Wednesday, May 23, 2007

REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN
DAN DEMOKRATISASI:
KRITIK ATAS UU PEMILU NO 12/2003

Oleh:
Audy WMR Wuisang
(Modifikasi dari Tugas Kuliah Pasca Sarjana UI)

I. Pengantar

Tidak disangsikan, kualitas Demokrasi Indonesia mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam 2 kali pelaksanaan Pemilihan Umum yang terakhir. Baik Pemilihan Umum tahun 1999 maupun Pemilihan Umum 2004, merefleksikan sebuah perubahan yang sangat mendasar dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum dibawah regime Orde Baru. Baik dari segi kepesertaan maupun proses, sungguh menggambarkan sebuah perbedaan, dimana pengaturan hasil Pemilihan Umum dan seleksi ketat calon legislative tidak lagi dilakukan oleh penguasa, tetapi oleh Pelaksana Pemilihan Umum yang bernama KPU atau Komisi Pemilihan Umum.

Pemilihan Umum tahun 2004 dilaksanakan di bawah payung hukum UU No 12 Tahun 2003 mengenai Pemilihan Umum tahun 2004. Dibandingkan pelaksanaan Pemilihan Umum tahun 1999, Pemilihan Umum tahun 2004, memiliki langkah maju dan pengelolahan yang lebih baik, meskipun dengan tenggat waktu yang disediakan relatif minim. Undang Undang Pemilihan Umum 2004, baru ditetapkan pada tahun 2003, yang berarti hanya dimiliki waktu lebih kurang 1 tahun untuk mempersiapkannya. Meskipun demikian, Pemilihan Umum 2004, boleh dikatakan berhasil, bahkan dengan pelaksanaan Pemilihan Langsung Presiden dan Wakil Presiden.

Meskipun sudah terlaksana dengan baik dan memperoleh pengakuan Internasional sebagai PEMILU demokratis dan mengesahkan Indonesia sebagai salah satu Negara Demokratis di dunia, bukan berarti Pelaksanaan dan pelaksana Pemilihan Umum 2004 kemudian tanpa cela. Baik perundangan, proses, payung hukum pelaksana Pemilu, proses data collecting, dan masih banyak hal lain, membutuhkan pembenahan dan perubahan untuk Pemilihan Umum tahun 2009 nantinya. Selain itu, fenomena delegitimasi KPU, juga terkesan bernuansa atau sarat politik[1], hal mana menimbulkan banyak interpretasi miring atas sukses pelaksanaan Pemilu 2004. Betapapun, Pemilihan Umum 2004, dengan payung hukum UU No 12/2003, telah terlaksana dengan baik dan menghasilkan pemerintah dan legislative yang legitimasinya tidak diragukan.

Salah satu aspek yang baru dari UU 12/2003 adalah tampilnya affirmative action untuk keterwakilan perempuan sebesar 30%, meskipun pada level pencalonan. Hal ini menjadi baru, karena kepedulian pada representasi perempuan dalam politik relatif baru dan menjadi langkah maju yang luar biasa bagi proses demokrasi di Indonesia. Secara khusus UU No 12/2003 terkait dengan representasi perempuan berbunyi sebagai berikut:

..” Setiap Partai Politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”[2]

Sebagai sebuah langkah baru, proses pencantuman affirmative action ini sudah lebih dari memadai mengingat kultur politik Indonesia yang sangat male oriented. Meskipun demikian, perlu dilakukan kajian lebih jauh dan evaluatif, apakah sudah ada perubahan yang cukup memadai dari segi peran dan keterwakilan perempuan baik di level pengurus partai politik maupun di parlemen.

Makalah ini, akan menelusuri beberapa kajian terakhir soal keterwakilan perempuan pasca affirmative action 30% dicantumkan dalam UU Pemilihan Umum, serta juga mencoba mendudukkan proses tersebut dalam konteks demokratisasi. Pada bagian akhir, berdasarkan penelusuran dan kajian atas capaian pasca Pemilu 2004, penulis mencoba melahirkan beberapa usulan bagi elaborasi keterwakilan perempuan dalam pentas politik di Indonesia. Untuk maksud tersebut, maka makalah ini dibahas dalam Sistematika sebagai berikut: Bagian Pertama, adalah Pendahuluan yang membahas latar belakang penulisan dan masalah. Bagian Kedua, Evaluasi dan Kajian Capaian Keterwakilan Perempuan di Parlemen pasca Pemilu 2004, Ketiga affirmative action, capaian pemilu 2004 dan demokratisasi, Bagian Keempat membahas usulan perubahan berdasarkan analisis bagian II dan III, dan terakhir Kesimpulan.

II. Evaluasi Keterwakilan Perempuan di Parlemen Pasca Pemilu 2004

Melalui UU No. 68 Tahun 1956, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang hak-hak politik Perempuan yang memuat aturan bahwa:

Wanita mempunyai hak untuk memberikan suaranya dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat sama dengan pria tanpa suatu diskriminasi (pasal 1);
Wanita akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua badan-badan pilihan umum yang didirikan oleh nasional dengan syarat-syarat yang sama dengan pria tanpa suatu diskriminasi (pasal 2);
Wanita akan mempunyai hak untuk menjabat jabatan umum dan menjalankan semua tugas-tugas umum yang ditetapkan oleh hukum nasional dengan syarat-syarat sama dengan pria tanpa suatu diskriminasi

Bahkan sebagaimana dicatat oleh Oliver Richard Jones[3], Dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan. Dan menurut Jones dengan diratifikasinya Perundangan tersebut, baik melalui UU 68/65, maupun kemudian UU No 7/84, maka: Pertama, Menurut aturan hukum internasional yang dikenal dengan istilah pacta sunt servanda, perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan. Negara negara dunia tidak boleh dikecualikan dari kewajiban itu dengan berlindung atau bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka. Melainkan, jika hukum nasional mengurangi pelaksanaan sesuatu perjanjian internasional, hukum nasional itu wajib diubah. Kedua, Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita. Ketiga, Di Indonesia, harmonisasi hukum nasional dengan ketentuan CEDAW tersebut berarti bahwa hukum negara akan diubah.
Penegasan Jones di atas, sebetulnya juga menjadi argumentasi para pejuang feminist Indonesia yang memperjuangkan gerakan anti diskriminasi atas perempuan. Misalnya, Mansour Faqih yang mempergunakan konsep Gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural[4]. Bagi Fakih sejarah perbedaan gender terjadi melului proses yang sangat panjang, oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, antara lain dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara social atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun Negara.[5] Sementara Kamla Bashin melihat gender ini merujuk pada pengertian sosial budaya laki-laki dan perempuan, cara masyarakat membedakan laik-laki dan perempuan serta memberikan peran-peran sosial kepada mereka.[6] Senada dengan mereka Mark Malloch Brown[7] menegaskan bahwa absennya perempuan dalam politik dan tata pemerintahan sudah berlangsung lama, hal tersebut disebabkan rendahnya representasi dan partisipasi struktur kelembagaan, baik di pemerintahan, partai politik, organisasi non pemerintah maupun perusahaan swasta, dan masalah kompleks antara kekuasaan , kemiskinan dan partisipasi perempuan akan mempengaruhi keputusan pribadi, keluarga, komunitas dan Negara.

Menurut Mansour Fakih, akibat yang ditimbulkan oleh perbedaan gender adalah ketidakadilan. Ketidakadilan gender dapat mewujud ke dalam beberapa bentuk, diantaranya: marginalisasi perempuan, subordinasi, stereoitip, kekerasan yang disebabkan oleh anggapan gender atau sering disebut gender-related violence[8] dan beban kerja. Konstruksi semacam inilah yang menjadi biang keladi dari begitu minimalnya peran dan eksistensi perempuan dalam sector public dan atau sector politik. Bahkan konstruksi semacam itu pulalah yang menempatkan perempuan dalam sector peripheral di dunia politik. Nampaknya, masih sangat dominant bagi public politik Indonesia bahwa laki-laki adalah actor yang paling tepat sebagai articulator hal-hal public sebagaimana ditulis oleh Kathleen B Jones dan Anna Jonasdottir[9] dan karena itu menjadi jamak bahwa perempuan berada di sector nurture dan private dan laki-laki di sector public[10].

Karena itu, ketika kemudian Parlemen Indonesia dan Pemerintah Indonesia bersepakat melakukan penguatan peran perempuan, senafas dengan UU No 68/56 dan No 7/84, melalui UU Pemilihan Umum 12/2003, bahkan dengan penegasan affirmative action minimal 30% Calon legislatif Perempuan, maka hal ini dianggap kemajuan dalam bidang politik. Jones dan Anie Sutjipto melihat perjuangan ini sebagai salah satu capaian penting dari Gerakan Civil Society dan Gerakan Feminist[11]. Tetapi persoalan selanjutnya, apakah kemudian capain di Pemilihan Umum 2004 menunjukkan hasil yang menggembirakan ataukah masih sama dengan gambaran kondisi sebelumnya?

Hasil Pemilihan Umum 2004 menunjukkan bahwa dari harapan 30% quota Perempuan hanya menghasilkan 65 anggota DPR RI Perempuan, atau hanya sekitar 11,81%. Hal ini merefleksikan betapa masih bersoalnya keterwakilan perempuan, terutama karena apa yang digambarkan sebagai penyebab rendahnya keterwakilan perempuan memang tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengaturnya dalam sebuah aturan perundangan. Bahkan Achmad Baso, meragukan apakah mengatur melalui mekanisme perundangan akan menyelesaikan masalah perempuan dalam politik, yang baginya terpenjara bukan hanya dari sector public tetapi bahkan juga dalam keluarga[12].

Dengan demikian, meskipun harus diakui bahwa pencantuman affirmative action sudah merupakan langkah maju dalam konteks peran politik perempuan, tetapi masih terdapat sejumlah problematika yang perlu dituntaskan. Mengimpikan keterwakilan perempuan sebesar lebih dari 30% sebagaimana Negara-negara Skandinavia, masih membutuhkan jalan panjang dan masih membutuhkan strategi system pemilihan umum yang tepat[13]. Karena itu, meskipun capaian awal melalui Pemilihan Umum 2004 masih kurang memuaskan, tetapi langkah kedepan bagi keterwakilan politik perempuan dalam parlemen sudah terbuka secara lebar. Benar, bahwa masih terdapat kendala internal di tingkat rekruitmen kader partai politik dan patronase politik yang menjadi budaya Bangsa Indonesia, tetapi langkah-langkah konstruktif dalam membangun system dan mekanisme yang ramah dan mengapresiasi peran perempuan sudah melangkah cukup maju dalam dunia politik.

III. Affirmative Action – Capaian Pemilu 2004 dan Demokratisasi
Jika dilihat dari pengalaman di beberapa negara, affirmative action ternyata memiliki korelasi yang signifikan dengan peningkatan jumlah kursi yang mampu dipegang oleh kaum perempuan di berbagai negara[14]. Dengan demikian, sebetulnya langkah awal memasukkan quota minimal 30% sebagai affirmative action sudah merupakan langkah yang tepat. Tetapi, apabila masih belum merefleksikan capaian yang maksimal, maka hal tersebut bisa dimaklumi karena baru melampaui 1 Pemilihan Umum.
Selain itu, memang masih juga dihadapi persoalan-persoalan yang sudah di-introdusir di depan, yakni masih kentalnya patronase politik dan anggapan yang diskriminatif soal peran politik perempuan. Untuk memaknai perjuangan representasi politik perempuan dan untuk tidak terjebak dalam romantika peran politik perempuan semata, maka perlu juga dimengerti, bahwa persoalan affirmative action dan peran politik perempuan yang signifikan, bukan sekedar asal mengakomodasi perempuan dalam politik. Lebih dari itu, harus dipahami bahwa peran dan keterwakilan perempuan dalam politik, merupakan salah satu persoalan dalam kajian dan wacana demokrasi kontemporer.
Indonesia memang baru memasuki proses demokratisasi sejak tahun 1998, dan relatif baru melakukan 2 kali Pemilihan Umum, tahun 1999 dan 2004. Demokratisasi yang berlangsung tersebut, pada tahapan tertentu, mulai menempatkan perempuan dalam wacana politik dan terakomodasi dalam UU Pemilihan Umum 12/2003. Apakah, proses tersebut berjalan secara simultan dan saling menguatkan?

Demokrasi dan Demokratisasi

Pemahaman demokrasi bisa dibedakan atas pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif berkaitan dengan demokrasi sebagai tujuan atau sebenarnya persoalan sekitar, bagaimana demokrasi yang seharusnya ataupun sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah Negara[15]. Atau Huntingthon menamakannya pendekatan klasik[16] karena sering mendefinisikannya sebagai ’the will of people’ atau kehendak rakyat sebagai sumber dan ‘the common good’ atau kehendak bersama sebagai tujuan. Sementara pendekatan empiris terkait dengan system politik dan karenanya James Ferguson[17] disebut sebagai “procedural democracy”. Huntingthon menegaskan bahwa demokrasi prosedural sebetulnya diprakarsai oleh Schumpeter, terutama ketika menulis buku Capitalism, Socialism and Democracy [18]. Tepatnya ini disebut metode demokratis, yakni ketika Schumpeter merumuskan:

… ‘The democratic method is that institutional arrangement for arriving at political decisions in which individuals acquire the power to decide by means of a competitive struggle for the people’s vote[19]

Belakangan, metode ini menjadi jauh lebih diperhatikan dengan menekankan pada pendekatan empiris, institutional dan procedural sejak tahun 1970-an. Karena terkait dengan Sistem Politik, maka Demokrasi sering dikaitkan dengan soal Perwakilan Langsung[20]. Tetapi tidak jarang dikaitkan juga model lain yang dikenal dengan Perwakilan Demokratis[21]. Kalangan Ilmuwan Politik kemudian secara empirik dengan mengamati praktek Demokrasi merumuskan demokrasi dengan beberapa indicator seperti misalnya Larry Diamond[22] yang mengetengahkan Demokrasi dengan 3 ciri: Pertama – persaingan ekstensif untuk menduduki posisi politis Negara melalui Pemilu yang teratur, bebas dan adil, kedua – Partisipasi politik menyeluruh dan ketiga – kebebasan pers, berserikat dan ditegakkannya Hukum. Sementara Bingham Powell[23] menyebut criteria sebagai berikut:
…”1) The legitimacy of the government rests on a claim to represent the desire of its citizens… 2) The organized arrangement that regulates this bargain of legitimacy is the competitive political election… 3) Most adults can participate in the electoral process both as voters and as candidate … 4) Citizens votes are secret and not coerced; 5) Citizens and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly and organizations…
Sementara Robert Dahl[24] sendiri mengajukan 7 indikator yang bisa diringkaskan sebagai berikut: 1) Kontrol atas keputusan pemerintah, 2) Pergantian elite atau pemimpin melalui Pemilu yang bebas, adil dan jujur dan secara regular, 3) Semua orang dewasa memiliki hak suara, 4) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk menjadi kandidat dipilih, 5) Adanya hak berekspresi, termasuk mengritik pemerintah, 6) Termasuk juga akses ke sumber informasi alternative, 7) Juga hak berkumpul dan berorganisasi dan masuk partai politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, dari sekian banyak konsep dan teori demokrasi termasuk indicator demokrasi, maka setidaknya yang dimaksudkan dengan demokrasi adalah: Pertama, adanya Pemilihan Umum yang regular, jujur dan adil yang memungkinkan pergantian elite dan pemerintahan dengan semua orang dewasa berhak memilih dan dipilih. Kedua, adanya pertanggungjawaban pemerintah terhadap kekuasaan yang dimilikinya kepada masyarakat. Ketiga, adanya kontrol rakyat terhadap kebijakan pemerintahan yang diekspresikan dalam bentuk memilih kembali atau menolak pemerintahan yang ada dalam Pemilu kemudian. Keempat, adanya kebebasan berekspresi, berorganisasi, berkumpul dan akses informasi yang bebas.
Apabila Demokrasi telah dijelaskan dalam bagian terdahulu, maka penting juga untuk memahami apa yang dimaksud dengan demokratisasi. Secara sederhana demokratisasi dapat diterjemahkan secara harafiah, yakni proses menuju demokrasi, tetapi penelitian ini akan menggunakan dan mengikuti defisini yang digunakan oleh David Potter tentang demokratisasi yang dirumuskannya sebagai proses-proses perubahan politik yang bergerak maju kearah demokrasi[25]. Demokratisasi dengannya menunjuk pada proses-proses perubahan politik yang mengarah ke peningkatan kualitas demokrasi dan bukanlah sebaliknya, sebab dalam beberapa kasus proses demokratisasi dapat saja gagal dan malah kembali ke model yang tidak demokratis. Atau dalam bahasa Potter, yang dimaksudkan dengan demokratisasi jelas adalah:
…”that the character of such movement over time is from less accountable to more accountable government, from less competitive election to freer and fairer competitive election, from severely restricted to better protected civil and political rights, from weak (or non existent) autonomous associations in civil society to more autonomous and more numerous associations”[26]
Definisi atau pemahaman seperti ini “dituduh” sebagai sebuah pendekatan yang “self evident” oleh Gruegel[27], dan karenanya, selain menetapkan defisini sederhana sebagaimana defines Potter di atas, Gruegel selanjutnya mengadopsi apa yang dinamakannya process-oriented-approach. Proses ini menurutnya berkonsentrasi pada upaya mengidentifikasi mekanisme atau cara atau model yang mengarah kepada demokratisasi. Pada titik ini, dia melakukan pembedaan antara transisi dan konsolidasi yang digambarkannya pada saat mana demokrasi menjadi “the only game in town” dengan mengutip Linz and Stephan[28].
Tetapi, meskipun demikian, Gruegel melihat bahwa demokratisasi, entah berkonsentrasi ke transisi ataupun konsolidasi, masih belum menjelaskan secara komprehensif apakah makna dari demokratisasi. Dalam kajiannya, Gruegel melihat bahwa demokratisasi sering dirumuskan sebagai wacana, tuntutan, perangkat perubahan politik, perubahan politik, dominasi elite, dst. Melalui sejumlah analisis, akhirnya Gruegel sampai pada kesimpulan bahwa Demokratisasi adalah:
…”democratization has already understood along a continuum from a minimal to a maximalist position with most commentators positioning themselves at different point in the middle[29]
Posisi minimalis terkait dengan konsep Schumpeter, yakni setidaknya dilaksanakannya Pemilihan Umum dengans edikitnya 2 Partai Politik sebagai pesertanya. Sementara yang lebih inklusif mensyaratkan hak-hak individu yang lebih meluas, termasuk kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dst. Konsep ini, dibandingkan dengan Potter, sebetulnya tidaklah begitu jauh berbeda. Sehingga Demokratisasi, bisa disimpulkan sebagai pergeseran atau perubahan dari kondisi non demokratis atau otoriter[30] ke kondisi yang lebih demokratis.
Wacana Perempuan dan Demokrasi

Anne Phillips dalam buku Drude Dahlerup[31] dengan artikelnya “No Democration Without Womaen” mengungkapkan ada 3 argumentasi pentingnya system representasi perempuan: Pertama, argument keadilan yang menyatakan perempuan mewakili separuh penduduk dan tentunya punya hak setengah kursi; Kedua, Argumen pengalaman, dimana perempuan memiliki pengalaman yang berbeda (konstruksi secara biologis dan social) sehungga mestinya perempuan terwakili; Ketiga, Argumen kelompok kepentingan yaitu bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang berbeda sehingga laki-laki tidak dapat mewakili kepentingan perempuan (argument kelompok kepentingan) serta argument yang terkait dengan pentingnya politisi perempuan sebagai model-model peran yang mencarikan jalan bagi perempuan lain.

Anne Phillips sendiri bersama dengan Irish Young, disebut oleh Pitkin sebagai generasi terakhir yang mencoba untuk mengintegrasikan peran keterwakilan perempuan dengan demokrasi[32]. Materi materi Irish Young dan Anne Phillips mulai menambahkan perlunya keterwakilan kelompok yang termarginal, bukan hanya dari sisi etnis maupun agama, tetapi belakangan juga perempuan. Dengan demikian, keterwakilan dalam politik, semakin mendekatkan issue perempuan dengan berjalan secara parallel dengan demokrasi. Bahkan mengikuti logika Phillips di atas, Perempuan secara kuantitatif memiliki hak keterwakilan ½ atau 50% dari kursi yang tersedia.

Dari argumentasi Phillips di atas, jelaslah bahwa masalah demokrasi, juga harus menimbang seberapa jauh akses dan peran perempuan mampu diakomodasi. Tanpa memperhatikan keterwakilan perempuan yang selama ini terdeiskriminasi membuat kualitas demokrasi menjadi diragukan. Dalam konteks demokrasi dan demokratisasi, pandangan Phillips ini sangat beralasan. Artinya, apresiasi peran kelompok kepentingan manapun, tetap harus diberi saluran yang tepat dan memungkinkan ekspresi kepentingan mereka tersalurkan. Oleh karena itu, tidak ada bentrokan yang serius antara proyek dan proses demokratisasi dengan diapresiasinya peran perempuan dengan kuota khusus. Dengan kata lain, demokratisasi, memang memungkinkan persoalan-persoalan yang selama ini dianggap dogmatis menjadi bisa direkonstruksi untuk menghadirkan wajah yang lebih beradab dan lebih demokratis. Dengan demikian, system quota dan affirmative action, bagi Indonesia, merupakan sebuah langkah maju yang tidak saja memperkuat dan mengelaborasi proses demokratisasi, tetapi bahkan memaknainya lebih dalam.

IV. Masa Depan Peran Politik Perempuan di Indonesia

Bagaimana dengan peran politik perempuan di Indonesia kedepan? Sebuah pertanyaan menarik, karena selain melakukan prediksi, juga harus dilakukan proyeksi. Kedua tugas tersebut, mestilah diletakkan di atas landasan yang rasional, setidaknya dengan memperhatikan capaian Pemilihan Umum 2004, memperhatikan trend politik Indonesia dan payung hukum yang dihasilkan untuk Pemilihan Umum 2009. Selain, tentu juga melakukan elaborasi dan sosialisasi politik yang bermanfaat sekaligis bertujuan untuk merangsang kesadaran partisipasi politik yang lebih kualitatif dari semua kalangan, termasuk kelompok perempuan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempertimbangkan sekaligus memprediksi representasi perempuan dalam politik, khususnya parlemen tahun 2009 nantinya. Hal-hal tersebut adalah:

Pertama, Reformasi dan gejolak pembaharuan internal Partai Politik. Sungguh sering dan banyak fakta tersaji bagaimana partai politik semakin menunjukkan gelagat oligarkhi yang kental. Hal ini, sebetulnya berjalan parallel dengan masih kentalnya patronase politik yang melandasi budaya politik di Indonesia, meskipun sebetulnya demokrasi sudah semakin tersemai di Indonesia. Berubah atau tidaknya rekruitmen kader di tingkat Partai Politik, menentukan apakah kuantitas kader perempuan memadai melalui partai politik pada Pemilihan Umum tahun 2009 nantinya.

Kedua, Sosialisasi politik, khususnya target kesadaran politik perempuan. Sebuah survey yang dikutip Kompas 28 April 2003, menunjukkan hanya 10% pemilih perempuan yang berkomitmen memilih perempuan dalam Pemilihan Umum tahun 2004. Dari sini nampak jelas, bahwa terjadi kesenjangan pandangan dan kesadaran politik antara kelompok Perempuan itu sendiri. Dengan kesadaran yang hanya mencapai 10%, maka tingkat capaian Pemilihan Umum 2009, juga masih akan berada pada kisaran capaian Pemilu 2004, yakni sekitar 10-12%. Komitmen untuk meningkatkan capaian tersebut, hanya mungkin melalui peningkatan kesadaran politik perempuan, selain tuntutan pembaharuan internal Partai.

Ketiga, Landasan Hukum. Hal yang juga sangat mendasar adalah, landasan hukum pelaksanaan Pemilihan Umum. Mengikuti logika Anne Phillips dan Pitkin, maka kuota, menjadi hak yang layak diperjuangkan perempuan di arena politik. Peran mereka yang secara sistematis peripheral pada masa lalu, dengan kandungan lebih dari 50% pemilih perempuan, membuat mereka memiliki alasan melakukannya. Artinya, affirmative action 35% pencalonan, bisa lebih dipertegas dengan menekankan keharusan mencantumkan minimal 30% Perempuan dalam daftar urut nomor jadi di Calon legislative yang diajukan Partai. Artinya, angka tersebut bersifat menekan dan mengikat, dan bukannya seruan moral semata.

Keempat, System pemilihan umum. Apabila sistem pemilihan umum tidak mengalami perubahan, maka dengan sistem Proporsional Representative Terbuka, berpeluang menghasilkan keterwakilan perempuan yang lebih baik. Terutama apabila point 3, bisa dilakukan. Menurut Sutradara Ginting[33], sistem Proporsional dengan daftar terbuka, sebetulnya memberi peluang besar bagi perempuan. Dengan catatan, pencalonan dan penempatan perempuan menurut quota, ditaati oleh semua Partai. Dengan cara demikian, maka bisa diharapkan keterwakilan perempuan akan meningkat prosentasenya kelak.

Bila mencermati konteks politik dewasa ini, maka hal paling penting dan mendasar yang menentukan adalah keempat hal di atas. Apabila komitmen Partai Politik, Parlemen dan pemerintah memihak kepada representasi politik perempuan, tidaklah sulit melakukannya. Sayang, kendala utama justru juga berada di titik ini. Bukan hanya patronase dan oligarkhi di partai politik, tetapi juga kepentingan legislator yang rata-rata pemimpin partai politik untuk kembali ke kursi Parlemen tahun 2005, akan sangat menentukan.Dengan asumsi ini, maka tekanan dan dialog public harus dilakukan banyak kalangan. Setidaknya dengan meletakkan persoalan ini pada porsi yang tepat, yakni sebagai jalan menuju proses demokrasi yang lebih substansial.

Sampai saat ini, jalan tersebut masih tidak buntu, meski juga masih belum cukup terang. Masih tersisa banyak hal yang harus diperjuangkan, baik dari segi perundangan, posisi dan kedudukan pelaksana Pemilu serta sistem pemilihan yang perlu dicermati. Suatu yang pasti, langkah kualitatif menuju peran politik yang lebih komprehensif bagi perempuan sudah menemukan jalan masuk yang tepat. Tinggal menjaga momentum dan kemudian meningkatkan kualitas partisipasi, baik melalui sosialisasi politik, maupun melalui peningkatan kualitas SDM perempuan.

V. Kesimpulan

Peran Politik Perempuan di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan pasca penetapan UU 12/2003 mengenai Pemilihan Umum. Dicantumkannya affirmative action, 30% keterwakilan perempuan dalam Daftar Calon legislative, membuat peran perempuan semakin diperhitungkan. Sayangnya, memang affirmative action tersebut masih belum bersifat memaksa, baru merupakan himbauan yang terbukti banyak ditinggalkan partai politik, atau bilapun diikuti, meletakkan perempuan dalam daftar calon dengan nomor urut yang mustahil terpilih.

Affirmative action dan apresiasi peran politik perempuan, juga merupakan aspek pendalaman proses dmeokratisasi di Indonesia. Karena itu, sulitlah membicarakan demokrasi dengan meninggalkan peran politik perempuan tetap dalam pasungan. Dengan mengerti apresiasi peran politik perempuan sebagai bagian dari dmeokratisasi, maka perjuangan bagi peningkatan peran politik perempuan menjadi sebuah keharusan.

Dalam memasuki dan sekaligus meningkatkan peran dan keterwakilan perempuan, maka setidaknya harus diupayakan reformasi rekruitmen kader partai politik, reformasi kepemimpinan dan leadership, menegaskan affirmative action sebagai sebuah keharusan dalam UU pemilihan Umum mendatang, dan mendukung Sistem Pemilihan Umum Proporsional representative dengan daftar terbuka sebagaimana Pemilihan Umum tahun 2004. Dengan demikian rekomendasi utama adalah, benahi affirmative action dalam pasal 65 ayat 1, dengan keharusan mencantumkan 30% calon perempuan dalam daftar urut nomor jadi, dan juga menegaskan Sistem pemilihan umum sama seperti tahun 2004.
K E P U S T A K A A N



Afan Gaffar, “ Politik Indonesia – Transisi Menuju Demokrasi” (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal 3

Anie Sutjipto., “Membangun Jaringan kerja sama Strategis Antara CSOs, Media Dan Akademisi”. Dalam website http/www.idea.org; Jones, Op cit

Cynthia Fuchs Epstein., “Deceptive Distinction, Sex, Gender, and the Social Order”. (New Haven: Yale University Press, 1988)

Dahl, Robert A, Democracy and Its Critics, (Connecticut, New Haven: Yale University Press, 1989).

David Potter., (2000)., Explaining Democratization, dalam David Potter, et all (ed)., (2000), Democratization, Cambridge: Unity Press, p 3

Drude Dahlerup, Using Quotas in Increase Womens”s Political Representation, dalam Azza Karam (ed). Women in Parliament Beyond Numbers, Stockholm: IDEA, 2001.

Dwi Windyastuti, “Akomodasi Parpol terhadap Kuota Perempuan dalam Pemilu 2004” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XVII, No. 4, Oktober 2004,

Farrar, Cynthia, The Origins of Democracy Thinking, (Cambridge: CUP, 1988);

Ferguson, James R. Latin America in International System, (Queensland: Bond University, 2002). Lecture 9

Finley, MI ., Democracy Ancient and Modern, (London: Hogwart Press, 1985)

Hannah Fenichen Pitkin, The Concept of Representation, (Berkeley: California university Press, 1997)

Jean Grugel, “ Democratization – A Critical Introduction” (New York: PLAGRAVE, 2002)

Jones, Oliver Richard, Kedudukan Wanita dalam Hukum Negara dan Hukum Islam di Republik Indonesia, Laporan Program Pengalaman Lapangan ACICIS Universitas Muhammadiyah Malang.
http://www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/ojones.doc.

Kamla Bashin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, Juni 2002)
Kathleen B Jones dan Anna Jonasdottir., “The political Interests of Gender, Developing Theory and Research with a Feminist Face, (London: Sage Publication, 1998)

Larry Diamond, “Civil Society and the Development of Democracy” – Estudio, Working Paper, June 1997

March Malloch Brown, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang baik, Tantangan Abad 21, (Jakarta: UNDP, 200).

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1977).

Powel, Bingham P, Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, (Cambridge: Harvard university Press, 1982)

Samuel P Huntingthon, “The Third Wave: Democratization in the late twentieth century, (Norman and London: University of Oklahoma Press, 1991), p 5

Watson, Patrick & Barber, Benyamin,. The Struggle for Democracy. (London: W.H. Allen, 1990)

Zohra Andy Baso., “Konvensi dan Undang-undang tak mampu menundukkan watak Patriarki”., website www.idea.org



[1] Salah satu issue menarik dari perkembangan politik kontemporer Indonesia adalah delegitimasi KPU, terutama setelah isu korupsi di tubuh KPU di publikasikan secara luar biasa oleh pers dan vonis 7 tahun penjara bagi Ketua KPU. Sebuah ironi yang perlu dikaji secara mendalam, baik dari segi hukum maupun politik, yang karena keterbatasan informasi dan data, tidak akan menjadi konsentrasi kajian ini.
[2] UU Pemilihan Umum No 12/2003 Pasal 65 ayat 1
[3] Jones, Oliver Richard, Kedudukan Wanita dalam Hukum Negara dan Hukum Islam di Republik Indonesia, Laporan Program Pengalaman Lapangan ACICIS Universitas Muhammadiyah Malang. http://www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/ojones.doc.
[4] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1977, hal. 8.
[5] Ibid, hal. 9.
[6] Kamla Bashin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, Juni 2002), hal. 1.
[7] March Malloch Brown, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang baik, Tantangan Abad 21, (Jakarta: UNDP, 200), hal. i.
[8] Mansour Faqih, Op cit
[9] Kathleen B Jones dan Anna Jonasdottir., “The political Interests of Gender, Developing Theory and Research with a Feminist Face (London: Sage Publication, 1998), chapter 1
[10] Bandingkan: Cynthia Fuchs Epstein., “Deceptive Distinction, Sex, Gender, and the Social Order”. (New Haven: Yale University Press, 1988), chapter introduction
[11] Anie Sutjipto., “Membangun Jaringan kerja sama Strategis Antara CSOs, Media Dan Akademisi”. Dalam website http/www.idea.org; Jones, Op cit
[12] Zohra Andy Baso., “Konvensi dan Undang-undang tak mampu menundukkan watak Patriarki”., website www.idea.org
[13] Kajian ini, tepat kalau dilandaskan atas kajian Pippa Noris, Engineering Social Capital. Sumber ini dalam bentuk file pdf melalui internet.
[14] Dwi Windyastuti, “Akomodasi Parpol terhadap Kuota Perempuan dalam Pemilu 2004” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th. XVII, No. 4, Oktober 2004, hal. 37 – 49.

[15] Afan Gaffar, “ Politik Indonesia – Transisi Menuju Demokrasi” (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal 3
[16] Samuel P Huntingthon, “The Third Wave: Democratization in the late twentieth century (Norman and London: University of Oklahoma Press, 1991), p 5
[17] Ferguson, James R (2002). Latin America in International System, Queensland: Bond University. Lecture 9
[18] Joseph A Schumpeter, “Capitalism, Socialism and Democracy” (London: George Allen & Unwin, ltd, 1961)
[19] Ibid p 269
[20] Farrar, Cynthia (1988). The Origins of Democracy Thinking, Cambridge: CUP; Finley, MI (1985)., Democracy Ancient and Modern, London: Hogwart Press
[21] Watson, Patrick & Barber, Benyamin (1990). The Struggle for Democracy. London: W.H. Allen.
[22] Larry Diamond, “Civil Society and the Development of Democracy” – Estudio, Working Paper, June 1997 and “What Civil Society can do to Reform, Deepen and Improve Democracy” – Paper Presented to Workshop, June 2001Larry Diamond, hal 10
[23] Powel, Bingham P (1982). Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Harvard university Press. P 3
[24] Dahl, Robert A, (1989)., Democracy and Its Critics, Connecticut, New Haven: Yale University Press. P 233
[25] David Potter., (2000)., Explaining Democratization, dalam David Potter, et all (ed)., (2000), Democratization, Cambridge: Unity Press, p 3
[26] Ibid, hal 6
[27] Jean Grugel, “ Democratization – A Critical Introduction” (New York: PLAGRAVE, 2002), p 3
[28] Ibid
[29] Ibid p 5
[30] Huntingthon memilih menggunakan otoriter ketimbang non demokratis
[31] Drude Dahlerup, Using Quotas in Increase Womens”s Political Representation, dalam Azza Karam (ed). Women in Parliament Beyond Numbers, Stockholm: IDEA, 2001.

[32] Hannah Fenichen Pitkin, The Concept of Representation, (Berkeley: California university Press, 1967), p 209
[33] Harian Kompas, 28 April 2003

No comments: