Wednesday, May 23, 2007

“POLITIK KRISTEN” INDONESIA KEDEPAN

Oleh:
Audy WMR Wuisang”


Pengantar

Siapa bilang demokrasi menjamin kesejahteraan dalam waktu sekejab? Siapa pula yang berani menjamin bahwa demokrasi akan berlangsung secara sinambung dan melalui jalan mulus? Siapa pula yang menjamin bahwa demokrasi akan secara otomatis mengurangi jumlah orang miskin? Padahal, justru kesejahteraan, demokrasi berkesinambungan dan korupsi yang minimal serta berkurangnya orang miskin, menjadi alasan dan picu utama reformasi tahun 1998. Tapi, setelah reformasi menapak tahun ke-9, semua asa yang ditumplakkan untuk ditangani demokrasi, tidaklah otomatis terpenuhi.

Indonesia, meski kini berada dideretan Negara Demokrasi terbesar, namun juga dengan ekonomi yang rapuh. Birokrasi yang lamban dan korup, jumlah orang miskin yang, astaga besarnya, serta kesejahteraan yang diimpikan tetap menjadi impian. Meski ekonomi rapuh dan terseok-seok, birokrasi yang tetap bermental amtenar, korup dan lamban, serta orang miskin yang jumlahnya tetap besar, tidaklah berarti Indonesia benar-benar sudah tergolek tak berdaya. Indonesia, setidaknya sudah memasuki alam demokrasi dimana proses-proses yang beradab boleh terkedepankan. Bahkan lembaga-lembaga politik sudah relative demokratis, seperti adanya Partai politik yang bebas dan independent, PEMILU yang regular serta parlemen yang kuat.

Mekanisme pergantian kepemimpinan nasional dilakukan lebih demokratis dibandingkan bahkan dengan USA; Kebebasan berpolitik dijamin melalui mekanisme kebebasan berorganisasi dan bahkan berpartai politik; Penculikan dan penghilangan lawan politik berkurang drastis; demonstrasi sebagai sarana mengungkapkan pikiran dan pilihan berbeda sudah bukan barang “haram” lagi. Sungguh, system politik Indonesia sudah demokratis, meski masih dalam artian minimalis. Minimalis dalam terma politik, berarti sudah terpenuhinya standar minimal dmeokrasi, yakni pergantian kepemimpinan melalui Pemilihan Umum. Serta setidaknya dijaminnya beberapa hak mendasar oleh Negara.

Dalam konteks perubahan yang sangat signifikan ini, sungguh menjadi sangat menarik meneropong “Politik Kristen” dalam konteks Keindonesiaan dewasa ini. Menarik, karena pergumulan Keindonesiaan dan Kekristenan mengalami sejumlah perubahan yang sangat signifikan dalam 10 tahun terakhir. Dan, proyeksi perubahan dalam mekanisme politik, semakin membayang dan semakin menunjukkan karakter yang berbeda. Sehingga, melihat trend dan kecenderungan Gereja-gereja dalam sikap politiknya, sangat menarik untuk menelaah dan memetakannya. Dan terlebih, meneropong akan berada dalam koridor seperti apa kelak Politik Kristen itu di Indonesia yang terus berubah.

Politik Kristen

Menyebutkan “Politik Kristen” bukannya tidak menyadari bahwa bahkan “Kekristenan” itu sendiri sangatlah plural dalam sikap politiknya. Tetapi sebelum meneropong pluralisme politik tersebut, jauh lebih baik mengerti atau berupaya menjelaskan makna “Politik Kristen” dalam artikel ini. Politik Kristen dalam tulisan ini dimengerti dan dipahami sebagai bentuk-bentuk relasi kekristenan dengan bukan hanya kekuasaan, tetapi bahkan dengan institusi atau lembaga sosial lainnya. Dengan kata lain, bagaimana relasi-relasi yang dibangun dan terbangun antara Kekristenan dengan lembaga sosial (termasuk lembaga agama lainnya), maupun dengan elemen-elemen kekuasaan. Pemahaman ini, coba dibangun berdasarkan beberapa pandangan bahwa Lembaga Agama juga bisa menjadi elemen kekuatan Civil Society (Masyarkat Sipil). Terutama manakala agendanya bukan melulu masalah ritual, dogmatis ataupun internal keagamaan, tetapi juga persoalan-persoalan sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga, ketika Kekristenan berbicara masalah Kebangsaan, kemiskinan, pluralisme, pelestarian Kebudayaan, Lingkungan Hidup, maka fungsinya adalah sebagai lembaga sosial atau sebagai civil society.

Dengan demikian “Politik Kristen” tidaklah dipahami hanya sebagai sebuah aktifitas politik sistematik kekristenan Indonesia. Atau bagaimana Kekristenan membangun relasi-relasi dengan pemerintah maupun kekuasaan di berbagai level pemerintahan. Bukan pula sekedar membayangkan bagaimana dimilikinya sebuah Partai bernuansa Kristen di Indonesia. Lebih dari itu, adalah pikiran maupun ekspresi kekristenan ataupun responsnya terhadap persoalan Bangsa Indonesia. Sumbangsihnya terhadap masa depan bangsa, relasi yang dibangunnya dengan komponen lain Bangsa Indonesia, dan bagaimana proyeksinya bagi masyarakat Indonesia di masa depan. Pikiran bahwa Politik Kristen adalah relasi kekristenan dengan kekuasaan adalah, pemikiran sempit mengenai baik kekristenan ataupun politik.

Dengan pengertian itu, maka menjadi bisa dimengerti mengapa kekristenan ataupun gereja-gereja menjadi begitu terkooptasi oleh politik orde baru selama sekian tahun. Menjadi jelas pula, mengapa kekristenan seakan tidak cukup peduli dengan “sengsara” masyarakat di Timor-Timur atau bahkan di Aceh. Dan menjadi tidak aneh juga mengapa ada sebuah lembaga kekristenan yang secara terang-terangan mendukung sebuah partai politik (penguasa, GOLKAR) waktu itu. Bahkan juga dengan sebuah kejadian tragis dan ironis bagi kekristenan, yakni manakala “emas” dipersembahkan bagi regime lapuk yang sangat korup dan tyran. Yakni pada akhir-akhir episode orde baru mengangkangi Indonesia, saat situasi politik meningkat dan kritis bagi regime tersebut. Meskipun semua kejadian itu telah menjadi “sejarah”, tetapi bukanlah berarti mampu menghapus jejak politik Kristen pada masa lalu.

Realitas Masa Kini

Sejumlah perubahan yang sangat signifikan sudah terjadi. Demokratisasi telah menemukan titik awal dan bahkan momentumnya, dan akan terus berproses mencari kematangannya hingga terkonsolidasi. Tetapi, seperti juga pada Negara lain yang mengalami transisi demokrasi, Indonesia, menghadapi problematika sejenis. Yakni, bagaimana meletakkan dan menempatkan serta merekatkan lagi “Kebangsaan” yang justru menjadi tercabik-cabik karena dibangun atas paksaan dan tekanan. Setelah Indonesia secara sukarela dan atas prinsip kebersamaan menyatakan kemerdekaan pada tahun 1945, episode orde baru, justru memaksakan kebersamaan sebagai sebuah agenda politik. Kebersamaan menjadi idiom penting yang atasnya mereka yang berlainan dengan kebersamaan versi penguasa, menjadi ancaman yang jika perlu dilenyapkan. Atas nama kebersamaan, kepelbagaian ditindas karena menjadi ancaman yang dikategorikan SARA. Perbedaan diupayakan lenyap dengan terminology manis bernama “harmonisasi”, dan semua letupan perbedaan harus dipendam dalam dalam dan dilarang meledak.

Sebagaimana dialami Spanyol, Chili dan bahkan Negara-negara bekas Uni Sovyet, problem Kebangsaan menjadi begitu menonjol. Ternyata, kebersamaan yang dideklarasikan tahun 1945, menjadi tergerus dan sangat minimal akibat ketidakadilan atas Aceh, Riau, Papua, Dayak, Minahasa, Batak dan daerah periferal lain masa orde baru. Meskipun daerah pinggiran itu, menyumbang kas Negara dengan jumlah yang luar biasa besarnya. Pemerintahan tangan besi memaksakan keseragaman dengan melupakan keragaman, dan pada gilirannya “character and nation building” menemui jalan buntu. Kebanggaan ber-Indonesia berubah menjadi “malu” mengaku orang Indonesia. Bahkan Indonesia menjadi salah satu Negara pelanggar HAM, bahkan sekarang menjadi salah satu Negara terkorup di dunia. Siapa pula yang bangga?

Inilah fakta politik dewasa ini. Yakni, manakala demokrasi menemukan momentumnya, maka semua luka lama dengan sendirinya menyeruak ke permukaan. Karena tekanan dan “ancaman” pendekatan kekuasaan dan pendekatan keamanan menjadi tidak relevan lagi, maka semua yang dipendam, dengan sendirinya meletup keluar. Baik Aceh maupun Papua menemukan kesempatan melakukan negosiasi politik ulang. Demikian juga daerah lain, sehingga lahir Otonomi Daerah, meskipun masih harus lebih disempurnakan lagi. Semua yang terluka akibat politik penyeragaman terpampang jelas, konflik di Sampit, Poso dan Ambon adalah contohnya. Dan semua kelompok etnis dan agama yang digerus habis oleh regime orde baru, merasa menjadi korban dari politik masa itu. Akibatnya, politisasi etnis dan kelompok menguat, bahkan politisasi agama, juga menemukan momentum kebangkitannya. Karena dulu menganggap diri korban, maka demokratisasi merupakan momentum untuk menegaskan jati diri dan meneriakkan sakit yang dulu mendera. Pada akhirnya, kebersamaanpun tergugat, Kebangsaan bahkan mengalami degradasi, sehingga problem klasik demokratisasi, yakni “stateness” juga menjadi ancaman bagi Ke-Indonesia-an. Giliran terakhir, muncul gerakan sistematik dengan peraturan daerah yang berlatar syariah agama tertentu di banyak Kabupaten dan kota di Indonesia.

Tetapi, di sisi lain, kekristenan, juga bukan sebuah fakta tunggal. Bukan sebuah entitas sosial yang meski memiliki visi Kristiani yang sama, tetapi membawa ekspresi sosialnya yang tidak sama. Bahkan, sebuah tabu yang lama dipegang di masa orde baru, yakni hadirnya Partai Politik Kristen, menjadi tidak tabu lagi dengan hadirnya banyak Parpol Kristen sejak tahun 1998. Sehingga, polarisasi Politik Kristen terjadi pada segmen yang semakin meluas. Bukan hanya pada level lembaga Gerejawi, tetapi bahkan terjadi polarisasi pada level relasi kekristenan dengan Politik (praktis), terutama dalam kaitan dengan relasi dengan kekuasaan.

Jika pada masa sebelumnya, lembaga Gerejawi yang biasanya PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) menjadi kekuatan moral Kristen dalam hampir semua lapangan, kini tidak begitu lagi. Di lapangan politik, secara faktual hadir sebuah fraksi dari Partai Damai Sejahtera di DPR RI, dan bahkan banyak Partai Politik Kristen lainnya. Dan semua Partai Politik tersebut berlomba memanfaatkan symbol Kristen dan bahkan ajaran Kristen untuk ditawarkan bagi pembeli Kristen, baik saat ini maupun memasuki tahun 2009 nanti. Bahkan semua optimist mampu “mengawal” nilai kekristenan di politik, dan merasa semua legitimate mewakili kekristenan. Meski, semua itu hanyalah jualan politik menuju kekuasaan nantinya. Perkara benar atau tidaknya, siapapun kini sudah tahu dan sudah belajar banyak.

Nampaknya, pertanyaan “perlukah Partai politik bernuansa Kristen” menjadi tidak relevan lagi. Karena toch, bukan hanya sebuah fraksi PDS dan PDS saja yang tampil di pentas politik Indonesia, tetapi bahkan banyak Partai Kristen lainnya. Meskipun semua partai itu mengaku berlabel “nasionalis”, tetapi penglompokan mereka dalam ideology Partai di Indonesia, tetap masuk dalam kotak “Partai Agama”. Tidaklah signifikan untuk melahirkan kotak ideologis partai yang baru di Indonesia, karena titik bidik konstituennya juga sudah jelas, dan bukan rahasia lagi. Tetapi, sebetulnya pertanyaan mengenai perlunya “Partai Politik bernuansa Kristen”, tetap akan menjadi relevan pada masa mendatang. Bahkan bagi kelompok kekristenan yang selama ini menjadi segmen terbesar protestantisme Indonesia, yakni lingkungan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.

Bukan rahasia, dan jamak diketahui. Sejak dulu, PGI ditempatkan dan dipandang representasi kekristenan Indonesia. Terutama protestantisme. Pemerintah selalu melirik PGI sebagai representasi kekristenan, bahkan meskipun sudah hadir PDS dewasa ini di parlemen. Sebuah sinyal dan tanda, bahkan pengakuan atas sejarah partisipasi dan kehadiran PGI di pentas politik Indonesia. Lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya yang saya sebutkan pada bagian awal tulisan ini. Meskipun, PGI sendiri, tidak pernah memposisikan dirinya sebagai sebuah kekuatan politik formal, tetapi lebih sebagai sebuah kekuatan moral dalam konteks civil society. Dan, mengapa pula pertanyaan mengenai relevansi “partai politik Kristen” penting bagi PGI?

Hal ini sebetulnya diakibatkan oleh konteks perubahan signifikan yang dialami oleh Indonesia sejak tahun 1998. Dengan terbukanya system politik Indonesia, bahkan mengakomodasi system multi-partai, maka hadir puluhan bahkan ratusan partai politik. Lebih dari itu, Partai Politik bahkan tidak haram mencantumkan “asas agama”, dan lahirlah partai agama, baik di Kristen maupun Islam. Maka hadirlah representasi formal Kristen dalam bentuk Partai Politik untuk kepentingan memperebutkan kekuasaan melalui pemilihan umum. Hal kedua, meskipun banyak digugat orang, tetapi PGI tetap sebuah kekuatan Kristen yang sangat representative. Benar, bahwa banyak kekuatan Kristen lainnya yang bisa dianggap mewakili kelompok Kristen. Tetapi, harus dicatat, bahwa kelompok di lingkungan PGI tetap merupakan sebuah kekuatan moral utama yang sudah memiliki sejarah panjang. Dalam kondisi apapun dan bagaimanapun, PGI tetap menjadi pilihan untuk dilirik dan dipandang. Dan sampai saat ini, PGI masih tetap hadir sebagai sebuah kekuatan Civil Society dalam konteks relasinya dengan kekuasaan. Sehingga, apakah PGI tetap dalam posisinya ini, atau akan memodifikasi pilihan stand pointnya (pegangan, pandangan) menjadi sangat penting. Artinya, apakah PGI merestui kehadiran sebuah Partai politik Kristen atau tidak, menjadi sangat penting dipikirkan. Karena itu, pertanyaan soal Parpol Kristen, juga menjadi tetap relevan.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, kemungkinan ambang batas (electoral threshold) tahun 2009 melalui pembahasan RUU Partai politik dan RUU Pemilu yang kemungkinan meningkat menjadi 5% dan berlaku di parlemen. Artinya, sebuah Partai politik peserta Pemilihan Umum yang memperoleh kursi DPR RI di bawah 5% (misalnya, hanya dapat 25 kursi, dari seharusnya 27 kursi sebagai ambang batas masuk DPR RI), harus merelakan kurisnya diambil alih calon lain yang partainya melewati electoral threshold tersebut. Dengan aturan demikian, maka kehadiran sebuah Fraksi bernuansa Kristen semisal PDS dewasa ini, menjadi sangat sulit. Nyaris mustahil bila aturan ini diberlakukan. Aturan electoral threshold yang demikian, memang merupakan mekanisme politik alamiah untuk melakukan penyederhanaan Partai Politik di Indonesia.

Pertanyaan paling akhir dari episode politik ini, dari “perlu atau tidak sebuah Partai Politik Kristen di Indonesia” akan menjadi “perlu atau tidak sebuah Fraksi bernuansa Kristen di Parlemen Indonesia”? Sangat penting menjawab pertanyaan ini, meski dari persektif Gerejawi. Karena, sudah pasti, bagi insan politik Indonesia, jawabannya sudah tegas, yakni “YA”. Tetapi, meskipun banyak partai politik Kristen di Indonesia, nyaris sulit dibayangkan akan melewati electoral threshold apabila hanya dengan konstituen yang dimiliki PDS saat ini. Sebab, mencapai 5% ambang batas, dibutuhkan “hanya 1 partai politik Kristen”, dan selain syarat itu, partai itu juga harus menghimpun semua kekuatan Kristen, terutama PGI yang sampai saat ini tidak memberikan restu apapun bagi kehadiran sebuah Partai Politik Kristen di Indonesia. Itulah sebabnya, pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi penting dan akan tetap penting bagi PGI dalam menantang pemikiran dan rumusan teologi politik kontemporer di Indonesia.

Tetapi, tulisan ini, tidaklah berarti sedang mendorong PGI untuk melakukan modifikasi atas pilihan teologisnya terhadap kekuasaan dewasa ini. Sama sekali bukan. Sebaliknya, tulisan ini memaparkan kondisi faktual yang akan dan terus dipikirkan oleh gereja-gereja dalam konteks dinamika politik Indonesia. Karena, toch, tugas PGI bukan melulu di bidang politik. Masih terlampau banyak problematika lain yang dihadapi Bangsa ini, dan juga mesti disikapi secara komprehensif oleh PGI. Baik persoalan Bencana Alam, Kemiskinan yang bukannya berkurang, Moralitas pemimpin Bangsa yang belum meningkat karena korupsi terus meraja lela, pluralisme Bangsa, dan masih banyak lagi. Semua persoalan ini, dihadapi, tersaji dan menantang gereja-gereja untuk tidak dipandangi belaka, tetapi untuk dihadapi. Dan dipecahkan.

Politik Kristen Kedepan?

Bila disederhanakan, maka Politik Kristen dewasa ini adalah “Politik Kebangsaan”. Artinya, Gereja-gereja di Indonesia, terutama di lingkungan PGI, telah mengaminkan bahwa gereja adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Bangsa yang plural dengan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi dan merupakan “berkat” dan “anugerah” Tuhan. Karena itu, menjaga dan mempertahankan pluralisme sebagai substansi “Ke-Indonesia-an” merupakan panggilan iman. Dan bersama dengan semua komponen Bangsa Indonesia, Gereja-gereja akan terus menyuarakan suara Kebangsaan. Mengatasi kotak-kotak agama, kotak ideology, kotak etnis dan kota golongan. Pilihan teologis yang hingga sekarang masih dengan taat dilakonkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.

Jika demikian, dalam konteks perubahan politik yang signifikan dan kehadiran partai politik Kristen, tantangan degradasi kebangsaan yang selalu lintas batas bermain di pentas politik, budaya dan sosial serta ekonomi, akan seperti apa formulasi politik Kristen kedepan? Nampaknya tetap tidak akan beranjak jauh dari pilihan dewasa ini. Gereja akan tetap memposisikan diri sebagai bagian dari Bangsa Indonesia. Bahwa partisipasi politik Gereja-gereja adalah tanggungjawab moral dan bukan sebuah kewajiban. Jikapun ada modifikasi, tidak akan mempengaruhi substnsi ini. Karena pertanyaan-pertanyaan praktis yang diajukan di atas, masih membutuhkan waktu untuk memecahkannya. Terutama, apakah dibutuhkan sebuah modifkasi bagi sikap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia atas kehadiran sebuah Fraksi “Kristen” di parlemen.

Atas pertanyaan ini, sudah pasti akan menimbulkan pro kontra yang akan sangat tajam, dan akan melibatkan banyak pemikiran dan butuh energi besar dan bahkan keberanian ekstra dalam melakukannya. Tetapi, itulah tantangan yang tersedia dewasa ini. Bukan tantangan terbesar, tetapi cukup penting untuk dipikirkan ke depan. Karena tantangan-tantangan yang lain, yang membutuhkan perhatian PGI selaku Civil Society, juga tidak kurang besarnya. Dalam sejarah demokratisasi, Civil Society selalu memainkan peran pematangan dan konsolidasi yang sangat penting. Maka, mengawal konsolidasi demokrasi Indonesia saat ini, bagi penulis merupakan tugas terpenting bagi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Spanyol, dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasinya, terhindar dari perang saudara karena peran Civil Society (tahun 1976-1984). Demikian juga Negara-negara lain semisal Brasil, Chili dan Negara lain yang mengalami gelombang pasang demokratisasi ketiga. Kita, Indonesia, tentu tidak ingin berantakan hanya karena perbedaan-perbedaan yang tidak seharusnya dipertentangkan.

Catatan:
Penulis adalah pengamat masalah social kemasyarakatan
Pernah dipublikasikan oleh Harian komentar

No comments: