termasuk orang yang mengapresiasi pers untuk turut serta dalam proses pematangan demokrasi Indonesia (konsolidasi demokrasi).

Karena itu, sayapun berharap proses seperti ini menjadi proses belajar bagi Pers Indonesia, bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan bagi insan pers secara keseluruhan. Bukan sedikit orang yang kesal dengan pemberitaan TV yang secara langsung mengeksplorasi kesedihan keluarga dan spontanitas umat yang bersimpati. Bahkan juga dukungan-dukungan yang disebutkan semakin membludak, sementara pemberitaan keluarga korban dan efeknya tenggelam. Apalagi ledakan itu sendiri. Wajar bila kemudian muncul gerakan-gerakan dan pemberitaan yang menyebutkan bahwa eksekusi itu adalah penghinaan terhadap umat Islam. Benar, bahwa pandangan itupun memang miring, tetapi bahwa pandangan itu turut terbentuk oleh pemberitaan yang berat sebelah, memang juga tak terhindarkan.

Kembali ke pertanyaan tadi, bagaimana kemudian?Kontroversi pemberitaan terhadap kasus eksekusi berlangsung dalam batas kewajaran.Toch memang sudah sejak awal kesan bahwa "Tibo, cs dieksekusi nanti menyusul Amrozi, cs". Tersirat dibaliknya "bukan cuma kelompok Kristen/Katolik yang dieksekusi, tapi juga kelompok Muslim". Padahal, bukankah baik Protestan, Katolik maupun Islam sebagai agama tidaklah tahu menahu dengan persoalan memalukan di Ambon, Poso, Bali dan beberapa tempat yang lain. Yang runyam kan adalah, mereka yang memanfaatkan agama dan mempolitisasi agama untuk keperluan-keperluan praktisnya. Dan lebih repot lagi, pemerintah masih belum beranjak dari kategorisasi berpolitik dengan cara demikian. Akibatnya, rasa kemanusiaan dan keadilan yang mengiringi kepergian Tibo, cs dan kemudian Amrozi, cs adalah solidaritas keagamaan yang menganggap mereka adalah MARTYR. Betapapun naifnya pikiran itu, tapi kondisi yang ditimbulkan memang mengkondisikan munculnya perasaan dan sentimen tersebut.

Benarkah Tibo, cs martir? benarkah Amrozi, cs martir? Tidak akan ada jawaban pasti didunia ini, tidak saya, tidak juga anda. Satu hal yang pasti justru adalah kekisruhan yang terwariskan dalam situasi yang serba kalut seperti ini. Dalam situasi dimana kebiasaan mempolitisasi agama begitu kental bagi banyak komponen bangsa ini, bahkan juga pemerintah.Sampai kapan kita terlepas dari kerancuan seperti ini? Sampai kapan Pers Indonesia mulai lebih profesional dalam penayangannya dan bukan lebih banyak melahirkan kontroversi dan bahkan pembodohan lewat dominasi sinetron bagi Keindonesiaan kontemporer? Kapan Civil Society mulai menemukan kekuatannya dalam mengedepankan Keindonesiaan yang pluralis sebagai saripati kekuatan kampanye dan aksinya? Kapan pula pemerintah berdiri secara rasional dan menempatkan kepentingan rakyat sebagai sentra dan fokus kerjanya? Kita memang tidak menunggu SIM SALA BIM dan dalam sehari terwujud, tetapi kita akan menunggu, mungkin lama, tetapi yang pasti berproses menuju kematangannya. Memang lama dan mahal, entah kapan, tetapi lebih baik kita terus berjalan daripada menoleh kebelakang dan lupa maju.

(My Facebook, 8 Nov 2008)

Memikirkan Alternatif (Neo) Liberalisme

Memikirkan Alternatif Neoliberalisme!?

Oleh: Audy WMR Wuisang

Tahun 1929, great depression di Amerika membawa skema Keynessian ke panggung kemasyurannya. Dan baru bisa diungguli lagi oleh skema revisiLiberalisme Klassik dalam bentuk Neoliberalisme pada tahun 1980an ketikaMargareth Tacher dengan lantang mengatakan: "Inilah Kitab Suci kita" sambilmembanting buku Friederich Hayek "The Road to Serfdom" ke sebuah meja dalam satu pertemuan penting.Buku Hayek itu, adalah sebuah pikiran lama, tahun 1944, yang belakangan disebutbuku masterpiece bagi neoliberalisme (atau pendekatan neo klassik dalam ilmu ekonomi) yang menghendaki agar Negara cuku nonton aja dan membiarkan Pasar Bebas menentukan segalanya. Pendeknya, semua ditentukan oleh ekonomi, termasuk politik. Karena pasar menurut mereka memiliki mekanisme intrinsik untuk meregulasi dirinya.Celakanya, sebagaimana liberalisme klassik menghasilkan depressi besar2an pada tahun 1929-1933, Neoliberalisme juga menghasilkan petaka yang sama. Great depression tahun 2008 yang kurang lebih menunjukkan wajah yang sama ....... the invisible hand Adam Smit benar benar hilang, pasar bebas akan meruntuhkan Negara jika menunggu dirinya meregulasi diri sendiri. Maka krisislah dunia ini.Jadi? apa alternatif bagi neoliberalisme jika demikian?Hanya Negara yang memiliki resource yang memadai untuk mengatasi krisis yang diakibatkan oleh pasar bebas yang mengusir Negara dari area sekitarnya. Negara atau ideologi besar memang betapapun bisa salah, bahkan bisa salah dua kali. Dan, apakah dengan demikian Keynessian akan kembali berjaya? Pada dasarnya jawabannya adalah "ya", karena toch akhirnya Negara yang harus turun tangan meringankan beban akibat krisis pasar yang membuat para kapitalis menjadi greedy dan hendak menelan apa saja demi profit. Toch akhirnya, market failure itu yang pada akhirnya menelan kembali semua prestasi yang sebelumnya nampak menjulang dan dicemburui banyak pihak.Jika skema Keynessian kembali, maka yang terjadi sebenarnya hanya menyeimbangkan keadaan dengan bantuan pemerintah. Karena yang terpukul hebat pasca krisis adalah kaum kapitalisme, dan mereka yang hendak terkapar dengan idelaisme pasar bebasnya akhirnya harus meminta bantuan Negara yang dulunya adalah "musuh historis" mereka.Dengan begitu, maka campur tangan pemerintah dengan menggunakan uang rakyat, sebetulnya digunakan hanya untuk menyelamatkan para kapitalis tersebut. APakah ini alternatif satu-satunya? Sebetulnya tidak, tetapi ada alternatif lainnya dengan tetap menempatkan Negara sebagai sentralnya. Apakah sentimen semacam "nasionalisme" bisa menjadi alternatif? Pilihan ini pastilah kontroversial. Tetapi, betapapun, menggunakan uang sebegitu banyak hanya untuk sekali lagi menyelamatkan kelompok pemodal yang di Indonesia, dengan dmeikian mengulangi lagi kasus BLBI yang beberapa jilid itu. Sementara tanggungjawab pemerintah kepada mayoritas masyarakat terabaikan, bahkan dihitung agak mahal dengan menaikkan BBM sampai lebih dari 100%. Anehnya, kenaikan ini dilupakan dalam konteks succes story SBY-JK, yang digambarkan seakan-akan telah membawa banyak berkah bagi Indonesia.Jika resource Bangsa ini kebanyakan digunakan bagi kelompok kecil pemegang modal, maka mungkinkah kebijakan nasionalis dengan melindungi resource dan kapital Bangsa ini dengan mengedepankan kepentingan mayoritas rakyat Indonesia? Umumnya banyak yang melihat bahwa skema keynessian yang akan kembali ke pentas, dan memang dengan terjunnya pemerintah ke pasar dan mengintervensinya, maka normalisasi atau proses menarik kembali peran pemerintah tersebut akan sangat lama. Dan kemudian sejarah akan menunjukkan peristiwa pergantian skema tersebut akan berulang-ulang dan membawa manusia pada pergantian skema akibat krisis. Tidak mungkinkah sebuah skema baru ditemukan? ataukah, memang tinggal tersedia satu ideologi tunggal dengan revisinya yang kemudian saling menggantikan pasca sebuah krisis menerpa manusia dan peradabannya dalam bidang ekonomi dan politik?

(My Facebook: 3 Nov 2008)

Menuju Pemilu 2009

MENUJU PEMILU 2009

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Benar, proses penjaringan di tingkat Partai Politik sudah dan sedang berlangsung. Meskipun KPU baru saja kena shock therapy dari 4 partai kecil yang melalui PTUN melenggang maju sebagai 4 partai tambahan peserta Pemilu 2009. Terlepas dari tambahan 4 partai baru, sehingga lengkapnya 38 Parpol peserta Pemilu 2009, hingar bingar politik Indonesia menjadi semakin terasa. Semua parpol bergegas mempersiapkan daftar calon legislatif sementara. Herannya, baik parpol lama maupun parpol baru, ternyata kelimpungan dalam memenuhi kuota bukan cuma mengisi daftar caleg, tetapi juga kuota 30% kader perempuan. Beberapa bahkan meminta waktu tambahan.
Trick dan improvisasi kemudian bermunculan. Bukan hanya PAN yang mengusung demikian banyak artis untuk mendongkrak perolehan suara, tetapi bahkan kemudian belakangan GOLKAR mengikuti arus penetapan anggota berdasarkan suara terbanyak. Ini keanehan yang satu lagi. Maklum, GOLKAR dikenal sangat keras mempertahankan sistem proporsional tertutup, atau berdasarkan nomor urut. Belakangan, mereka menyusul sejumlah partai medioker-kecil yang menatap harap-harap cemas untuk melampaui parliament treshold 2,5% total perolehan kursi nasional. Apa gunanya jalur trade off (lobby) yang lama digunakan memutuskan proporsional tertutup jika kemudian akhirnya disiasati hampir semua partai pada akhirnya?
Politik Indonesia memang aneh. Kata seorang kawan dalam sebuah diskusi di UNDP. Tetapi, kata yang lain, keanehan itu wajar bagi sebuah Bangsa yang mengimpor Demokrasi tetapi mengisinya dengan kultur yang masih incompatible. Pada akhirnya, biarlah Bangs ini belajar menemukan sistem dan mekanisme terbaik baginya melalui proses belajar, betapapun panjang masa belajar itu. Tetapi, disinilah masalahnya. Indonesia seakan belajar dengan menutup mata dari praktek dan pengalaman Negara lain. AKibatnya, selain masa belajar menjadi lebih panjang, adaptasi atas pilihan juga memanjang, social dan political costnya juga dengan sendirinya meningkat.
Efek dari "Penyiasatan massal" Parpol ini (mungkin saja Penghianatan atas kesepakatan yang dituangkan dalam UU Pemilu) adalah, pertanyaan "sejauh mana pendidikan politik dan rekruitmen politik setiap Parpol tergambarkan dalam proses pencalegan"?. Pertanyaan penting. Karena hampir semua partai politik gurem, memilih ide penetapan berdasarkan suara terbanyak dan menjaring calon populer untuk mendongkrak perolehan suara agar melampaui batas minimal 2,5% total suara nasional. Efek dari siasat ini adalah: Figur yang dianggap memiliki dukungan dan basis suara besar akan dikedepankan, jika perlu dengan meminggirkan dulu kader yang dibina partai sejak awal. Dan inilah yang terjadi di beberapa partai politik gurem. Rekruitmen instan seperti PAN merekrut puluhan artis menjadi sah. YANG PENTING LOLOS PARLIAMENT TRESHOLD (PT) DULU. Urusan lain menyusul. Sangat benar. Bagaimana mungkin duduk di parliament jika 2,5% tidak tercapai? maka urusan utama dan terutama adalah, lolos PT. Soal idealisme terpaksa ditunda.
Anehnya, GOLKAR juga ikut-ikutan. Bukannya mempertahankan pilihan dan ide utama mereka soal Proporsional dengan List Tertutup, justru ikut meramaikan gawean partai yang berjuang di garis batas megap-megap mencapai parliament treshold. INI POLITIK BUNG, kata kawan-kawan dari Medan. Segala sesuatu mungkin. Benar juga (?!). Apakah karena GOLKAR merasa khawatir perolehan suara mereka tergerogoti oleh puluhan partai baru dan sebagian besarnya adalah sempalan mereka? ataukah ada kekhawatiran lainnya?
Betapapun, efek dari penyiasatan UU Pemilu ini melahirkan 2 respons yang bertolak belakang. Banyak kalangan yang memberi apresiasi positif, tetapi banyak juga yang merespons secara sebaliknya. Ada baiknya memeriksa kedua respons tersebut beserta implikasinya. Karena bukankah kita Bangsa yang sedang belajar berdemokrasi? siapa tahu masa belajar kita bisa dipersingkat dan advance ke tahapan yang lebih baik.


Salah satu perdebatan hangat menjelang Penetapan UU Pemilihan Umum pada paroh akhir tahun 2008 adalah: Apakah memilih Sistem Proporsional dengan List Terbuka (Berdasarkan Perolehan Suara Terbanyak) ataukah Proporsional Murni dengan List Tertutup (Berdasarkan Nomor Urut). Dan sebagaimana diketahui, sistem yang dipilih adalah sistem kompromi: Berdasarkan Nomor Urut dengan catata, apabila ada salah satu calon memperoleh 30% dari BPP, maka calon tersebut berhak menjadi Anggota DPR (D).
Perdebatan untuk menghasilkan kompromi ini terjadi dalam banyak episode diskusi, dialog, hearing di banyak tempat. Baik NGO's, Politisi, Akademisi dan pihak lain terkait ikut urun rembuk dengan hasil akhir diputuskan oleh DPR RI. Tempat dialog dan diskusipun berganti ganti, di hotel, restoran dan bahkan cafe. Termasuk proses lobby kompromi di DPR yang melibatkan hampir semua kekuatan utama partai untuk tumplek memikirkan dan melakukan lobby agar "SEMUA BISA TERPUASKAN". Dan memang, jalan yang dipilih memang jalan ini: SEMUA TERPUASKAN. Bahkan dalam banyak hal krusial, voting dihindari, meski sesekali juga dipakai.
Keanehan kembali mencuat kepermukaan, ketika lobby-lobby tingkat tinggi antara Parpol menyepakati UU Pemilu, dalam praktek menuju PEMILU 2009, sejumlah pola menyiasati UU tersebut dilakukan. Salah satunya adalah penetapan Calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Dan karena banyaknya Partai yang memilih pilihan ini, menyusul PAN, PDS dan PBR, maka perdebatan yang terjadi pada saat terakhir seputar pilihan itu mencuat lagi kepermukaan.Adalah Kelompok Perempuan (dan Pemuda) yang kemudian menjadi repot karena penyiasatan parpol ini. Secara teori, perempuan di Negara Berkembang semisal Indonesia, membutuhkan affirmative action guna meningkatkan kuantitas perwakilan mereka. Dan, pilihan Prporsional Tertutup sebagaimana praktek Negara-negara Skandinavia telah memberi bukti empiris. Jika Perempuan melakukan start yang sama dengan laki-laki, maka hasil akhir akan mudah untuk ditebak karena perempuan mengalami stigmatisasi secara moral, politik dan kultural.
Pandangan bahwa Politik adalah dunia maskulin masih merupakan pandangan mayoritas penduduk Indonesia. Bahkan agama-agamapun, masih banyak yang mengesahkan cara pandang semacam ini. Bukan hanya di Islam, tetapi bahkan ekspresi sejenis masih sering ditemui di kalangan agama lain, termasuk Katolik dan Kristen meski dalam kadar berbeda. Dengan persepsi serta budaya semacam ini, maka perempuan menghadapi persoalan berlapis dibandingkan dengan laki-laki. Jika begini, mudah ditebak, rcae atau kompetisi pasti akan dimenangkan oleh laki-laki. Artinya, perjuangan kelompok perempuan untuk meningkatkan kuantitas keterwakilan mereka kembali terkendala. Padahal, sebenarnya pilihan yang diputuskan oleh UU Pemilu 2008, sudah banyak yang mengakomodasi perjuangan kelompok perempuan.
Penelitian-penelitian, termasuk Pippa Norris misalnya, memang membuktikan bahwa: Perempuan perlu affirmative action untuk meningkatkan jumlah keterwakilan mereka. Dan kedua, pilihan Proporsional Tertutup adalah jalan terbaik bagi proses akomodasi tersebut. Dan melihat kecenderungan parpol untuk menyelamatkan eksistensi agar mampu melewati angka psikologi dan sekaligus menentukan 2,5% PT, maka issue affirmative action dan keterwakilan perempuan (dan anak muda) rasanya dipilih untuk diabaikan. Perjuangan kaum perempuan nampaknya mesti dilakukan kembali, meski akan meminta waktu lebih lama dan lebih panjang lagi.
Tetapi, ada kelompok yang juga memandang bahwa pilihan parpol menyiasati UU Pemilu dengan penetapan berdasarkan suara terbanyak adalah langkah maju. Tapi, benarkah itu sebuah langkah maju? Pertanyaan benar tidaknya itu sebuah langkah maju menjadi cukup penting agar kita tidak mengais sesuatu yang baik dari tumpukan yang jelas kurang baik. Mengapa? Seandainya motivasi mengedepankan perolehan suara menjadi pilihan karena kesadaran politik agar mendekatkan wakil rakyat dengan konstituen, maka ini merupakan langkah maju. Tetapi, dengan sistem dewasa ini yang tidak punya konetktifitas langsung antara wakil rakyat dengan konstituennya, maka masalah ini jelas diragukan.Sudah jelas terekspressikan: Bahwa masalah PT adalah landasan mengapa parpol akhirnya menyiasati UU Pemilihan Umum. Bukan karena tumbuhnya kesadaran politik baru bahwa memang dibutuhkan sistem dan mekanisme baru untuk kemudian diusulkan dalam amandemen baik UU Parpol maupun UU Pemilu yang akan datang. Jika melihat begitu dominannya parpol di parlemen lewat fraksi, dan hampir semua keputusan penting mengenai mekanisme politik dilakukan dengan cara trade off, lobby dan kompromi, maka mudah ditebak,Pemilu 2014 tidak akan bergeser jauh dari ekspressi kepentingan politik elite saat ini dan saat itu nanti.
Menjamurnya artis dan aktor untuk menjadi calon legislatif adalah indikasinya. Hampir tak ada partai yang tidak memanfaatkan figur terkenal di partainya. Apakah karena figur itu handal? Bukan juga. Tetapi karena dibutuhkan perolehan suaranya alias vote getter. Disini, figur terkenal dimanfaatkan dan dipolitisasi untuk kepentingan dan keuntungan partai politik. Dan proses ini, juga memotong proses rekruitmen positif yang sebenarnya sudah dimulai oleh parpol-parpol yang ada. Kerugian sudah bisa dilihat dan bahkan diproyeksikan saat ini akibat penyiasatan ini. Dan jika pilihan seperti ini berlanjut, dalam konteks masyarakat politik Indonesia yang masih belum dewasa, maka bukan tidak mungkin mayoritas anggota DPR adalah figur terkenal yang kurang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Parlemen seperti inikah yang diimpikan parpol dan masyarakat Indonesia? Di tengah rendahnya tingkat kepercayaan rakyat atas kedua isntitusi demokrasi ini: Partai Politik dan Parlemen, seharusnya tindakan-tindakan pembaharuan dan reformis diketengahkan. Sayang, kita masih harus menunggu beberapa tahun kedepan untuk memulai lagi perjuangan yang sama. Karena betapapun, the show mus go on ..... Pemilu 2009, lengkap dengan sisi baik dan positif serta bahkan sisi buruknya, harus menjadi pelajaran untuk lebih maju kelak.
Jakarta, Ag 08
(Dalam Facebook, ditulis dalam 2 tulisan: 22 dan 23 Agustus 2008)

Saturday, September 20, 2008

1000 BURUNG KERTAS

1000 Burung Kertas
Oleh: Tidak Diketahui

Sewaktu boy dan girl baru pacaran, boy melipat 1000 burung kertas buat girl, menggantungkannya di dalam kamar girl. Boy mengatakan, 1000 burung kertas itu menandakan 1000 ketulusan hatinya.

Waktu itu, girl dan boy setiap detik selalu merasakan betapa indahnya cinta mereka berdua.

Tetapi pada suatu saat, girl mulai menjauhi boy. Girl memutuskan untuk menikah dan pergi ke Perancis, ke Paris tempat yang dia impikan di dalam mimpinya berkali-kali itu!!

Sewaktu girl mau mutusin boy, girl bilang sama boy, "Kita harus melihat dunia ini dengan pandangan yang dewasa. Menikah bagi cewek adalah kehidupan kedua kalinya!! Aku harus bisa memegang kesempatan ini dengan baik. Kamu terlalu miskin, sungguh aku tidak berani membayangkan bagaimana kehidupan kita setelah menikah.!!"

Setelah Girl pergi ke Perancis, Boy bekerja keras, dia pernah menjual koran, menjadi karyawan sementara, bisnis kecil, setiap pekerjaan dia kerjakan dengan sangat baik dan tekun.

Sudah lewat beberapa tahun...
Karena pertolongan teman dan kerja kerasnya , akhirnya dia mempunyai sebuah perusahaan. Dia sudah kaya, tetapi hatinya masih tertuju pada Girl, dia masih tidak dapat melupakannya.

Pada suatu hari, waktu itu hujan, Boy dari mobilnya melihat sepasang orang tua berjalan sangat pelan di depan. Dia mengenali mereka, mereka adalah orang tua Girl.

Dia ingin mereka lihat kalau sekarang dia tidak hanya mempunyai mobil pribadi, tetapi juga mempunyai Vila dan perusahaan sendiri, ingin mereka tahu kalau dia bukan seorang yang miskin lagi, dia sekarang adalah seorang Bos. Boy mengendarai mobilnya sangat pelan sambil mengikuti sepasang orang tua tersebut.

Hujan terus turun, tanpa henti, biarpun kedua org tua itu memakai payung,tetapi badan mereka tetap basah karena hujan.

Sewaktu mereka sampai tempat tujuan, Boy tercengang oleh apa yang ada di depan matanya, itu adalah tempat pemakaman. Dia melihat di atas papan nisan Girl tersenyum sangat manis terhadapnya.

Di samping makamnya yang kecil, tergantung burung-burung kertas yang dibuatkan Boy, dalam hujan burung-burung kertas itu terlihat begitu hidup.

Orang tua Girl memberitahu Boy, Girl tidak pergi ke paris, Girl terserang kanker, Girl pergi ke surga. Girl ingin Boy menjadi orang, mempunyai keluarga yang harmonis, maka dengan terpaksa berbuat demikian terhadap Boy dulu. Girl bilang dia sangat mengerti Boy, dia percaya kalau Boy pasti akan berhasil.

Girl mengatakan, kalau pada suatu hari Boy akan datang ke makamnya dan berharap dia membawakan beberapa burung kertas buatnya lagi. Boy langsung berlutut, berlutut di depan makam Girl, menangis dengan begitu sedihnya.

Hujan pada hari Ching Ming itu terasa tidak akan berhenti, membasahi sekujur tubuh Boy. Boy teringat senyum manis Girl yang begitu manis dan polos, mengingat semua itu, hatinya mulai meneteskan darah.

Sewaktu Orang tua ini keluar dari pemakaman, mereka melihat kalau Boy sudah membukakan pintu mobil untuk mereka. Lagu sedih terdengar dari dalam mobil tersebut.

Hatiku tidak pernah menyesal,
Semuanya hanya untukmu 1000 burung kertas,
1000 ketulusan hatiku,
Beterbangan di dalam angin
Menginginkan bintang yang lebat besebaran di langit,
Melewati sungai perak,
Apakah aku bisa bertemu denganmu?
Tidak takut berapapun jauhnya,
Hanya ingin sekarang langsung berlari ke sampingmu.
Masa lalu seperti asap, hilang dan tak kan kembali,
Menambah kerinduan di hatiku.
Bagaimanapun dicari,
Jodoh kehidupan ini pasti tidak akan berubah.

(Lirik langsung ditranslate dari bahasa Mandarin)

Sunday, March 16, 2008

ADA APA DENGAN TONDANO III

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Pengantar

Penulis pernah mengemukakan peringatan bahwa Tondano sedang terancam “tenggelam” secara fisik, kurang lebih 2-3 tahun lalu. Terutama setelah rangkaian bencana yang terjadi di Manado dan sekitarnya serta fakta betapa Danau Tondano dan Sungai Tondano mengalami pendangkalan secara signifikan. Bagi mereka yang menghabiskan waktu di Kota Bersejarah itu pada 20-25 tahun lalu, pasti bisa secara telanjang memperhatikan fakta tersebut. Karena memang, di sisi timur Lapangan Samratulangi, depan Kantor Bupati Minahasa sekarang, adalah aliran Sungai Tondano yang permukaannya naik tajam. Ancaman tenggelamnya Kota Tondano mungkin terkesan sebuah dramatisasi, tetapi bahwa Kota Tondano tua, bernama Minawanua yang terletak di Desa Toulour, sebagian besarnya sudah terendam air adalah benar belaka. Ancaman itu, dengan demikian bukanlah sebuah kisah fiksi untuk menarik perhatian orang, tetapi ancaman serius.

Padahal, ancaman lain yang tidak kurang bahayanya adalah: “tenggelamnya” kemegahan Kota Tondano yang memiliki sejarah panjang. Bahkan kota dengan system penataan modern yang diwariskan penjajah Belanda bagi tanah Minahasa, tetapi yang “terbengkalai” dengan banyak alasan. Selain pusatnya sebagai aktivitas politik tanah Minahasa sudah tergerus oleh sejumlah pemekaran, posisi Minahasa sebagai Kota Budaya, juga tidaklah mentereng lagi. Tondano bak kota mati. Begitu gumam para perantau asal kota Tondano yang pada masa lalu menghabiskan masa kecilnya di Kota itu. Dan memanglah begitu tampilannya secara fisik. Kota Tondano kalah bersaing dengan Kota Tomohon atau bahkan Kota Bitung yang jauh lebih muda. Kota Tondano bagaikan Kota bersejarah yang enggan dan malas mendandani dirinya, karena puas dan bermegah dengan kemegahan masa lalunya.

Setelah kehilangan posisi sebagai pusat politik Minahasa pasca termekarkannya menjadi 5 Daerah Otonom, Tondano juga perlahan kehilangan posisinya sebagai pusat budaya. Bukan apa-apa, karena memang mispersepsi soal budaya yang lebih dikedepankan sebagai asset untuk kepentingan komersial. Bukan sebagai sebuah proses bersama yang melibatkan masa lalu dan pencapaian masa depan secara sistemik. Jangankan menjadi pusat budaya dalam pengertian koleksi peninggalan masa lalu (artefak), atau keberadaan sebuah museum budaya. Bahkan sebagai “play maker” (pengendali) sebuah aktifitas budayapun, sudah tidak terpusat dan berpusat di Tondano, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa dulu. Dan itu berarti, Tondano memang tidak tersiapkan dan tidak menyiapkan diri memasuki geliat perubahan yang begitu cepat. Bukan saja mengalami kemunduran, tetapi bahkan menghadapi ancaman secara fisik atas eksistensinya. Ada apa dengan Tondano jika demikian? Pada akhirnya memang banyak yang berpikir demikian.

Apa Soal ?

Pertama, karena berhadapan dengan ancaman fisik, pendangkalan Danau Tondano, maka sebaiknya pertama-tama kita memandang ke masalah ini. Bagaimana pemerintah Kabupaten Minahasa dan masyarakat Minahasa memandang dan memperlakukan Danau Tondano? Tidak perlu diungkapkan lagi, bahwa bagi masyrakat seputar Danau, Danau Tondano atau “Lour” bukan cuma sumber kehidupan. Tetapi bahkan menjadi entitas pengikat, dan karenanya, sub etnis ini dinamakan “Toulour” atau “manusia danau”. Lour adalah panggilan atau penamaan masyarakat sub etnis Toulour terhadap Danau Tondano kebanggaannya itu. Dan jika memang Lour adalah bagian entitas atau identitas sub etnis ini, maka mustahil mereka berniat merusak atau mendangkalkan Danau Tondano.

Tetapi, kenyataannya, setelah sekian lama, Danau Tondano menghadapi pendangkalan yang berlangsung secara sistematis. Setelah hutan produktif yang menjadi sumber air dibabat dan berubah menjadi IKIP (sekarang UNIMA), sumber mata air besar di ujung desa Koya, juga disedot habis untuk keperluan PAM. Anehnya, sebagian dari air tersebut, bukannya dialirkan di areal yang kembali meresap ke tanah Tondano, tetapi malah dialirkan ke daerah Tomohon. Dan proses ini masih terus berlangsung hingga saat ini, diawali ketika Bupati Minahasa ditangani oleh seorang putra Tomohon. Fakta ini bukan untuk mempertengkarkan Tomohon dan Tondano, tetapi untuk menyebutkan, betapa penanganan dan pembangunan di Tondano, memang sangat tidak sistematis dan bagaikan bergerak tanpa VISI sejak dulu. Akibat yang segera dialami di Koya adalah: Debit air Uluna Roong berkurang drastis, bahkan desa Koya yang menjadi sumber air, sering mengalami “mati air” bahkan pada penghujung tahun 2007 ketika masyarakat bersiap merayakan perpisahan tahun. Dan yang paling parah adalah, terancamnya status Koya sebagai produsen Kangkung akibat aliran air yang berkurang dari mata air Uluna Roong.

Padahal, kasus di Koya, hanya salah satu contoh dari pendangkalan Danau Tondano. Belum lagi dengan perbukitan di Lembean yang juga mengalami penebangan yang mengurangi kemampuannya mensuplai air buat Danau Tondano. Bukan air saja pada akhirnya yang dialirkan ke danau, tetapi juga lumpur, dan ada akhirnya mengakibatkan pendangkalan Danau Tondano. Begitupun, upaya komprehensif mengatasi persoalan Danau Tondano, masih tetap belum dikemukakan dan diupayakan. Bukannya upaya mencari solusi komprehensif dengan melibatkan masyarakat, elite pemerintah malah lebih tertarik memberi janji membersihkan enceng gondok dalam waktu setahun. Dan hebatnya, dengan anggaran yang hanya Rp. 1 Milyar. Benar, membersihkan enceng gondok adalah prioritas jangka pendek, tetapi solusi komprehensif jangka panjang bagi Danau Tondano apa? Karena ketiadaan ide komprehensif ini, maka bukan hanya dana minim Rp. 1 Milyar yang membuat orang mengelus dada, tetapi juga fakta bahwa Danau Tondano masih akan terus merana. Dan itu berarti, ancaman secara fisik yang dikemukakan diatas, masih belum dianggap sebagai sesuatu yang serius. Entah kita memang menunggu perlahan-lahan kota Tondano tergenang air baru tergerak untuk mengatasi, atau karena memang kita selalu menunggu bahaya didepan mata baru siuman. Tapi orang Tondano memang hebat, suatu saat pasti dia akan berkata “better late than do nothing” (lebih baik terlambat daripada tidak melakukan apa-apa). Padahal, sekarangpun sudah sedikit terlambat.

Kedua, beberapa tahun lalu, penulis berpandangan bahwa, untuk memajukan Kota Tondano, nampaknya dibutuhkan Bupati atau Kepala Daerah yang berdarah Tondano. Hal ini dikarenakan, pada masa lalu, Bupati Minahasa nyaris selalu berasal dari luar Tondano, dan selalu sibuk memajukan daerah asalnya. Tetapi, pandangan penulis pada akhirnya kembali bergeser. Mengapa? Karena bukan soal asal daerah seorang Kepala Daerah yang menentukan. Tetapi Visi kepemimpinan, komitmen dan konsistensi dalam menjalankan amanat pembangunan yang lebih diutamakan. Artinya, membangun Tondano, tidak harus dengan membelakangi dan menempatkan daerah lain dibelakang Tondano. Selain itu, toch belum dan bukan berarti seorang putra Tondano juga memiliki Visi, komitmen dan konsistensi guna membangun kota Tondano dan Minahasa secara keseluruhan. Siapapun bisa memiliki Visi dan Konsistensi dan komitmen membangun.

Pada kenyataannya, system politik yang menjauhkan rakyat dari proses pengambilan keputusan politik disatu sisi; serta akses rakyat terhadap kebijakan public yang nyaris tidak ada pada masa orde baru, membuat pembangunan berlangsung seremonial. Jikapun bukan seremonial, maka proses tersebut lebih sebagai sebuah upaya untuk menyenangkan “centre of power”. Minahasa menjadi daerah peripheral yang mensuplay sentral, Jakarta, dan berjalan tertatih-tatih dalam proses pembangunannya. Maka, tidak heran jika Minahasa dan Tondano yang memiliki infra struktur yang baik pasca penjajahan Belanda, juga tidak mampu mengembangkan diri.

Celakanya, proses buruk itu berlangsung puluhan tahun. Lebih dari 30 tahun lamanya, dan telah menumbuhkan sebuah generasi pembangun yang terbiasa jauh dari rakyatnya. Generasi yang terbiasa mengambil keputusan atas pikiran dan kepentingannya dan bertindak seolah-olah yang dilihat dan dipikirkannya bagus, pastilah bagus untuk rakyatnya. Padahal, tidaklah demikian yang terjadi dalam kenyataannya. Generasi pembangun yang jauh dari rakyat menghadapi kebangkitan rakyat yang diapresiasi oleh reformasi 1998 dan karena itu gelombang kritik dan kritispun mulai bermunculan. Sayangnya, masih belum ditemukan formula yang tepat untuk memajukan Kota Tondano. Apalagi, karena gerakan kritis dan kritik, belakangan ternyata juga sangatlah mudah untuk dibeli dan dengan cepat terkooptasi kepentingan politik.

Kondisi pemerintah dan gerakan Civil Society (LSM) seperti ini sama sekali tidaklah mujarab bagi upaya membangun Tondano. Program-program pemerintah, seperti segera nyata, tidaklah mampu meningkatkan daya beli masyarakat Tondano. Selain secara kualitatif tidak meningkat daya belinya, secara fisik, Tondano juga kurang menarik untuk menjadi kota tujuan belanja. Justru Tomohon dan Manado yang jauh lebih menarik sebagai tempat belanja dan tempat berputarnya uang rakyat Tondano. Pada sisi ini, nampak persoalan Tondano sangatlah kritis. Melibatkan persoalan-persoalan kebijakan publik yang tidak merakyat, melibatkan program pemerintah yang tidak memberdayakan rakyat dan juga memperlihatkan kemajuan fisik Kota Tondano yang tidak memadai. Wajar, jika orang Tondano sendiripun melirik kurang bergairah dengan perekonomian di kota Tondano. Sementara itu, elite kota Tondano, masih terpesona dengan jargon-jargon model “Sei re’en” yang sebetulnya tidak relevan lagi. Kemegahan masa lalu Tondano hanya akan menjadi daya dorong positif manakala prestasi memajukan Kota Tondano menghadirkan rasa bangga bagi penghuninya. Saat ini, hanya kalimat-kalimat jargon dan kata-kata “Dulu ….. Samratulangi lahir disini” atau juga “dulu …. Tondano ibukota Kabupaten Minahasa yang belum mekar” atau juga “dulu ….. Perang Tondano terjadi disini”. Dan sejumlah kebanggaan masa lalu yang tidak lagi tercermin dalam kondisi fisik kota Tondnao modern. Menyedihkan.

Ketiga, masakan hanya seorang Samratulangi yang bisa dibanggakan Tondano? Dan jika Tondano menjadi arena sampyuh warga Minahasa dalam Perang Tondano, mana mungkin tiada lagi semangat kejuangan sebesar itu pada masa kini? Artinya, kualitas SDM dan kuantitas SDM Tondano memang perlu dipertanyakan. Banyak yang bertanya-tanya “mengapa tiada lagi orang Tondano di tempat-tempat strategis di Provinsi, Universitas dan bahkan di level Nasional”? Pertanyaan yang wajar. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya mempertanyakan ada dimana sekarang kualitas SDM Tondano?

Beberapa kawan bahkan mengatakan: “Tondano itu terlalu banyak premannya”. Tetapi, penulis berpikir, “apakah memang benar demikian”?. Entahlah, mudah-mudahan tidaklah demikian. Tetapi, akan menjadi sangat menyedihkan jika memang kenyataannya memang begitu. Persoalan Kota Tondano dan Sub Etnis Toulour akan menjadi semakin panjang jika demikian. Dan dengan sendirinya, juga akan membebani Minahasa (Kabupaten) secara keseluruhan. Terkait dengan masalah SDM, maka kembali fakta berbicara, bahwa Sekolah-sekolah di Tondano, memang sejak dulu lebih kalah mutu dibandingkan jangankan Manado bahkan kalah terhadap Tomohon sekalipun. Tidak mengherankan jika kemudian Universitas Manado menghadirkan Rektor terpilih yang berasal dari Tomohon yang belakangan tradisi belajarnya justru lebih terpupuk.

Jika SDM menjadi salah satu persoalan, maka gebrakan masalah pendidikan seharusnya dikedepankan. Selain tentu persoalan lapangan pekerjaan yang dikombinasikan dengan pembangunan ekonomi yang menguatkan ekonomi rakyatnya. Dengan pengairan yang memburuk dan Danau yang kualitasnya menurun, maka sama saja dengan menelantarkan masyarakat Tondano yang banyak bekerja sebagai petani dan menggantungkan hidupnya di Danau. Selain itu, maka sebuah terobosan Visioner, sudah sangat mendesak untuk menemukan kekuatan utama rakyat Tondano dan Minahasa untuk melakukan lompatan kemajuan kedepan. Bukan hanya rakyat yang kreatif yang diperlukan, tetapi juga pemerintah yang inovatif dan menghargai kemampuan dan kekuatan rakyatnya. Penulis kadang atau bahkan sering cemburu dengan inovasi ala kota Tomohon. Karena, bukan salah belajar dari orang yang lebih muda sekalipun, jika memang yang dipelajari itu mendatangkan keuntungan, sekarang maupun kedepan nanti.

Mengurai Benang Kusut Masalah Tondano ?

Tulisan ini, bagaikan sedang mengurai benang kusut persoalan yang dihadapi Kota Tondano (dan sekitarnya). Karena itu, sangatlah bermakna jika kemudian wacana mengurai persoalan Kota Tondano menjadi agenda bagi banyak orang Tondano. Hal ini penting untuk menemukan kembali momentum kebangkitan bagi Tondano untuk tidak terus menerus terpuruk dalam kemegahan masa lalunya. Dan hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.

Penulis sendiri ingin memulai dengn mengatakan bahwa, persoalan Tondano adalah persoalan struktural dan kultural sekaligus. Apa maksudnya? Persoalan struktural yang dimaksudkan adalah, rendahnya kesempatan yang diberikan kepada rakyat Tondano dalam ikut menentukan kebijakan atas mereka. Atau, tiadanya akses untuk mengetahui kebijakan publik yang terkait dengan mereka. Akibatnya, elite politik/pemerintah dengan bebas menentukan apa yang baik dan apa yang tidak baik bagi rakyat. Dengan dinamika politik yang tinggi serta mental elite yang masih terpola pada pengalaman masa lalu, maka pengabaian kepentingan rakyat menjadi terbuka. Dan bahkan terus terjadi. Bahkan akses terhadap evaluasi kebijakan public, juga sangat sangat minimal. Karena itu, rakyat kurang mengerti dan kurang memahami mengapa proyek yang terkait mereka tidak optimal diperoleh. Pendeknya, jarak antara penguasa dan rakyat terhitung sangat jauh. Jikapun pemerintah memberi sumbangan, seakan-akan sumbangan itu berasal dari aparat atau pejabat yang bersangkutan, padahal sumbangan itu memang diperuntukkan rakyat karena asalnya dari rakyat pula. Skema seperti ini, berlangsung bahkan dibanyak bidang kehidupan. Akibatnya, dominasi elite politik/pemerintah jadi sangat meluas dan juga menimbulkan ketergantungan yang tidak produktif.

Persoalan kultural yang dimaksudkan terkait dengan sikap hidup terhadap kemajuan, inovasi, kreatifitas. Atau dengan kata lain, sikap terhadap hidup itu sendiri. Sebetulnya terhitung mengherankan komunitas Minahasa dan Tondano yang terbuka terhadap pengaruh luar, bahkan yang dipengaruhi kebudayaan Eropa menjadi kurang kreatif dan inovatif dalam memandang kemajuan dan hidup. Pernyataan ini sangat mungkin menimbulkan debat berkepanjangan. Tetapi, fakta berbicara, bahwa semua kehebatan dan kemegahan masa lalu, bagaikan tak bersisa di Tondano. Sisa perlawanan terhadap penjajahan bagaikan tak bersignifikansi dengan perjuangan melawan ketidakadilan dan penindasan lainnya. Bahkan penggunaan istilah “Sei Re’en” jadi lebih terkesan negative ketimbang positif. Beberapa pengamat bahkan bertanya: “Entah mengapa protestantisme yang mensejahterakan Eropa tidak mampu mengangkat Minahasa” (Tesis Weber soal Etika Protestan dan Kapitalisme). Kadang penulis sendiri berpikir, “mungkinkah ini disebabkan oleh hancurnya tatanan budaya Minahasa di Tondano pasca Perang Tondano? Ataukah, persenyawaan yang kurang tepat antara komunalisme (Mapalus) ala timur dengan individualisme ala Barat (melalui Belanda) ? entahlah, yang jelas sikap positif terhadap kerja dan kehidupan nampaknya kurang berkorelasi penting untuk menghadirkan orang Tondano yang kreatif dan inovatif.

Jika begitu persoalannya, maka mengurai masalah di Tondano (dan Minahasa) bukan pekerjaan pemerintah belaka. Tetapi menjadi pekerjaan budaya, ekonomi, social dan politik segenap komponen tou Tondano. Pekerjaan yang meliputi aspek pendidikan, dibutuhkannya good will dan political will pemerintah, dibutuhkan kreatifitas dan ruang beraspirasi bagi rakyat, dan menetapkan visi kedepan bersama. Terdengarnya begitu sederhana, tetapi justru dalam kesederhanaan itulah terletak kerumitannya. Sederhana dalam ide, tetapi sulit dan rumit dalam pelaksanaannya. Karena factor budaya dan factor struktur politik yang masih belum memungkinkan pendekatan penanganan semacam itu. Jadi, sampai kapan kita terus bertanya ADA APA DENGAN TONDANO?

Catatan:
Penulis adalah pengamat masalah Sosial Kemasyarakatan

(Harian Komentar: 17 Maret 2008)

ADA APA DENGAN TONDANO (II)

(Catatan Pasca Bencana di Sulawesi Utara)

Oleh:
Audy WMR Wuisang



“… Oh Minahasa tempat lahirku…
Sungguh bangga rasa hatiku, memandang keindahanmu.
Namamu mashyur di Nusantara
Karena cengkeh pala dan kopra, harumkan pasaran dunia.
Danau Tondano dan sawah ladangmu …”


Tondano terancam tenggelam? Benar. Tapi apakah ini disadari oleh masyarakat sekitar Ibu Kota Kabupaten Minahasa (dulu) ini? Sebagian kecil ya, dan sebagian terbesar pastilah tidak. Rangkaian bencana yang terjadi sejak akhir tahun 1990-an dan semakin dahsyat pada akhir-akhir ini menunjukkan trend yang mengerikan, dan bukan tidak mungkin Tondano tenggelam. Setelah peran histories dan cultural serta politis Tondano “tenggelam”, maka kini secara fisikpun Tondano terancam tenggelam. Artikel ini, mengajak semua, bukan hanya orang atau Tou Tondano untuk memikirkan posisi kota sejarah bagi Minahasa ini pada masa-masa mendatang. Tulisan inipun bisa menjadi lanjutan dari artikel dengan judul yang sama yang pernah dipublikasikan salah satu media di propinsi ini beberapa tahun lalu.

Bagi beberapa orang, tulisan Tondano terancam “tenggelam” mungkin terasa dramatisasi. Tetapi, bila dibandingkan antara posisi dan letak “Minawanua” atau Tondano tua yang terletak di Desa Toulour, dimana sebagian terbesarnya sudah terendam air, maka ancaman tersebut baru terasa. Selain itu, bagi mereka yang menghabiskan waktu dan masa kecil di Tondano, tahu belaka, betapa permukaan sungai Tondano sudah meningkat beberapa meter dibanding 20-25 tahun silam. Tentu, naiknya permukaan sungai Tondano bukan terjadi tiba-tiba, alias sim salabim, jadi dan naiklah permukaan sungai tersebut. Sama halnya dengan terendamnya sebagian daerah di desa Toulour dewasa ini. Semua proses tersebut tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan akumulasi dan proses panjang dari perusakan lingkungan yang terjadi diseputar Danau Tondano.

Jika ditelusuri lebih jauh, proses-proses pembabatan hutan, baik di daerah perkebunan Koya, Tounsaru, Peleloan dan Urongo yang telah berubah menjadi areal pendidikan; Kemudian ditambah dengan penggundulan hutan yang dirubah menjadi perkebunan di daerah utara Tataaran dan Koya, serta juga terutama pembabatan hutan di Pegunungan Lembean, menyebabkan ancaman tersebut menjadi semakin riil. Dengan semakin jarangnya pepohonan yang dulunya rindang dan lebat, maka daya resap air menjadi berkurang, pada gilirannya kerusakan hutan menyebabkan bukan hanya air yang dialirkan ke Danau Tondano, tetapi juga lumpur. Akumulasi lumpur inilah yang menyebabkan pendangkalan danau, sehingga pada gilirannya memaksa permukaan danau dan sungai Tondano naik.

Memang, untuk tahun-tahun ini, mendengar kata “Tondano Tenggelam” pastilah dianggap sekedar olok-olok, atau cari sensasi. Tapi, sebagaimana dunia diramalkan menghadapi naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global, demikian juga sebetulnya ancaman tenggelamnya Tondano. Artinya, areal-areal yang lebih rendah, semisal desa-desa di Kota Tondano yang dipinggiran Sungai Tondano, bukan tidak mungkin terendam, meskipun dalam hitungan puluhan tahun. Artinya, selain arena perjuangan Perang Tondano ikutan tenggelam, juga sejumlah desa lain semisal Koya dan Tataaran serta puluhan desa lain seputaran Danau, harus menyingkir ke real yang lebih tinggi. Tapi … memang, bukan dalam hitungan hari, minggu dan bulan, tapi tahunan, bahkan puluhan tahun.


Kompleksitas Persoalan

Bilapun pemerintah memiliki good will (kemauan baik) atau juga political will dalam menanggulangi persoalan ini, tidaklah berarti masalah dengan mudah diatasi. Mengapa? Karena mengatasi persoalan pendangkalan danau Tondano, bukanlah persoalan Lingkungan semata. Persoalan perusakan Lingkungan di Minahasa, terutama seputar Danau Tondano, bukan persoalan Lingkungan semata. Apabila teropong persoalannya dilihat semata masalah lingkungan, maka solusi yang dihadirkan pastilah partial, tidak menyeluruh. Proses perusakan dan pembabatan hutan dan pohon di Pegunungan Lembean dan di areal Perkebunan sebelah barat Danau Tondano, serta di Selatan, daerah Kakas dan Langowan, tidak masalah tunggal. Bukan semata “ketidaktahuan” penduduk yang merambah hutan. Bukan juga semata iseng-iseng menebangi hutan buat dijadikan “bahan baker tradisional”. Lebih dari itu, sebuah permasalahan social yang melibatkan masalah kemiskinan.

Karena itu, penghijauan kembali atau reboisasi tidak menunjukkan manfaat yang optimal. Karena memang mengatasi masalah pendangkalan, hanya dengan menangani persoalan-persoalan yang terkait Lingkungan, tidak menyelesaikan salah satu akar persoalan. Bagaimana mungkin masyarakat tidak tergoda melakukan ekstensifikasi areal pertanian dan menebangi hutan apabila hidupnya morat-marit? Bagaimana mungkin masyarakat tertarik melanggengkan bibit pohon dalam rangka penghijauan sementara kebutuhan keseharian mereka masih ragu didapat dimana? Ironisnya, kadang tudingan penyebab pendangkalan secara semena-mena dibebankan kepada para penduduk yang dianggap “kanibal” terhadap pohon-pohon penting itu. Tanpa pernah peduli bahwa memang hanya pohon dan lahan itu yang mungkin mereka kais untuk menyambung hidupnya.

Bila sudah terkait dengan masalah kemiskinan, maka kebijakan dan proses penyembuhan, pasti akan menjadi lebih rumit. Dalam konteks prilaku dan kecenderungan elite politik yang lebih kapitalis, mementingkan modal, mementingkan dunia usaha, maka problematika kemiskinan tetap belum akan tersentuh komprehensif. Konsentrasi dana, sayangnya tidaklah ke Usaha Kecil Menengah. Buktinya, bukannya diupayakan mencari market alternative bagi “Cap Tikus” misalnya, justru larangan yang dituai. Artinya, terserah mau diapakan hasil Pohon Seo, dan terserah mau digimanakan Cap Tikus itu, yang penting dilarang. Padahal, justru Cap Tikus ini menjadi salah satu sumber penghasilan utama banyak petani. Apa alternative yang disiapkan bagi petani Cap Tikus? Tidak ada, yang penting dilarang dulu.

Atau, kemanakah target penguatan kelompok ekonomi lemah dan usaha kecil lainnya apabila tidak menyentuh kelompok miskin? Kita tentu layak bertanya. Karena memang, kekisruhan persoalan penanganan kemiskinan bermuara ke banyak masalah social lainnya, bukan hanya persoalan pendangkalan Sungai dan Danau Tondano. Artinya, memang persoalan dan ancaman pendangkalan bermuara pada core persoalan pilihan pembangunan kita. Kita, termasuk Minahasa (dulu), tidaklah memberi perhatian dan mengapresiasi upaya mengangkat kehidupan petani. Selalu yang diutamakan adalah “mencari investor”, meski mayoritas penduduk Minahasa adalah petani. Karena sejak dulu favorit adalah “investor” dan sering dengan kategori yang diimpikan “kakap”, akhirnya sentuhan pembangunan jadi tidak relevan dan tidak bersignifikansi (bermakna) positif bagi mayoritas penduduk Minahasa.

Akhirnya … justru bukan pemerintah dan program pemerintah terutama yang berupaya melestarikan sungai dan danau Tondano. Justru lembaga-lembaga asing, Non Government Organization (atau LSM) yang giat melakukan program penyadaran masyarakat, advocacy masyarakat miskin, dalam melestarikan aliran sungai dan danau. Tetapi … sejauh manakah kelompok masyarakat semacam ini melakukan tugasnya sementara pemerintah tidak cukup siuman memperhatikan persoalan itu? Pemegang otoritas adalah pemerintah. Tanpa support penuh dan kepedulian yang mendalam pemerintah, maka sangat sulit diharapkan pencegahan yang komprehensif. Hanya melalui kerjasama yang komplementer antara semua pihak, maka persoalan yang kusut masai dan kompleks antara persoalan lingkungan dan masalah social ini bisa ditangani secara baik.

Tondano terancam tenggelam. Memang bukan sekarang. Tapi nanti. Artinya, kita sedang mewariskan Kota Tondano yang penuh sejarah kepada anak cucu kita dengan membentuknya menjadi “sesuatu yang lain”. Atau sedang memerosokkan kota sejarah di Minahasa ini kebentuk yang ahistoris, alias kehilangan sejarahnya. Kita semua. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga kita yang berdiam diseputar Danau Tondano, sedang berupaya “menenggelamkan” kota itu, akibat frustasi mendalam terhadap tuntutan kehidupan dan tuntutan keseharian.
Tondano: Kehilangan Segalanya?

Berkali-kali, saya menyebutkan Tondano sebagai kota sejarah dan kota budaya, selain juga menyebut arti pentingnya dalam konteks politik. Tondano, menjadi saksi bisu pertarungan berlarut-larut antara penjajah (spanyol dan belanda) dengan para walak Minahasa pada tahun 1600-1800an. Berkali-kali pada tahun tahun tersebut Tondano menjadi arena tumpah darah, sebagian melibatkan nyaris seluruh walak di tanah Minahasa. Yang kemudian pada akhirnya berujung pada bumi hangus perkampungan Minawanua, perkampungan Tondano pertama di tepi Danau Tondano, mengikuti alur sungai Tondano. Fakta sejarah ini, justru jauh lebih kokoh ketimbang mengenal Tondano hanya sebagai kota yang melahirkan Sam Ratulangi.

Kota Tondano ini pula, yang kemudian menjadi Ibu Kota Kabupaten Minahasa untuk sekian waktu lamanya. Sebagai “capital city” atau Ibu Kota, Tondano menjadi pusat budaya Minahasa, terlebih karena pada masa itu Minahasa selain sebagai kesatuan politik (Kabupaten) juga menjadi kesatuan Budaya (melingkupi seluruh etnis Minahasa. Di kota ini pula, diletakkan Rumah Tua Minahasa yang saat ini sudah nyaris tinggal puing, selain kuburan Pahlawan Nasional Sam Ratulangi. Di Kota ini jugalah pada masa lalu, aktifitas budaya Minahasa coba dipelihara melalui rangkaian aktifitas budaya yang melibatkan seluruh sekolah di Minahasa. Jadi, tidak salah bila Tondano menjadi satu Kota bermakna cultural bagi Minahasa, meskipun Batu Pinabetengan berada jauh di sebelah selatan.

Sayangnya, kini bagi Minahasa, Tondano sudah kehilangan predikatnya sebagai pusat politik, karena Minahasa sudah termekarkan menjadi 4 Daerah: Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Induk, Kabupaten Minahasa Selatan dan Kabupaten Minahasa Utara. Sudah agak sulit menerima consensus bahwa Tondano masih menjadi pusat Politik Minahasa. Bahkan menyebutnya sebagai pusat budaya, juga menjadi semakin sulit. Tinggal kenangan dan rasa hormat terhadap “bekas” Ibu Kota Kabupaten Minahasa sajalah yang melatari rasa “segan” Kabupaten lain terhadap Tondano yang semakin kehilangan geliatnya. Terlebih karena akselerasi pertumbuhan ekonominya relative tertinggal dari beberapa kota lain semisal Tomohon.

Menghadapi ancaman dari Sungai dan Danau Tondano yang semakin dangkal, sungguh dikhawatirkan, Tondano kehilangan segala-galanya. Kehilangan predikat pusat budaya, pusat politik dan kini juga terancam kehilangan sejarahnya. Karena bahkan “nama besarnya” boleh dikata sudah “tenggelam” dan hanya tinggal nama. Apakah untuk sekedar mempertahankan sejarahnyapun kita tidak bisa? Dan kalau harus bisa, apa dan bagaimana seharusnya melakukannya? Sungguh sebuah pertanyaan yang harus dijawab. Bukan cuma oleh Bupati Kabupaten Minahasa induk, tetapi juga harus dijawab oleh Universitas Manado yang seharusnya diberi nama Universitas Tondano atau Universitas Minahasa. Karena diatasmu, adalah areal yang dulu menyanggah Danau, dan anda menyumbang terhadap proses pendangkalan Danau itu. Jadi, bila dituntut namamu menjadi Universitas Tondano ataupun Universitas Minahasa, karena memang anda berhutang atas tanah itu. Berhutang atas sejarah dan eksistensi tanah itu.

Tanggungjawab juga harus dijawab oleh para petinggi dan pemuka di tanah Tondano. Baik elite politik, maupun elite agama dan tokoh informal lainnya. Sudah cukup lama Tondano terlelap, dan kini kita dibangunkan dari mimpi buruk, betapa kita menyumbang atas meningkatnya kualitas bencana di Manado. Kita membiarkan penduduk merusak hutan, kita membiarkan pemerintah tidak memperhatikan petani, kita sangat permisif dengan semua pelanggaran tersebut di atas. Jadi, kita semua bertanggungjawab atas mundurnya Kota Tondano. Meski masih belum terlambat, kita perlu menyadari betapa berat langkah itu. Tetapi, biarlah kita terlambat sebelum kita ‘KEHILANGAN SEGALANYA”.

“… Oh Tempat lahirku Minahasa ..
Aku rindu setiap masa, AMAN DAMAI DAN SENTOSA”


Penulis, Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan.
(Dipublikasikan Harian Komentar)

GORESAN HIDUP "TONAAS WEWENE" MINAHASA

(In memoriam Henriette Marianne Katoppo)

Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi



Perempuan tegar ini lahir dengan nama lengkap HENRIETTE MARIANNE KATOPPO, atau kemudian lebih dikenal dengan nama Marianne Katoppo. Lahir di Tomohon, Sulawesi Utara pada tanggal 9 Juni 1943 sebagai bungsu dari pasangan Elvianus Katoppo dan Agnes Rumokoij. Dari sebuah kota kecil yang dikenal sebagai jantungnya “Kekristenan” Sulawesi Utara, Marianne kemudian memulai sebuah “journey of live” (perjalanan kehidupan) yang penuh warna dan prestasi. Si bungsu perempuan yang mencetak banyak garis tebal dalam sejarah hidupnya, dan menjadi warisan bersejarah bagi perjalanan generasi penerusnya. Perempuan yang kokoh dan tegar dalam mengarungi kehidupannya, dan bahkan ulet dan tegas dalam mempertahankan prinsip serta pandangan-pandangannya. Tidak heran, jika dalam beberapa pertemuan, baik dalam skala nasional maupun internasional, perempuan yang satu ini hadir dalam warna yang unik dan menonjol. Sangat wajar, karena sepengetahuan penulis, dia menguasai banyak bahasa dunia, Inggeris, Jerman, Spanyol, Perancis, dan entah bahasa apalagi. Tentu termasuk bahasa Indonesia didalamnya.

Pada tahun 1998, manakala suhu politik sedang memanas, Marianne yang kritis terhadap regime orde baru sibuk memarah-marahi yunior-yuniornya yang sedang dalam pergerakan. Salemba Raya 10, Kantor MPH-PGI dan juga sekretariat PP GMKI dan DPP GAMKI, sedang menjadi markas dan pertemuan banyak aktivis muda Kristen. Disana, selain memompakan spirit dan amarah terhadap regime yang menjelang tumbang, Marianne juga sibuk mencari penjaga bagi puluhan ekor kucing dirumahnya. Dan biasanya, aktivis bernama Aryawirawan Simauw yang menjadi sasaran tembak karena menjadi yuniornya di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta (STT Jakarta), meski Arwi, tidak pernah menyelesaikan studynya itu. Marianne yang menyelesaikan study di STT Jakarta pada tahun 1977, dan memperoleh gelar Theol.lic dari Institute Ekumenis Bossey, Swiss, 1992 memang seorang penggemar dan pencinta fanatik kucing. Seorang pendeta GMIM kawan saya, Pdt. Lili Danes, STh, waktu itu Kepala Biro Wanita PGI, selalu kerepotan mengundang Marianne sebagai pembicara dalam setiap acaranya. Alasannya selalu adalah, kepada siapa kucing-kucing itu harus dititipkan?. Unik memang.

Tetapi jangan salah, kecintaannya terhadap kucing-kucing peliharaannya, tidak mengurangi kapasitas dan komitmennya terhadap feminisme dan dunia sastra. Sebuah novel yang sangat kental dengan kultur dan budaya Minahasa berjudul “Raumanen”, mendapat penghargaan dari Dewan kesenian Jakarta (1975) dan juga Yayasan Buku Utama (1978). Bahkan lebih jauh lagi, Marianne menjadi penerima penghargaan sebagai South East Asian Writer pada tahun 1982, dan menjadi wanita pertama yang memenangkan penghargaan tersebut. Buku yang inspiratif dan cemerlang itu, pada tahun 2006 diterbitkan kembali oleh Penerbit Metafor. Buku itu sendiri seperti menjadi salah satu puncak pencapaian Marianne sebagai penulis, dan bagi saya, menjadi salah satu bukti keterikatan kultural yang dalam dengan Minahasa. Karena itulah akar budayanya, dan dari haribaan tanah itu pula dia memulai kehidupannya. Bahkan pada pertemuan terakhir dengannya, disela Kongres GMKI di Tondano, Marianne sedang menjajaki kemungkinan “pulang kampung” dan mengajar di Fakultas Theologi UKIT. Sayang, cita-citanya ini tidak pernah kesampaian. Sesuatu yang lama diimpikannya, sejak beberapa kali penulis berjumpa dan berdiskusi dengannya di Jakarta. Dalam sebuah kesempatan acara Seminar Nasional di Jogyakarta, secara sengit dia sempat berkata: “he ngana lei, keapa nda pulang-pulang”?, maksudnya kembali ke Manado.

Selebihnya, Raumanen sebetulnya bukanlah menjadi satu-satunya master piece Marianne yang memulai menulis banyak cerpen sejak masa Harian Sinar Harapan dan bahkan juga Majalah Ragi Buana. Ada cukup banyak cerpen dan novel lain yang lahir dari tangannya, seperti Dunia Tak Bermusim (1974), Anggrek Tak Pernah Berdusta (1977), Terbangnya Punai (1978) dan juga Rumah Diatas Jembatan (1981). Rangkaian tulisan Novel di atas seakan menegaskan pilihannya sebagai seorang penulis dan sastrawan yang dimulainya sejak tahun 1960-an. Karena itu, tidak mengherankan apabila Marianne kemudian pada tahun 1995 mewakili Pramoedya Ananta Toer menerima penghargaan Magsasay di manila Philipina. Keberanian Marianne yang luar biasa, mengingat Pramoedya dianggap “kutu busuk” di Negerinya sendiri, meskipun prestasinya melangit. Tetapi sayang, kedua sasrawan Indonesia yang dikenal mendunia itu, kini sudah meninggalkan kita.

Selain menulis, Marianne juga terkenal sebagai seorang Teolog Feminism pertama di Indonesia dan bahkan Asia. Karyanya yang terkenal di bidang teologi Feminis adalah Compassionate and Free: An Asian Woman's Theology (1979). Buku tulisannya ini di terjemahkan dalam banyak bahasa, antaranya Belanda, Jerman, Swedia dan bahkan Tagalog dan menjadi bahan ajar di banyak Sekolah Teologi di dunia. Bahkan, buku ini merupakan buku feminis pertama asal Indonesia yang masuk dalam katalog dan serial literatur dunia mengenai Feminism. Kapasitasnya sebagai Teolog, selain muncul dalam tulisan dan komitmennya terhadap Teologi Feminisme, tetapi juga diekspresikan pada masa menjadi anggota Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI). Tidak heran bila Presiden Dewan Persekutuan Gereja-Gereja di Sedunia (WCC = World Council of Churche), Pdt. Dr. SAE Nababan, juga berprihatin dan berduka dengan kepergiannya. Selebihnya, Marianne juga adalah anggota pendiri dan mantan Koordinator Ecumenical Association of Third World Theologians (EATWOT). Hal yang menegaskan kapasitas Perempuan yang satu ini. Berjaya dan sukses bukan hanya di Indonesia, tetapi bahkan memperoleh dan mencapai prestasi yang mendunia.

Pada masa-masa pergerakan menuju transisi demokrasi, Marianne juga aktif menjadi anggota Kelompok Hati (1980) dan kemudian juga terutama Forum Demokrasi (1992). Sebuah kelompok yang dikategorikan oleh Anders Uhlin sebagai kelompok pembangkang intelektual, yang membangun opini publik untuk mendorong Indonesia memasuki masa demokratisasi. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan menulis yang baik, bahkan memiliki reputasi mendunia, Marianne menempatkan dirinya pada tempat yang tepat. Dan, komitmennya terhadap demokrasi jugalah yang mendorongnya bukan hanya menulis, tetapi juga bersedia mewakili Pramoedya menerima penghargaan di Phillipina, dan tidak banyak tokoh di Indonesia yang berani melakukannya. Toch, sejarah mencatat Indonesia memasuki alam demokrasi sejak tahun 1998, dan syukurlah, Marianne masih smepat menyaksikan dan mengecapinya.

Marianne sendiri sebetulnya adalah figur yang unik. Dia memiliki energi yang besar atau snagat besar malah untuk berdebat, dan memiliki kemampuan untuk adu argumentasi, bahkan tidak takut untuk menjadi emosional sekalipun. Beberapa kali penulis menjumpainya terlibat adu argumentasi yang panas dan dalam tensi sangat tinggi. Tidaks egan-segan dia menumpahkan kemarahannya dalam berdiskusi dan dalam tempramen yang tinggi. Apalagi, jika menyangkut hal yang sangat dikuasainya, semisal isu feminis. Tetapi, Marianne, juga sangat mudah melanjutkan diskusi dalam tensi yang rendah ketika forum diskusi berakhir dan bersama mendalami persoalan yang diperdebatkan sebelumnya. Kesan yang ditangkap penulis, termasuk dari tokoh-tokoh baik lingkungan gereja maupun pergerakan, bahkan di acara berlevel internasionalpun, Marianne menunjukkan tipikal yang sama. Karena itu, wajar jika dia mengenal banyak tokoh dunia secara dekat, bahkan termasuk pemimpin-pemimpin Negara di Skandinavia yang sadar gender.

Perjumpaan terakhir di Tomohon dengan Marianne, juga berkaitan dengan Gerakan Oikumenis dan dengan issue gender. Diundang oleh beberapa aktivis perempuan GMKI untuk urusan yang belum jelas benar, Marianne di siapkan untuk ikut menyuarakan persoalan yang sebetulnya bisa diselesaikan di luar forum Kongres. Selaku senior GMKI dan aktivis Perempuan, Marianne dengan bersemangat memenuhi undangan tersebut. Bahkan memarahi penulis yang akhirnya ketahuan mengajaknya berjalan-jalan berkeliling Danau Tondano (bersama Ibu Stien Djalil) agar forum Kongres GMKI menyelesaikan persoalan internalnya. Meksipun marah, dan bahkan sempat murka besar terhadap penulis, pada akhirnya Marianne yang juga adalah aktivis GMKI pada masanya, akhirnya menyadari persoalan utamanya. Betapapun GMKI adalah tempat dia mulai membesarkan dirinya, setidaknya begitu ungkapan akhirnya.

Dan, akhir dari perjumpaan itu adalah: Seorang Marianne yang berkerinduan untuk kembali tinggal di tanah leluhurnya, tanah kelahirannya Tomohon. Sekaligus ingin menuntaskan keinginan lainnya, mengajar di Fakultas Theologi Tomohon UKIT. Sayang, keinginannya ini rupanya gagal, oleh sebab yang tidak sempat diucapkannya. Tetapi bukan sebab itu yang mengharukan penulis, tetapi keinginannya untuk menyumbangkan apa yang telah dimilikinya dan kapasitasnya untuk tanah leluhurnya. Dia memang dikenal luas secara nasional ataupun bahkan internasional, tetapi di tanahnya sendiri, dia seperti bukan apa apa. Meskipun keinginannya untuk kembali, bukanlah berarti dia ingin menjadi “apa-apa” di tanahnya. Setidaknya, masih ada panggilan tanah leluhur baginya untuk kembali dan menyumbangkan apa yang dimilikinya bagi penerus penerusnya. Karena betapapun, sangat langka dan sangat jarang Minahasa menyumbangkan seorang tokohnya pada level seperti yang dicapai Marianne akhir-akhir ini. Lebih sering dan lebih banyak berita kurang menyenangkan, women traficking, dunia malam, ataupun informasi miring dan stereotype perempuan Minahasa/Manado yang menggema di persada Nusantara ini.

Untuk seorang Marianne, dia bukan hanya harum di tingkat nasional, tapi bahkan dunia. Setidaknya, sedikit mengharumkan bau kurang sedap yang selalu dilekatkan sebagai stereotype perempuan Minahasa/Manado. Tidak berlebihan bila Perpustakaan Minahasa milik dr. Bert Supit mencantumkan profile Perempuan Minasa yang satu ini. Dan tidak berlebihan bila penulis menyebutnya sebagai “TONAAS WEWENE” Minahasa. Dia tidak pernah memintanya, tidak pernah menuntutnya, tidak untuk motif publikasi dan motif politik. Tetapi, dia telah memberi warna dan bau harum Perempuan Minahasa dalam sejarah perjalanan kehidupannya. Bukankah memang Tonaas itu dinilai dari prestasinya dan bukan dari uangnya? Apakah yang masih kurang dari yang sudah dicapainya? Untuk itu, Marianne Henrieta Katoppo, berhak menyandangnya, meski dia tidak pernah mimpi menyandangnya. Setidaknya bagi Penulis, dia lebih dari pantas.

Pada tanggal 12 Oktober 2007, Henriette Marianne Katoppo, menghembuskan nafas terakhir di Bogor, di rumah kakaknya Pericles Katoppo. Selamat Jalan Kak Marianne.

Tuesday, January 15, 2008

10 TAHUN DEMOKRASI INDONESIA

(Catatan Akhir Tahun 2007)

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Pengantar

Menjelang akhir tahun 2007, Prof. Alfred Stefan mengeluarkan pujian atas capaian demokrasi di Indonesia. Khususnya mengenai Security Sector Reform atau Reformasi Sektor Keamanan dan menegaskan bahwa, kemungkinan TNI melakukan kudeta di Indonesia sangatlah kecil. Bahkan kemajuan demokratisasi di Indonesia termasuk yang terbaik yang dianalisisnya selama ini (http://klikkliping.blogspot.com/2007/10/reformasi-militer.html). Prof. Stefan adalah salah satu pentolan dalam study demokratisasi dan telah melakukan telaah mendalam, bukan hanya di Indonesia, tetapi bahkan di Amerika Latin, Eropa Timur dan bahkan Asia. Bersama Juan Linz, Guilermo O’Donnel, Schmitter dan banyak sarjana politik lainnya, mereka melakukan research panjang dan bermutu. Mereka melahirkan banyak teori dan buku yang sekarang menumpuk di banyak perpustakaan dunia. Maka, pujian dan kajian Prof. Stefan, seharusnya dan sesungguhnya bukan ucapan “basa-basi” dan pastinya memiliki latar pemikiran yang cukup sahih secara akademis. John Bradford, seorang sarjana politik lainnya, memberi apresiasi yang sama atas capaian Indonesia dalam proses demokratisasi (John Bradford, 2005)

Tetapi, seorang William Liddle (Liddle, 2003), justru menyebutkan bahwa: capaian demokratisasi, termasuk di bidang security sama dengan “jalan di tempat”. Dan seragam dengan Liddle, belakangan yang lebih baru muncul dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia) dalam release 11 Juli 2007 menyebutkan reformasi militer dalam dmeokratisasi “gagal”. Demikian juga release IMPARSIAL 3 Oktober 2007 serta Human Right Watch, rata rata memberi angka dan raport “buruk”. Meski pada dasarnya memberi aksentuasi atau penekanan atas reformasi militer, tetapi gugatan atas kemajuan signifikan dmeokratisasi menjadi landasan kritik mereka. Terutama, karena kebijaka dan perundangan yang menegaskan perubahan dan reformasi sector keamanan berada dalam pergulatan antara Parlemen dan Pemerintah dan belum menemuka titik terang.

Demokratisasi di Indonesia dengan demikian berada pada titik manakah gerangan? Apakah benar bahwa Demokratisasi di Indonesia “jalan di tempat” sekarang ini? Apakah benar, perubahan substansial dan signifikan telah dicapai? Dan setelah 10 tahun demokratisasi di Indonesia, apakah yang telah dicapai? Cukupkah capaian itu dan bagaimana prospek Indonesia kedepan? Pertanyaan pertanyaan di atas membutuhkan kajian mendalam guna memperoleh jawabannya. Tetapi, betapapun perlu dipertegas dan dinalisis, bagaimana sampai perbedaan perspektif menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Artikel ini ingin melihat perbedaan tersebut dalam kilasan dinamika politik di Indonesia sepanjang tahun 2007 dan menghasilkan gambaran lain, yang mencoba realistis dengan konteks dan capaian.

Berawal dari 1998

Keliru bila menyebutkan demokrasi di Indonesia baru dimulai tahun 1998. Karena betapapun, Indonesia pernah menerapkan demokrasi parlementer pada awal kemerdekaan, meskipun hasilnya amburadul. Tetapi, Pemilihan Umum 1955, adalah Pemilu Demokratis dalam sejarah Indonesia yang baru diulangi lagi 44 tahun kemudian dalam Pemilu 1999. Tetapi, demokratisasi yang diawali pada tahun 1998, tepatnya Mei 1998, sangatlah monumental, karena diawali dari tekanan massa (Denny JA, 2000), khususnya massa mahasiswa. Dan lebih bermakna, karena tekanan massa tersebut berhasil menumbangkan regime “untouchable” (Tak tersentuh) Orde Baru dengan figure utamanya Jend (Purn) Soeharto.

Keberhasilan Gerakan Mei 1998 sangat monumental, bahkan boleh disejajarkan dengan runtuhnya Tembok Berlin dalam sejarah Indonesia Kontemporer. Meskipun Gerakan itu tidak menuntaskannya dengan mengenyahkan regime lama secara total, tetapi proses “kocok-ulang” kepemimpinan nasional menyebabkan tuntutan perubahan diapresiasi. Bahkan euphoria kebebasan dan demokrasi sempat menjadi spirit perubahan pada tahap awal, sehingga melahirkan tatanan dan mekanisme politik baru yang sangat demokratis. Presiden Habiebie memerintahkan penghapusan breidel dan memperkenalkan lagi kebebasan Pers. Timor Timur diberi hak referendum dan belakangan memisahkan diri, Paket UU Politik disahkan dn berujung pada Pemilu Demokratis pertama dalam 50 tahun sejarah Indonesia. Bahkan, Presiden Gus Dur mengupayakan demokrasi secara radikal ditubuh militer meski berujung pada kejatuhannya sebagai Presiden.

Politik Indonesia sejak 1998 sungguh penuh warna dan penuh kejadian monumental. Adalah keliru untuk menyatakan bahwa demokratisasi di Indonesa “jalan ditempat”. Setidaknya, kebebasan pers sudah dinikmati, meski terksan mengalami reduksi akhir-akhir ini, tetapi sangat juauh dibandingkan pada masa regime authoritarian Orde Baru. Partai Politi juga sudah sangat independent, baik dalam rekruitmen maupun promosi kader. Pemilihan Umum berlangsung sangat demokratis, bahkan dilabeli terdemokratis di Asia dan mendudukkan Indonesia sebagai alah satu Negara Demokratis terbesar: Lihat misalnya table dibawah ini:

Tabel Perbandingan Skore Kebebasan Negara Demokratis Asia (Freedomhouse.org)

Tahun
Negara

PR
01
CL

ST

PR
02
CL

ST

PR
03
CL

ST

PR
04
CL

ST

PR
05
CL

ST

PR
06
CL

ST
Indonesia
3
4
PF
3
4
PF
3
4
F
3
4
F
3
4
F
2
3
F
Korsel
2
2
F
2
2
F
2
2
F
2
2
F
1
2
F
1
2
F
Jepang
1
2
F
1
2
F
1
2
F
1
2
F
1
2
F
1
2
F
India
2
3
F
2
3
F
2
3
F
2
3
F
2
3
F
2
3
F

Pada tahun 1998, Skor Kebebsan Indonesia adalah 5 dan 6. Agka 5 dan 6 dari skor 7, menunjukkan Indonesia adalah Negara yang “TIDAK DEMOKRATIS”. Skor PR = Political Right atau Hak Politik Indonesia tahun 1997-2000 adalah 5 dari 7, dan masuk kategori Tidak Demokratis. Skor CL = Civil Liberty atau Kebebasan Sipil adalah 6 dari 7, artinya Tidak Demokratis. Dalam table di atas, angka PR dan CL Indonesia sudah menjadi 2 dan 3, dan masuk kategori Demokratis. Bahkan angka tahun 2007 menunjukan perbaikan, yakni skor 2 pada skala 1-7. Dengan demikian, dalam hitungan dan analisis Freedom House yang memberi analisis dan penilaian demokrasi di seluruh dunia, Indonesia sudah masuk kategori Negara Demokratis.

Apa yang menjadi indikatornya? Jika dibaca indicator yang diperkenalkan Freedom House dan juga literature Ilmu Politik, maka pelaksanaan Pemilihan Umum, Balance of Power atau keseimbangan kekuasaan Eksekutif dan Legislative, Pers yang bebas, akses informasi perlindungan HAM, Rule of Law, Hak Politik warga yang dijamin UU, merupakan indicator utama. Dan, sejak tahun 1998 hingga tahun 2007, relative semua indicator tersebut di atas sdah terpenuhi. Bahkan, jika ditilik lebih jauh dalam konsep Larry Diamond dan Juan Liz, tingkat dukunga masyarakat dan kepercayaan rakyat atas demokrasi harus diatas 70%, dan gerakan anti demokrasi dibawah 10%, juga telah dicapai. Survey yang dilakukan LSI, Baik Lembaga Survey Indonesia maupun Lingkaran Survey Indonesia menunjukkan hal tersebut (data-data LSI soal demokratisasi dilakukan pada tahun 2006 dan 2007). Tingkat dukungan terhadap demokratisasi bergerak pada kisaran 70-75, sementara gerakan anti demokrasi pada kisaran 10-12. Dengan demikian, tidak berlebihan memang, jika disimpulkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara Demokratis terbesar (hitungan penduduk) dewasa ini.

Gugatan Itu …..

Tetapi, meskipun begitu, toch gugatan atas demokratisasi dan capaiannya di Indonesia bukanlah sepi. Maklum, bersamaan dengan perbaikan itu, korupsi justru semakin kasar. Sementara penegakkan Hukum juga masih tetap layu. Dan, dominasi partai politik dan yang namanya “good governance”, masih tetap barang “aneh”, dan maklum, bila kemudian perubahan pada aras kelembagaan tidak nampak signifikansinya dalam prilaku politik.

Sukses yang dicapai sejak tahun monumental demokrasi Indonesia 1998, selalu disebut sebagai sukses dalam kategori “demokrasi procedural”. Artinya, proses-proses dan kelembagaan demokrasi, memang sudah exist (ada dan hadir) dalam dinamika dan proses politik Indonesia. Tetapi, kualitas demokrasi dan perwakilan, masih belum terwujud dan terbukti dengan “Good Governance” yang masih miskin, penegakkan Hukum dan penanganan korupsi yang tebang pilih. Dan bahkan, imbasnya di bidang lain, semisal pemulihan ekonomi yang merangkak, dan bahkan prestasi olah raga di kawasan Asia Tenggara yang tetap terus tiarap sejak krisis tahun 1997.

Kajian mengenai kualitas demokrasi, lawan dan berseberangan dengan demokrasi procedural, memang melihat lebih kedalam. Melihat bukan Cuma sekedar hadirnya kelembagaan politik (Pemilihan Umum, Partai Politik, DPR atau Parlemen yang kuat, dst), tetapi melihat Demokrasi Perwakilan. Melihat bagaimana gender representative, bagaimana memandang apresiasi atas Hak Politik Rakyat, melihat akses masyarakat terhadap kebijakan publik, dan bagaimana kekuasaan dijalankan secara effisien dan effektif. Karena pendekatannya yang lebih pada pendalaman (deepen) demokrasi, maka pendekatan ini sering menuding pendekatan pertama sebagai “tidak memadai”. Pendekatan model ini, memang sering menjadi agenda dan dasar argumentasi kelompok civil society dan akademisi lainnya dalam menggugat pendekatan yang terlampau prosedural. Mesti ada pendalaman, bukan sekedar pada kelembagaan, tetapi bagaimana “filosofi demokrasi” itu sendiri, benar menyentuh lapisan masyarakat. Bukan dengan “tidak langsung” tetapi juga langsung berimplikasi pada interaksi keseharian dan kebutuhan ekspressi politik dan ekonomi masyarakat.

Dalam perspektif demikian, maka sangat mudah dimengerti mengapa pemerintah sangat “banga” dengan capaian dalam pendekatan “demokrasi procedural”. Karena memang, hal ini memperlihatkan betapa pembangunan politik Indonesia menapaki hasil dan capaian yang menggembirakan. Dan betapa kalangan civil society menghendaki agar peningkatan kualitas demokrasi, menjadi agenda selanjutnya dari pemerintah. Dengan mempertimbangkan dan mengusulkan agar good governance, keterwakilan yang lebih meluas, penanganan dan penegakkan Hukum, dan kebijakan public pro masyarakat.

Demokrasi Kita Kini …..

Bagaimana dengan demikian capaian demokratisasi Indonesia setelah 10 tahun? Harus dengan jernih mengatakan, bahwa memang capaian Indonesia setelah 10 tahun termasuk signifikan dan sangat menggembirakan. Mengapa demikian?

Pertama, tidak semua Negara yang mengalami demokratisasi sejak tahun 1970-an, yang berhasil mengkonsolidasikan demokrasi. Banyak Negara lain yang terjebak dalam kekisruhan politik berkepanjangan, seperti pengalaman banyak Negara di Amerika Latin. Beberapa Negara, bahkan mundur kembali ke system authoritarian. Indonesia, meski belum mengkonslidasikan demokrasinya, tetapi capaiannya secara procedural sungguh termasuk mencengangkan. Dalam catatan penulis, Indonesia banyak mengikuti alur demokratisasi Spanyol yang menjadi paradigma demokratisasi, darimana study demokratisasi dibangun. Tidak berlebihan, jika Indonesia masuk dalam Negara yang mengalami demokratisasi dengan progress dan kemajuan serta capaian yang positif.

Kedua, kemampuan Indonesia melaksanakan 2 kali Pemilihan Umum demokratis membuat Indonesia sanggup melakukan peralihan kekuasaan secara damai di tahun 2004. Dan, sejak 2004, Indonesia telah mampu menyelesaikan tugas transisi demokrasi: Membangun kelembagaan demokrasi (Pemilu dan Parpol) serta kemudian memiliki mekanisme politik yang demokratis melalui Paket UU Politik (UU tahun 1999 dan 2002 dan 2003: Mengenai Parpol, Pemilu dan SUSDUK). Prestasi inilah yang kemudian dicatat dan diapresiasi oleh Freedom House dan kemudian menempatkan Indonesia dalam jajaran Negara Demokratis sejak tahun 2006.

Ketiga, reformasi di sector keamanan (Security Sector Reform), meski menuai banyak kritik, tetapi juga menunjkkan kemajuan yang menggembirakan. Meskipun kemudian mengalami stagnasi (kebuntuan, dalam bahasa Jeffrie Massie – Komisi I DPR RI) sejak Pemerintahan Megawati, namun capaian reformasi sector keamanan termasuk baik. Revisi Dwi Fungsi ABRI, reduksi fungsi Sosial-Politik, ditariknya TNI-POLRI dari DPR/MPR, dan Departemen Pertahanan yang ditangani Menteri Sipil, adalah capaian-capaian yang sangat konstruktif dalam konteks demokratisasi. Bahkan militer Spanyol yang termasuk “soft” terhadap demokrasi, masih sempat melakukan kudeta ketika Spanyol memasuki masa demokratisasi tahun 1975. Sementara militer Indonesia tidak mengalaminya. Adalah benar bahwa reformasi sector ini masih harus dilanjutkan, terutama dalam sector bisnis militer dan peradilan militer serta Komisi Kepolisian Nasional yang masih bermasalah.

Keempat, meskipun partai politik dan DPR RI menerima dan mendapat skor yang jelek dalam soal kepercayaan rakyat:

(Lingkaran Survey Indonesia, Riset – 1 Mei 2006)

Bahkan, pasca release MTI yang mengungkap Partai Politik sebagai lembaga terkorup, kepercayaan terhadap PARPOL menukik turun. Tetapi, betapapun, representasi dan penglompokan masyarakat yang rasional dalam konteks kompetisi politik adalah Partai Politik. Dan demokrasi, sulit dibangun tanpa Partai Politik. Hal yang sama dengan DPR RI, meski mengalami tingkat kepercayaan rendah, tetapi fungsinya sebagai penyeimbang memang sangat diperlukan. Dalam konteks politik Indonesia, sejak 1999, Indonesia telah memiliki dan terus membangun Partai Politik dan Parlemen yang lebih baik.

Dengan kelebihan dan kekurangan dmeokrasi Indonesia setelah 1 tahun, maka harus dicatat, bahwa tiada satupun system yang sempurna dalam dirinya. Interaksi dan keterkaitan langsung dengan bagaimana system itu berjalan dan sedapat mungkin bersignifikansi bagi kehidupan rakyat yang lebih baik, adalah tepenting Masa awal dmeokratisasi, situasi ekonomo dan politik tidaklah membaik. Tetapi, demkrasi memang tidak mengajukan solusi instant, seputar bagaimana ekonomi dan politik disembuhkan dalam waktu 1 malam, atau bahkan 1-2-3 tahun. Demokrasi membutuhkan waktu, kesabaran, keuletan dan kebutuhan untuk selalu disesuaikan agar dmeokrasi tidak bertumbuh anakhronisme (kekacauan karena tidak sesuai tuntutan jaman)

Dinamika Politik 2007

Evaluasi 10 tahun demokrasi Indonesia, dan kebutuhan akan kesabaran dan kontekstualisasi, membawa kita untuk melihat apa yang menonjol untuk dicatat dari tahun 207?

Pertama, kekisruhan antar lembaga Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yustisia dan terkahir antara BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dengan MA. Keksiruhan ini mewarnai tahun 2007, baik soal kewenangan dan batas kewenangan, maupun seputar ide dan usul untuk menata kembali semua lembaga tersebut. Bahkan, pertentangan antara KY dan MA dan pertengahan hingga akhir tahun MA dengan BPK, merefleksikan betapa masih butuh waktu bagi Indonesia untuk menemukan format dan formula penegakkan Hukum yang penad dan terlebih efektif dan efisien. Masyarakat Indonesia masih menunggu dengan harap cemas, bagaimana konflik dan pertentangan antar lembaga tersebut diselesaikan di Gedung Parlemen. Tetapi, konflik tersebut merefleksikan kisruh yang dalam, bukan hanya soal professionalism, tetapi juga attitude terhadap kekuasaan.

Kedua, Revisi paket UU Politik (UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, UU SUSDUK dan UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden). Seharusnya, Parlemen Indonesia memberi ruang dan waktu yang lebih bagi pembahasan Paket UU Politik ini, terutama karena butuh waktu panjang menyiapkan dan melaksanakan Pemilihan Umum. Toch, menjelang akhir tahun, hanya UU Partai Politik yang sanggup diselesaikan, sementara UU lain masih menunggu masa siding awal tahun 2008. Pertikaian antara Partai Besar dan Kecil menyeruak kepermukaan. Baik persoalan Electoral Treshold, Syarat memasuki Pemilihan Umum, Daerah Pemilihan, Sistem Pemilihan Umum, dan soal tehnis lainnya menandai perdebatan soal ini. Ruang public politik hangar bingar dengan adu argumentasi di ruang parlemen yang terdengar nyaring bahkan hingga keluar degung parlemen. Bahkan Partai Politik sempat terpolarisasi dalam Koalisi GOLKAR-PDIP melawan Koalisi 8 Partai. Tetapi, seperti biasanya, koalisi berumur singkat ini hanya berkorelasi dengan kepentingan sesaat. Polarisasi sejenis dengan ide dan isu lain pasi akan mengemuka dalam waktu dekat. Terlebih, karena masih ada beberapa UU Politik yang masih di meja pembahasan.

Ketiga, pelaksanaan PILKADA – selama 5 tahun ini, Indonesia sudah, akan dan sedang mengalami kompetisi aau Pemilihan Umum untuk level eksekutif. Pelaksanan PILKADA Indonesia, bahkan masih lebih demokratis dibandingkan dengan kompetisi politik di USA sekalipun. Tetapi, jangan dulu bertanya soal kualitas, karena USA sekalipun butuh 200 tahun untuk menemukan formula hebatnya dewasa ini. Semua hiruk pikuk, kelemahan, kecurangan, tehnik, atau apapun hasilnya, lengkap dengan konflik antar pendukung, adalah hal yang mewarnai pelaksnaan PILKADA di Indonesia selama tahun 2007. PILKADA yang berlangsung di semua daerah, menampilkan wajah yang hampir sama, tingkat kesiapan yang kurang, pemilih yang hanya berkisar 70-80%, atau tingkat GOLPUT yang tinggi, money politik, konflik antar pendukung, dan pertikaian di Pengadilan. Semua proses tersebut sangat wajar dan mudah diprediksi bagi pelaksanaa PILKADA yang masih “bayi” di Indonesia. Tetapi, keberanian memasuki proses itu, sungguh sebuah prestasi politik luar biasa bagi Indonesia. Persoalan tehnis dan kekurang siapan adalah bagian dari proses yan akan berubah seiring dengan semakin dewasanya Indonesia melaksanakan PILKADA. Karena itu, PILKADA akan merupakan salah satu investasi politik jangka panjang bagi Indonesia, yang sepanjang tahun 2007, terus berlangsung dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Keempat, menuju Kompetisi 2009 – tidak diduga, pada tahun 2007 setidaknya 3 tokoh menunjukan gelagat dan niat mau dalam Pemilihan Presiden tahun 2009. Bekas Presiden Megawati, bekas Gubernur DKI Jakarta Letjend (Purn) Sutiyoso dan Pendiri Partai Hanura Jend (Purn) Wiranto. Meskipun terkesan terlalu awal, tetapi potret yang dihasilkan dari episode ini adalah, betapa demokrasi semakin memberi pilihan warna baru bagi dinamika politik Indonesia. Waktu yang akan membuktikan, apakah “jualan” yang awal seperti ini akan efektif atau malah kontra produktif. Tetapi, diluar itu, public politik Indonesia semakin belajar dari waktu kewaktu, bahwa ada banyak alternative dan kemungkinan bagi sebuah “demokrasi”, dan semua serba terbuka untuk dibaca dan dianalisis.

Tahun 2007, memang belum atau tidak menunjukkan episode monumental sebagaimana 1998. Tetapi, setiap tahun, setiap episode adalah penguatan dan pendalaman demokrasi. Sambil berharap, baik Eksekutif, Parlemen, Partai Politik. Civil Society dan asosiasi masyarakat lainnya tidak kehilangan energy pembaharuan agar demokrasi Indonesia mengalami pendalaman dari waktu kewaktu.

Kekurangan Kita ….. Defisit Demokrasi

Perkumpulan DEMOS merumuskan bahwa, ada deficit demokrasi yang dialami Indonesia. Defisit demokrasi itu, mereka pandang dan lihat dari fakta, betapa Indonesia lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai “Islam”, “Kristen” atau “Jawa”, “Betawi”, “Batak”, “MInahasa” duluan ketimbang Indonesia. Bahkan, terkesan, keberanian untuk mengedepankan identitas “Indonesia” menjadi semakin surut. Hal ini berbeda dengan pengalaman Spanyol ketika mengalami demokratisasi, dimana identitas “Basque” dan “Catalan” meski dominant, tetapi diimbangi dnegan bangga menjadi “Spaniard” dan “Europen Community”. Penelitian Demos sangat benar, terlebih karena memang daerah seperti Ambon, Poso, Papua, Aceh, sempat mengalami konflik horizontal yang dalam.

Tetapi, ada defisit dmeokrasi yang lain. Defisit itu, bagi penulis adalah “budaya politik”. Betapapun, demokrasi lahir dan bersemai di peradaban Barat yang kini disemaikan di Indonesia yang berperadaban Timur. Bahkan, praktek politik yang komunal, masih sangat sering terjadi dan menjadi watak birokrasi Indonesia. Dan karena persoalan kompabilitas budaya inilah, yang membuat banyak persoalan yang belum sanggup dipersatukan atau diperdamaikan. Termasuk asalah pendalaman demokrasi, mengalami defisit dari sisi udaya politik. Kritk terhadap pimpinan, rasa patuhberlebihan kepada pemimpin, masih erat dan lekat dengan public politik Indonesia. Padahal, demokrasi menandaikan adanya “individualisme” dan apresiasi atas hak individu dengan kesamaan derajat antar sesame manusia.

Karena itu, jika Indonesia butuh waktu lebih panjang, maka proses selanjutnya adalah proses budaya. Proses mempertemukan beberapa incompability (ketidaksesuaian) untuk menjadi sesuai berdasarkan pengalaman dan penemuan beberapa mekanisme dan proses yang dibutuhkan. Demokrasi butuh waktu, dan waktu mengajarkan bagaimana memperbaiki kesalahan. Maka, 10 tahun capaian demokrasi di Indonesia, cukup mengajarkan banyak hal untuk pembaharuan dan perubahan. Celaka, jika kita enggan dan malas untuk berubah!

Catatan:
Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Politik