Wednesday, May 23, 2007

“KETIKA HARUS MEMILIH”

(Catatan Suksesi GMIM dan PILKADA 2005)

Oleh:
Audy W.M.R. Wuisang*

Judul ini memang agak puitis dan mungkin bagi banyak orang terkesan sarat makna romantis. Tetapi, musim memilih, entah dalam konteks romantik ataupun dalam konteks politik, hendaknya tidak membutakan akal sehat, sebaliknya berdasarkan kebutuhan yang diharapkan terpenuhi oleh pilihan tersebut. Sayangnya, kepastian apakah pilihan akan memenuhi kebutuhan pemilih bukannya dapat diuji dan dibuktikan seketika, tetapi membutuhkan waktu. Karena itu, lebih banyak orang yang memilih untuk memuaskan fantasi sesaatnya ketimbang repot-repot mengurus sesuatu yang masih harus ditunggu di masa depan. Singkatnya, lebih disukai yang bermanfaat sekarang daripada yang manfaatnya masih jauh kedepan. Pada titik ini jugalah salah satu pembeda pemilih rasional dengan pemilih pragmatis atau sering disebut dengan terminology kurang menyenangkan, yakni irrasional.

Tahun 2005 adalah tahun “memilih” bagi banyak warga Sulawesi Utara. Bila sedikit dipersempit, maka warga Gereja Masehi Injili di Minahasa, akan mengalami musim memilih pada tahun ini. Betapa tidak, mereka harus memilih pemimpin jemaatnya, kemudian pemimpin Gerejanya dan pada akhirnya memilih pemimpin daerahnya. Memang benar, hidup adalah masalah pilihan. Tentu, tidak bakal ada yang menyangkal. Memilih arah ke Manado dengan segala konsekwensinya, sama dengan memilih bersekolah di Fakultas A dengan resiko kedepannya. Resiko, tentu tidak selalu negatif, karena bukannya jarang resiko berharga positif dan sukses. Artinya, pilihan adalah soal biasa dan teramat sering dilakukan. Biasanya, cara dan alas an serta motivasi memilihlah yang sering berbeda dan bakal berakhir berbeda juga secara rasional.

Memang, memilih seorang atau dua orang yang diharapkan untuk menjadi pemimpin yang bertanggungjawab adalah persoalan lain. Karena pada titik ini, kepentingan pribadi, kedekatan emosional, kekaguman secara fisik, kekaguman atas prestasi dan faktor lain, sangat mempengaruhi pilihan terhadap figur. Maka, menjadi penting kembali untuk “sekedar” menggagas musim memilih kali ini, baik dalam konteks suksesi kepemimpinan di GMIM maupun suksesi Kepala Daerah dalam bentuk Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Pemilihan, baik di tingkatan Gerejawi maupun di tingkatan Provinsi, disebutkan sangat ditunggu dengan antusias, karena melibatkan emosi banyak. Selain, disatu sisi euphoria demokrasi dan pemilihan langsung pasca penetapan UU No 32/2004 dan PP 6/2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah melahirkan kondisi memilih dan pemilihan yang jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, juga karena untuk pertama kalinya para calon justru harus “membayar” para pemilihnya dengan cara yang diatur oleh perundangan.

Pemilihan di tingkat Gerejawi, khususnya GMIM, dari segi mekanisme sudah sangat mencerminkan berlangsungnya pemilihan yang demokratis. Mekanisme regular 4 tahunan sudah berlangsung mentradisi meski dari waktu kewaktu juga mengalami penyempurnaan. Sebagai organisasi keagamaan, GMIM sudah memiliki tradisi pergantian kepemimpinan yang cukup handal dan mekanisme yang dapat dipercaya. Karena itu, musim memilih kali ini, cenderung memberi tekanan kepada orientasi pergantian generasi dan kepemimpinan yang melayani serta visioner. Betapapun, GMIM yang mengaku “besar”, dalam skala Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) relatif mengalami stagnasi kader. Melewati angka 50 tahun usia PGI, belum satupun kader GMIM yang berasal langsung dari SULUT mampu menembus posisi structural menentukan (Ketua Umum dan Sekretaris Umum). Berbeda malah dengan organisasi lain semisal GMKI yang sudah mampu melahirkan masing-masing Ketua Umum dan Sekretaris Umum yang langsung berasal dari Cabang di Sulawesi Utara. Sementara pada aras lokal-propinsi, peran-peran spiritual, moral dan politik sekaligus sudah dikerjakan dengan capaian yang mengagumkan. Meskipun kritik atas kondisi politik dewasa ini adalah, GMIM sepertinya semakin menegaskan cirri bawaannya dahulu sebagai “Gereja Negara”. Ramainya posisi structural di tingkat jemaat hingga ke Sinode diisi oleh pejabat sturktural birokrasi pemerintahan menunjukkan mengentalnya watak ini. Sesuatu yang sangat perlu untuk dikritisi dan ditelaah lebih jauh. Tetapi kesempatan ini, bukan kajian ini yang akan ditelaah tulisan ini.

Berbeda dengan kondisi GMIM, Pemilihan Kepala Daerah tahun 2005 ini melahirkan euphoria luar biasa. Kegairahan yang cenderung berlebihan ini wajar, karena untuk waktu yang lama kedaulatan rakyat diperkosa habis oleh kepentingan Pemerintah Pusat yang melakukan “kooptasi” terhadap Daerah/peripheral. Baik mekanisme pemilihan maupun pengangkatan dan penetapan mencerminkan system yang sangat sentralistik, tidak mencerminkan kebutuhan dan tuntutan daerah dan sering “dikerjain” Pemerintah Pusat sesuai selera politik penjinakkannya. Tidak heran kalau banyak daerah tidak dipimpin anak atau putra daerahnya, tetapi dipimpin orang luar yang melahirkan inferioritas maupun ketersinggungan yang dalam. Contoh di Aceh yang menganggap orang asing adalah “Jawa” adalah salah satu contoh telanjang. Maka, Pemilihan Langsung, disambut antusias oleh masyarakat banyak, meski masih disoal oleh banyak kalangan lain terkait dengan aspek Hukumnya. Apapun soalnya, mekanisme Pemilihan Langsung sudah harus dilangsungkan untuk mengobati ketersinggungan sentralisme pemilihan dan pengangkatan Kepala Daerah pada masa lalu. Mekanisme ini, juga semakin mempertegas penguatan mekanisme demokrasi dalam penyelenggaraan Negara. Selain memberi kesempatan kepada masyarakat daerah masing-masing untuk bisa mengekspresikan pilihan politiknya serta otomatis mengharuskan kepala daerah bertanggungjawab kepada masyarakatnya untuk bisa dipilih kembali.

Kini, tahun ini, masyarakatlah yang akan menentukan siapa yang menjadi Kepala Daerahnya. Apabila pada masa lalu Pemilihan di pentas politik terkesan dagelan dan “hasilnya” sudah diketahui kalangan tertentu, dan tentunya kurang demokratis ketimbang Gereja, maka kini situasi menjadi terbalik. Pemilihan Kepala Daerah secara kualitatif malah menjadi lebih demokratis ketimbang Pemilihan di tingkat Sinodal. Pemilihan di lingkungan GMIM bersifat representative dan proporsional, tetapi pemilihan Kepala Daerah dilakukan langsung oleh masyarakat. Bukanlah berarti bahwa Pemilihan di GMIM tidaklah demokratis. Karena Demokrasi sebagai sebuah “system” memiliki variannya masing-masing dan disesuaikan dengan konteks kebutuhan masyarakatnya. Yang lebih penting adalah, bagaimana mekanisme Pemilihan mencerminkan kepentingan, kebutuhan dan aspirasi masyarakat banyak. Bukannya sebagai sarana pembenar atau sarana legitimasi regime yang sedang berkuasa. Biarlah rakyat menentukan kebutuhan dan pemimpinnya, karena hanya rakyatlah yang mengerti kebutuhan, kepentingan dan keinginan rakyat. Celakalah mereka yang beranggapan bahwa hanya mereka, kelompok mereka, atau lebih celaka lagi, seorang yang beranggapan bahwa “hanya dia” yang mengerti keinginan rakyat.

Apakah dengan demikian maka kesejahteraan rakyat akan secara otomatis terangkat? Ini sebetulnya impian masyarakat pemilih dimanapun berada. Apabila ada orang yang memiliki formula ampuh mampumeningkatkan kesejahteraan dalam tempo semalam, maka besar kemungkinan dia akan terpilih. Apalagi kalau dia mampu menunjukkan bukti ditempat lain. Sayangnya, kesejahteraan dalam terminology Ilmu Politik tidaklah harus berjalan parallel dengan peningkatan kualitas demokrasi. Penelitian-penelitian sarjana Politik membuktikan bahwa tesis Lypset soal hubungan peningkatan ekonomi dengan demokratisasi ternyata tidak selalu saling mendukung. Apa yang dilakukan Larry Diamond serta analisis demokratisasi di Negara bekas Uni Sovyet, bahkan termasuk Asia Tenggara menunjukkan bahwa demokratisasi tidak otomatis meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat. Tetapi, setidaknya, apresiasi atau penghargaan atas hak politik rakyat dan akses masyarakat untuk mengontrol pemerintah mengalami peningkatan yang signifikan. Karena itu, perlu sangat hati-hati bagi siapapun, baik pemilih maupun calon Kepala Daerah maupun Pemimpin GMIM untuk menentukan prioritas tidak sekedar janji. Tetapi pandangan-pandangan dan formula jangka panjang yang mampu secara simultan meningkatkan kualitas demokrasi dan kesejahteraan rakyat.

Sistem kali ini, baik di lingkungan GMIM maupun PILKADA sudah sangat demokratis. Sekarang persoalannya adalah tokoh atau siapa yang mampu mengemban amanat “pemilih”, dan bagaimana “prilaku” pemilih itu sendiri. Persoalan ini tetap sangat penting, meskipun sebenarnya kuantifikasi atau pengukuran dalam bentuk angka preferensi (kecenderungan) pemilih sudah menjadi trend tersendiri di Amerika sejak mazhab Behavioralisme dalam lapangan Ilmu Politik. Praktek quick qount serta survey dan polling, sangat terkenal di USA dan sering menjadi acuan serta rujukan yang cukup signifikan. Pengalaman di Indonesia membuat banyak orang yakin akan akurasinya, meskipun cara yang sama terbukti gagal ketika Bush kemudian mengalahkan Kerry dalam pemilihan Presiden USA terakhir. Artinya, kepastian dalam bentuk angka di lapangan Ilmu Politik adalaf relatif, karena tingkat ketidakpastian jauh lebih besar dibanding Ilmu Eksakta.

Untuk tidak menjadi sangat tehnis, maka perlu ditegaskan kemudian bahwa preferensi atau keinginan pemilih sangat menentukan dalam sebuah proses Pemilihan yang berlangsung jujur, terbuka dan adil. Itulah sebabnya, penulis membuka tulisan ini dengan menegaskan pembedaan antara “pemilih rasional dengan pemilih irrasional”. Rata-rata pemilih rasional memilih dengan pertimbangan-pertimbangan rasional, seperti ketajaman visi dan missi, kemampuan calon, latar belakang serta visible atau tidak program dan strategi yang ditawarkan kandidat. Sementara pemilih irrasional cenderung mengedepankan charisma, popularitas dan cenderung menafikan apakah calon tersebut punya visi dan program yang bisa operasional atau tidak. Pemilahan sederhana ini tetap terjadi di dunia modern sekalipun. Fakta bahwa Kerry yang lebih unggul dari segi kepabilitas dan programnya atas Bush tetapi kalah, membuktikan bahwa pemilih irrasional, khususnya Kristen Kanan USA masih sangat menentukan. Bagaimana dengan Indonesia atau khususnya Sulawesi Utara?

Harus dikatakan bahwa masih sangat dini dan premature untuk memprediksi hasil dari PILKADA secara langsung. Kita masih belum memiliki preseden dan pengalaman yang mendahului dalam moment seperti ini, karena PILKADA kali ini adalah yang pertama secara langsung. Meskipun demikian, “kita tetap harus memilih”. Persoalannya adalah, apakah kita akan memilih dengan pendekatan “rasional”, yakni berdasarkan kemampuan, ketajaman visi dan program yang applicable-bisa dioperasionalkan, atau memilih secara “irrasional”, yakni memilih karena kedekatan pribadi, popularitas calon, charisma calon dan tidak peduli programnya. Tentu idealnya, pemimpin kita adalah popular, berkemampuan dan menggagas serta menawarkan program yang berorientasi kebutuhan rakyat. Tetapi, bila pilihan yang tersedia tidak dalam kondisi ideal, maka kita tetap harus memilih. Dan jenis serta pilihan yang nanti akan keluar sebagai pemenang akan menjelaskan kepada kita seperti apa dan bagaimana jenis pemilih di Sulawesi Utara. Tahun 2005 ini, baik suksesi GMIM maupun PILKADA 2005 akan menjelaskan kepada kita, jenis pemilih SULUT: apakah benar sebagaimana yang sering didengungkan orang bahwa “Pemilih SULUT pintar”, atau bahkan sebaliknya.

Memang, pilihan kita bukanlah pilihan buah simalakama, memilih A bapak mati dan memilih B ibu yang mati. Tetapi, pilihan kita menentukan apakah kita tidak semakin tertinggal dari daerah lain, tidak semakin susah dan tidak berjalan ditempat. Bila ini taruhannya dan harganya jauh lebih mahal, maka pilihan kita lebih sulit dari memilih dalam kondisi Buah Simalakama. Karena taruhan kita adalah lebih dari 2 juta masyarakat Sulawesi Utara yang sudah semakin sesak dengan himpitan beban ketertinggalan. Ketika kita harus memilih, baik pilihan diproses suksesi GMIM Maret 2005, maupun Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur SULUT, Walikota Manado, Walikota Tomohon, Walikota Bitung, Bupati Minahasa Selatan, Bupati Minahasa Utara, tentu dengan wakil masing-masing), apakah kita memilih secara “irasional ataukah rasional”?. Memang, tidak selamanya yang terbaik yang terpilih, tidak selamanya yang terbaik yang popular. Hanya, untuk masa depan masyarakat dan jemaat, haruskah kita memilih karena popularitas atau memilih yang terbaik? Jawabannya memang hanya anda dan Tuhan yang tahu, tapi taruhannya adalah masa depan GMIM, masa depan SULUT, Kota Manado, Kota Tomohon, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa Selatan dan Minahasa Utara. Jadi, bagaimana pilihan anda?



* Pengamat Masalah Sosial-Politik

No comments: