Tuesday, May 22, 2007

Krisis Berkelanjutan

KRISIS BERKELANJUTAN
(Catatan atas krisis moral dan etika politik di Indonesia)
Oleh : Audy W.M.R. Wuisang

Wacana Development Sustainability (pembangunan berkelanjutan) tentu bukan barang aneh lagi bagi kita. Kajian atas gagasan tersebut sudah dilakukan berulang-ulang dan bahkan implementasi dan strategi penerapannya sudah dikunyah habis dalam kajian kajian mutakhir. Ide bahwa pembangunan nantinya mensejahterakan rakyat dan berlangsung terus secara gradual/bertahap dengan penerapan indiktor fisik maupun non fisik dalam mengukur kesuksesannya sudah agak dikenal. Bahkan kemudian ketika pembangunan berkelanjutan menjadi semacam “dogma” bagi program-program “development” diterima sebagai sebuah keniscayaan.

Ada sebuah sustainability (berkelanjutan) yang lain. Yang ini tidak berkaitan dengan dogma pembangunan berkelanjutan. Sama sekali bukan. Yang satu ini bernama KRISIS BERKELANJUTAN. Sebuah fenomena menggiriskan yang kini terpampang secara telanjang bagi masyarakat dunia dan Indonesia sendiri. Tetapi masih tetap coba diselimuti dengan berbagai cara oleh elite politik Indonesia. Masyarakat Indoensia dan dunia, sudah nyaris diyakinkan bahwa yang dialami Indonesia adalah sebuah “Krisis Ekonomi” semata. Benar bahwa Krisis Ekonomi kemudian menyeret bangsa ini ke krisis lainnya yang memang sisi sebelah dari mata uang yang sama : politik. Krisis Ekonomi telah membuka borok-borok politik Indonesia yang coba dikangkangi segelintir orang dan kini terbaca secara telanjang. Tetapi rangkaian perangai elite politik Indonesia dewasa ini membuat bukannya krisis ekonomi teratasi, sebaliknya semakin membenamkan Indonesia kelumpur kenistaan yang menyedihkan.

Perjalanan 5 tahun sejak krisis menerpa benar-benar dilalui bangsa ini dengan segenap energi yang dimiliki. Dan ini tentu sangat melelahkan. Berbagai kebijakan dan upaya sudah ditempuh, termasuk menggadaikan diri kepada IMF, tetapi ternyata semua upaya seperti menabur garam ke tengah lautan. Perbaikan ekonomi tidak berlangsung secara signifikan, sebaliknya malah semakin menindih kesabaran dan emosi rakyat. Apalagi, pada saat bersamaan sejumlah konflik berdarah terjadi “seakan” merata di pelosok Indonesia, mulai dari Aceh, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Ambon dan Papua. Penanganan masalah berdarah inipun, masih mendatangkan keraguan akibat pendekatan yang masih khas pemerintah : top down.

Apakah sudah cukup derita bangsa ini dengan deretan kasus yang akan sangat panjang bila dibuat detailnya itu ? ternyata tetap masih belum cukup. Perbedaan persepsi pengusaha dan pemerintah serta buruh misalnya, membuat banyak perusahaan garmen hengkang dari Indonesia. Atau setidaknya mengurangi kapasitas produksi dan berdampak pada pemutusan hubungan kerja dalam jumlah massal. Belum lagi masalah kenaikan upah buruh dan keamanan berinvestasi yang disyaratkan oleh Investor Jepang untuk masuk ke Indonesia selain “tax holiday”. Dan kemudian ditambahi oleh sejumlah komponen syarat lain dari USA semisal masalah teroris dan penerapan e-commerce. Bila kemudian semua dikalkulasi, maka himpitan yang maha dahsyat memang menerpa secara bergelombang.

Tapi yang membuat banyak orang geregetan adalah, ternyata pada saat masyarakat sedang prihatin dan marah, tingkah elite politik sungguh memuakkan. Lihatlah pertarungan antara BRIMOD dan Militer di Binjai yang diwarnai oleh “perang kota” yang “ramai” dan mencekam. Dan kemudian datang kasus heboh lainnya ketika seorang selevel Jaksa Agung ternyata tidak menyertakan dalam laporan kekayaannya sejumlah deposit dan sebuah rumah maha mewah. Celakanya, di tengah desakan arus bawah dan bahkan banyak legislator terhadap Jaksa Agung, para pejabat Kejaksaan Agung malah menyatakan dukungan terhadapnya. Bila dalam kasus perang kota di Binjai, TNI langsung memecat banyak personalnya, dalam kasus Jaksa Agung, justru muncul dukungan yang terkesan menggelikan.

Tapi itulah wajah Indonesia terkini. Dari yang seharusnya berpikir menganalisis kenapa 5 tahun membenahi krisis dan gagal, serta mencari jawaban mengapa, justru menambahi borok dari waktu kewaktu. Sudah cukup santer suara bahwa krisis kita bukan sekedar krisis ekonomi dan politik. Krisis ekonomi dan politik dapat diatasi dengan perubahan kebijakan dan pengaturan kembali strategi implementasi program reformasi, begitu juga krisis politik. Tetapi ternyata, meski banyak perubahan kebijakan dilakukan, termasuk melaksanakan PEMILU yang relatif jujur dan adil, toch krisis tetap berkepanjangan. Meski Presiden juga diganti beberapa kali, ternyata belitan budaya korupsi benar-benar sudah mengakar pada system birokrasi kita. Bahkan kemudian Otonomi Daerah seakan sedang membangun mekanisme korupsinya sendiri dengan beberapa pergeseran dan varian baru.

Kitapun kemudian ikut heran, dalam belantara politik dewasa ini, seakan kejujuran tidak laris lagi. Moral dan etika politik nyaris menjadi pajangan yang enak diucapkan tetapi sangat tidak pas untuk diimplementasi pada semua level dan disemua lapisan. Atau mungkin sudah dapat diucapkan bahwa elite politik kita sedang membangun moral dan etika politiknya sendiri. Betapa jauh beda antara sumpah jabatan dengan kenyataan di lapangan, apalagi ketika berjumpa sejumlah fakta dimana kejujuran menjadi tidak laku dan barang langka. Kesiapan mengakui kesalahan juga sangat sulit ditemuan, dengan segala macam cara diupayakan agar yang hitam bias kelihatan kelabu atau putih kalau masih bisa. Kasus Akbar Tanjung yang berkali-kali mendustai publik dengan keterangan berbelit, masih coba diselamatkan melalui lobby dan tawar-menawar. Betapa besar political cost (harga politik) yang harus dibayar negri ini akibat pertarungan elite yang menyertai kasus tersebut. Hebatnya, meski sudah melakukan kebohongan publik, sang pejabat publik masih tetap duduk tenang di atas kursi yang memanaskan jagat politik Indonesia saat ini.

Moral dan etika politik memang adalah perangkat absurd yang berproses dan dianggap sebagai ukuran kepantasan dalam berpolitik. Layakkah uang suap itu diterima ? bukankah tak seorangpun tahu ? bukankah money politik dilakukan tanpa ada kemungkinan ketahuan ? pantaskah itu ? pertanyaan-pertanyaan seperti ini memperlihatkan betapa hanya dengan kelayakan dan kepantasan sajalah kita bisa menjawabnya. Disinilah moral dan etika politik berperan. Sayangnya, ukuran kuantitas terhadap pelanggaran moral dan etika politik nyaris tidak ada dan justru karena kekenyalan inilah maka persoalan pelanggaran etika dan moral politik sulit dijerat. Lebih celaka lagi, begitu banyak cela hukum yang dapat diakali guna menghindar dari pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Pada titik ini pulalah kita memandang dan meletakkan rumitnya persoalan Akbar, Jaksa Agung dan bahkan banyak kasus lokal semisal rencana DPRD jalan-jalan ke Luar Negeri, kasus suap dewan dan banyak yang lain. Kesemua kasus itu nyaris sulit ditangkap dan diselesaikan dengan system hukum kita dewasa ini. Apalagi ketika nilai kelayakan dan kepantasan seperti sudah bergeser dan semakin membudaya apa yang namanya “suap” untuk menyenangkang atasan. Nampaknya akar budaya di Indonesia memang banyak terkait dengan yang namanya “suap”, yang mungkin dulu digunakan dengan kata berbeda “upeti”. Intinya masih tetap sama, yakni upaya menyenangkan atasan dengan menggunakan barang atau sekarang uang. Bila nilai seperti ini masih subur di tengah masyarakat Indonesia, maka bukan pekerjaan gampang memberantas korupsi. Karena dalam banyak kasus uang jasa dan uang pelicin sebenarnya digunakan dengan maksud maksud yang jelas. Dan proses seperti inlah yang banyak terjadi di DPR RI dewasa ini, hingga ke kasus penyuapan US$ 1,000 dari BPPN untuk beberapa anggota Komisi IX DPR RI.

Elite politik kita sungguh memahami “budaya” ini dan dalam banyak kasus, seperti terbaca dari kasus Jaksa Agung dan rasanya juga Akbar, mencuat paham bahwa “hal seperti itu nyaris biasa”. Inilah yang membuat banyak elite politik kita masih memiliki keberanian untuk bertahan di posisinya meskipun dikritik atau bahkan di demo oleh sejumlah besar massa. Tapi fakta ini jugalah yang membuktikan betapa patokan moral dan etika politik antara pejabat/elite dengan masyarakat sungguh sangat lebar. Tudingan dan tekanan untuk menyelesaikan kasus secara hukumpun masih tetap berupa serpihan tuntutan yang masih sulit direspons. Pengalaman amandemen UUD 45 yang sarat kepentingan baik komponen Civil Society (LSM, Akademisi), maupun Partai dan bahkan para pejabat publik, menjadi pelajaran yang sangat bermakna. Betapa hampir semua paham, hampir semua pandangan banyak didasarkan atas kepentingan kelompok, entah itu partai atau kelompok kepentingan lainnya.

Meskipun nampak ada upaya membatasi kemungkinan korupsi dan pembohongan publik, tetapi pada saat bersamaan diciptakan juga wacana dan prilaku baru yang bias dari kepantasan publik. Kita memang boleh berharap bahwa ini dilakukan sekedar sebagai pemanfaatan detik-detik terakhir tindakan yang tidak terkontrol hukum bisa tetap dilakukan. Tetapi mencermati betapa perdebatan soal RUU Pemilu dan Amandemen UUD 45 beberapa waktu lalu, nampak adanya kecenderungan sistematisasi mekanisme dan gaya korupsi baru. Bahkan banyak kalangan, pengamat, akademisi maupun aktivis beranggapan bahwa cara dan gaya korupsi dewasa ini masih jauh lebih kasar dan lebih telanjang disbanding masa Orde Baru. Bila demikian, sudahkah tercipta mekanisme korupsi gaya baru di era reformasi ini ? dan pertanyaan penting lainnya, masihkah era ini disebut era reformasi menuju system yang lebih demokratis ?
Bila dilakukan penelitian dan kajian lebih cermat, penulis yakin bahwa jawaban-jawaban atas pertanyaan itu akan seperti ini : Pemerintah dan para elite bakal beranggapan bahwa inilah proses transfirmasi atau reformasi dan menuju demokrasi tidaklah mungkin dalam waktu 1 malam saja. Pemberantasan korupsi masih terus berlangsung, karena memang dibutuhkan kesabaran dan perangkat hukum yang jelas untuk melakukannya secara tuntas. Tetapi pada pihak lain, rakyat yang marah atas situasi yang tidak nampak berubah secara signifikan, pasti punya pandangan lain. Beban yang terus menerus ditimpakan kepundak mereka sudah cukup berat, karena layak mereka berpikir bahwa “terserah apa yang mau dilakukan, yang penting keamanan dan penghasilan dapat terus terjamin”. Tapi bukankah keamanan sekarang juga menjadi barang mahal ? sama mahalnya dengan pekerjaan yang semakin sepi dengan takutnya investor memasuki negri ini. Dan tentu bila ditanyakan kepada kelompok menengah, akan lain lagi komentarnya. Elite yang ada sekarang tidak lagi dapat diandalkan untuk mengayuh dan mendorong proses reformasi. Persekongkolan poltik antara mereka semakin memperlambat proses reformasi, malah semakin melanggengkan budaya korupsi.

Bila dicermati lebih jauh, menjadi masuk akal bila kemudian terjadi beda persepsi antara elite dengan kelompok menengah dan bahkan dengan masyarakat. Persepsi dan kepentingan yang berbeda ini, belum pernah terfasilitasi dan terinstitusionalisasi secara baik. Akibatnya adalah, kekuasaan masih berlangsung dalam semangat memperkaya diri untuk semua elite yang memiliki akses ke kekuasaan dan uang. Pada sisi lain, upaya-upaya kelas menengah untuk memperjuangkan mekanisme dan system yang lebih berjalan terus dalam semangat perlawanan terhadap kebekuan elite politik. Sementara rakyat menjadi komponen rentan yang dapat dimobilisasi sewaktu-waktu akibat kelelahan yang sangat melewati masa krisis yang berkepanjangan.

Kesenjangan visi dan persepsi di atas, sayangnya tidak mampu dijembatani oleh sejumlah negarawan dan intelektual. Eksploitasi berlebihan terhadap kelemahan Megawati disatu sisi dan kurang pekanya Megawati dalam menyikapi banyak masalah krusial, memperparah keadaan. Nampaknya, perubahan yang signifikan dan tidak berdarah-darah, hanya mungkin melalui proses politik yang bertahap dan gradual. Tetapi proses itu tetap mensyaratkan tersedianya cukup resource yang committed dan peduli terhadap nasib angsa dan nasib orang banyak. Itu berarti, berharap kepada aktor-aktor dan elite yang dimiliki Indonesia sekarang ini adalah sebuah pekerjaan “menjaring angin”. Tetapi membiarkan proses di tangan elite politik dewasa ini, juga adalah ketololan karena akan menambah daftar panjang kebobrokan yang harus diperbaiki nantinya. Kondisi problematis inilah yang membuat kita masih harus dengan rendah hati menatap proses KRISIS BERKEPANJANGAN di Indonesia.

Penulis,
Pengamat Sosial
www.sulutlink.com 18 Okt 2002

No comments: