Tuesday, May 22, 2007

CLIFT MUNTU: FIGUR PENDIDIKAN 2007?

Oleh:
Audy WMR Wuisang


Pengantar

Clift Muntu ….. sebuah cerita menyedihkan yang tertoreh dari sepanjang perjalanan hidupnya, Manado – Jatinangor – Manado yang berujung kematian. Siapapun memang tidak sanggup menolak kematian. Tetapi, berbeda bila kematian itu akibat sebuah pemaksaan sistematis dan di sebuah lembaga pendidikan pula. Dan itu yang dialami oleh seorang Praja asal Sulawesi Utara bernama Clift Muntu.

Penulis sempat tersentak mendengar informasi keluarga, betapa “parahnya” kondisi Clift dikerjai para seniornya. Baik kepala yang lebam, dada yang retak-retak, Jatung dan paru memar, hingga adanya suntikan formalin dan sejumlah bukti penganiayaan yang awalnya tidak hendak dilaporkan IPDN ke petugas. Sungguh sadis perlakuan senioren semacam itu terhadap adik atau yuniornya, dan ironisnya, dilakukan atas nama “pembinaan senior atas yunior”. Sebuah lelucon yang dikemas dengan nama acara yang menggelikan, sekaligus memancing emosi masyarakat.

Tapi, begitulah jalan hidup Clift. Sosok anak muda yang digambarkan keluarganya sebagai anak yang pintar dan aktif di pemuda gereja. Bahkan kesederhanaan atau kemiskinan keluarganya juga menjadi tanggungan akan muda yang menjadi Praja di IPDN ini. Semua itu membuatnya memiliki cukup kewibawaan untuk memimpin Praja seangkatannya yang berasal dari Sulawesi Utara. Dan dengan lata seperti itu, tiada satupun masyarakat Sulawesi Utara yang rela seorang Clift diperlakukan secara demikian buruk . Saking buruknya sampai harus meregang nyawa. Tapi untungnya, sosok keluarga Clift bukannya orang yang gemar membalas dendam, bahkan kalimat sederhana keluar dari mulut mereka: memaafkan para pelaku. Mungkin seharusnya ditambahkan “karena mereka tidak tahu apa yang meeka lakukan”.

Bicara Melalui Kematiannya

Tetapi, dramatisasi kematian Clift akan cenderung jatuh pada kotak destruktif. Keluarga Clift sudah bicara sangat matang dan dewasa. Padahal mereka kehilangan paling banyak dari fakta menyedihkan ini. Kehilangan anak yang sangat berbakti, anak yang dikasihi dan bahkan anak yang membantu meringankan beban kehidupan mereka. Siapakah yang lebih sedih ketimbang mereka?

Tapi, coba kita tengok, bagaimana Clift bicara melalui kematiannya. Mungkin, tidak akan pernah saya tahu, pembaca tahu, bahwa sudah lebih dari 30 korban disana. Mungkin, seorang Adi dan Abdul Rachman yang lari dari Jatinangor dan yang satu menghilang sejak 1993, tidak akan pernah kita ketahui. Dan, cerita mereka mungkin akan tetap menjadi misteri bagi kita, dan hanya bermakna bagi diri mereka sendiri.

Cerita-cerita mengenai Icshan, Wahyu Hidayat, dll – yang meregang nyawa di IPDN, mendahului Clift Muntu sang Ketua Kontingen Praja SULUT, mungkin hanya akan menjadi bagian sejarah. Bahkan, mereka yang membunuh Praja yuniornya pernah tercatat dalam daftar yang akan di wisuda dari IPDN beberapa waktu lalu. Artinya, IPDN dulunya STPDN memang ternyata memiliki catatan buruk dalam kasus kekerasan. Baik memiliki mekanisme mengubur cerita yang terkategori kriminal atau mungkin tepatnya tidak punya mekanisme untuk mengungkap kasus criminal seperti itu.

Apapun itu, yang pasti perlahan namun pasti kematian Clift akhirnya berbicara banyak. Adalah Inu Kencana yang kemudian membuat baik Pers, maupun korban masa lalu yang lari akhirnya berani buka mulut. Mekanisme pendidikan yang menyeramkan dan sarat budaya kekerasan perlahan mulai terkuak. Kematian Wahyu Hidayat dahulu, juga pada akhirnya kembali mengemuka. Bahkan ternyata lebih dari 18 yang meninggal tidak wajar disana tanpa penanganan memadai. Bahkan Inu menyebutkan angka 35 kasus.

Benar, Clift sama sekali tidak berbicara melalui mulutnya. Dia tidak meninggalkan pesan terakhir atau wasiat mengenai kematiannya. Diapun tidak menyebutkan apa penyebab kematiannya yang berusaha ditutupi pihak sekolah dari publik dan keluarga. Ya …. Clift, tidak bicara apapun dengan mulutnya. Tetapi, hidup dan kematiannya justru sudah bicara lebih dari cukup tentang apa yang salah dan keliru yang terus menerus terjadi di Sekolah yang dibiayai APBN dan sejumlah Pemerintah Daerah di Indonesia.

Sekolah itu, ternyata sangat menyeramkan. Kesalahan dibayar dengan dada retak, bahkan keluar Muntu menerima anaknya yang tak bernyawa lagi. Gambaran media TV yang berkali-kali menayangkan senior menendang dada yunirnya, atau memukul bagian berbahaya itu, semakin mempertegas betapa mengerikannya belajar di IPDN. Ya, kematian Clift membuat semua proses menyimpang itu, kembali menyeruak ke permukaan. Telanjang dipercakapkan, dianalisis dan kemudian direspons masyarakat.

Dan,pada akhirnya masyarakat Indonesiapun turut angkat bicara. Sungguh mengharukan mendengar seorang Inu Kencana berbicara dan mengangkat masalah kebobrokan internal IPDN. Sebagai pengajar, dia tentu sangat maklum dan tahu dengan kegemaran senior melakukan kekerasan di IPDN, dan meluncurlah cerita menyimpang itu dari mulutnya. Meluncur jugalah kesaksian mereka yang pernah disiksa di IPDN dan melarikan diri, dan semakin telanjanglah penyimpangan pendidikan di IPDN. Meskipun, anehnya dan konyolnya, sang Rektor masih berusaha untuk menutupi dan berusaha menjaga citra IPDN, meskipun masyarakat sudah terlanjur banyak tahu.

Bahkan parody yang dimainkan anak-anak TK dan SD di Bogor, sungguh mengharukan, sekaligus memilukan. Meskipun prosesi pemakaman Clift jelas bernuansa Kristen – agamanya, tetapi masyarakat Indonesia memang cukup matang untuk memaknai, bahwa persoalan ini, bukan persoalan Clift seorang. Karena mungkin, kakak, adik atau anak merekapun berada di IPDN, dan bukan tidak mungkin mengalami kesakitan yang sama dengan Clift. Meski tidak sampai meregang nyawa. Sama dengan komunitas pendidikan lain di Solo, Tangerang, Jakarta dan banyak lagi daerah yang peduli dengan keadaan di IPDN.

Persoalan IPDN, kini telah menjadi pesoalan Bangsa. Persoalan IPDN adalah persoalan pendidikan Nasional dan bukan cuma persoalan para Praja disana. Bukan juga cuma persoalan Rektor IPDN atau persoalan Inu Kencana. Persoalannya melibatkan masyarakat Indonesia. Bukan hanya karena dibiayai oleh APBN, tetapi karena siswa disana adalah para calon pemimpin Bangsa. Siapa yang tidak ngeri jika tiba-tiba tahu bahwa pemimpinnya ternyata memperoleh pendidikan dengan budaya kekerasan yang sangat kental dan cenderung bermental predator.

Dan kini, lihatlah, betapa semua elemen Bangsa, mulai dari Presiden, Wakil Presiden, DPR RI, Ketua MPR RI, Menteri Pendidikan, Gubernur LEMHANAS, sejumlah LSM dan masih banyak elemen lain bicara soal ini. Tentu, tidaklah ditempatkan terpisah dengan mekanisme dan system pendidikan di Indonesia. Dan pada akhirnya, sekali lagi, masalah ini merupakan bagian dari masalah Pendidikan di Indonesia. Terlebih, karena menurut Menteri Pendidikan, tenryata model IPDN menyiratkan adanya kekeliruan dikaitkan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional.

Sebagian, masih berupaya untuk melokalisasi masalah ini hanya dilingkungan IPDN, dan menempatkan penanganannya hanya sebatas pembenahan IPDN. Baik model pengasuhan, rekruitmen ataupun kurikulumnya. Sebagian menghendaki IPDN tidak lagi di bawah DEPDAGRI, tetapi di bawah DEPDIKNAS sesuai dengan UU Pendidikan Nasional. Sebagian meminta agar IPDN dibubarkan saja. Sebagian meminta agar rekruitmen ditunda untuk memutus rantai pewarisan budaya kekerasan disana. Dan masih banyak lagi ide lain yang sebetulnya semua menginginkan agar penanganan masalah di IPDN dilakukan secara komprehansif.

Gugatan Masalah Pendidikan Nasional (?!)

Mungkin terlampau ambisius untuk menyebutkan bahwa masalah ini seharusnya adalah sebuah gugahan dan gugatan atas proses dan system pendidikan nasional. Benar, bahwa Presiden RI, sudah mencanangkan perubahan dan penataan kembali IPDN. Tapi, fakta bahwa UU Pendidikan Nasional cenderung dilanggar oleh sebuah lembaga yang dibiayai APBN, sungguh sebuah fakta yang ironis. Bukan hanya soal budaya kekerasan, tetapi soal runtut tidaknya, sistematis tidaknya, lembaga-lembaga pendidikan yang berada di wilayah bernama Indonesia. Itu sebabnya, gugatan dan kecaman atas pembubaran IPDN, sebetulnya merupakan sebuah refleksi komprehensif dari apa yang dinamakan masalah menggunat atau gugatan atas masalah pendidikan di Indonesia.

Ketika tulisan ini dibuat, rangkaian gugatan agar dilakukan desentralisasi pendidikan sejenis ini, dan penolakan pengiriman calon siswa ke IPDN sungguh marak. Perlahan namun pasti, persoalan yang berawal dari kematian Clif, justru semakin lama semakin melebar dan pada akhirnya memang mengemuka menjadi potret buram pendidikan di Indonesia. Mungkin picunya cuma persoalan IPDN, tetapi, jangkauan atau spectrum persoalannya sungguh semakin meluas. Tidaklah bisa menjelaskan persoalan IPDN secara tuntas tanpa mengaitkannya dengan masalah pendidikan di Indonesia. Meskipun belakangan menteri pendidikan semakin jarang bicara, tetapi fakta bahwa masalah IPDN adalah masalah pendidikan tidak bisa diabaikan dan dikesampingkan. Dan anehnya, masalah ini justru semakin terabaikan.

Tetapi, apapun dan bagaimanapun nanti penanganan masalah IPDN dan imbasnya ke segmen lain dari system pendidikan Indonesia, tetap harus dikatakan bahwa membuka persoalan ini ke public adalah karena seorang anak negri bernama CLIFT MUNTU berbicara dengan kematiannya. Teramat mahal bagi keluarga, sangat menyentuh bagi masyarakat Indonesia, tapi apakah cukup buat menyelesaikan masalah IPDN secara komprehensif. Entahlah. Apakah akan cukup membantu penataan Sistem Pendidikan Nasional? Entahlah. Yang jelas, wacana itu, tidaklah lagi mungkin untuk ditahan dewasa ini. Tidak salah, bila Clift Muntu menjadi “Figur atau Tokoh Pendidikan 2007”, setidaknya bagi masyarakat SULAWESI UTARA.

Kehidupan dan kematiannya membuat dia menyaksikan banyak hal dan membuka banyak hal, bukan bagi dirinya dan keluarganya, tetapi bagi Indonesia. Keteladanan selama hidup, intelektualitasnya dan aktifitasnya mencerminkan figur itu mampu dipikulnya. Dan kematiannya, membuatnya mampu mengutarakan keluar smeua kebobrokan yang selama ini dikeram dan dikemas rapih oleh institusi tempat dia belajar. Apakah itu semua kesaksiannya, baik semasa hidup maupun kematiannya kurang memadai?

Catatan:
Penulis adalah pengamat masalah kemasyarakatan
Tulisan belum dipublikasikan – pandangan pribadi

No comments: