Wednesday, May 23, 2007

POLEMIK UMUR DI SUKSESI

Oleh:
Audy W.M.R. Wuisang*

Kegundahan warga Pemuda GMIM menjelang “lengsernya” Pnt. Jermia Damongilala persis ketika seorang Pnt. Marhanny Pua harus mengakhiri masa baktinya sebagai Ketua Pemuda GMIM. Begitu hebatnyakah Pnt. Jermia dan Pnt. Hanny sehingga melahirkan kegundahan banyak orang ketika mereka harus berlalu?. Dengan rendah hati saya harus mengatakan “ya”. Mereka hadir dan berkarya pada waktu yang tepat dan dengan beban dipundak yang berbeda karena tantangan jamannyapun sungguh sangat berbeda. Kharisma Pnt. Jermia di kalangan Pemuda GMIM pada masanya tidak beda dengan Pnt. Hanny pada masanya. Karena memang, struktur Pemuda GMIM sangat berpotensi untuk “membesarkan” siapapun yang menukangi organisasi itu dengan penuh tanggungjawab. Karenanya, pada masa yang berbeda, meski bukan tanpa kritik, siapa meragukan kepemimpinan kedua orang ini? Sekali lagi, bukannya tanpa kritik.

Sebagai orang yang dibesarkan struktur Pemuda GMIM karena pernah menjadi Penatua Pemuda GMIM di Jemaat GMIM Immanuel Koya – Tondano, penulis ingat betul kondisi psikologis melepas Pnt. Jermia. Tetapi, sejarah membuktikan, kesungguhan dan kerendahan hati Pnt. Hanny, mampu menggantikan peran Pnt. Jermia dan bahkan menciptakan kharismanya sendiri. Kondisi menjelang turunnya Pnt. Jermia dan Pnt. Hanny secara psikologis mirip, dan penulis yakin, karaguan terhadap “belum munculnya” kader pengganti yang baik akan terjawab oleh sejarah. Di lingkungan GMKI dan GAMKI, senantiasa berdengung ungkapan bahwa “Kepala Gerakan – Yesus, akan menyiapkan kader terbaik untuk mengayuh biduk organisasi ini. Karena itu, sayapun berprinsip bahwa pastilah akan tampil orang lain yang akan menciptakan “imagenya” sendiri berbeda dari Pnt. Bert Supit, Pnt. N Gara, Pnt. Jermia dan Pnt. Hanny, para mantan Ketua Pemuda GMIM sebelumnya.

Hanya, karena persoalan dan tantangan Pemuda GMIM menjadi semakin kompleks, baik karena pengaturan dan sistematisasi organisasi menjadi semakin baik, maupun tantangan eksternal semakin kompleks, maka sorotan terhadap Pemuda GMIM otomatis meningkat. Faktor di atas, pengaturan serta aturan GMIM semakin baik serta kondisi eksternal semakin terbuka, membuat dinamika Pemuda GMIM juga mengalami pembaharuan dan pergeseran. Fenomena naiknya Pnt. Hanny ke jenjang DPD RI adalah salah satu bukti betapa dinamika Pemuda GMIM mengalami pergeseran dan perubahan. Perubahan tersebut, tidaklah harus dipandang sinis, tetapi semestinya terus dicermati, diubah, dimodifikasi agar mampu menjawab tantangan zaman. Adalah sebuah kecelakaan besar jika kita berkehendak mengingkari tuntutan jaman untuk kemudian tinggal di ruang tertutup dan isolasi. Pemuda GMIM bukanlah ruang tertutup dan steril dari persentuhan dengan dunia luar, maka hal wajar bila kemudian Pemuda GMIM ikut dalam akselerasi perubahan.

Hal utama yang menjadi kepedulian penulis adalah ketika kemudian “kegundahan” mencari pengganti Pnt. Hanny ditimpali oleh polemic panjang yang diawali pada saat menjelang Konsultasi Pemuda GMIM. Masalahnya, bukan visi pembaharuan Pemuda GMIM, tetapi persoalan Umur yang ironisnya sudah ditetapkan oleh Tata Gereja GMIM. Ketika menyebut Aturan GMIM yang semakin baku dan tantangan eksternal, maka kesempatan ini penulis juga ingin mengelaborasi persoalan tersebut.

Pertama, bukannya Pemuda GMIM tidak mengerti bahwa Tata Gereja menjadi acuan utama dalam “pengaturan” administrasi bergereja. Naiknya Pnt. Hanny untuk periode kedua, adalah perlawanan terhadap aturan waktu itu, tetapi masih bisa diterima. Karena betapapun Pnt. Hanny menunjukkan komitmen yang kuat dalam mengemban misi pelayanan melalui Pemuda GMIM. Tetapi, bahwa Tata Gereja adalah Tata Gereja, adalah persoalan yang kedudukannya sudah diakui dan disepakati bersama. Kompromi sering dan mungkin dilakukan, tetapi seharusnya kompromi terukur dan dengannya bisa dipertanggungjawabkan.

Kedua, Tantangan eksternal yang dimaksudkan penulis sekitar persoalan Pelayanan Pemuda baik di tingkat regional maupun Internasional. Organisasi Pemuda CCA maupun WCC (Dewan Gereja Asia dan Dewan Gereja Sedunia) menetapkan batas usia 30 tahun untuk Pemuda Gereja. Di lingkungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) juga menetapkan hal yang sama, sementara Pimpinan Pemuda Gereja di lingkungan Asia juga sudah mengadopsinya. Akibatnya, Pertemuan Pemuda dan Pimpinan Pemuda di Gereja-gereja adalah pertemuan para pimpinan Gereja di bawah usia 30 tahun. Inilah yang ingin diadopsi dan dilembagakan oleh GMIM.

Ketiga, di tingkatan PGI, pada persidangan yang baru lalu, kategori Pemuda akhirnya disepakati pada kisaran angka 35 tahun. Pertimbangannya demikian: Indonesia, adalah Negara berkembang dan kematangan seseorang dari segi emosional perlu dipertimbangkan. Beda dengan Negara-negara Asia lainnya, seperti Jepang dan Korea serta Taiwan Hongkong dan Singapore, kematangan mereka termasuk cepat di usia 30-an. Indonesia, terlebih daerah, perlu dilakukan kompromi hingga batas tertentu yang masih layak. Maka disepakati angka 35 tahun, tetapi itupun dengan perdebatan yang sangat panas, dan di PGI masih belum diberlakukan batas usia 30 tahun bagi Pimpinan Pemuda Gereja di PGI.

Bagi saya, dengan pengalaman lebih kurang 8 tahun di lingkungan Organisasi Pemuda Nasional dan Internasional, perdebatan angka 30 sebenarnya sudah menjadi consensus. Terutama di lingkungan Gereja-gereja, dan karenanya pimpinan pemuda Gereja rata-rata berada pada usia 30 tahunan kebawah, kecuali di Indonesia. Berkali-kali kompromi di lingkungan Gereja diberikan bagi Indonesia dengan argumentasi yang selalu sama, yakni soal kematangan dan pertimbangan usia. Tetapi, kompromi semacam ini akan berlaku sampai kapan? Dan haruskah kemudian Tata Gereja dan kesepakatan dari waktu kewaktu dilanggar? Dan berada dimana kemudian kewibawaan Gereja jika demikian? Masalah ini, bukan hanya masalah Pemuda GMIM, tetapi menjadi masalah pada aras nasional, bila lebih khusus hal yang sama juga harus dialamatkan kepada Gereja Masehi Injili di Minahasa itu sendiri. Sampai dimana ketaatan kita teradap aturan mengikat yang kita tetapkan sendiri?

Memasuki kembali perdebatan dan polemik usia di lingkungan Pemuda GMIM, penulis berargumentasi bahwa masih tetap mungkin dilakukan kompromi terbatas. Yakni, diberlakukan waktu yang harus disepakati bersama bahwa tahun 2009 nanti misalnya, adalah saat dimana Pemuda GMIM memulai dengan batasan usia tersebut. Dan dengan demikian, terhitung sejak tahun ini kaderisasi diarahkan kepada Pemuda di lingkup usia 20-an sebagai persiapan menuju tahun yang dikompromikan. Harus jujur, keterlibatan kader di usia 20-an dalam program ke luar GMIM masih sangat kurang dan terbatas dilakukan oleh Pemuda GMIM. Penulis menemukannya dalam banyak kesempatan baik di aras propinsi dan bahkan nasional. Bila belum sekarang, maka kita harus berkomitmen melakukannya pada periode yang baru.

Tetapi, sayangnya wacana tersebut tidak muncul dalam perdebatan, yang terjadi adalah polarisasi yang tajam antara “mengangkangi” Tata Gereja dengan “Taat” kepada Tata Gereja. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah, Ketua Pemuda yang terpilih, jauh melebihi batas umur yang ditetapkan oleh Tata Gereja GMIM. Sungguh, kita terbiasa menetapkan aturan dan kemudian melanggarnya. Bukan hanya kebiasaan di tingkat Sinodal yang mengacak-acak jemaat dengan kebijakan inkonsistensi dan kebijakan berbeda dari beberapa person di Badan Pekerja Sinodal, tetapi juga ternyata kebiasaan para generasi mudanya. Bila usia tidak jauh dari angka 30, misalnya 31-35 tahun, mungkin masih bisa dipercakapkan kompromi terbatas dalam menatap masa depan. Tetapi, bila usia sudah jauh dari 30, sudah melebihi angka 40, rasanya Pemuda GMIM tidak lagi sedang dipimpin oleh seorang Pemuda. Batas usia pemuda di lingkungan Organisasi Sekuler sekelas KNPI juga menetapkan sampai angka 40. Dan sekarang, Pemuda GMIM setelah Tata Gerejanya menetapkan angka 30 tahun sebagai batas, malah memilih yang sudah di atas 40 tahun. Luar biasa.

Dengan tetap memegang prinsip penghormatan terhadap pemilihan demokratis serta meyakini bahwa “Dia” menyiapkan pengganti terbaik, penulis tetap ingin menyebutkan bahwa, seharusnya komitmen moral kepemudaan juga tetap dikedepankan. Hasil pemilihan, dalam kacamata organisasi bukan hanya menyiasati Tata Gereja yang menjadi rujukan bersama, tetapi rasanya juga telah melecehkan makna “kepemudaan” baik per terminology maupun per substansi. Bahkan, himbauan Ketua Sinode GMIM agar Pemuda GMIM menjadi teladan dalam Khotbah pembukaannya, cenderung malah menjadi hal terbalik karena menghasilkan baik ketidaktaatan terhadap Tata Gereja, tanpa kompromi batas waktu pelanggaran, maupun apa yang kami sebut substansi kepemudaan. Perdebatan sekitar umur, dengannya akan terus dan tetap terwariskan sampai pada periode yang baru ini berakhir. Celakanya, kita belum tahu budaya seperti ini akan berhenti kapan dan dimana. Dan dengan hasil seperti ini, dalam posisi Pemuda GMIM menjadi sebuah kekuatan moral dan politik yang signifikan, masih mampukah dia menjadi teladan? Masih mampukah dia menjadi kekuatan moral?

Kekhawatiran ini sangat beralasan. Tata Gerejanya saja dilanggar tanpa kompromi kapan ditaati dan komitmen kearah penegakkan Tata Gereja kelak. Kemudian, Pemuda GMIM juga tidak lagi dipimpin seorang Pemuda dari segi usia, bahkan jauh melampaui batas yang ditetapkan Tata Gereja, consensus nasional dan bahkan internasional. Masihkah Pemuda GMIM layak disebut organisasi “Pemuda”? karena itu, pertanyaan-pertanyaan pada alinea di atas bisa dijawab siapapun. Dan ini akan menjadi beban yang mesti dipanggul dan untuk kemudian dijawab oleh Pemuda GMIM pada masa-masa mendatang. Periode baru ini, mungkin akan sukses dan mungkin pula gagal. Tetapi, bahwa kekuatan moralnya akan semakin dipertanyakan komunitas politik Sulawesi Utara, rasanya tidak berlebihan. Bahkan akan semakin dipertanyakan oleh komunitas dan warga GMIM sendiri. Diatasnya, sejarah akan mencatat apa yang dilakukan generasi Pemuda GMIM dewasa ini.


* Pengamat Sosial Politik

No comments: