Wednesday, May 23, 2007

PILKADA DAN PROSPEK DEMOKRASI

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Pemilihan Kepala Daerah Langsung atau PILKADA merupakan sebuah lompatan luar biasa proses demokratisasi dalam kancah politik Indonesia. Dibandingkan dengan UU No 22/1999, apalagi dengan UU No 5/1974, proses Pemilihan Kepala Daerah yang diatur dalam UU 32/2004 jauh lebih demokratis. Pada masa Orde Baru, penentu Kepala Daerah adalah Menteri Dalam Negeri sebagai operator Presiden Soeharto. Jangan berharap menjadi Kepala Daerah tanpa restu Presiden meskipun sudah terpilih di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sementara di bawah UU 22/1999, meskipun UU tersebut lebih demokratis dibanding UU 32/2004, tetapi dalam hal PILKADA masih memberi kewenangan Pemilihan Kepala Daerah kepada DPRD.

Sementara UU 32/2004, menegaskan sebuah mekanisme baru dengan tingkat legitimasi kekuasaan Kepala Daerah yang luar biasa kuatnya. Dibandingkan dengan UU 22/1999 dan apalagi UU 5/74, maka Pemilihan Kepala Daerah yang diatur UU 32/2004 jauh lebih demokratis. Mengapa? Karena penentu utama terpilihnya Kepala Daerah bukan lagi DPRD dan bukan juga Menteri Dalam Negeri ataupun Presiden. Dengan dipilih oleh rakyat secara langsung, maka Kepala Daerah mendapatkan legitimasi rakyat secara langsung dan mempertanggungjawabkan mandate tersebut juga kepada rakyat, melalui perwakilannya.

Sebuah Analisa Akhir Tahun yang dilakukan Kompas (20 Desember 2005), memuat hasil yang terkesan skeptis. PILKADA dianggap gagal dalam melakukan desentralisasi demokrasi dan bahkan melanggengkan sistem pembajakan demokrasi oleh elite lokal dan partai politik. Penulis berargumentasi sebaliknya: bahwa, PILKADA adalah demokratisasi pada aras lokal. Dengan melihat kualitas dan turn out PILKADA, maka sebetulnya pelaksanaan PILKADA tidaklah buruk-buruk amat. Setidaknya dalam catatan CSIS (September 2005), turnout ataupun prosentase pemilih mencapai rata-rata 73%, bahkan ada yang menyentuh 99% di Pegunungan Bintang, Papua. Artinya, rata-rata yang tidak mempergunakan hak suara hanyalah 27%, dan masih masuk akal untuk dikategorikan sukses. Karena jika dibandingkan dengan turn out di Inggeris (Stewart, 1990) yang hanya rata-rata 40% dalam Sub National Election, maka jelas PILKADA masih jauh lebih baik. Bahkan Skotlandia yang dirujuk lebih baik dibanding Inggeris di Eropa, mencapai 78%, berbeda tipis dengan di Indonesia.

Tentu, bukannya tidak ada masalah dengan PILKADA di Indonesia, baik payung hukum maupun tehnis pelaksanaannya. Dominasi partai politik, pengajuan hanya melalui Partai Politik, penanganan sengketa PILKADA, dan sejumlah persoalan lain yang menghadang, selain potensi konflik di tingkat lokal akibat gesekan dan benturan kepentingan. Tetapi, mengingat PILKADA bagi Indonesia di tahun 2005 merupakan pelajaran politik dan proses demokrasi yang baru dan sangat maju, meski bukan excuse, tetapi masih bisa diterima. Sebagai sebuah langkah awal, terlebih sebuah proses yang diproyeksikan panjang kedepan, maka PILKADA betapapun tidaklah dengan mudah diberi nilai “GAGAL” dalam mengendorse dan mendorong demokrasi di tingkat lokal. Malah sebaliknya, PILKADA, merupakan akses dan entry point bagi jalan panjang proses demokratisasi hingga ke aras lokal dan sekaligus mematangkannya.

Sulawesi Utara, selain Provinsi, juga melaksanakan 4 PILKADA lain di tingkat Kabupaten dan Kota. Selain Kotamadya Bitung, pelaksanaan di Minahasa Selatan, Utara, Tomohon dan Provinsi bisa dikatakan berlangsung baik. Dan tidak cukup alasan untuk menyebut masyarakat mengalami trauma politik akibat pelaksanaan PILKADA. Bahwa kemudian muncul gugatan bertebarannya “angin sorga” dan “praktek jual beli suara”, hal tersebut adalah lazim dalam sebuah perlombaan. Hal yang harus diminimalisasi secara sistematik dari waktu ke waktu. Tetapi, bahwa proses tersebut secara substansial memberi ruang bagi partisipasi public dalam menentukan pemimpin lokal, tidaklah dapat serta merta disebut gagal.

PILKADA dan Demokratisasi
PILKADA merupakan proses pemilihan yang mengadopsi prinsip diffusion of power yang sangat dekat dengan tradisi the localist (ideology baru pemerintahan lokal). Baik pendekatan demokrasi yang minimalist maupun maksimalist, memprasyaratkan Pemilihan Umum regular yang adil dan terbuka serta jujur sebagai mekanisme pergantian elite. PILKADA, sudah lebih dari cukup mengekspressikan hal tersebut, karena itu bisa dikatakan bahwa PILKADA, merupakan salah satu mata rantai penting dalam proses demokratisasi di tingkat lokal.

Tetapi, PILKADA harus dipahami bukan satu-satunya prasyarat berlangsungnya demokratisasi, ataupun tercapainya kematangan demokrasi, terutama di tingkat lokal. Bahwa PILKADA merefleksikan proses tersebut, tidaklah bisa dibantah. Tetapi, menyimpulkan bahwa demokratisasi berlangsung dengan baik di aras lokal dengan terjadinya PILKADA, juga sangat tergesa-gesa. Karena demokrasi, bukan sekedar Pemilu, bukan sekedar lembaga demokrasi terbentuk, tetapi bagaimana mekanisme tersebut berlangsung teratur dan bersignifikansi dengan kontrol masyarakat serta kebebasan berekspressi. Demokrasi dan demokratisasi meminjam terminology Juan Linz, Dahl, Stephan dan Lary Diamond, tercapai melalui pelembagaan lembaga demokrasi, Hukum sebagai rujukan semua aturan main, tingkah laku dan sikap politik yang demokratis dan taat azaz serta adanya penghargaan atas kebebasan, pluralisme dan akses informasi yang equal bagi masyarakat.

Gagalkah Demokratisasi di Tingkat Lokal?
Demokrasi dan Demokratisasi selama ini dimengerti dan digagas dalam konteks Negara. Tetapi, PILKADA, sebagaimana tradisi the localist di atas, menjadi media dan entry point demokratisasi lokal. Adalah keliru untuk menduga dan berharap bahwa proses tersebut akan selesai dan tuntas dalam 1 atau 2 kali putaran PILKADA maupun PILPRES. Proses mematangkan dan mengkonsolidasikan demokrasi butuh waktu yang panjang dan karena itu, dibutuhkan kesabaran dan ketaat azasan agar proses tersebut menghasilkan system dan mekanisme demokrasi yang diharapkan.

Sebagaimana dicatat oleh Gregorius Sahdan, sebelum tahun 1970-an, sentrum dan sasaran demokrasi selalu Negara. Negara selalu dianggap pemilik sah kekuatan dan kedaulatan rakyat dan karena itu menguasai alat represif dalam rangka memaksakan keputusannya baik secara improsedural maupun procedural. Karena itu, muncul Birokrasi yang sentralistis dengan ideology Pemerintah Lokal yang ortodoks, sangat tergantung pusat & tidak menghargai pluralitas sumber kekuatan dan legitimasi daerah.

Perubahan yang dihadirkan sejak tahun 1970-an, kemudian memunculkan sikap dan mekanisme yang lebih apresiatif bagi potensi lokal. Desentralisasi menjadi kata kunci bagi dikuranginya beban pekerjaan pemerintah pusat dengan dilakukannya diffusion of power. System pelimpahan wewenang antara lembaga pemerintah dengan menerapkan system dan mekanisme control dan check and balances. Partisipasi politik warga, semakin diapresiasi dan justru semakin menentukan sejauh mana kedaulatan rakyat tersebut diberi ruang oleh Negara. Hal ini yang disebut desentralisasi, yakni sejauh mana partisipasi politik rakyat sebagai pemilik kedaulatan diberi tempat yang cukup oleh Negara. Dari sisi ini, sangat parallel pemahaman desentralisasi dengan demokratisasi. Artinya, demokratisasi di tingkat lokal, seharusnya mengendorse dan memperluas ruang partisipasi para pemilik kedaulatan termasuk di tingkat lokal. Karena itu, fungsi dan makna desentralisasi dengan demokratisasi memiliki kedekatan yang signifikan.

Masalah-Masalah PILKADA 2005
Kesimpulan gagal yang ditarik oleh Kompas, mungkin didasarkan atas banyaknya persoalan yang menyertai PILKADA sepanjang tahun 2005. Masalah-masalah dalam PILKADA 2005 bukannya belum diantisipasi. Wacana ini, baik dalam bentuk proyeksi maupun prediksi, sudah dicermati banyak kalangan bahkan segera setelah UU 32/2004 disahkan. Apalagi dengan begitu lamanya PP 6/2004 dikeluarkan Pemerintah sebagai petunjuk pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung. Dalam konteks ini, beberapa masalah yang diidentifikasi Kompas dan juga beberapa pengamat adalah:

Pertama; Pelaksanaan PILKADA yang melahirkan konflik antar kelompok dan saling gugat menggugat. Dari catatan CSIS (September 2005), antara Juni – Agustus 2005, ada sekitar 83 gugatan hasil PILKADA dari 173 PILKADA yang dilangsungkan, masing-masing 2 gugatan untuk PILKADA Provinsi, 14 Kotamadya dan 67 Kabupaten. Uniknya, PILKADA di daerah rawan konflik, justru berlangsung dengan aman, tetapi di banyak tempat terjadi polarisasi antar kelompok dalam masyarakat. Umumnya terjadi karena perbedaan dukungan terhadap calon Kepala Daerah.

Kedua; Money Politik – hampir semua Pemilihan, pada aras manapun dewasa ini di Indonesia pasti melibatkan uang. Mulai dari pendaftaran di tingkat Partai Politik, KPUD, hingga ke Team Sukses dan Masyarakat, rata-rata praktek ini dilakukan oleh hampir semua calon. Persoalannya, kategori money politics dan perangkat perundangan untuk meminimalisasi praktek ini masih belum tersiapkan secara baik. Terlebih, karena hampir semua komponen masyarakat dan elite terlibat dalam kekisruhan ini.

Ketiga; Kredibilitas dan keabsahan calon – juga menjadi persoalan, baik terkait dengan otentisitas/keaslian Ijasah, maupun track record/latar belakang calon yang rata-rata sulit diakses oleh publik pemilih. Akibatnya, kampanye negatif dengan unsur pembunuhan karakter kerap terjadi. Juga, karena pencalonan dimungkinkan dari Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, maka proses ini makin menyuburkan oligarkhi Partai Politik.

Keempat; Penghitungan suara yang berbeda antar calon dengan KPUD – kasus semacam ini juga terjadi di banyak tempat. Kasus Bitung, yang harus melakukan penghitungan ulang dan pemilihan ulang di 12 TPS adalah contoh yang jelas, termasuk juga PILKADA di Depok yang harus menunggu Kasasi MA untuk memutuskan pertikaian tersebut. Rata-rata, para calon memiliki team lapangan dan penghitungan sendiri, yang sering melakukan penghitungan untuyk keuntungan sendiri.

Kelima; Gaya dan isi kampanye yang sektarian – gaya kampanye dan isi kampanye yang cenderung propaganda dan mengusung ide sectarian juga sering terjadi. Identifikasi calon sebagai putra daerah, non keturunan, agama tertentu, etnis tertentu, pewaris kekuasaan tertentu, dan seterusnya, justru mewarnai kampanye. Akibatnya, bukan mendorong proses pluralisme dan demokrasi, justru mencederainya.

Keenam; Profesionalsme KPUD - Profesionalisme KPUD, juga menjadi sorotan tajam, karena sering KPUD menjadi bagian dari persoalan. Baik dalam kasus penghitungan, penetapan keputusan, maupun area kebijakan KPUD lainnya yang sering menghadirkan persoalan. Tekanan dan kepentingan penguasa, elite lokal kepada KPUD membuat KPUD sering menjadi tidak netral, dan terjebak dalam persoalan PILKADA tersebut.

Bila kemudian dilakukan pencatatan, maka menurut Analisis CSIS dan Kompas, maka setidaknya hingga Agustus 2005, sudah dilaksanakan PILKADA di 226 Daerah, dengan perincian: 11 Pilkada Provinsi, 215 PILKADA Kabupaten dan Kotamadya. Masalah-masalah di atas, adalah masalah menonjol karena pasti masih ada masalah lain yang tidak tercatat. Meskipun demikian, alasan untuk menyatakan bahwa Demokratisasi gagal dilakukan melalui PILKADA merupakan sebuah simpulan yang terlampau premature. Bahwa persoalan tersebut adalah persoalan yang menghambat proses demokrasi adalah benar, tetapi bahwa PILKADA kemudian gagal dalam memerankan proses demokrasi adalah kurang benar.

PILKADA Tidak Gagal Mempromosikan Demokratisasi
Ada beberapa pertimbangan yang perlu dikemukakan dalam konteks PILKADA dan Demokratisasi, terutama dalam menjawab tantangan atas pertanyaan apakah PILKADA gagal dalam mempromosikan demokratisasi. Harus ditegaskan bahwa Demokrasi dan Demokratisasi, bukan hanya persoalan Pemilihan Umum ataupun hanya persoalan PILKADA. Demokratisasi adalah sebuah proses komprehensif antara pelembagaan lembaga-lembaga politik demokratis pada satu sisi dan aturan-aturan main demokratis yang menyertainya. Disamping, diapresiasinya partisipasi politik warga dalam hal kebebasan berekspresi, berkumpul dan memberikan pendapatnya. Pandangan bahwa Pemilihan Umum adalah Demokrasi tidaklah sepenuhnya benar. Pandangan minimalist ini, masih perlu diklarifikasi dengan pandangan lain, yang mempromosikan prosedur dan mekanisme kerja politik serta jaminan kebabasan warga.

Persoalan PILKADA dan permasalahan implementasinya, tidak harus mereduksi fakta dan substansi PILKADA sebagai sebuah mekanisme demokratis. Bahwa pelaksanaannya masih terkendala dan menghadapi sejumlah kondisi dilematis, tidak harus disimpulkan bahwa PILKADA gagal dalam mempromosikan demokrasi lokal.. Karena itu, substansi dan persoalan tehnis implementasi harus cukup ditarik jarak. Karena mekanisme dan tehnis masih bisa dibenahi kapanpun, yang penting secara substansial, system tersebut memberi ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat.

Persoalan yang dijadikan landasan penyimpulan, seharusnya dengan menimbang bukan hanya substansi PILKADA dan Implementasinya, tetapi juga menghitung waktu persiapan, waktu diundangkannya mekanisme itu dan waktu pelaksanaannya. Persiapan pelaksanaan PILKADA, terhitung dikejar waktu, dan bahkan terkesan “dipaksakan”. Persiapan dan kesiapan daerah juga kurang memadai karena tiadanya pengalaman dan tiadanya try out. Pemahaman KPUD yang rata-rata juga baru dengan PILKADA, menjadi persoalan tersendiri bagi persiapan dan pelaksanaan. Artinya, PILKADA 2005, berlangsung dalam kondisi semua pihak “sedang belajar”. Baik pelaksana, wasitnya, pengawasnya, aktornya dan masyarakatnya. Semua sedang belajar berdemokrasi melalui PILKADA, bahkan termasuk Calon kepala Daerah dan Partai Politik. Karena sedang belajar pada tahap awal, maka capaian yang disebutkan Kautsar 30% kandungan Demokrasi (Kompas 20 Des 2005), merupakan sebuah prestasi dan bukan sebuah kegagalan. Seseorang yang baru belajar untuk pertama kalinya dan menyerap 30% kandungan yang dipelajari, merupakan sebuah prestasi yang patut dibanggakan.

Tuduhan bahwa Demokrasi dibajak oleh Partai Politik dan elite lokal dalam melanggengkan oligarkhi Partai Politik dan elite lokal, harus diterima sebagai sebuah kritik dan pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan kedepan. Tetapi, memiliki mekanisme demokrasi yang akan mempercepat proses demokratisasi, adalah soal lain. Persoalan tehnis dalam implementasi, biarlah diajukan sebagai usulan perubahan, tidak dengan sebuah “judge” atau tuduhan bahwa mekanisme itu sudah gagal. Karena bahkan gagalpun PILKADA, bukan berarti demokratisasi patah arang.

Benar, bahwa PILKADA hanyalah salah satu pilar demokratisasi di aras lokal. Kita, memang telah memiliki lembaga demokrasi yang mudah-mudahan terlembagakan secara baik kedepan. Masih ada agenda lain demokratisasi yang tidak kalah mendesak dan tidak kalah pentingnya. Yakni, bagaimana Kepala Daerah dan kebijakannya merefleksikan keperluan dan tuntutan rakyatnya, bagaimana control rakyat, bagaimana kebebasan dan pluralisme dan bagaimana mengajukan prinsip demokrasi sebagai “the only game on the town”(Giusepe di Palma, 1990). Dalam arti, mekanisme dan prinsip demokrasi yang digunakan semua komponen masyarakat dalam memutuskan perkara, konflik, perbedaan pendapat yang mengemuka. Dengan demikian, demokratisasi di aras lokal, memang menemukan titik masuk yang strategis dalam melembagakan lembaga demokrasi, dengan beberapa pembenahan kita berharap sebuah mekanisme yang tepat bagi system politik Indonesia.

PILKADA Butuh Modifikasi dan Perubahan
Untuk memiliki proses yang lebih baik, system maupun implementasinya, maka Masalah-masalah yang mencuat ke permukaan, sebagaimana yang dicatat di atas, merupakan beberapa lubang menganga. Masalah tersebut sangat mungkin mengalami eskalasi dan merusak tatanan daerah. Karena itu, dibutuhkan beberapa perubahan dan perbaikan agar tujuan pelaksanaan PILKADA, yakni memilih Kepala Daerah secara demokratis dan memperkuat demokrasi bisa lebih dicapai. Beberapa usulan perubahan yang mungkin dipikirkan kedepan adalah:

Pertama, professionalism KPUD. Pelaksana PILKADA harus benar-benar netral dan menetapkan aturan main dan mekanisme sesuai dengan perundangan dengan menerapkan prinsip impersonal alias tidak berpihak. Untuk maksud ini, selain menata aturan mainnya, PP 6/2004, juga dibutuhkan capacity building bagi KPUD, karena rata-rata pengalaman dan pengetahuan kurang memadai dalam melaksanakan proses ini. Profesionalism KPUD berada pada beberapa spectrum: yakni peningkatan skill, pengawasan netralitas dan aturan/mekanisme pergantian apabila ditemukan kejanggalan, selain tentu jaminan hidup dan keamanan bagi anggota KPUD.

Kedua, Aturan mengenai kampanye dan mekanisme kampanye termasuk isi kampanye, perlu ditinjau kembali. Hal-hal yang kontradiktif dengan kehidupan berbangsa harus diupayakan diminamalisasi agar tidak berkontribusi negative terhadap pluralisme dan kebangsaan.

Ketiga, menerapkan mekanisme perhitungan suara yang accountable dan bisa diakses publik. Hal ini untuk meminimalisasi penyesatan opini masing-masing calon yang melakukan perhitungan sendiri dengan keuntungan pada pihaknya masing-masing.

Keempat, pencalonan – untuk menghindari pembajakan proses demokrasi dan pembelajaran politik bagi Partai Politik, maka pencalonan sebaiknya dilakukan bukan Cuma oleh Partai Politik, tetapi oleh calon independent juga. Apabila mekanisme PILKADA semakin baik dan matang, maka persoalan siapa terpilih dan resiko terpilih dari atau sebagai calon independent akan dihitung cermat oleh siapapun. Tidak seharusnya Partai Politik mengalami ketakuitan berlebihan dengan calon independent.

PILKADA Tahun 2006
Akhirnya, apakah PILKADA 2006 dan seterusnya akan menjadi perenggang kohesitas regional dan melahirkan trauma politik rakyat? Dan apakah PILKADA gagal mempromosikan Demokrasi tingkat lokal? Saya menjawab negatif. PILKADA, memang akan menghadirkan bentrokan sesaat, tetapi tidak akan menghadirkan trauma berkepanjangan secara massif. Beberapa tempat mungkin. Tapi secara nasional, PILKADA akan menjadi pilihan paling sahih dan demokratis dalam memilih Kepala Daerah. Dengan beberapa modifikasi di atas, maka tehnis dan perundangan akan mengalami penyempurnaan dalam menghadirkan system yang lebih baik.

Bagi Sulawesi Utara, kasus Bitung tidak akan menjadi trauma berkepanjangan. Belajar berdemokrasi memang harus mengorbankan banyak hal, termasuk waktu dan kesabaran. Bahwa perangkat perundangan dan mekanisme hukum masih belum mengantisipasi kasus Bitung, tidak harus disimpulkan PILKADA adalah biang kerok. PILKADA adalah arena kita memilih dan mengganti Kepala Daerah. Ruang partisipasi yang dibuka bagi masyarakat, dan karenanya harus dibenahi dan diperbaiki terus menerus. Dengan pemilihan regular, maka pelembagaan lembaga demokrasi semakin kokoh, dan political attitude serta political behavioral (sikap dan prilaku politik) akan semakin meningkat secara kualitatif. Pada saat itulah, demokrasi mengalami pematangan dan terkonsolidasi baik.

Dalam waktu dekat, PILKADA juga akan dilaksanakan di Kabupaten Bolaang Mongondouw, Kabupaten terbesar di Sulawesi Utara dewasa ini. Penulis sangat yakin, bahwa apapun hasilnya, akan menjadi pelajaran luar biasa bermakna bagi jalannya demokrasi disana. Pelajaran pertama bagi rakyat memilih pemimpin Kabupaten, akan menghadirkan pelajaran politik yang baik. Memang, belum jaminan bahwa prilaku dan budaya politik akan bersignifikansi bagi pematangan sistem politik disana, tetapi, sebagai langkah awal, sudah merupakan prestasi berdemokrasi yang luar biasa kayanya. Karena itu, kitapun kini menunggu proses politik tersebut sambil berharap banyak yang terbenahi dengan pelaksanaan PILKADA, terutama jalan demokrasi tingkat lokal.


Penulis adalah pengamat Sosial Kemasyarakatan

(dipublikasikan oleh Harian komentar)

No comments: