Wednesday, May 23, 2007

PERDA SYARIAT VS NASIONALISME INDONESIA

Oleh:
Audy WMR Wuisang

(Catatan: Makalah ini disumbangkan buat Jurnal Bina Darma Salatiga, Agustus 2006, tapi belum terbit hingga saat ini)

Pengantar

Diawali di Bekasi, hingga kini Perda (bernuansa) Syariat (Islam)[1] bertebaran di lebih dari 22 Kabupaten dan kota se Indonesia[2]. Bahkan, menurut Aliansi Bhinneka Tunggal Ika yang dibentuk pada tanggal 22-25 Juni 2006 di Surabaya dengan beranggotakan lebih dari 200 LSM dan Perkumpulan Masyarakat, sedikitnya sudah terdapat 40 Perda Syariat[3]. Berbeda dengan Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) yang melaksanakan Syariat Islam secara formal berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh[4], maka implmentasi di 22 Kabupaten/kota di atas rata-rata menerapkan Anti Maksiat, Kewajiban Berjilbab, ataupun Fasih baca Alqur’an melalui Peraturan Daerah. Bahkan, tidak sedikit daerah lain yang segera akan menyusul menerapkan Perda sejenis karena sedang dalam tahap persiapan di daerah.

Respons kontrakdiktif ataupun pro – kontra dengan segera tampil ke permukaan. Bahkan, surat Anggota DPR RI di atas, dengan segera dibalas dengan penandatangan lebih banyak (56 vs 120 bahkan lebih) kepada Ketua DPR RI untuk tidak mempermasalahkan Perda Syariat tersebut. Masalah tidak dengan sendirinya terselesaikan. Justru jauh dari penyelesaian, karena dengan segera masalah Perda Syariat yang menyulut kontroversi, menjadi persoalan hukum dan politik. Arena perdebatan tidak terbatas pada logika hukum semata, dalam hal sahih tidaknya Perda Syariat dalam tata hukum Indonesia, tetapi juga di arena politik. Di arena politik ini, orang kemudian bertanya-tanya, ada apa dengan prinsip kebangsaan Indonesia? Ada apa dengan Nasionalisme? Manakala kewajiban keberagamaan orang lain dipaksakan melalui sebuah Peraturan, apakah tidak akan menyinggung wilayah komunitas lain yang berbeda agama?

Makalah ini akan lebih banyak menyoroti persoalan Perda Syariat dalam konteks politik dengan menganalisisnya dalam hubungan dengan Nasionalisme Indonesia. Perda Syariat tersebut, sering dikonfrontasikan dengan nasionalisme. Bahkan sebagai gejala degradasi nasionalisme Indonesia, sebagaimana Deklarasi Surabaya[5] secara tersirat menyebutkannya. Jika demikian, quo vadis Nasionalisme Indonesia?

Definisi: Negara – Bangsa – Negara Bangsa dan Nasionalisme

Ketika Perang Dingin berakhir dan kemudian merebak gagasan dan budaya globalisme pada dekade 1990-an, hingga kemudian tesis the end of nation state, dan bahkan ide dunia tanpa batas, tidaklah berarti Nasionalisme kehilangan signifikansi. Nasionalisme tidak hanyut dan ditelan arus deras teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat pesat, bahkan mengubah pola interaksi. Sebaliknya, kisah dan cerita nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi sosial, politik, dan ekonomi internasional, baik di kalangan negara maju (developed countries), seperti Amerika Serikat dan Inggeris maupun di kalangan negara Dunia Ketiga (Developing Countries) seperti Nigeria, Chili, China, dan tentu, Indonesia.

Nasionalisme sebagai konsep politik tidaklah hadir begitu saja. Hingga konsepnya yang sudah sangat kompleks dewasa ini, genealogy konsep Nasionalisme sangat menarik dan kompleks. Secara etimologis, Nasionalisme berasal dari bahasa latin – nation – yang berakar pada kata “nascor” yang berarti “saya lahir”[6]. Bentuk dan konsep modern Nation terutama terbentuk setelah revolusi Perancis. Sangat penting membedakan baik Nation (Bangsa), Negara (State), Nation State (Negara Bangsa) maupun Nasionalisme. Negara, mengikuti definisi Montserrat Guibernau[7] dengan mengutip Weber, menunjuk pada masyarakat (manusia) yang memiliki legitimasi untuk memonopoli penggunaan kekerasan dalam teritori tertentu. Sementara Bangsa, merujuk pada kesadaran sekelompok manusia dalam membentuk masyarakat dengan mengalami dan memiliki budaya yang sama dalam wilayah tertentu dengan juga memiliki sejarah lampau yang sama serta visi kedepan yang sama. Bangsa dalam konteks ini memiliki setidaknya 5 dimensi: psikologis (kesadaran), budaya, politik, teritori dan sejarah yang sama. Selanjutnya, Guibernau mendefinisikan Nasionalisme sebagai suatu perasaan memiliki masyarakat dalam mana anggota-anggotanya mengidentifikasi keberadaannya dengan seperangkat symbol, kepercayaan dan cara hidup, dan memiliki kemauan untuk menentukan dan menetapkan takdir politik mereka[8].

Bagaimana dengan Nation-State atau Negara Bangsa? Masih mengikuti skema teori Guibernau, maka Nation State (Negara Bangsa) dibedakan dengan Bangsa (Nation). Apabila “Bangsa” anggota-anggotanya berkesadaran dalam membentuk masyarakat, maka “Negara Bangsa” berupaya menciptakan Bangsa dan mengembangkan rasa bermasyarakat dari proses itu. Jika “Bangsa” memiliki budaya bersama, nilai-nilai dan symbol-simbol, maka “Negara Bangsa” bertujuan menciptakan nilai dan symbol bersama. Warga dari “Bangsa” bisa berefleksi dari pengalaman masa lalu mereka, sementara “Negara Bangsa” tidak memiliki referensi masa lalu[9]. Negara Bangsa dengan demikian merupakan fenomena modern yang ditandai dengan pembentukan sebuah Negara yang memiliki monopoli penggunaan kekerasan dalam teritori tertentu dan berupaya untuk menyatukan orang-orang yang dalam teritori tersebut melalui homogenisasi, penciptaan nilai bersama, budaya bersama, simbol-simbol dan mitos-mitos kemurnian[10]. Meskipun dengan corak berbeda, Will Kymlicka kemudian menyebut satu Negara bisa terdiri dari banyak Bangsa (multi-bangsa) atau bisa juga banyak etnis (poli etnis)[11]. Bagi Kymlicka, sebenarnya bukan Negara Bangsa tetapi Negara multi-Bangsa sebutan bagi sebuah Negara yang terdiri dari banyak Bangsa dengan definisi Bangsa yang kurang lebih sama dengan Guibernau. Indonesia adalah sebuah Negara Bangsa yang terdiri dari banyak bangsa (multi bangsa) dan sekaligus poli etnis, dalam kategori yang dikembangkan Kymlicka dan Guibernau.

Nasionalisme dan Negara

Nasionalisme, sebagaimana didefinisikan di atas, sudah menjadi sebuah fenomena modern yang bahkan disebut Sulfikar Amir sebagai penemuan manusia yang paling menakjubkan pada seratus tahun terakhir[12]. Aspek-aspek penelaahan terhadap konsep ini, memang sudah demikian kompleks dan beragam. Terentang dari Gellner yang mengaksentuasi aspek kulturalnya, Giddens dengan aspek psikologisnya, bahkan Weber yang pesimistis dengan konsep nasionalisme yang komprehensif karena dimensinya yang luas[13], hingga ke pemikiran Anderson[14] yang membedakan Creole (kulit putih) Nasionalism dan official Nasionalism. Belum lagi menimbang konsep Renan yang nampaknya lebih dekat dengan konsep Anderson, karena kesamaan budaya, bahasa dan bahkan sejarah dari sebuah komunitas[15] sebagai rujukannya. Dan, selain merujuk definisi Guibernau, makalah ini juga banyak mendasarkan analisis atas definisi John Breuilly, yang menegaskan Nasionalisme sebagai sebuah gerakan politik dalam mengupayakan ataupun exercise atas kekuasaan Negara dan menjustifikasi upaya politik tersebut dalam argumentasi-argumentasi nasionalist[16].

Apa yang dimaksudkan oleh Breuilly dengan argumentasi nasionalist? Argumentasi nasionalis adalah: adanya kekhasan dan keunikan Bangsa, kepentingan dan nilai-nilai Bangsa menjadi prioritas mengatasi kepentingan dan nilai-nilai yang lain, dan Bangsa tersebut sedapat mungkin merdeka dan kedaulatan politik terpenuhi[17]. Breuilly menarik dan mendekatkan konsep nasionalisme dengan gerakan politik, sesuatu yang juga sebenarnya ditelaah oleh Guibernau ketika membedakan Nasionalisme dengan State. Dalam konteks analisis lebih jauh, maka penting memahami konteks Nasionalisme yang dimaksudkan Breuilly dengan Guibernau dalam kaitannya dengan Negara. Dan kemudian memadukannya dengan aksentuasi kultural, dengan terutama mengutip konsep Nasionalisme Religius menurut Mark Juergensmeyer[18].

Baik Breuilly maupun Guibernau meletakkan kajian lebih jauh mengenai Nasionalisme dalam kaitannya dengan Negara (State). Breuilly[19], menetapkan kategori “separation”, “reform” ataupun “unification” dalam identifkasi Nasionalisme dalam konteks Negara. Sementara Guibernau menganalisisnya dalam kategori “legitimate” dan “illegitimate” State[20]. Legitimate State menunjuk pada status dan situasi dimana Negara bersesuaian dengan Bangsa. Dalam kasus dimana Bangsa bersesuaian dengan Negara, Nasionalisme berfungsi penuh dalam upaya homogenisasi dengan malah meningkatkan derajat kohesifitas masyarakatnya. Interaksi antara masyarakat bukan semata karena ikatan politik, tetapi justru multi-dimensi (agama, budaya, sejarah, social, dst) dan dengan mudah penduduknya mengidentifikasi dengan rasa bangga eksistensi dirinya dengan nama Negaranya. Sebagai contoh, Englishness, German-ness[21]. Dalam kategori Breuilly, kasus ini bernama unification. Nampaknya, kategori ini cocok untuk Negara (Bangsa) yang relatif homogen (semisal Korea dan Islandia) ataupun pluralisme bangsa yang relatif kecil.

Dalam kasus dimana Negara tidak bersesuaian dengan bangsa, atau terdapat banyak bangsa dalam satu Negara. Adalah fenomena wajar bila ada satu bangsa yang mendominasi bangsa yang lain dan juga biasa bila Negara tidak mampu menunjukkan sikap yang setara terhadap semua bangsa, kendatipun semua warga Negara dari bangsa manapun memiliki kewajiban yang sama. Negara, pasti menghadapi tantangan serius, sebab sejatinya dia mengupayakan homogenisasi dan berupaya menciptakan “satu Bangsa” dari sekian banyak bangsa. Ada 2 kemungkinan dari kasus illegitimate state ini dalam upaya homogenisasi: Pertama, Negara sukses mengasimilasi bangsa-bangsa yang berbeda dalam teritorinya[22] dan dengan sendirinya pembentukan Negara Bangsa menjadi saling bersesuaian’. Dalam kasus ini, kategori Breuilly adalah “reform”. Kedua, Negara gagal melakukan asimilasi, dan bagi banyak bangsa yang lain, Negara justru menjadi sesuatu yang “aneh” dan “asing”. Nasionalisme yang dikampanyekan Negara jauh berbeda dengan nasionalisme yang coba direkatkan ke Negara bersangkutan. Nasionalisme, bahkan menjadi alat penolak ampuh dari kekuasaan Negara yang “aneh” tersebut. Breuilly menyebutnya dengan kategori separation.

Dari sini, kemudian Guibernau mengidentifikasi 2 strategi utama melawan kekuasaan Negara[23]: Resistensi budaya yang tugas utamanya adalah menjaga agar dimensi intelektual bangsa bersangkutan tetap hidup, dan derajat pergerakannya tergantung sejauh mana represi dilakukan Negara. Strategi kedua adalah perjuangan bersenjata sebagai perlawanan terhadap kekuatan Negara yang memonopoli penggunaan kekuatan dan kekerasan. Dalam situasi ini, perang sering tidak terhindarkan, seperti kasus Tamil Elam di Srilanka, bahkan juga GAM Aceh di Indonesia. Dalam kasus seperti inilah, diletakkan apa yang dinamakan Jurgensmeyer sebagai Nasionalisme Religius, yang bergerak sebagai penolakan terhadap konsep Negara sekular. Bila dicermati, Nasionalisme sekuler Juergensmeyer, justru bergerak secara relatif diantara 2 strategi utama yang disebutkan Guibernau, yakni baik menggunakan strategi resistensi maupun perjuangan bersenjata. Dalam kedua kasus tersebut, Nasionalisme digunakan sebagai perekat, symbol dan sumber kemauan untuk menentukan nasib politiknya.

Nasionalisme dengan demikian, penting bukan hanya bagi Negara dalam mengupayakan kesadaran nasional hingga identitas nasional, tetapi bisa sekaligus juga sebagai alat perjuangan menghadapi represi Negara atas pemaksaan proses homogenisasi. Nasionalisme, memang lahir dan bertumbuh di Eropa dengan kelahiran Negara-negara pada abad 18 relatif homogen. Berbeda dengan Negara Dunia Ketiga yang justru memanfaatkan Nasionalisme melintasi batas-batas antar “bangsa” dalam melawan kolonialisme. Betapapun, baik “creole nationalism” (top down) meminjam bahasa Anderson untuk Nasionalisme Eropa sejak abad 18, maupun Official Nationalism (bottom up)[24], menunjukkan jejak-jejak yang signifikan dalam politik kontemporer. Pencarian identitas nasional bisa dilawan dan ditentang dengan menggunakan logika yang sama, nasionalisme. Tetapi, yang terpenting dalam konteks Negara Bangsa, termasuk Indonesia, adalah mengedepankan upaya menyesuaikan Negara dengan bangsa, melalui pendekatan yang tepat.

Perda Syariat = Kegagalan Negara?

Jagad politik Indonesia sedang sangat marak dengan perdebatan pro kontra seputar Perda Syariat. Beberapa argumentasi yang diajukan sehubungan dengan sahihnya Perda tersebut antaranya adalah: Pertama, karena hukum dan perundangan yang ada ternyata tidak mampu memberantas kemaksiatan, tidak mampu memberantas perjudian, tidak mampu memberantas korupsi, tidak mampu melindungi warga Negara dalam kebebasan melaksanakan kebragamaannya. Kedua, proses dilahirkannya Perda Syariat berlangsung secara prosedural dan demokratis dan bersesuaian dengan mekanisme kerja DPRD Kabupaten dan kota. Ketiga, bukankah materi yang diatur mengenai Minuman Keras, Maksiat dan Pelacuran yang coba di atasi melalui Perda Syariat juga adalah sesuatu yang juga harus dilawan agama-agama non Muslim lainnya?

Benarkah perangkat hukum Indonesia dewasa ini gagal dalam memberantas perjudian, korupsi dan kemaksiatan? Jangankan ketiga hal tersebut, bahkan banyak persoalan lain yang tidak mampu diselesaikan oleh mekanisme hukum Negara ini. Dalam hal korupsi, sejak KPKPN hingga KPK, bahkan termasuk amanat Keputusan MPR RI, UU Tindak Pidana Korupsi, tersedia bagi pemberantasan korupsi. Bahkan kampanye pemberantasan korupsi berjalan seiring dengan tekanan civil society dalam menangani korupsi di Indonesia yang masuk kategori peringkat teratas di Asia (bahkan dunia). Hal yang sama juga dengan perjudian sebagai sesuatu yang tidak dilegalkan di Negeri ini, karena bahkan salah satu komitmen awal Kepala Keposian RI saat ini ketika diangkat adalah memberantas korupsi. Dengan demikian, tanpa Peraturan Daerah, sebetulnya kasus Korupsi ataupun kasus Perjudian, sudah seharusnya ditangani oleh aparat yang berwenang menanganinya. Sementara kasus yang dimaksud dengan maksiat, baik dalam hal pelacuran maupun larangan perempuan keluar malam di atas jam 10, memang cenderung mengekspresikan tafsir kehidupan sosal berdasarkan keyakinan agama tertentu. Bila argumentasinya adalah “menjaga moralitas daerah atau bangsa”, maka menjadi aneh bila Negara atau pemerintah diberi tugas tambahan dalam menjaga aktifitas penduduknya khususnya perempuan diatas jam 10 malam. Belum lagi persinggungannya dengan persoalan Hak Asasi Manusia terkait dengan hak-hak individu termasuk perempuan dalamnya. Kesimpulannya, sebetulnya bukan perkara hukum dan perundangan yang kurang memadai, tetapi konsistensi pelaksana hukum atau aparat hukum yang kurang optimal. Contoh untuk kasus ini begitu banyak bertebaran, karena hukum memang salah satu persoalan konsolidasi demokrasi Indonesia dewasa ini.

Alasan kedua adalah, proses lahirnya Perda Syariat sesuai dengan koridor dan prosdural demokrasi di Indonesia. Benar, semua Perda Syariat tersebut dilakukan dalam suasana demokratis karena diputuskan oleh lembaga perwakilan rakyat. Asas prosedural demokrasi memang mensyaratkan pengambilan keputusan dengan cara demikian. Tetapi, UUD 45 bahkan setelah amandemen, telah menegaskan bahwa Pembukaan UUD 45, dimana Pancasila termaktub dalamnya tidak akan dirubah. Artinya, seharusnya proses demokrasi yang berlangsung di tingkat DPRD tersebut, juga taat dengan asas dan konstitusi Indonesia. Tetapi, dalam konteks kelahiran Perda Syariat, nampaknya hal ini diabaikan. Adalah tugas Negara sebetulnya meluruskan kekeliruan ini, sesuai dengan amandemen UUD 45 pasal 24a, soal MA melakukan judicial review terhadap perundangan di bawah UU. Atau, juga sesuai UU No 32/2004 mengenai pemerintah daerah, pasal 145, Departemen Dalam Negeri juga punya kewenangan menguji Perda (executive review). Bunyi pasal itu adalah: Pemerintah (DEPDAGRI) dapat membatalkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi”. Tetapi, sekali lagi, DEPDAGRI tidaklah melakukannya.

Alasan ketiga adalah, bukankah yang diatur Perda Syariat sebenarnya secara implisit juga dianjurkan oleh ajaran agama lainnya? Tidak salah. Karena agama mana yang menganjurkan pelacuran? Menganjurkan perjudian? Menganjurkan telanjang di depan umum atau mengumbar ketidaksantunan? Semua agama pasti menolaknya. Tetapi, apakah dengan demikian daerah-daerah lain kemudian berhak membuat aturan di daerahnya berdasarkan tafsir tunggal agama tertentu atas realitas sosial masyarakatnya? Dan bukankah kecenderungan ini lebih menyuburkan ketidakjelasan hubungan antara Negara dengan agama? Pada titik ini, pemerintah seharusnya menjadi fasilitator bagi pengambilan tempat kekuatan-kekuatan sosial dan keagamaan yang tepat.

Nampaknya, kehadiran Perda Syariat, pada satu sisi merefleksikan kegagalan pemerintah dalam mengimplementasi hukum di Indonesia. Kegagalan ini berdampak pada sisi lain, dimana kemudian banyak orang merasa sahih untuk membuat atau mencari aturan alternative karena menunjuk ketidakmampuan hukum dalam mengatasi banyak persoalan. Meskipun sebenarnya, kegagalan lebih pada aparat pelaksananya bukannya pada hukum itu sendiri. Karena itu, Perda Syariat lebih banyak merefleksikan kegagalan Negara dalam penegakkan hukum.

Perda Syariat – Logika Nasionalisme Religius

Nasionalisme Religius diperkenalkan oleh Juergensmeyer sebagai ganti terminology “fundamentalism” yang cenderung apolitis. Nampaknya, terminology ini juga cukup mampu menjelaskan fenomena meluas dari Perda Syariat di Indonesia. Salah satu tema utamanya adalah tiadanya pembedaan yang jelas antara politik dan agama[25], tetapi ini belum mencirikan sesuatu yang khas dari fenomena tersebut. Sejalan dengan tema utama di atas, Nasionalisme Religius melihat bahwa masyarakat sekuler memiliki banyak kekurangan yang mesti diatasi dengan jalan yang bersifat religius[26] dalam skema politik. Nasionalisme religius tidaklah mempersoalkan format termasuk Negara Bangsa modern. Persoalan mereka berada pada wilayah ideology politik yang mendasari sebuah Negara dengan penekanan kuat pada moralitas. Sayangnya gerakan yang mengusung nasionalisme religius dewasa ini, menunjukkan corak kekerasan, pengabaian demokrasi dan prosedurnya serta mengabaikan HAM[27].

Perda Syariat banyak mengeskpresikan beberapa pemikiran dan logika Nasionalisme Religius. Alasan bahwa mekanisme dan system hukum yang ada tidak mampu menjamin moralitas Bangsa, menekan perjudian dan sejenisnya mengekspresikan hal tersebut. Tema-tema pembelaan Perda Syariat senantiasa tidak beranjak dari tema besar ini. Tema yang mengekspresikan ketidakpercayaan atas system hukum dan mekanisme yang berlaku dewasa ini sebagai “kurang” memadai. Tetapi, sebagaimana gerakan nasionalisme religius lainnya, pendukung perda Syariatpun tetap mengakui Negara (Bangsa) Indonesia. Sejauh ini institusi politik dan mekanisme demokrasi yang berkembang tetap diakui, tentunya sejauh masih bisa dilegitimasi dengan prinsip-prinsip keagamaan.

Karena konteks perjuangan kini berada pada mekanisme politik formal, maka para pendukung formalisasi perda syariat nampak bersesuaian dengan agenda dan perjuangan kelompok nasionalisme religius lainnya. Fakta bahwa jalan yang ditempuh berimpit antara agama dan politik, perjuangan dalam konteks NKRI, serta tawaran-tawaran dan solusi yang berdasarkan moralitas agama tertentu menegaskan fenomena tersebut. Sama juga dengan penentangan kelompok ini secara tegas akan unsur-unsur yang berbau sekuler, dalam hal ini pemisahan agama dan Negara.

Nasionalisme Indonesia Dalam Tantangan

Indonesia adalah sebuah “Negara-Bangsa” dalam pengertian Guibernau atau dalam konsep Kymlicka adalah Negara Multi-Bangsa. Mengapa? Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak etnis yang bahkan memiliki kemampuan memerintah dan karenanya dikategorikan “bangsa”. Terentang dari Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Dayak, Bali, Minahasa, Bugis, Toraja, Maluku, dan Papua, Indonesia sungguh-sungguh adalah poteret Negara Bangsa. Soekarno, bukannya tanpa alasan mengemukakan konsep character building dan nation building, karena menyadari betul betapa tinggi derajat heterogenitas Indonesia. Bahkan, keberagaman itu tidak hanya terkait etnis dan budaya, tetapi juga agama, ras, budaya dan bahasa.

Adalah menarik, sebagai contoh, bagaimana seorang Van Klinken memotret Nasionalisme seorang tokoh bernama Sam Ratulangi[28]. Bagi Van Klinken, Sam Ratulangi merupakan contoh bangun Nasionalisme yang bertumbuh dari ethnic nasionalisme (ethno-nasionalisme) dalam konteks Indonesia. Dalam konteks Indonesia, Sam Ratulangie memikirkan kumpulan nasionalisme etnik ini guna menjadi bangsa secara politik, dengan mengasimilasikan budaya, bahasa dan tradisi dari nasion (nasionalitas) yang berbeda-beda itu. Dalam hal Sam Ratulangi sendiri, dia mengintegrasikan etnisitas dan kekristenan sebagai identitasnya yang tidak secara otomatis “hilang” dalam Nasionalisme bangsa politis baru itu. Dalam konteks inilah Sam Ratulangie selalu mengusung ide federalisme bagi Indonesia (bangsa politis yang dimaksudkannya), berbeda dengan Soekarno, dkk yang lebih memilih Kesatuan.

Gambaran ini, menyajikan data histories bagi kita, bahwa memang sejak awal, sangat disadari bahwa Indonesia terdiri dari banyak nation, banyak Bangsa. Dan, persoalan Perda Syariat sendiri, hanyalah salah satu “gejala” dari tidak atau belum selesainya upaya meraih apa yang disebut Soekarno “Nation Building” atau disebut Guibernau, kesadaran nasional dan national identity. Bahwa masalah Perda Syariat hanya salah satu masalah, tidaklah dengan pretensi penulis untuk memandang bahwa persoalan ini tidaklah serius. Sebaliknya, karena persoalan ini sudah memasuki mekanisme formal politik, maka persoalan ini sangatlah mendesak. Terlebih, karena secara eksplisit Aliansi Bhinneka Tunggal Ika menyebutkan pilihan merdeka bagi banyak daerah di Indonesia Timur sebagai alternatif bagi Indonesia yang tidak ramah pluralisme lagi[29]. Belum, apabila menimbang sentiment etnis (dan bangsa) di beberapa tempat masih belum sembuh akibat kebijakan pemerintah orde baru yang sangat Jawa sentris. Atau bahkan “Jakarta-sentris”.

Apakah dengan demikian Nasionalisme Indonesia terancam kebangkrutan? Masih terlampau dini dan teramat premature untuk menyimpulkannya. Ada beberapa alasan untuk menyebutkan bahwa Perda Syariat dalam logika Nasionalisme Religius bukan berarti lonceng kematian Nasionalisme Indonesia: Pertama, sebagaimana ditunjukkan Heffner[30] ataupun juga Uhlin[31], Islam di Indonesia sungguh sangat plural dalam kaitannya dengan politik. Tokoh-tokoh utama Islam moderat (dalam kategori modernisme, neo-modernisme dan transformisme Anders Uhlin), rata-rata menunjukkan sikap yang ramah terhadap demokrasi[32]. Selain itu, pluralisme sikap dan pandangan di kalangan kelompok Muslim, membuat “Islam” baik bagi Uhlin maupun Heffner, bukannya ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Masih diyakini, bahwa realitas politik Indonesia melalui konstitusi UUD 45 maupun pasca amandemen konstitusi tersebut merupakan pilihan terbaik bagi Indonesia.

Kedua, Survey LSI yang terakhir, menunjukkan data empiric bahwa system politik Indonesia dewasa ini masih didukung mayoritas masyarakat Indonesia, di atas 50%[33]. Menurut Larry Diamond pematangan demokrasi membutuhkan setidaknya dukungan lebih dari 70% masyarakat[34], dan kelompok anti kurang dari 10-15%. Tetapi fakta dukungan mayoritas atas demokrasi Indonesia dan sistemnya saat ini menunjukkan masih cukup legitimate, meskipun sedang dalam “masalah”. Fenomena ini, memnag khas dialami oleh banyak Negara yang mengikuti arus demokratisasi ketiga, dimana bahkan lebih banyak Negara yang gagal menuju demokrasi ketimbang yang sukses. Kenyataan, bahwa Indonesia mengalaminya secara pasang surut, tetapi terus membenahi diri, sudah cukup menyenangkan. Tentu dengan tetap menyisakan banyak persoalan untuk lebih meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia[35].

Ketiga, gerakan Civil Society yang cukup marak di Indonesia pasca reformasi adalah aset dengan signifikansi memadai dalam aksesnya ke tingkat grass root. Betapapun, Organisasi Civil Society, dengan kelenturan dan efektifitasnya bergerak di tingkat masyarakat akan banyak membantu pencairan kebekuan posisi diametral agama dan Negara pada aras masyarakat. Study yang dilakukan Uhlin dan Adi Cula[36], menunjukkan keberpihakan Civil Society terhadap penguatan demokrasi Indonesia.

Hal-hal diatas mencuatkan optimisme bahwa betapapun logika nasionalisme religius dalam bentuk perda syariat, berhadapan dengan banyak komponen lain di tengah masyarakat Indonesia, bahkan tidak ada tafsir tunggal di kalangan masyarakat Islam soal perlunya Perda Syariat. Begitupun di tingkat masyarakat umum, masih mengapresiasi system politik yang ada dan didukung oleh civil society dalam melakukan penetrasi ide langsung ke grass root.

Bila dikembalikan dalam diskusi seputar Nasionalisme Indonesia, maka interupsi serius yang datang dari logika nasionalisme religius ini sebenarnya bukanlah interupsi tunggal. Persoalan di Ambon, Poso, Aceh, Papua, Riau dan gejolak-gejolak terbatas semisal di Minahasa (Merdeka), serta pengentalan pencarian identitas nation (setempat), juga menunjukkan tantangan sejenis. Menjadi tugas Negara yang sangat menentukan kedepan, dalam hal bagaimana menemukan formula yang tepat dan komprehensif dalam menangani interupsi-interupsi sejenis yang akan selalu bermunculan dari waktu kewaktu dengan varian persoalan yang berbeda-beda. Interupsi-interupsi di atas, sebetulnya merefleksikan kegagalan pemerintah dalam menjalankan penegakkan hukum. Konsekwensinya, Negara seperti kehilangan otoritasnya atau kehilangan kewibawaannya berhadapan dengan interupsi-interupsi di atas. Untungnya, penggunaan strategi perlawanan bersenjata, masih sangat terbatas dan belum meluas secara sistematik. Bila persoalan-persoalan di atas tidak ditangani secara tepat dengan pilihan strategi yang signifikan, maka bukan tidak mungkin Nasionalisme Indonesia menemukan jalan buntunya.

Indonesia dewasa ini, memang menunjukkan gejala “kebelum mampuan” untuk menyesuaikan Negara dengan bangsa. Sentralisasi masa lalu, interupsi sentiment kedaerah dengan berdasarkan nasionalisme etnis, maupun nasionalisme religius dalam Perda Syariat, membuktikannya. Letupan-letupan sejenis, untungnya masih sanggup ditampung oleh wadah Negara bernama Indonesia. Tetapi, ketidakmampuan secara terus menerus, akan menggerogoti kewibawaan Negara dan bukan tidak mungkin meningkatkan aksi perlawanan bangsa-bangsa yang merasa tidak diperlakukan adil dan equal itu, dan melintas dari strategi resistensi budaya ke perjuangan bersenjata. Pengalaman di banyak Negara menunjukkan, bahwa baik nasionalisme etnis maupun nasionalisme religius bukannya jarang dengan bersenjata dan aksi kekerasan. Dan persis disinilah penulis menyebutkan bahwa Nasionalisme Indonesia dalam tantangan.



REFERENSI


Adi Surya Cula, 2006, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi ORNOP di Indonesia, (Jakarta: LP3ES)

Anders Uhlin, 1997, Indonesian and the Third Wave Democratization: The Indonesia Pro Democracy Movement in a Changing World – diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia: Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999)

Benedict Anderson, “Western Nationalism & Eastern Nationalism: Is There a Difference That Matters?”, New Left Review No 9, May-June 2001.

Elley, Geoff and Sunny, Ronald Grigor (ed), 1996, “Becoming National: A Reader”, (New York and Oxford: Oxford University Press).

Guilermo O’Donnel & Samuel VCalenzuela, 1992, “Issues in Democratic Consolidation: The New South American Democracies in Comparison Perspective” (Notre Dame,. Ind: University of Notre Dame Press)

Guilermo O’Donnel, et all, 1986, “Transition from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies” (Baltimore: John Hopkins University Press)

John Breuilly, 1985, “Nationalism and the State” (Chicago: University of Chicago Press).

John L Esposio & John O Voll, 1995, “Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek” – Terjemahan (Bandung: Mizan)

Larry Diamond, 2003, “Developing Democracy Toward Consolidation”, Terjemahan (Jogjakarta: IRE Press),

Mark Juergensmeyer, 1993, “The New Cold War: Religious Nationalism Confronts the Secular State” (Los Angeles: University of California Press)

Montserrat Guibernau, 1996, “Nationalism: The Nation State and Nationalism in the Twentieth Century” (Cambridge: Blakwell Publsher)

Muhammad AS Hikam, 1999, “Demokrasi dan Civil Society” (Jakarta: LP3ES)

Przeworsky A, 1991, “Democracy and Market: Political and Economic Reforms in Eastern Europe and Latin America” (Cambridge: Cambrigde University Press)

Robert W Hefner, 2000, “Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia” (Princeton: Princeton university press)

Gerry van Klinken, 2003, “Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christian in Indonesia, a Biographical Approach” (Leiden: KILTV Press)

Will Kymlicka, 2002, Kewargaan Multikultural (Jakarta: LP3ES).

Majalah Tempo edisi 8, 14 Mei 2006

Kompas Cyber Media, 3 November 2004


[1] Penamaan Perda Bernuansa Syariat menjadi Perda Syariat atau Peraturan Daerah bernuansa Syariat Islam mulai digunakan pada saat sebuah interupsi di DPR RI dalam sebuah Sidang Paripurna oleh Sdr. Constant Ponggawa yang kemudian diikuti dengan sebuah surat permohonan kepada kepada Ketua DPR RI agar menyurati Presiden RI guna mencabut dan membatalkan Perda bernuansa syariat Islam tersebut. Surat tersebut dikeluarkan pada tanggal 17 Mei 2006 yang kemudian dalam pemberitaan Pers selanjutnya sering disingkat menjadi Perda Syariat saja.
[2] Majalah Tempo edisi 8, 14 Mei 2006
[3] Hasil RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) FPDS DPR RI dengan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika, Juli 2006.
[4] UU No 22/2001 mengenai Otonomi Khusus Aceh tidak akan dibahas disini, karena kasusnya berbeda.
[5] Pembentukan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika diikuti dengan sebuah Pernyataan Politik dengan nama DEKLARASI SURABAYA
[6] Sulfikar Amir, KCM, 3 November 2004
[7] Montserrat Guibernau, 1996, Nationalism: The Nation State and Nationalism in the Twentieth Century (Cambridge: Blakwell Publsher), hal 47
[8] Ibid
[9] Ibid, hal 48
[10] Menarik membandingkan konsep ini dengan Kata Pengantar Budi Hardiman, Belajar Dari Politik Multikulturalisme, dalam Will Kymlicka, 2002, Kewargaan Multikultural (Jakarta: LP3ES). Terutama pembedaan antara Bangsa, Negeri, Negara dan implikasi dari perimpitan penggunaan konsep tersebut yang disadari setelah banyak fakta menunjukkan kegagalan dari penyamaan penggunaan konsep tersebut. Kasus Balkan dan bahkan Indonesia menunjukkannya. Dalam makalah ini, hal tersebut tidak dibahas lebih jauh, meskipun konsep multi-nation dan poli etnis Kymlicka, juga sangat menarik sebagai salah satu bahan refleksi teoretis.
[11] Ibid, hal 14-38
[12] Sulfikar, op cit
[13] Bandingkan tulisan Guibernau, hal 18-30 dan Sulfikar Amir
[14] Benedict Anderson, “Western Nationalism & Eastern Nationalism: Is There a Difference That Matters?”, New Left Revew No 9, May-June 2001, hal 31-42
[15] Ernest Renan, “What a Nation”, dalam Elley, Geoff and Sunny, Ronald Grigor (ed), 1996, Becoming National: A Reader (New York and Oxford: Oxford University Press), hal 41-55
[16] John Breuilly, 1985, “Nationalism and the State” (Chicago: University of Chicago Press), hal 3
[17] Ibid.
[18] Mark Juergensmeyer, 1993, The New Cold War: Religious Nationalism Confronts the Secular State (Los Angeles: University of California Press)
[19] John Breuilly, op cit, hal 11-12
[20] Monsterrat Guibernau, op cit, hal 59-64
[21] Ibid, hal 60
[22] Indonesia masa orde baru bisa disebut menjadi salah satu contoh dari kasus ini, meskipun cara yang ditempuh penuh represi dan cenderung asimilasi dengan cara politik dan mengabaikan asimilasi secara cultural.
[23] Guibernau, op cit, hal 61
[24] Anderson, op cit, hal 33-35
[25] Juergensmeyer, op cit, hal 18
[26] Harus dicatat, bahwa terminology ini tidak menunjuk agama tertentu. Karena penyelidikan Juergensmeyer justru menohok semua tradisi agama besar, baik Islam, Kristen, Yahudi, Sikh, Hindu (India), Budha (Srinlaka), yang menunjukkan respons yang skalanya semakin mengglobal. Fenomena ini yang ditunjukkan dengan Nasionalisme Religius.
[27] Juergensmeyer, op cit, hal 181-224
[28] Gerry van Klinken, 2003, “Minorities, Modernity and the Emerging Nation: Christian in Indonesia, a Biographical Approach” (Leiden: KILTV Press) – khusus Chapter V – Christianity and Ethnicity in Indonesia: The Intelectual Biography of Sam Ratulangie.
[29] Lihat footnote nomor 3; Ide Aliansi ini nampaknya mengulang tekanan tokoh Indonesia Timur pada tahun 1945 yang mengancam mundur dari Indonesia apabila Piagam Jakarta menjadi bagian dari Konstitusi.
[30] Cf: Robert W Hefner, 2000, “Civil Islam: Muslim and Democratization in Indonesia” (Princeton: Princeton university press)
[31] Anders Uhlin, 1997, Indonesian and the Third Wave Democratization: The Indonesia Pro Democracy Movement in a Changing World – diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia: Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999)
[32] Ibid, hal 74-80
[33] Survey LSI dilakukan untuk menjajaki pandangan masyarakat terhadap fenomena Perda Syariat tahun 2006, dipublikasikan pada bulan Agustus 2006 oleh LSI.
[34] Larry Diamond, 2003, “Developing Democracy Toward Consolidation”, Terjemahan (Jogjakarta: IRE Press), hal 85-100.
[35] Diskusi mengenai demokratisasi gelombang ketiga dan persoalannya, termasuk Indonesia dan Negara lain bisa ditemukan dalam study perbandingan demokratisasi. Beberapa misalnya; Przeworsky A., Democracy and Market: Political and Economic Reforms in Eastern Europe and Latin America (Cambridge: Cambrigde University Press, 1991; Guilermo O’Donnel & Samuel VCalenzuela, Issues in Democratic Consolidation: The New South American Democracies in Comparison Perspective (Notre Dame,. Ind: University of Notre Dame Press, 1992); Guilermo O’Donnel and Phillip C Schimitter, Transition from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore: John Hopkins University Press, 1986); Sunhyuk Kim, The Politics of Democratization in Korea: The Role of Civil Society, (Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh Press, 2000); Study ini, betapapun menyisakan asa dan optimisme dengan capaian Indonesia dewasa ini, lengkap dengan segala macam kekurangannya.
[36] Adi Surya Cula, 2006, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi ORNOP di Indonesia, (Jakarta: LP3ES)

4 comments:

Anonymous said...

You could easily be making money online in the hush-hush world of [URL=http://www.www.blackhatmoneymaker.com]blackhat team[/URL], It's not a big surprise if you haven’t heard of it before. Blackhat marketing uses alternative or misunderstood ways to build an income online.

Anonymous said...

lia, guvoz hk kacmfwes c frtce.
xypg oclbioab u rc e!
mjx sex vids
, hgip cq xc e dzjf z.
iajgum kkjfry erzf j rbkg. hsl, adult xxx
, lbld m wsjfwgsz m wyhkcp ny yohy egu.

zwj iw tux.

Anonymous said...

czo b uml i sexant, porn tube. puz q, dqr sltkkd|idf ardqvtb j zs rs.

Anonymous said...

Hi there, simply become aware of your blog thru Google, and located that it's truly informative. I am gonna be careful for brussels. I will appreciate in case you continue this in future. Many people will probably be benefited from your writing. Cheers!
Beautty Forum. Thanks!
[url=http://www.nuttenhammer.de.vu]mit erotik geld verdienen[/url]
[url=http://www.istanbul-lifeporn.de.vu]camsex[/url]
[url=http://www.erosearch.tv/?sub=11421&popex=1]pornofilme Harte Gangart [/url]