Wednesday, February 25, 2009

MENUJU PEMILU 2009

PEMILU 2009: Rakyat Menghukum Politisi?


Oleh:
Audy WMR Wuisang



"Sebelum mereka menipu kita selama 5 tahun,
marilah kita menipu mereka duluan"

Kalimat di atas mungkin terdengar kasar. Mungkin juga memerahkan kuping. Tapi, senang atau tidak senang dengan kalimat itu, suka atau tidak suka dengan tendensinya, begitulah anggapan banyak orang menjelang PEMILU. Apa pasal?

Bukannya sedikit survey, informasi, hasil penelitian, pemberitaan televisi, koran dan media lainnya yang menginformasikan "sisi gelap" dan "attitude buruk" para Politisi kita. Menelantarkan korban Lapindo, pura-pura prihatin dengan kenaikan drastis BBM tetapi meloloskannya di DPR, kasus korupsi anggota DPR, politik dagang sapi dalam pembahasan banyak Rancangan UU. Bahkan termasuk UU mengenai Partai Politik dan Pemilihan Umum yang "terkesan kuat" menyandera proses demokratisasi. Demokratisasi disandera oleh para politisi ...... demikian kesan kuat di tingkat masyarakat.

Apalagi, jika kemudian dikaitkan dengan kinerja legislasi di DPR RI yang mencapai puluhan hampir ratusan yang bakalan tidak tersentuh, meski telah ditetapkan sebagai prioritas legislasi nasional. Tidak mengherankan jika dalam beberapa survey dan pengamatan lembaga Legislatif tempat dimana Politisi berkumpul, memperoleh peringkat kinerja yang buruk. Bahkan, juga idem ito dengan Partai Politik yang menjadi lembaga rekruitmen politisi di Indonesia.Ketika KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) menggelandang beberapa anggota DPR RI, semakin terang bagi masyarakat betapa "buruk" prilaku politik para politisi.

Padahal, menurut beberapa orang di DPR RI, kasus-kasus yang terbuka bukan tidak mungkin mengarah ke terbukanya banyak praktek lain sejenis. Bukan tidak mungkin malah skala dan modusnya lebih canggih dan lebih besar.Sudah begitu, keberpihakan para politisi kepada rakyat yang "mereka wakili" juga kualitasnya teramat rendah. Pertanggungjawaban politik politisi, taruh kata anggota DPR RI, kepada konstituen dan pemilihnya sungguh longgar dan berjarak. Bukan sedikit anggota DPR yang tidak sempat menginjak daerah pemilihannya sampai saat sebelum dia mengakhiri masa bhaktinya sebagai anggota DPR RI. Alasannya beragam, mulai dari kesibukan ataupun karena memang keterkaitan emosional yang sangat minimal. Sistem Pemilu dahulu, memungkinkan orang yang berasal dari daerah "antah berantah" mewakili daerah yang tak punya sentuhan kultural, emosional dengan daerah yang diwakilinya.

Akhirnya? walahualam, jika kemudian tingkat kepercayaan publik ke politisi menjadi tereduksi dari waktu ke waktu.Marilah kita tengok kemudian bagaimana rakyat bereaksi menghadapi para politisi. Ungkapan yang dikutip di atas, bukan sekali dua kali terdengar. Bahkan, disebuah acara di Sulawesi Utara, terhadap pertanyaan akan memilih siapa, kalimat diatas kembali terdengar: "Sebelum mereka menipu kita selama 5 tahun, kita duluan menipu mereka". Artinya, lembaga Legislatif berada pada titik nadir seputar kepercayaan publik atas lembaga tersebut. Lembaga yang kini menjadi tempat yang dituju puluhan ribu orang yang sedang berkompetisi memperebutkan hanya 550 kursi. Atau, tersirat lainnya adalah: Betapa buruk kinerja dan image lembaga perwakilan itu dimata masyarakat.

Tetapi, bukan cuma Lembaga Legislatif sebenarnya, tetapi juga bahkan Partai Politik yang dipandang dan dilihat secara paralel ataupun satu paket dengan Lembaga Legislatif. Uniknya, jika memperhatikan survey LSI, tingkat kepercayaan terhadap demokrasi masih cukup tinggi. Hal yang dipandang positif oleh para pemikir demokratisasi (Baca misalnya, Juan Linz & Alber Stephan atau juga tulisan-tulisan Larry Diamond yang mengedepankan variabel-variabel maupun indikator menganalisis kualitas demokrasi dan demokratisasi).Di tengah rasa pesimis atau bahkan sinisme di tengah masyarakat atas kinerja dan prestasi lembaga perwakilan dan partai politik yang sangat tinggi, Indonesia kembali bersiap menggelar Pemilihan Umum 2009.

Ada beberapa perubahan dalam mekanisme pelaksanaan Pemilihan Umum, termasuk yang terutama dan terpenting adalah mekanisme penetapan anggota DPR RI/DPRD berdasarkan suara terbanyak dan bukannya berdasarkan nomor urut. Perubahan yang sebenarnya cukup baik, meski dari beberapa pertimbangan tetap saja bukan yang terbaik. Karena tetap akan ada kelompok yang dikorbankan, yakni perempuan. Karena sistem suara terbanyak dengan sendirinya menenggelamkan ide affirmative action yang sebetulnya punya korelasi kuat dengan keterwakilan 30% pencalonan dalam UU Pemilu sebelumnya. Tetapi, begitupun, mendekatkan pemilih atau konstituen dengan wakilnya, relatif akan lebih baik. Teorinya demikian.Tapi, apakah akan seperti itu kemudian? Bukannya pesimis, tetapi beberapa hal memang perlu, sangat perlu malah untuk ditimbang kembali.

Beberapa hal itu misalnya:Pertama, Goncangan hebat akan dialami oleh Partai Politik yang terlanjur tampil dengan perkiraan penetapan anggota masih dengan format lama dengan sedikit modifikasi. Maksudnya adalah: format lama adalah proporsional murni dengan berdasarkan nomor urut untuk penentuan kursi, dimodifikasi menjadi 30% suara (BPP) yang akan ditetapkan menjadi anggota. Tetapi, meski angka 30% itu nampak baik, dalam praktek memperoleh 30% sulitnya minta ampun, karena hanya ada lebih kurang 7 anggota DPR RI periode ini yang memenuhi angka 30% BPP. Artinya, angka 30% BPP masih tetap sulit, dan karena itu sistem masih tetap proporsional. Dalam konteks ini, semua Parpol menetapkan daftar calonnya dengan menempatkan kader partai pada nomor strategis. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan dan menggugurkan mekanisme ini dan menunjuk mekanisme suara terbanyak sebagai sistem yang akan diimplementasikan pada Pemilu 2009. Maka, musuh pertama yang akan dihadapi para politisi adalah, rekan-rekan se partai dalam sebuah pertarungan internal. Pertarungan lapis pertama ini akan terjadi bahkan dalam hampir semua proses Pemilu dan potensial melahirkan gesekan yang pada gilirannya akan langsung bersentuhan dengan pemilih.

Kedua, goncangan di atas akan terasa semakin "dramatis" karena pada saat bersamaan tingkat kepercayaan rakyat juga sangat minimal. Akibatnya, konsentrasi konstituen yang sama bukan tidak mungkin "digarap" secara bergantian oleh anggota partai yang sama. Dan, harap diingat, dengan tingkat kompetisi bebas seperti ini, dengan peluang yang sama bagi semua, maka semua atau segala cara akan dilakukan para caleg untuk merebut hati pemilih. Artinya, jika pada sistem lama yang berpeluang hanya yang bernomor strategis ( nomor 1 atau 2), maka tahun 2009, semua memperoleh peluang dan kesempatan yang sama. Maka, kreatifitas dan segala macam cara akan dilakukan caleg untuk merebut hati rakyat. Dan tingkat kompetisi seperti ini, dengan kualitas caleg yang tidak merata, semakin mempersubur peluang terjadinya kreasi-kreasi negatif. Bukan cuma kampanye negatif menurut BANWASLU minggu yang lalu, tetapi terutama mempengaruhi pemilih dengan politik uang.

Ketiga, krisis global yang juga mempengaruhi daya beli masyarakat serta ekonomi nasional, sudah tentu akan membuat godaan uang akan sangat kuat. Bahkan tanpa krisis global dan krisis nasional sekalipun, godaan politik uang akan sangat kuat. Apalagi dalam kondisi tingkat kepercayaan terhadap politisi yang rendah dan krisis yang terjadi secara bersamaan. Kombinasnya adalah, tanpa digodapun, pemilih cenderung akan "meminta" konsesi atas pilihannya. Ironisnya, meskipun menerima uang dari caleg trertentu, belum tentu mereka akan memilih si caleg pemberi uang. Cerita unik dari seorang kawan di Tangerang adalah: "ada sekumpulan warga, kurang lebih 20 KK, mengorganisasikan dirinya, membuat daftar anggota dan menawarkan berdialog dengan caleg secara bergantian. Dan setiap dialog, kelompok masyarakat tersebut selalu "di oleh-olehi" para caleg dengan jumlah uang tertentu".

Fenomena ini berarti, bukan cuma politisi yang semakin kreatif dalam kompetisi yang bebas itu, tetapi masyarakatpun menjadi kreatif untuk mengakali politisi sebelum mereka diakali. Beberapa pengamat berkata: Masyarakat sedang menghukum politisi. Benar, fenomena ini memang benar memenuhi kriteria hukuman rakyat terhadap politisi. Kemuakan konstituen dan rakyat, nampaknya ditunjukkan dengan kecenderungan: "Uang dulu baru dukungan diberikan". Padahal, sudah menerima uangpun, belum tentu mereka memilih. Para caleg memahami hal ini, tetapi karena memang melihat pilihan yang sempit atas alternatif yang bisa mereka lihat, maka tidak sedikit uang yang mesti mereka rogoh untuk berkampanye. Repotnya, kampanye dan periode rakyat menghukum politisi, juga sangat panjang. Dimulai bulan Juli 2008 hingga April 2009.

Apakah dengan demikian kekuatan uang yang akan menentukan siapa yang melenggang ke Senayan pada April 2009? Juga bukan jaminan. Pada tahun 2004, penelitian Saiful Mujani dan William Liddle menunjukkan, bahwa preferensi pemilih lebih ke kedekatan dan kepercayaan terhadap leadership (dalam tokoh Gus Dur, Megawati, SBY, Amien Rais, dll). Dengan mekanisme suara terbanyak, apakah preferensi tersebut masih akan bertahan? Ataukah, kekuatan uang yang akan menentukan pilihan rakyat? Meski masih sulit diprediksi dewasa ini, tetapi nampaknya Partai dengan tokoh yang mapan di pentas politik Indonesia memang masih akan beroleh dukungan signifikan. Tetapi, terkait figur, maka pilihannya tidaklah terutama karena kualitas leadership, tetapi dalam banyak kasus karena kedekatan2 emosional: kekerabatan, kedekatan budaya, dan faktor sejenis.

Semakin mendekati pelaksanaan Pemilu 2009, semakin terasa betapa berat beban para politisi. Masing-masing caleg mengakui berbeban dengan jumlah proposal dan jenis permohonan bantuan yang beragam. Bukan sedikit caleg yang kurang memiliki kemampuan keuangan yang menghindar bertemu konstituen dan calon pemilih. Alasannya? ya itu, uang juga. "Bayangkan, sekali bertemu harus memberi sejumlah uang sebesar .....". Itulah, karena memang masyarakat terlanjur memberi penilaian negatif atas kinerja politisi, maka merekapun tidak segan-segan minta konsesi atas dukungan mereka, meski dukungan mereka dalam bentuk memilih masih tidak jelas juga. Tetapi, selain itu, bukannya sedikit caleg yang juga memang tidak menemukan cara lain yang kreatif dalam berkampanye. Bukan sedikit yang tidak percaya diri dan lebih menyandarkan keyakinannya atas kekuatan uang dan pengaruh kekuasaan. Liat saja dimana-mana, putra para petinggi, istri atau kerabat petinggi daerah berlomba ikut menjadi caleg meski tidak memiliki background politik sedikitpun.

Karena memang, inilah salah satu unsur yang membuat masyarakat menjadi pesmimist dengan partai politik dan para politisi. Banyaknya kerabat petinggi daerah, ataupun petinggi politisi nasional membuat pesimisme rakyat juga ditunjukkan dengan cara mereka sendiri dalam bersikap. Tetapi anehnya, kecenderungan pewarisan kuasa dan pengaruh ke keluarga, baik anak ataupun istri, terjadi di hampir semua parpol di banyak level, bukan hanya daerah, tetapi juga nasional. Kecenderungan seperti inilah yang memberi amunis tambahan bagi rakyat untuk menetukan sikap sesuai dengan pilihannya.Dalam kondisi prilaku parpol dan kinerja DPR RI yang relatif buruk dimata masyarakat, serta juga kecenderungan nepotisme dan pertarungan internal di tingkat partai yang sangat terbuka, ditambah dengan pesmisme rakyat atas lembaga perwakilan berkinerja buruk, Indonesia kembali menuju pelaksanaan Pemilu 2009.

Jika kemudian rakyat menentukan sikap yang "menghukum" Politisi, maka kondisi ini rasanya masuk akal. Memilih atau pemilih rasionalpun cenderung akan "menghukum" politisi dalam kondisi reformasi politik yang terlampau lamban. Dalam kondisi keberpihakan lembaga legislatif kepada rakyat yang minim. Tetapi, betapapun, Pemilu memang akan dan harus berjalan. Karena sesedikit apapun, Pemilu adalah kesempatan untuk perubahan

(Copy dari facebook)

Tuesday, January 20, 2009

KRISIS GLOBAL DAN DEMOKRASI INDONESIA

KRISIS GLOBAL
DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi


Pengantar

Tahun 1930 Amerika Serikat mengalami apa yang dinamakan the great depressión dan kemudian melambungkan John Maynard Keynesian sebagai inspirasi penyelesaian krisis ekonomi pada waktu itu. Fakta ini bisa dibaca secara sederhana, tetapi bagi kalangan pemerhati Ilmu Ekonomi dan Politik, ada hal-hal besar yang perlu dilihat lebih jauh. Mengapa? Karena periode tersebut ádalah peralihan dari masa keemasan Liberalisme ke masa keemasan Keynessian dan Welfare State. Apa pasal? Liberalisme (Klassik) sebagaimana diajarkan oleh Adam Smith dan Herbert Spencer adalah prinsip yang memperkenalkan self regulating market. Maksudnya adalah, Pasar memiliki mekanisme internal yang bisa mengatur segalanya, termasuk mendistribusikan kekayaan ke semua orang. Prinsip ini berdasarkan atas konsep survival of the fittest atau kompetisi antar individu yang harus difasilitasi sehingga yang sanggup bertahan adalah mereka yang bisa berdaptasi. Pasar Bebas adalah tempat dimana kompetisi itu dilakukan dan tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk Negara.

Konsep Adam Smith dan Herbert Spencer ini kemudian sampai pada peran Negara, yang bagi mereka Negara adalah semacam ”Penjaga Malam” saja. Maksudnya adalah, Negara berperan untuk mengkondisikan agar Pasar Bebas itu bisa berperan optimal dan aturan-aturan dibuat Negara agar semuanya (mekanisme pasar) menjadi mungkin. Negara tidak boleh mengintervensi pasar, tetapi membiarkan pasar menangani masalahnya sendiri dan kemudian pada titik suksesnya akan menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Sayang, thesis Smith dan Spencer ini berujung pada depressi besar di tahun 1930, dan bahkan menghadirkan wajah kelam Liberalisme yang menghasilkan imperialisme dan kolonialisme di Asia dan Afrika. Sumber daya alam Negara-negara industrialis yang liberlis itu terbatas dan memaksa mereka untuk melakukan penjelajahan dan pejajahan di daerah baru. Selain imperialisme dan kolonialisme, orang semakin tergantung ke Pasar dan membuat mereka yang gagal bersaing menjadi orang yang gagal. Tergantung kepada pemilik modal dan bahkan menjadi pekerja yang berharga sangat murah dihadapan mereka yang kaya.

Adalah John Keyness yang kemudian memperkenalkan skema ekonomi baru dengan pendekatannya yang kemudian menguasai dunia sejak tahun 1930-an sampai penghujung tahun 1970an. Idenya sederhana, mengembalikan peran Negara ke porsi yang benar dan memungkinkan intervensi Negara ke Pasar sejauh berkenaan dengan kepentingan banyak orang. Intinya adalah, Negara memiliki peran dan kapasitas untuk melakukan intervensi terhadap pasar jika pasar menghadapi kemandegan. Atau, sederhananya, ide bahwa pasar itu memiliki kemampuan self regulating, mengatur diri sendiri ternyata tidak benar. Pasar juga bisa salah, market failure, dan dalam kondisi ini, maka Negara adalah institusi yang wajib dan harus melakukan intervensi karena kapasitas yang dimilikinya. Skema Keynessian ini selain mengembalikan posisi Negara, juga menginspirasi Negara Kesejahteraan atau Welfare State, yakni tugas Negara untuk melindungi warganya yang kurang mampu, cacat, maupun usia tua.

Bagaimana dengan Great Depressi diakhir tahun 2008 lalu? Bagaimana efeknya secara politik dan bagaimana pula efeknya bagi Indonesia?

Krisis Ekonomi Global 2008

Lebih parah dari tahun 1930, akhir tahun 2008 Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi lainnya. Dan, mirip dengan tahun 1930-an, great depression atau krisis ekonomi tahun 2008 adalah akibat dari ”sekali lagi” keyakinan berlebihan terhadap LIBERALISME. Neo Liberalisme (atau dalam ilmu ekonomi Pendekatan Neo Klassik) tepatnya. Naiknya Margareth Thacher di Inggeris selaku Perdana Menteri dan Ronald Reagan di Amerika Serikat pada tahun 1980 adalah awal dari kembalinya Liberalisme (Neo Liberalisme) ke pentas dunia. Bahkan, Thacher secara demonstratif membanting buku Friederich Hayek, the Road to Serfdom, dan menyebutkan “inilah kitab suci kita”. Buku Hayek tersebut adalah kajian sebaliknya dari Keynessian dan membawa kembali ide Pasar Bebas yang dikumandangkan oleh Smith dan Spencer. Bersama dengan Milton Friedman, Hayek menjadi empu baru ekonomi dunia dan mengawal era Pasar Bebas yang baru dengan ideology Neo Liberalisme. Negara kembali sekedar menjadi fasilitator dan harus jauh-jauh dari riuh rendah, ramainya pasar yang hanya bisa dikawalnya tapi tak boleh direcokinya.

Duniapun terhenyak dan terbius dengan sukses ekonomi USA dan Inggeris dalam hitungan 10 tahunan, dan bahkan Perancis yang sosialispun akhir-akhirnya terbujuk. Betapa tidak? Imperium Neo Liberalisme menggurita dengan tangan-tangan lembaga multi national seperti WTO, IMF, BDA, dan lembaga lain yang siap menawarkan kredit lunak dengan pengembalian jangka panjang. Tangan-tangan inilah yang membantu ekspansi besar-besaran dunia dan Negara industrialis dan secara baru menjajah Negara-negara dunia Ketiga hingga kali ini terjajah secara ekonomi, tidak secara politik. Dari sini muncul istilah baru, imperialisme gaya baru. Tetapi, ketergantungan yang diciptakan secara ekonomi, ternyata membius dan menerpa nyaris tanpa kemampuan Negara menjaga batas teritorinya karena secara bersamaan tehnologi informasi dan komunikasi juga berkembang pesat. Kajian Wallerstein mengenai World System dan juga Francis Fukuyama tentang the end of history memperlihatkan fenomena betapa dunia semakin menjadi tanpa batas.

Sayang, dunia, termasuk USA dan Inggeris lupa, bahwa apa yang disebut “market failure” oleh Keyness bukannya sesuatu yang tanpa dasar sama sekali. Great Depression tahun 1930 yang disebabkan oleh kerakusan manusia yang dipicu oleh pasar bebas, seakan terlupakan meski banyak Negara yang menjadi korban penghisapan lewat kolinialisme. Dan, sekali lagi Great Depression tahun 2008 mengulang kisah lama, kisah tahun 1930, yang sekali lagi membuktikan bahwa tidak benar bahwa Pasar itu self regulating. Pasar bisa keliru, demikian Keyness, dan sekali lagi dia benar. Kali ini, kerakusan dan keserakahan yang ditimbulkan Pasar dalam bentuk transaksi elektronik yang tanpa kontrol menghancurkan perekonomian Amerika Serikat.

Bukan kecil warisan hutang yang akan diterima Obama nantinya, hanya sekitar 1,2 Trilyun US$. Dan, dampak hancurnya ekonomi di USA juga hinggap hingga ke China, yang dalam waktu dekat mem PHK 600 ribu pekerja, juga bahkan Eropa Barat, memukul harga minyak mentah dunia. Bahwa Negara Asia juga mulai terkena dampak, terasa di pertumbuhan ekonomi yang semua menurun, hingga ke semakin banyaknya tenaga kerja produktif yang kehilangan pekerjaan. Sementara Indonesia sendiri, diramalkan akan mengalami akibat terburuk dari krisis global pada 2-3 bulan mendatang dengan masa-masa awal di tahun 2009 sebagai kepastian datangnya akibat buruk itu. Tanda-tanda 2009 bakal berlangsung buruk diperparah oleh tragedi kemanusiaan ketika Israel membombardir Palestina dan langsung berefek ke proyeksi harga minyak yang bakal melonjak. Indonesia yang diprediksi menurunkan harga BBM pada medio Januari, langsung pasang kuda-kuda untuk merevisi jika situasi krisis global memperburuk keadaan.

Indonesia yang terlanjur mempercayakan sebagian besar perekonomiannya sesuai mekanisme pasar (termasuk UU Penanaman Modal yang baru), bersiap siap menuai badai krisis. Meski memang belum akan seberat krisis ekonomi tahun 1998, tetapi krisis yang akan dan sedang terjadi ini, betapapun terjadi ketika Indonesia masih belum pulih dari terpaan krisis 1998. Artinya, pemulihan dan normalisasi perekonomian Indonesia mengalami penundaan untuk kembali ke titik awal sebelum dihajar krisis tahun 1998. Teori politik bisa optimist karena secara politis, Indonesia sudah jauh lebih demokratis, yang berarti compatible dan bersesuaian dengan cara positif perbaikan ekonomi. Tapi, bisakah teori ini menjadi kenyataan sementara varian krisis internal dan global terjadi pada saat bersamaan? Selain, masih terdapat sejumlah pekerjaan besar, baik politik, hukum maupun pemulihan ekonomi Indonesia.

Masa Depan Demokrasi di Indonesia

Adalah mengherankan bahwa siklus Liberalisme dan Keynessian bisa saling menggantikan dalam kurun waktu beberapa puluh tahun terakhir. Wallerstein mengingatkan dunia soal Siklus Kontradieff, siklus ekonomi 45-60 tahunan yang setiap siklus itu melahirkan penguasa dunia yang hegemonik. Menurut Siklus Kontradieff itu, Amerika sedang mengalami deklinasi kekuatan, dan tahun 2000 tinggal kekuatan perdagangan dan kekuatan finansial yang dimilikinya setelah militer mulai tersaingi (Wallerstein Essential, 2000). Dengan krisis ekonomi tahun 2008, maka perdagangan dan perekonomian Amerika Serikat terpukul berat, dan bahkan hutang yang diwariskan begitu besarnya hingga bolehlah disebutkan bahwa Amerika Serikat kini dalam posisi yang setara dengan kekuatan dunia lainnya: Eropa Barat, Jepang, China. Dengan kondisi seperti ini, maka perubahan-perubahan ekonomi politik global akan sangat terbuka dan sangat mungkin terjadi. Fakta bahwa dunia seakan melawan Israel dan USA dalam kasus Palestina menerangkan betapa keseimbangan kekuatan dunia bakal semakin ditentukan. Dan jika demikian, apakah krisis global kali ini akan mempengaruhi pemegang hegemoni global? Dan jika demikian, seperti apa masa depan politik Indonesia?

Jika mengikuti logika Wallerstein dengan analisis world system yang dia ketengahkan lengkap dengan siklus kontradieff, maka dunia akan memasuki krisis besar selama 15-30 tahun. Akhir dari siklus itu, konflik global itu, adalah lahirnya kekuatan hegemonik yang baru. Wallerstein menyebutkan Jepang dan Eropa Barat sebagai calonnya, tetapi nampaknya China selama beberapa tahun terakhir menjelma menjadi kekuatan lain yang cukup serius kekuatannya. Siapapun kekuatan hegemonik dunia berikutnya, yang harus digarisbawahi adalah gejolak global yang terjadi sudah pasti berpengaruh bagi kondisi internal Indonesia. Mengapa demikian? Perkembangan technologi informasi dan komunikasi telah menyatukan dunia menjadi satu arena besar. Akibatnya, skenario global dengan mudah berdampak langsung bagi konteks ekonomi dan politik di Indonesia. Padahal, Indonesia masih berhadapan dengan agenda demokratisasi yang belum tuntas dan pemulihan ekonomi yang terganggu oleh krisis ekonomi dunia.

Persoalan yang dihadapi sekarang adalah, bagaimana mengantisipasi gejolak dunia dan secara simultan menuntaskan persoalan persoalan ekonomi dan politik internal. Secara internal, Indonesia sebetulnya masih belum sanggup mengkonsolidasikan demokrasi, meski lembaga-lembaga demokrasi secara prosedural sudah tersedia. Tetapi, menjadikan demokrasi sebagai ”the only game in town” meminjam istilah Di Palma, masih menjadi agenda. Masih terdapat gerakan-gerakan non demokratis yang terbiarkan dalam diri HTI, FPI, dan sejenisnya. Penegakkan hukum yang kerap bermotif politik dan posisi kekuatan politik Islam terhadap demokrasi serta reformasi militer yang masih di tahap tarik ulur. Belum lagi soal ekonomi dan pemulihannya yang sudah pasti akan sangat terkait dengan konteks dan dinamika politik Indonesia masa kini.

Suatu hal yang pasti, persoalan pluralisme dan masa depan demokrasi akan sangat berdampingan kelak. Redefinisi demokrasi nampaknya akan dilakukan oleh banyak kekuatan politik. Terutama setelah kekuatan-kekuatan politik Islam seperti mendapatkan momentum atas krisis global yang terjadi dan lambannya pemulihan ekonomi Indonesia. Kondisi ini akan melahirkan momentum ketersediaan sistem dan skema ekonomi politik lain meski tetap masuk atau diupayakan masuk dalam skema Pancasila. Suatu hal, Pancasila tetap menjadi komitmen bersama Bangsa Indonesia, meski tafsir dan internalisasinya di beberapa kelompok mulai terjadi bias dan penyimpangan. Redefinisi akan semakin menemukan momentum ketika polarisasi kekuatan global terjadi dan kondisi krisis global yang diramalkan Wallerstein menjadi kenyataan. Kondisi mono polar dewasa ini membuat tafsir atas demokrasi seakan menjadi hak dan kekuatan Amerika dan Eropa Barat, sementara tafsir lain dianggap bias atau menyimpang.

Seiring dengan kebangkitan dunia Islam, maka tafsir alternatif atas demokrasi akan semakin penting khususnya di Indonesia. Artinya, masa depan demokrasi Indonesia akan sangat tergantung atas bagaimana demokrasi diinterpretasi dan diinternalisasi oleh kekuatan politik Islam. Sejauh ini, pluralisme pandangan politik Islam justru memberi peluang bertumbuhnya Demokrasi Liberal di Indonesia. Tetapi, jika kemudian krisis berlanjut dan demokratisasi di Indonesia tidak bersignifikansi dengan kesejahteraan bahkan berujung krisis baru, maka tafsir baru akan memiliki peluang mengemuka. Apalagi, karena mekanisme demokrasi dewasa ini, sangat mungkin memberi peluang bagi redefinisi atas Pancasila menjadi berbeda. Dengan kondisi global yang sulit mempertahankan posisi dominasi penafsiran atas demokrasi dan kondisi internal yang membuka pintu akibat tidak selesainya agenda demokrasi dan pemulihan ekonomi, maka kondisi tersebut menjadi mungkin.

Makalah ini tidaklah bermaksud untuk mengatakan bahwa pikiran alternatif itu keliru atau bukan, tetapi memaparkan kemungkinan kemungkinan yang menanti kedepan akibat krisis global. Juga akibat krisis di Amerika Serikat yang mengikuti analisis Wallerstein sejak tahun 2000 mengataka bahwa situasi mono polar tidak akan berlangsung lama karena Amerika sedang kehilangan kemampuan hegemoniknya. Dalam kondisi yang sama di Indonesia yang sedang tidak mampu menyelesaikan agenda demokratisasi (liberal) dan signifikansi kesejahteraan tidak ditemukan, maka tafsir dan skema baru sangat mungkin menyeruak ke permukaan. Apalagi, tafsir baru itu sangat mungkin dilakukan atas nama demokrasi atau dengan menggunakan cara dan mekanisme demokrasi. Akankah kondisi ini berimplikasi pada Indonesia sebagai satu Negara adalah persoalan lain. Tetapi, jika skema baru dilaksanakan dan dilakukan dengan cara demokratis, maka bukan hal yang mustahil jika Indonesia dalam kondisi sekarag ini memasuki masa depan baru dengan skema politik baru.

Demokratisasi di Indoensia dewasa ini memang berlangsung cukup baik secara prosedural. Sayang, bahwa kondisi global dan inkonsistensi di tingkat birokrasi dan parlemen sering membuat kepentingan rakyat terlukai dan terabaikan. Tetapi, secara umum demokrasi di Indonesia megalami kemajuan berarti dibandingkan dengan banyak negara lain yang gagal melakukan transisi demokrasi dan jatuh pada sisi otoritarianisme baru. Tetapi, jika kondisi seperti ini bertahan dalam waktu panjang, maka godaan skema baru dan skema alternatif akan mengemuka, dan jika bukan dengan skema baru, maka Indonesia akan memasuki krisis baru yang sangat mungkin berujung pada kembalinya regime otoritarianisme. Di usia 10 tahun demokratisasi di Indonesia, sebetulnya capaian sudah cukup baik, tinggal menuntaskan konsolidasi demokrasi di Indonesia ditambah sedikit kesabaran diantara aktor-aktor politik dan masyarakat yang direpresentasi oleh Civil Society.

Di tengah terpaan krisis global dan agenda-agenda nasional yang masih menggantung, maka menjadi tugas semua komponen Bangsa, terutama Parlemen, Eksekutif, Partai Politik dan Civil Society untuk mencari jalan menuntaskan agenda demokratisasi. Sebab jika tidak, maka alternatif lain akan sangat mungkin hadir ke permukaan dan menghantarkan Indonesia memasuki konflik baru berkepanjangan. Kita berharap, tahun 2009 akan menjadi awal baru bagi spirit penuntasan agenda demokratisasi Indonesia.

Jakarta, 7 Januari 2009

Penulis: Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan Karawaci, Partner Strategic
Indonesia, Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UI

(Manado Post, 14 Januari 2009)

NATAL 2008 YANG MENGAGETKAN

NATAL (2008) MAKIN MENGAGETKAN

Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi


“Kuingin mengulang lagi, kenangan masa kecilku
Kenangan hari Natal yang bahagia
Kunyalakan lilin-lilin, kunyalakan lenteraku,
Kenangan Natal di dusun yang kecil”


Selamat Menyambut Natal tahun 2008 ….

Tetapi, astaga, betapa Natal dan perayaannya semakin bertolak belakang dengan fakta yang dirayakan. Bukankah kedatangan Yesus yang digambarkan oleh Lukas 2:1-20 adalah gambaran mengenai “KEBERSAHAJAAN”, baik kedatangan Yesus maupun oleh para penyambutnya. KelahiranNya di kandang hewan, penolakan rumah-rumah penginapan, para Gembala jelata yang gemuruh mendengar kidung KEMULIAAN BAGI ALLAH. Semua adalah gambaran betapa Allah yang berpihak kepada mereka yang menderita, terbeban, tersudutkan, terpinggirkan, dan berkenan mengutus anakNya, PUTRA NATAL, untuk mereka.

Begitulah cerita Natal yang sebenarnya. Sebuah cerita indah yang menjadi Kabar Gembira (Injil) bagi manusia, bahwa pelepas dan penyelamat mereka sudah hadir, sudah lahir. Maka Natal memang adalah sebuah kabar sukacita, sebuah kegembiraan luar biasa karena harapan akan sesuatu yang lebih baik telah hadir dan telah dating. Maka, kidung-kidung Natal adalah kidung tentang kedatangan Yesus sang Putra Natal, datang melepaskan manusia dari ikatan belenggu dosa.

Mungkin, banyak yang beranggapan bahwa kisah itu sudah lewat. Benar, karena memang kisah itu terjadi lebih kurang 2000 tahun lampau. Dan sudah tentu, banyak juga yang beranggapan ”ach, dunia kan sudah berubah”. Anggapan yang juga tidaklah keliru, sangat tepat malah. Anggapan itu akan sampai pada kesimpulan bahwa ”wajar jika kesederhanaan Natal 2000 tahun lalu karena memang latar belakangnya yang jauh berbeda”. Juga kesimpulan yang sama sekali tidak salah. Karena itu, jika kemudian orangpun berpikir bahwa Natal 2008 latarnya disesuaikan dengan hingar bingar modernisasi dunia, juga menjadi tidak keliru. Maka, lihatlah hiasan-hiasan dan Ornamen Natal tahun 2008, sungguh membuat banyak orang ”kesengsem”, bahkan termasuk penulis yang terperangah kagum. Selebihnya, bahkan ikut-ikutan mengambil foto kenangan atas betapa meriahnya ornamen Natal 2008 yang hadir di gedung-gedung mewah dan menghadirkan suasana Natal disana.

Berjalan dari Gedung ke Gedung, dari satu Mall ke Mall, sama dengan menyaksikan parade yang wah tentang Natal dan ornamennya yang serba mewah, modern dan sudah tentu ..... MAHAL. Dibandingkan dengan Natal pada masa kecil di Kampung dulu, hanya hiasan-hiasan alamiah serta lilin lilin sederhana yang menghiasi pohon Natal. Tetapi, tingkat syahdunya sama sekali tidaklah berkurang. Di sini, tahun 2008 ini, Natal yang hadir dengan Pohon Natal super, Pohon Natal super gemerlap, pohon natal super gempita, lilin-lilin elektronik, lampu natal dengan gaya dan lagu yang lebih memikat, serta dengan ornamen lainnya yang sangat kreatif. Tetapi, sekali lagi ......tentunya MAHAL. Dan memang, Natal terkesan semakin memikat, semakin sexy dan semakin ...... maaf genit.

Tidak terbayangkan jika hiasan seperti itu bergelantungan di rumah kecilku di dusun berpuluh tahun lalu. Mungkin, Natal akan sama kenangannya dengan hiasan eksklusif itu. Tetapi, masih beruntung bahwa kenangan Natal di dusun adalah kenangan tentang kebersahajaan dan tentang bagaimana Natal dirayakan tidak semata dengan aspek perayaannya, seremonialnya, tetapi dalam aspek budayanya dan aspek religius (keagamaannya). Ornamen-ornamen itu memang sangat baik dan penting bagi upaya menghadirkan ”keintiman” atas Natal dalam pertumbuhan spiritualitas seseorang. Tetapi, akan menjadi bumerang ketika Ornamen itu menjadi kebutuhan primer dan menjadi keharusan utama dalam setiap proses adventus, penyambutan akan Natal. Karena, bukan sedikit manusia yang hanya mampu melirik iri menyaksikan ornamen mahal dan indah itu dibeli orang lain. Karena bukan sedikit yang bahkan untuk menghadirkan suasana Natal di rumahnya masih kelimpungan. Sungguh, memang Ornamen indah, kreatif dan mahal itu adalah ironi, gambaran miris tentang berbedanya strata dan tingkat kehidupan manusia. Meski mereka sama agama sekalipun.

Ketika beranjak lebih jauh lagi, kitapun kemudian akan tiba di Gedung-gedung Gereja yang mulai berbenah. Gedung Gereja memang tidak sesemarak Mall dan Pusat perbelanjaan, tetapi Ornamen Natalpun semakin mengkilap dan wah disana. Orang atau jemaat akan dengan sederhana mengatakan ”Bukankah Gereja harus dihias seindah mungkin menyambut Natal?”. Sudah tentu benar. Dan lagi, Majelis Jemaat mana yang berani melarang antusiasme warga Jemaat untuk memperindah dan menghiasi Gerejanya? Bukankah Gereja selalu menjadi priortas dan tempat yang harus dilihat indah dan menyenangkan bagi jemaatnya? Maka menjadi wajar jika Natal, termasuk Natal 2008, Gedung Gereja juga ikut ikutan tampil makin semarak, makin modis dan sedapat mungkin tidak ketinggalan mode semaraknya ornamen Natal.

Nampaknya tidak ada yang salah. Mengapa juga harus salah? Tapi ... Apakah Natal masih berpusat pada kelahiranNya? Apakah Natal masih merayakan Kristus yang datang dalam rupa Manusia? Apakah Natal masih merupakan respons sukacita manusia atas datangnya Penebus Dosa? Tak perlu menunggu jawaban siapapun, karena jawabannya sudah pasti YA. Tetapi, mengapa pula substansi dan makna utama Natal menjadi semakin tenggelam dibalik semarak dan dibalik gemerlapnya hiasan dan ornamen NATAL? Lihatlah bagaimana pohon Natal, Saint Clauss, Lampu Natal menjadi penguasa ornamen Natal dan menempatkan kandang hewan jauh ke belakang. Ada apa pula? Apa karena harga dan penampilan kandang itu agak mengusik kemapanan Kekristenan? Atau karena kandang memang susah dinodifikasi sesuai dengan tuntutan pasar? Tetapi itulah, hari-hari ini, kita menyaksikan betapa substansi dan makna Natal sednag terus dibenamkan oleh kekuatan uang dan pasar yang menempatkan Natal sebagai arena besar. Arena dimana semua umat Kristen dipaksa untuk harus membeli, dipaksa untuk menghias rumahnya. Dan tak terasa, sudah bukan kesederhanaan Natal yang menuntun umat Kristen untuk merayakan Natal, tetapi tuntutan PASAR dan GENGSI.

Maka, ukuran kesyahduan Natalpun berpindah dari unsur-unsur kebersahajaan ke unsur-unsur komersial. Unsur-unsur yang lebih baru, meski tidak terkait langsung dengan berita Natal, tetapi membuat Natal mampu menjadi arena iklan yang menarik minat orang membel. Natal menjadi Alat PASAR, mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan sentimen keagamaan.

Apakah Natal seperti ini yang dikehendaki? Yang dikehendaki Pasar sudah jelas ya. Tetapi yang dikehendaki Putera Natal, sudah jelas Tidak. Kesederhanaan dan kekhusyukkan untuk menyambut Natal tetap substansi mendasar yang seharusnya membuat umat kristen bersyukur menyambut perayaan itu. Dan bukannya tertekan untuk menghabiskan banyak daya guna mempersiapkannya. Tetapi, jikapun memang trend dan gaya sudah demikian, maka hal minimal yang masih mungkin dilakukan ádalah ……. Tidak meninggalkan YESUS dalam perayaan Natal. Sebab, jika seluruh perayaan ditempatkan menjadi substansi NATAL, maka sama saja dengan menyuruh YESUS untuk menunggu diluar rumah sementara kita merayakan KELAHIRANNYA.

Dan, inilah yang makin mengagetkan. Dan nampaknya tahun demi tahun akan makin mengagetkan. NATAL telah menjadi semakin spektakuler, Ornamen dan Hiasannya semakin kreatif, semakin mengkilap dan semakin menantang. Banyak lomba membuat pohon Natal super, menghias gila-gilaan agar Natal penuh semarak, penuh keriangan. Natal yang dulunya syahdu, khusyuk dalam sukacita sorgawi, semakin gempita oleh ornamen Natal yang hadir baru ratusan tahun terakhir ini. Tahun-tahun kedepan, kita akan lebih menyaksikan pameran Natal spektakuler. Tetapi, kekagetan itu takkan membuat kita tersentak, jika kita tetap awas, bahwa betapapun NATAL adalah kelahiranNYA. Kelahiran dalam kesederhanaan, untuk menyelamatkan manusia. Dia tidak butuh Ornamen, tidak butuh Pohon Natal Super, Lampu Natal gemerlap, dia butuh hati kita.

(Bulletin GPIB Bahtera Kasih, Desember 2008)