Wednesday, May 23, 2007

DEMOKRATISASI DI INDONESIA DAN CHILI:
PERSPEKTIF POLITIK PERBANDINGAN



Oleh:
Audy W.M.R. Wuisang



I. Pendahuluan

Demokratisasi dan perjuangan demi demokrasi kembali menjadi agenda dan sekaligus ciri yang sangat penting dalam konteks perkembangan politik terutama setelah Samuel Huntingthon mempublikasikan sebuah karya maha penting soal Gelombang Demokrasi Ketiga[1]. Gelombang Demokratisasi Pertama menurut Huntingthon terjadi pada tahun 1828 hingga 1926 dan kemudian disusul dengan Gelombang kedua pada tahun 1943 hingg 1962 dan Gelombang Ketiga diawali dengan jatuhnya Rezim Portugal tahun 1974 hingga transisi demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada akhir 1989. Gelombang Demokratisasi ini, juga melanda semenanjung Timur Asia dan menumbuhkan benih demokrasi di Korea Selatan dan Taiwan, juga melanda Asia Tenggara dengan Philipina sebagai contohnya[2].

Apabila titik balik dan proses redemokratisasi di Chili dihitung sejak gagalnya Jendral Pinochet[3] memperjuangkan Plebisit melalui referendum untuk memperpanjang kekuasaannya pada tahun 1988 dan kemudian terpilih Presiden baru pada tahun 1989, maka Chili juga termasuk dalam Gelombang Ketiga Demokratisasi ini[4]. Sementara Indonesia, berbeda dengan tahun penerbitan buku Anders Uhlin[5] yang menggagas tentang Gelombang Ketiga Demokratisasi dan pengaruhnya di Indonesia, justru sedang memulai dan merintis jalan transisinya. Buku Uhlin sendiri, membahas pengaruh Gelombang ketiga Demokratisasi di Indonesia, dan nampaknya Uhlin sedikit pesimistis dengan masa depan demokratisasi di Indonesia sebagaimana yang ditunjukkannya melalui penyimpulan sebagai berikut:

…”The “third wave” has obviously failed to have any profound impact on Indonesia’s political development, as no transition to democracy has taken place”[6].

Padahal, setahun kemudian regime Orde Baru yang dikatakannya relatif “imun” terhadap pengaruh Gelombang Ketiga Demokratisasi dan karenanya dalam menganalisis Demokratisasi di Indonesia dia menyimpulkan baru pada tahapan pra transisi[7], justru menghadapi masa-masa keruntuhannya. Bila ditarik kedepan, terlaksananya Pemilihan umum yang jujur dan adil pada tahun 1999 dan 2004 serta sejumlah pembangunan politik yang menyertainya dianalisis lebih jauh[8], maka Transisi Demokrasi di Indonesia juga termasuk dalam jajaran “Gelombang Demokrasi Ketiga”.

Tetapi persoalan utama bukanlah apakah Indonesia dan Chili masuk dalam kategori Gelombang Ketiga Demokratisasi dunia. Lebih dari itu, makalah ini berupaya dan mencoba untuk menganalisis proses-proses Transisi Demokrasi di kedua Negara tersebut dan memperbandingkannya. Pertanyaan lebih jauh kemudian muncul pada titik ini. Apa yang akan dan mau diperbandingkan? Dan bagaimana memperbandingkannya? dan tentu pertanyaan yang menyentuh perspektif teoretis adalah, dengan apa membandingkannya? Pertanyaan pertama terkait dengan persoalan “permasalahan” atau “masalah” yang harus dirumuskan lebih dahulu, sehingga fokus pembahasan tidak bias. Pertanyaan kedua yang nanti terkait dengan pertanyaan ketiga adalah persoalan perspektif politik perbandingan dan pendekatan teoretis. Makalah ini dikerjakan dalam perspektif Politik Perbandingan, dan untuk mengerjakannya penulis mencoba mendasarkan pada kajian Roy Macridis dan Bernard Brown[9] terutama soal fokus kajian dan pekerjaan Politik Perbandingan. Menyebut Politik Perbandingan berarti memberi prioritas kepada semua manifestasi, sikap dan gerakan terorganisasi dari Negara; Negara itu sendiri, dalam hal ini study tentang lembaga-lembaga Negara, organisasinya, lingkup pengambilan keputusannya; Kemudian juga terkait dengan sikap politik dan civic culture (dengan mengutip Almod[10]); juga terakhir soal infrastruktur dunia politik yaitu sikap dan ide politik, ekonomi dan kebudayaan, lembaga sosial, norma dan nilai yang menonjol dalam masyarakat tertentu.

Sehubungan dengan hal itu, maka masalah yang ingin dikaji dalam makalah ini tentu terkait dengan Transisi Demokrasi di Indonesia dan Chili. Dalam konteks tersebut, maka makalah ini ingin menjawab masalah dan pertanyaan soal bagaimanakah prospek dan kondisi Demokrasi di Indonesia dan Chili, terutama dalam selang waktu 1973 – 2004 di Chili dan 1967 – 2004 di Indonesia. Pertanyaan pertama ini, secara khusus ingin menjawab prospek demokrasi setelah 1989 di Chili dan 1998 di Indonesia. Dalam selang waktu itu, masalah dan pertanyaan kedua, apa yang dipikirkan oleh masing-masing Negara tentang peran Militer, terutama terkait dengan upaya militerisasi? Dan terakhir, bagaimana pembangunan politik di kedua Negara pada masa tersebut?

Pertanyaan pertama terkait momentum dan penyebab dari Transisi Demokrasi. Artinya, Transisi Demokrasi bukannya terjadi secara ahistoris dan terlepas dari konteks social-ekonomi dan budaya baik di Chili maupun Indonesia. Sehingga perlu diperhatikan konteks sejarah serta kondisi social-budaya-ekonomi yang bersignifikansi terhadap terciptanya momentum transisi demokrasi. Pertanyaan kedua terkait dengan peran elite dalam baik proses terciptanya momentum transisi serta bagaimana menyikapi peran militer yang kuat di kedua Negara. Sementara pertanyaan ketiga terkait dengan apa dan bagaimana proses-proses institusionalisasi perubahan politik tersebut sehingga proses transisi tidaklah gagal tetapi dapat terkonsolidasi secara baik[11].

Kajian makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bagian pertama adalah Pendahuluan yang terutama berisi gambaran dan deskripsi masalah yang dibahas oleh makalah dalam rangka Ujian Akhir Mata Kuliah Perbandingan Politik Universitas Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan bagian kedua, Penjelasan terminology penting dalam kajian, Ketiga memuat Pendekatan teoretis, Keempat Perspektif Perbandingan Politik di Chili dan Indonesia dalam hal Demokrasi, Demiliterisasi dan Pembangunan Politik dan Kelima adalah Penutup dan kesimpulan.

II. Beberapa Terminologi Penting

Untuk menjawab dan menjelaskan pertanyaan serta masalah di atas, maka kajian ini akan mempergunakan Teori Transisi Demokrasi, Teori Elite (Klasik dan Pluralis dengan tekanan terutama pada Teori Elite Pluraist) dan Teori Institutionalisasi atau Kelembagaan (Klasik dan Kontemporer). Tetapi sebelum menjelaskan pendekatan teoretis yang digunakan, maka sangat perlu untuk menjelaskan dan menegaskan beberapa terminology penting yang dipergunakan dalam kajian makalah ini.
Terminologi-terminologi penting yang dipergunakan dan dikaji dalam makalah ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu makna dan pengertiannya:
a. Demokrasi: Pemahaman demokrasi bisa dibedakan atas pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Pendekatan normatif berkaitan dengan demokrasi sebagai tujuan atau sebenarnya persoalan sekitar, bagaimana demokrasi yang seharusnya ataupun sesuatu yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah Negara[12]. Sementara pendekatan empiric terkait dengan system politik dan karenanya baik oleh Gaffar[13] maupun James Ferguson[14] disebut sebagai “procedural democracy”. Karena terkait dengan Sistem Politik, maka Demokrasi dikaitkan dengan soal Perwakilan Langsung[15]. Tetapi tidak jarang dikaitkan juga model lain yang dikenal dengan Perwakilan Demokratis[16]. Kalangan Ilmuwan Politik kemudian secara empiric dengan mengamati praktek Demokrasi merumuskan demokrasi dengan beberapa indicator seperti misalnya Larry Diamond[17] yang mengetengahkan Demokrasi dengan 3 ciri: Pertama – persaingan ekstensif untuk menduduki posisi politis Negara melalui Pemilu yang teratur, bebas dan adil, kedua – Partisipasi politik menyeluruh dan ketiga – kebebasan pers, berserikat dan ditegakkannya Hukum. Sementara Bingham Powell[18] menyebut criteria sebagai berikut:
…”1) The legitimacy of the government rests on a claim to represent the desire of its citizens… 2) The organized arrangement that regulates this bargain of legitimacy is the competitive political election… 3) Most adults can participate in the electoral process both as voters and as candidate … 4) Citizens votes are secret and not coerced; 5) Citizens and leaders enjoy basic freedom of speech, press, assembly and organizations…
Sementara Robert Dahl[19] sendiri mengajukan 7 indikator yang bisa diringkaskan sebagai berikut: 1) Kontrol atas keputusan pemerintah, 2) Pergantian elite atau pemimpin melalui Pemilu yang bebas, adil dan jujur dan secara regular, 3) Semua orang dewasa memiliki hak suara, 4) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk menjadi kandidat dipilih, 5) Adanya hak berekspresi, termasuk mengritik pemerintah, 6) Termasuk juga akses ke sumber informasi alternative, 7) Juga hak berkumpul dan berorganisasi dan masuk partai politik untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan demikian, dari sekian banyak konsep dan teori demokrasi termasuk indicator demokrasi, maka setidaknya yang dimaksudkan dengan demokrasi adalah: Pertama, adanya Pemilihan Umum yang regular, jujur dan adil yang memungkinkan pergantian elite dan pemerintahan dengan semua orang dewasa berhak memilih dan dipilih. Kedua, adanya pertanggungjawaban pemerintah terhadap kekuasaan yang dimilikinya kepada masyarakat. Ketiga, adanya kontrol rakyat terhadap kebijakan pemerintahan yang diekspresikan dalam bentuk memilih kembali atau menolak pemerintahan yang ada dalam Pemilu kemudian. Keempat, adanya kebebasan berekspresi, berorganisasi, berkumpul dan akses informasi yang bebas.
b. Demiliterisasi: Terminologi ini, nampaknya banyak dikaitkan dengan upaya demokratisasi dan khususnya banyak dipandang dari segi dan sudut kepentingan perkembangan demokrasi di dunia ketiga[20]. Pada umumnya secara sederhana demiliterisasi diartikan sebagai upaya dan proses mengurangi intervensi dan aktifitas milter dalam ranah politik. Atau mengikuti penjelasan Isima dalam membangun pendekatan teoritis terhadap demiliterisasi di Negara-negara Sub Sahara menyebutkan:
…” drastic reduction of the political influence of the military and security agencies of the state (demilitarisation) as part of the broader agenda of democratisation[21]
Isima menyimpulkan adanya trend reduksi pengaruh politik kekuatan militer sebagai bagian dari agenda yang luas dari proses demokratisasi. Beberapa rujukan lain yang terkait dengan study di bidang ini misalnya datang dari Luckman[22] yang menyimpulkan bahwa “demiliterisasi” merupakan prasyarat bagi demokratisasi itu sendiri. Study-study di Afrika mengenai demiliterisasi nampaknya memang bermuara pada pandangan bahwa reduksi kekuatan militer, pengaruh, resourses dan aktifitasnya dalam politik, termasuk pembatasan kekuasaan dan pengaruhnya yang seharusnya datang dan diberikan oleh pemerintahan. Pandangan semacam ini juga diperkuat oleh Guy Lamb[23] dalam menjelaskan reduksi kekuatan militer dan artinya demiliterisasi dalam politik lokal. Senada dengan itu, kajian-kajian dari Anak Agung dan Kusnanto dari perspektif Asia Tenggara dan lebih spesifik Indonesia, juga menunjuk kecenderungan yang serupa, yakni bagaimana kekuatan militer tunduk dibawah supremasi sipil dan dikukuhkan melalui konstitusi.
c. Pembangunan Politik: Pembangunan Politik merupakan salah satu istilah tehnis dalam khasanah Ilmu Politik. Harry Eckstein menjelaskan bahwa study-study tentang Political Development atau Pembangunan Politik berlangsung secara cepat sejak tahun 1960-an dan bahkan pada tahun 1975 sudah mencatat sekitar 200 karya bidang ini yang cukup menonjol[24]. Haruslah dicatat, sebagaimana dicatat oleh Stephen Chilton[25] gambaran serta analisis dan definisi tentang Pembangunan Politik terhitung membingungkan. Bahkan Ekcstein sendiri menyebutkan bahwa persoalan mengenai Pembangunan Politik sering tidak secara memadai merepresentasikan penyelidikan dan pendalaman soal Pembangunan (development) itu sendiri[26]. Tetapi, meski dengan sejumlah kebingungan, jelas bahwa menurut Chilton[27]:
…”Political development clearly arises from and affects individuals, cultural-institutional forms, and objective, regularized patterns of social interaction”
Memang nampaknya penjelasan ini seakan memisahkan pendekatan perubahan pada tingkat individu dengan lembaga-lembaga social, tetapi sebagaimana kemudian didalami lagi oleh Chilton, pendasaran definisi dan pemahaman Pembangunan Politik, mestilah memadukan kedua pendekatan tersebut secara simultan[28] dan sekaligus bagaimana menghubungkannya. Dengan pendasaran demikian, maka beberapa definisi tentang Pembangunan Politik dapat diajukan seperti misalnya Huntingthon mendefiniskan:
…”political development is "the institutionalization of political organizations and procedures[29]
Defini ini menegaskan pembangunan Politik sebagai proses atau pelembagaan dari organisasi-organisasi politik serta proseduralnya. Sementara definisi lain misalnya mendefisinikannya sebagai berikut:
…” Political development is the process in which major cluster of old social, economic and psychological concomitants are eroded or broken and people become available for new patterns of social and behavior[30]
Konsep lain yang coba diketengahkan datang dari John Dorsey, dengan mendefinisikan Political Development sebagai:
…”the change in power structure and processes that occur concomitantly with changes in energy conversion levels in the social system, whether such conversion levels change primarily in their political, social, and economic manifestations or in various combinations of the three"[31]
Terakhir, Harry Eckstein menjelaskan konsep Political Development sebagai pertumbuhan yang muncul dalam politik[32]. Dengan demikian, maka setidaknya Pembangunan politik dapat digambarkan sebagai korelasi atau hubungan antara individu dan lembaga-lembaga social serta aturan-aturan dari interkasi social tersebut (Chilton) dan juga melibatkan proses pelembagaan dari prosedur dan organisasi-organisasi politik (Huntingthon) serta perubahan dan struktur kekuasaan akibat energi-energi perubahan yang datang dari dinamika social, politik dan ekonomi.
Makalah ini memandang dan menggunakan terminology Pembangunan Politik dengan banyak mendasarkannya pada pemahaman Huntinthon, yakni proses pelembagaan atau institusionalisasi dari organisasi-organisasi politik beserta dengan tata kerjanya dengan juga memberi perhatian pada konsep Eckstein dan Dorsey soal energi perubahan pada Politik, Sosial, Ekonomi (Dorsey) dan konsep pertumbuhan dalam politik (Ekckstein). Suatu hal yang perlu dicatat Eckstein nampaknya secara implisit memandang bahwa pertumbuhan yang dimaksudkannya dalam Pembangunan Politik agak dekat dengan konsep modernisasi, terutama ketika dia membahas Pembangunan Politik dan mendasarkan konsep pembangunannya pada soal modernitas dan konsep Durkheim tentang pembangunan[33]. Implikasinya, ketika diterapkan dalam konteks dunia ketiga adalah bagaimana proses pembangunan politik berusaha memandang dan meninjau proses di pemerintahan berkembang dengan mengacu ke pemerintahan yang lebih maju.
III. Pendekatan Teoretis
Sebagaimana diungkapkan pada bagian terdahulu, dalam membahas dan menjawab masalah dan pertanyaan yang dirumuskan pada bagian pendahuluan, maka pendekatan teoritis yang akan digunakan adalah Teori Transisi Demokrasi, Teori Elite dan Teori Kelembagaan. Karenanya, sebelum membahas permasalahan, perlu diuraikan terlebih dahulu pendekatan teoretis tersebut:
a. Teori Transisi Demokrasi
Apabila Demokrasi telah dijelaskan dalam bagian terdahulu, maka penting juga untuk memahami apa yang dimaksud dengan demokratisasi. Secara sederhana demokratisasi dapat diterjemahkan secara harafiah, yakni proses menuju demokrasi, tetapi makalah ini akan menggunakan dan mengikuti defisini yang digunakan oleh David Potter tentang demokratisasi yang dirumuskannya sebagai proses-proses perubahan politik yang bergerak maju kearah demokrasi[34]. Demokratisasi dengannya menunjuk pada proses-proses perubahan politik yang mengarah ke peningkatan kualitas demokrasi dan bukanlah sebaliknya, sebab dalam beberapa kasus proses demokratisasi dapat saja gagal dan malah kembali ke model yang tidak demokratis. Atau dalam bahasa Potter, yang dimaksudkan dengan demokratisasi jelas adalah:
…”that the character of such movement over time is from less accountable to more accountable government, from less competitive election to freeer and fairer competitive election, from severely restricted to better protected civil and political rights, from weak (or non existent) autonomous associations in civil society to more aotunomous and more numerous associations”[35]
Setelah menjelaskan terminology demokratisasi, maka muncul kebutuhan baru untuk menjelaskan jika demikian, bagaimanakah model-model dan pola demokratisasi itu. Terlebih, bila dikaitkan dengan konsep dan penjelasan Huntingthon soal demokratisasi sejak Gelombang pertama hingga Gelombang ketiga. Untuk kebutuhan inilah kemudian Potter mengembangkan pendekatan teoretis terhadap pola ataupun model demokratisasi, yang baginya ada 3 pendekatan teoretis[36]. Pendekatan pertama adalah Pendekatan Modernisasi yang banyak berhutang budi kepada kajian-kajian Seymour Martin Lipset, terutama dalam bukunya Political Man (1960)[37] dimana disimpulkan bahwa perkembangan politik dan demokrasi ditentukan oleh level modernisasi atau perkembangan social-ekonomi. Pendekatan kedua adalah Pendekatan Structural yang mendasarkan kajiannya terutama kepada Barrington Moore[38]. Pendekatan ini menekankan proses jangka panjang dari perubahan struktur yang akan kemudian menentukan demokratisasi.
Pendekatan ketiga, yang akan digunakan dalam kajian ini, adalah Pendekatan Transisi Demokrasi yang memberi tekanan kepada proses-proses politik serta inisiatif dan pilihan-pilihan kelompok elite yang menyebabkan dan menentukan pergerakan dari regime otoriter ke demokrasi liberal[39]. Study tentang Transisi Menuju Demokrasi umumnya dikenal dan diawali dengan artikel Dankwart Rustow yang berjudul “Transition to Demokracy” yang diterbitkan pada tahun 1970[40]. Rustow bersama dengan para ahli yang lain memberi perhatian terutama kepada Negara-negara berkembang yang mempertanyakan bagaimana demokrasi boleh mendapatkan tempatnya yang utama. Dan untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan di atas, Rustow kemudian berdasarkan study analisis perbandingan sejarah Turki dan Swedia mengemukakan pendekatan yang komprehensif. Berdasarkan kajiannya atas Turki dan Swedia, kemudian Rustow mengemukakan bahwa ada semacam “route umum” yang akan dilalui oleh semua Negara selama masa demokratisasi. Route tersebut dibaginya dalam 4 tahapan, yakni: Pertama, tahapan penyatuan secara nasional dalam sebuah teritori tertentu. Kedua, disebutnya sebagai fase persiapan yang ditandai dengan perjuangan politik yang panjang. Ketiga, disebutnya sebagai transisi pertama, yaitu tahapan dimana para kelompok yang bertarung pada tahapan sebelumnya bersedia untuk berkompromi dan mengadopsi aturan demokratis. Bagi Rustow, teorinya selalu menegaskan adanya kesadaran elite untuk menerima aturan demokratis sebagai sebuah syarat penting. Keempat, adalah second transition atau transisi kedua atau disebut juga fase pembiasaan atau pembudayaan. Artinya, kompromi yang dicapai kemudian disahkan dalam kesepakatan mengikat dan menjadi rujukan bersama[41].
Fase ketiga dan keempat dari Teori Rustow inilah yang kemudian dielaborasi oleh para pemikir selanjutnya. Tercatat disini adalah Guilermo O’Donnel (Transition from Autoritharian Rule – 4 volume), Juan Mainwaring, Yossi Shain, Juan Linz, dll, yang kemudian membedakan fase 3 sebagai fase Transisi dari Autoritarian menuju Demokrasi Liberal dan fase keempat yang disebut sebagai fase konsolidasi demokrasi[42]. Alasan utama mereka, sebagaimana disinggung didepan adalah karena transisi bisa saja sukses dan berarti terkonsolidasi dan mungkin pula gagal.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Potter nampaknya memberi aksentuasi yang sangat nyata dan kuat terhadap peran elite dalam proses transisi. Baginya, segera setelah terjadi pemaksaan dan represi, yang menjadi karakteristik dari regime otoriter[43], maka para actor akan terbelah menjadi 2 kubu, yakni regime dan pendukungnya melawan pihak oposisi. Dalam koalisis otoriter masih terbagi antara elite yang “hardliner” dan yang “softliner”. Sementara pada kubu Oposisi terbai antara: Oportunist, moderat dan radikal. Dalam kasus Amerika Latin, koalisi antara yang “softliner” dari regime otoriter dengan “moderate” dari kubu oposisi yang memungkinkan proses transisi boleh berlangsung dengan signifikan[44].
Selanjutnya Linz dan Shain[45] menegaskan bahwa dalam periode antara (transisi), maka hasil dari demokratisasi sangat tergantung pada siapa yang memerintah dan bagaimana mereka menggunakan kekuasaannya. Mereka kemudian menyimpulkan adanya 4 format ideal penguasa pada masa interim: Pertama, Oposisi yang memerintah untuk sementara, terutama elite yang berhasil menumbangkan regime sebelumnya melalui kudeta. Elite ini biasanya memproklamirkan dirinya sebagai pemerintahan sementara yang kemudian akan mengantarkan pemerintahan dan masyarakat menuju pemilu[46]. Kedua, Pembagian Kekuasaan antara regime otoriter terdahulu dengan gerakan demokrasi oposisi dalam sebuah pemerintahan sementara. Ketiga, Pemerintah yang ada masih bertugas sebagai caretaker untuk menghantarkan proses pemerintahan hingga ke Pemilu. Keempat, pembentukan pemerintahan oleh PBB melalui campur tangan internasional. Kasus ini beberapa kali terjadi, termasuk Namibia, Kamboja dan terakhir East Timor.
Terkait dengan kajian-kajian peran elite di atas, maka Potter menyebutkan, meskipun memang sangat mungkin elite yang ada tidaklah komitmen penuh dengan demokrasi liberal, tetapi pada dasarnya timbul keengganan untuk kembali ke masa otoritarianisme[47]. Karena pertimbangan itu, maka Potter melanjutkan, kelompok elite demokrasi yang masih minoritas perlu melakukasn 4 langkah utama agar demokratisasi terkonsolidasi secara baik: pertama, netralisasi actor politik yang otoriter; kedua, promosikan keinginan akan demokrasi dengan implementasinya yang saling terkait dengan memfungsikan demokrasi; ketiga, perbesar jumlah elite demokratis ataupun actor demokratis; keempat, integrasikan dan sub ordinasikan strategi actor demokrasi dengan memfasilitasi keinginan untuk tidak kembali ke periode otoriter[48].
Bila disimpulkan, maka pendekatan Teori Transisi Demokrasi menekankan pada Elite-elite Politik, pada aksi-aksi mereka yang jelas, pilihan dan strategi politik, serta membedakan proses transisi dengan konsolidasi demokrasi dan bahwa perjalanan sejarah menuju demokrasi liberal dilalui bukan dengan perubahan struktur tetapi dengan inisiatif dan tindakan para elite[49]. Dengan demikian, pendekatan teori Transisi Demokrasi memberi perhatian yang sangat besar terhadap peran elite. Dan ini pula sebabnya perspektif teori elite menjadi pilihan pendekatan teoretis kedua dalam kajian ini
b. Pendekatan Teori Elite
“Government is always government by the few, whether in the name of the few, the one or the many”, demikian ungkapan Harold Lasswell[50]. Elite dalam konteks Ilmu Politik menunjuk kesekelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan, sebaliknya massa adalah bagian terbesar yang justru tidak memiliki kekuasaan[51]. Demokrasi adalah pemerintahan oleh banyak orang, tetapi dalam prakteknya demokrasi bergantung kepada sekelompok kecil orang dalam menjalankannya, inilah yang disebut dengan Ironi Demokrasi, dan bagi Harild Lasswell[52] dan bahkan dalam demokrasi, pembagian masyarakat kedalam elite dan massa bersifat universal. Elite, tidaklah dibentuk atau dilahirkan oleh sosialisme atau kapitalisme, oleh system represif atau demokratis, agricultural atau industrial, tetapi karena semua masyarakat membutuhkan elite. Apakah masyarakat itu otoriter, demokratis ataupun setengah demokratis.
Pembahasan-pembahasan tentang Teori Elite Klasik sebenarnya ditemui awalnya dalam tradisi berpikir di Italia, khususnya melalui Mosca dan Pareto dan pemikir Perancis Roberto Michels[53]. Mosca menegaskan bahwa masyarakat modern sejak dahulu selalu memunculkan 2 kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Mosca juga berpandangan, bahwa kelas penguasalah yang menentukan struktur politik masyarakat[54]. Mengapa demikian, karena meskipun jumlah elite kecil, tetapi sebetulnya dialah yang mengatur kehidupan secara keseluruhan, dan semakin besar masyarakat, semakin sukar kelompok massa mayoritas untuk mengorganisasikan sikap mereka terhadap kelompok elite minoritas itu[55]. Mosca, juga percaya dengan pergantian elite, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Moran[56]: bahwa apabila elite tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan kecakapan di hadapan kelas yang dikuasai, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai.
Sementara Pareto membedakan masyarakat menjadi 2 kelas, sama dengan Mosca. Pareto membagi dalam Lapisan Atas, yaitu elite yang masih terbagi atas elite yang memerintah dan elite yang tidak memerintah (governing and non governing elite), sedang lapisan bawah adalah non elite[57]. Baik Pareto maupun Mosca lebih memusatkan perhatiannya kepada elite yang memerintah. Konsep pergantian atau sirkulasi elite juga diperhatikan oleh Pareto, yang baginya elite yang berkuasa bisa saja kehilangan kekuasaannya akibat gangguan terhadap keseimbangan masyarakat. Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elite yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elite itu sendiri dan yang kedua dari penduduk biasa menjadi elite. Patut juga dicatat, Pareto secara tersirat memberi kesempatan dan pengesahan soal penggunaan kapasitas serta kemauan para elite untuk menggunakan kekerasan[58].
Teori-teori elite diatas, bersama dengan Robert Michel yang terkenal dengan “the iron law of oligarchy” termasuk dalam kategori teoretisi elite klasik. Percakapan tentang Teori Elite kemudian juga merambah Amerika Serikat melintasi samudrea Atlantik dan sekaligus mencoba menautkan Teori Elite dengan Demokrasi[59]. Schumpeter[60] sebagaimana Weber dan Mosca menekankan bahwa Demokrasi sebenarnya meski berpinsip pemerintahan oleh rakyat, tetapi prakteknya diperintah oleh elite. Ide utama Schumpeter kemudian adalah bagaimana proses persiapan dan pencapaian kekuasaan oleh elite dilakukan melalui kompetisi yang jujur dan adil melalui pilihan rakyat atau Pemilihan Umum. Hal ini disebabkan Schumpeter tidak yakin adanya saluran lain mengontrol elte oleh massa pemilih kecuali melalui Pemilu.
Dengan upaya-upaya panjang dalam mempertautkan Teori Elite Klasik dengan Demokrasi, sebagaimana dilakukan oleh Schumpeter di atas juga berlanjut dalam tradisi berpikir tokoh lain semisal Harold Lasswell, Robert Dahl dan Giovani Sartori[61]. Sebagaimana dikutip pada awal pembahasan Teori ini, Lasswell menekankan bahwa betapapun memang masyarakat secara politik akan terbagi atas elite dan massa. Sementara Dahl dan Sartori mengidentikkan demokrasi dengan poliarkhi yang berarti terjadinya sebuah kompetisi yang fair dan adil diantara para minoritas berpengaruh dan memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan[62]. Selanjutnya Dahl menyatakan bahwa melalui proses yang kompetitif, maka elite dan pemimpin politik akan lebih tanggap terhadap kepentingan warga Negara biasa[63] dan dengan cara itu, maka interaksi aktif akan terjadi antara mereka. Rakyatpun dengan demikian akan memiliki pengaruh terhadap elite, meskipun secara alamiah posisi rakyat dan massa akan menjadi lebih lemah[64].
Kajian-kajian kaitan antara Teori Elite dengan Demokrasi yang secara luas dikemukakan melalui para tokoh di atas, sebetulnya datang dari konsep bagaimana kekuasaan elite tersebut boleh dipengaruhi oleh massa atau rakyat. Artinya, bagaimana mempertautkan apa yang dinamakan ironi demokrasi pada bagian depan, sehingga benar-benar esensi dan substansi bahwa demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat terekspresikan dalam elite pemerintahannya melalui proses-proses yang memungkinkan rakyat dalam mengontrol elite yang minoritas. Sampai pada titik ini, kemudian Lasswell menyimpulkan:
…”In western democracies, elites have multiple institutional bases of power. Not all power is lodged in government, nor is all power derived from wealth. Democracies legitimaze the existence of opposition parties as well as of organized interest groups…But it is really the power and autonomy of non governmental elites, and their recognized legitimacy, that distinguishes the elite structure of democratic nations from thoseof totalitarian state[65]”.
Dengan melintasi samudera Atlantik, maka teori elite kemudian memperoleh perspektif baru, yakni bersinergi dengan demokrasi serta bahkan menerima sumbangan dari paham pluralisme dalam demokrasi. Sebagaimana disebutkan oleh Dahl dalam Poliarkhi serta juga penegasan lain dari Sartori ketika menyatakan bahwa:
“Democracies are characterized by diffusion of power … by a multiplicity of criss-crossing power groups engaged in coalitional maneuverings[66]”.
Hal ini nampaknya mirip dengan penegasan Dahl dalam Poliarkhi soal adanya multiple power yang dapat merepresentasi berbagai kepentingan yang berbeda. Dalam berkontribusi terhadap keterkaitan demokrasi plural dengan teori elite, Lasswell kemudian menekankan beberapa hal[67] bahwa dalam paham pluralism ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: Pertama, masyarakat terbagi atas berbagaikelompok yang memiliki keinginan dan tuntutan kepada pemerintah tanpa mendominasi proses pembuatan keputusan. Kedua, meskipun warga Negara tidak berpartisipasi langsung dalam pembuatan keputusan, pemimpin mereka mampu mengadopsi pikiran mereka melalui mekanisme tawar menawar, akomodasi maupun kompromi. Ketiga, kompetisi antar para pemimpin menolong terakomodasinya kepentingan mereka. Keempat, Kepemimpinan terbuka, kelompok baru boleh dibentuk untuk ikut memperjuangkan kepentingan politiknya. Kelima, meskipun pengaruh politik dalam masyarakat terdistribusi, tetapi kekuasaan sebetulnya tersebar. Kepemimpinan yang berasal dari banyak basis kekuasaan eksist, dan tiada satupun kelompok yang sangat dominant dalam proses pembuatan keputusan.
Dengan pemikiran demikian, maka Etzioni-Haleva[68] menyimpulkan bahwa Elite bisa didefinisikan sebagai:
…”those people who have an inordinate share of power, on the basis of their control of resources. Resources are simply those things which are scarce, which affect people’s live, which at least some people require or want, and for which there is more demand than supply[69]”.
Dengan defines ini kemudian Etzioni membedakan elite dan sub elite. Elite adalah mereka yang berada pada top level atau puncak kekuasaan sementara sub elite adalah mereka yang menduduki ranking atau tingkatan menengah dari struktur kekuasaan, sementara rakyat berada pada tingkat yang paling bawah[70]. Lapisan elite terdiri dari: Pemerintah, anggota dari parlemen atau kongres, serta juga anggota pemerintah dan pimpinan partai dan kelompok oposisi (bila ada disatu Negara). Termasuk dalam kategori elite adalah, Birokrasi, militer, polisi dan para penegak Hukum (judiciary). Termasuk juga dalam kategori ini adalah elite ekonomi (bisnis), terutama top manajer dari organisasi bisnis berskala besar serta juga pemimpin utama dari buruh serta organisasi perdagangan, mereka terkategori kelompok kepentingan dalam masyarakat modern. Di posisi elite, juga masuk para tokoh utama media, baik elektronik maupun media cetak, juga apara akademisi dan kelompok intelektual serta akhirnya pemimpin-pemimpin utama dari gerakan-gerakan social ataupun gerakan demokratis/gerakan protest.
Sub elite, memiliki kekuasaan yang sedikit dibawah elite, termasuk disini adalah pemimpin-pemimpin kelompok kepentingan yang tidak terlalu besar, dari kalangan bisnis juga para pemilik dan manager dari perusahaan besar (tidak sebesar di kelompok elite). Termasuk juga, kalangan menengah dari birokrasi Negara termasuk polisi dan tentara pada rangking menengah, pemimpin gerakan social yang lebih kecil, juga media dan akademisi serta acitivist partai buruh dan pimpinan gerakan social. Atau dengan kata lain, sub elite adalah mereka yang menduduki posisi kedua dibawah posisi elite dari struktur dan organisais mana mereka berasal.
c. Teori Institusionalism/Kelembagaan
Guy Peters[71] mendiskusikan 7 pendekatan Kelembagaan dalam ilmu politik dan sosiologi sebagai Pendekatan Neo Institutionalism atau pendekatan “Kelembagaan Baru”. Tetapi, bukan pada tempatnya mendiskusikan dan mengkaji ketujuh pendekatan kelembagaan menurut Guy Peters tersebut. Untuk kebutuhan analisis Kelembagaan bagi makalah ini, maka akan dikaji pendekatan Neo Institutionalism mengikuti David Apter[72] dan tentu dengan berupaya mengkombinasikan beberapa argumentasi yang dibangun Guy Peters.
Pendekatan Kelembagaan (Klasik) memberikan perhatian utamanya kepada pada Hukum dan Konstitusi, dalam bagaimana Pemerintah dan Negara, Kedaulatan, Juridiksi, lembaga perwakilan bekerja dan berevolusi dalam bentuk-bentuknya yang berbeda. Guy Peters[73] menegaskan, bahwa memang karakteristik pertama dari pendekatan kelembagaan adalah berpusat pada Hukum dan peran Konstitusi dalam memerintah. Guy Peters menyimpulkannya melalui kajian dan perbandingan dengan peran Hukum di Eropa dan Anglo-Amerikan, dimana Hukum memegang peranan yang sangat penting dalam mengatur sector publik[74]. Karena itu, Guy Peters kemudian menyatakan:

…”Therefore, to be concerned with political institution was (and is) to be concerned with law”[75].

Pendekatan Kelembagaan memang mendasarkan pendekatannya terutama kepada lembaga-lembaga pemerintahan yang dipikirkan menentukan kehidupan politik sebuah Negara. Evolusi fungsi lembaga-lembaga tersebut, dirunut kebelakang oleh Apter[76] dan bahkan kemudian dengan sangat mengagungkan western karakter dari Demokrasi, juga mengklaim prinsipnya sebagai universal. Terutama dengan mengandalkannya pada differensiasi pemerintahan sipil, system perwakilan dan pengadilan, kekuasaan eksekutif dan pemerintahan lokal. Pendekatan Perbandingan Politik dengan menggunakan Kelembagaan berupaya melihat bagaimana semua lembaga ini bekerja, termasuk kemungkinan-kemungkinan perubahannya.

Neo Institutionalisme – Kelembagaan Baru: Apter memandang dan menggambarkan pendekatan Kelembagaan Baru sebagai sintesa atau perpaudan antara pendekatan kelembagaan lama dengan kepedulian terhadap Developmentalisme[77]. Hal ini sedikit berbeda dengan pendekatan Guy Peters yang menyimpulkan bahwa rasionalisasi kehadiran pendekatan kelembagaan Baru adalah penafsiran kembali atas disiplin Behavioralisme dan Pilihan-Pilihan Rasional[78]. Tetapi, bila mempertimbangkan kembali bahwa kritik terhadap behavioralisme terutama karena ketidakmampuannya dalam menjelaskan fenomena politik dan krisis besar pada masa itu (tahun 1960an) dan keinginan melahirkan ilmu politik yang dapat melayani orang miskin, tertindas dan terbelakang[79], maka bisa diduga sebenarnya argumentasi mereka bergerak sejajar. Selain itu, Apter juga membahas sekitar teori pilihan rasional[80] sebagai salah satu pijakan kuat dari apa yang disebutnya pendekatan kelembagaan baru. Dengan demikian, apabila Apter banyak memberi perhatian dan membahas soal komitmen ke dunia ketiga dan bahkan transisi demokrasi, maka Guy Peter membangun pendekatan teoretis terutama dengan mengkaji revolusi behavioralisme dan pilihan rasional serta juga kemudian kajian-kajian yang ditulis oleh James March dan Johan Olsen[81].

Mengikuti Apter, selanjutnya Sistem Politik kembali menelaah dengan mengkombinasikan apa yang disebut sebagai kepentingan Negara-negara tertinggal (Dunia Ketiga) dengan kepentingan-kepentingan di Eropa. Pendekatan ini, juga memperhatikan tingkah laku politik (political behaviour), termasuk tindakan dan prilaku memilih dan analisa perubahan partai politik serta implikasi ataupun signifikansi perubahan tersebut terhadap Negara (Lipset dan Rokkan)[82]; serta bahkan juga memasukkan masalah-masalah elite dan demokratisasi (Linz and Stephen). Kepedulian khusus terhadap Kesejahteraan Sosial dan Sosial Demokrasi sebagai alternatif dari Autoritarianisme, Paham ini beranjak dari apa yang oleh Paham kelembagaan lama disebut sebagai “Great Depression” dipahami kemudian lebih jauh menjadi generalisasi dari Negara Kesejahteraan Sosial, dengan ujung tombak Sosial Demokrat dan Partai Buruh sebagai contoh di Inggeris. Dimana-mana di Eropa, campur tangan Negara dalam kehidupan politik menjadi meningkat atas nama perhatian terhadap masyarakat yang kurang beruntung.

Neo Institutionalisme menjadi dekat dengan Developmentalisme justru ketika berbicara masalah Transisi Demokrasi. Meskipun keduanya menggunakan strategi yang berbeda untuk menganalisis masalah tersebut, terutama juga berdasarkan pengamatan dan analisis empiris yang berbeda. Study-study yang dikategorikan oleh Apter sebagai “post Weberian”[83] dilakukan oleh Reinhard Bendix, Barrington Moore, Skockpol dan bahkan hingga ke Guilermo O’Donnel, Schimtter dan Whitehead dengan melakukan komparasi histories atas perkembangan dan kasus-kasus di Perancis dan Inggeris, India dan jepang, Rusia dan China yang terutama menggunakan pendekatan kelas dan kasus Amerika Latin dalam kaitan hubungan Birokrasi dan Negara. Semua menggambarkan bagaimana bentuk Negara dan pembentukan Negara dikaitkan dengan Demokrasi dan Autoritarianism.

Posisi penting lainnya dari pendekatan ini adalah penggunaan teori pilihan rasional, yang menjadi semakin penting dan semakin sering digunakan dan diaplikasikan dalam menjawab pertanyaan tentang apa yang dalam demokrasi disebut sebagai “double market”, yakni ruang diantara pasar ekonomi dengan politik, sebagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Downs dan Olson dan variannya ditemukan antara lain hingga ke Hetcher, Bates dan Przeworski. Yang terakhir ini berargumentasi bahwa, kemampuan regime dalam bertahan secara demokratis, antaranya melalui apa yang disebutnya “Insentive” yang memungkinkan kelompok politik ataupun regime berkuasa masih dapat terus berkompetisi secara demokratis. Dengan menyelesaikan persaolan-persoalan kesejahteraan social dan dengannya mereduksi inequality, maka lembaga pemerintahan dapat kembali berada pada pusat tetapi juga sekaligus menjawab persaoalan-persoalan kesejahteraan.

Menurut Apter, pendekatan Kelembagaan Baru ini tidak seketat pendekatan Kelembagaan Lama dalam memandang Konstitusi, dan lebih menekankan factor-faktor social-ekonomi dan analisisnya serta kebijakan moneter dan globalisasi. Tetapi, seperti juga Pendekatan kelembagaan Lama, Pendekatan kelembagaan Baru juga peduli dengan Negara dalam fungsi intrumentalnya, dengan kecenderungan dan kebutuhannya dan bagaimana konfigurasi kekuasaan serta bagaimana cara Negara memperlakukan Civil Society. Dengan ringkas kata, Pendekatan kelembagaan Baru lebih terkait dengan Teori Sosial dan Politik sementara Kelembagaan Lama lebih terkait dengan Filsafat politik, juga Kelembagaan Baru dekat dengan Ekonomi-Politik.

IV. Demokrasi – Demiliterisasi – Pembangunan Politik di Indonesia dan Chili
Secara umum, route atau perjalanan menuju demokrasi antara Chili dan Indonesia nyaris mirip. Chili[84], mengalami proses panjang berdemokrasi sebelum kudeta militer yang dipimpin Jendral Pinochet memimpin kudeta militer dan mengungkung Negara tersebut dalam periode panjang otoriterism. Padahal, sebelumnya Chili sudah mengalami proses bernegara yang demokratis[85], hanya saja gagal menangani depresi ekonomi pada tahun 1970-an yang memuncak pada konflik politik dan mengakhiri kekuasaan regime socialist Allende melalui Kudeta Militer[86]. Menurut Javier Causo, proses demokrasi Chili terinterupsi, karena konstitusi yang mendukung demokrasi juga mengalami interupsi[87] selama 17 tahun sampai kemudian Jendral Pinochet mengalami kekalahan dalam Plebisit Oktober 1988 dalam upayanya mencari dukungan untuk terus berkuasa sampai tahun 1997. Pinochet membangun kekuasaannya dengan kekuatan militer pada tahun 1974-1979 yang kemudian diteguhkan dengan Pelibist pertama pada tahun 1980 yang menguatkan peran otoriterisme Pinochet dan kuatnya pengaruh militer dalam struktur politiknya[88]. Tetapi, tekanan internasional dan dugaan bahwa perbaikan ekonomi akan memenangkan pilihannya, justru membuat Pinochet, terlalu yakin dan gagal melegitimasi kekuasaannya pada tahun 1988[89]. Plebisit kedua gagal yang segera dilanjutkan dengan pemilihan Presiden baru pada tahun 1990 dan menghasilkan Patricio Alwyn dari Partai Kristen Demokrat sebagai Presiden dan proses redemokratisasi kembali berjalan di Chili meski kekuatan dan pengaruh militer masih tetap kuat[90].
Indonesia[91] juga mengalami proses berdemokrasi sebelum tahun 1967, terutama pada proses Demokrasi Liberal berlangsung di Indonesia tahun 1950-1959. Tetapi, memasuki masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno pada tahun 1959-1967 dan kemudian masa Orde Baru 1967-1998, Demokrasi di Indonesia mengalami periode suram. Terutama dibawah pemerintahan Soeharto, kondisi Indonesia nyaris mirip Chili. Penjelasan O’Donnel dan juga Hikam mengenai Negara Birokrasi Otoriter (Negara BA menurut O’Donnel)[92], benar-benar memenuhi kriteria Indonesia dan sangat memadai menjelaskan watak regime orde baru yang sangat militeristik. Harus juga diingat, bahwa dalam kasus Amerika Latin, O’Donnel mencatat bahwa Chili adalah prototype sempurna dalam kasus Latin yang memenuhi penjelasannya soal transisi dari Negara BA atau Birokratik Otoriter ke Demokrasi[93]. Kekuasaan otoriter Soeharto baru berakhir setelah 32 tahun mencengkeram Indonesia pada tahun 1998, diawali oleh krisis ekonomi yang luar biasa parahnya[94]. Akibatnya, gelombang protes yang digalang kekuatan pro-demokrasi bersama dengan mahasiswa memaksa Soeharto mengundurkan diri dan Pemilu pertama yang demokratis dilaksanakan pada tahun 1999, untuk kemudian memulai kembali proses demokratisasi di Indonesia.

1. Demokrasi Indonesia dan Chili

Bila indikator ataupun parameter yang ditetapkan dalam kajian terdahulu soal Demokrasi yang diterapkan dalam menganalisis demokrasi di Indonesia dan Chili, maka secara umum Indonesia dan Chili masih belum jauh berbeda. Pemilihan Umum yang regular sudah berlangsung dengan baik di kedua Negara, baik Chili maupun Indonesia dengan tingkat kompetisi yang semakin berkualitas. Chili, terutama sejak kemenangan koalisi partai yang didukung oleh Gereja Katolik dan menghasilkan 55% suara, kemudian sudah beberapa kali melakukan pemilihan presiden secara regular dan teratur, sementara Indonesia sudah melakukan Pemilihan Umum regular yang demokratis pada tahun 1999 dan tahun 2004. Bahkan, untuk pertama kalinya dilakukan Pemilihan Presiden secara langsung pada tahun 2004 sebagaimana Chili melakukannya setelah tahun 1988. Dengan demikian, baik Chili maupun Indonesia memenuhi standar atau criteria pertama dari demokrasi liberal, dalam hal terjadinya kompetisi yang fair dan adil melalui Pemilihan Umum.

Parameter kedua, adalah adanya pertanggungjawaban pemerintah dalam hal ini kebijakan-kebijakannya berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya dari rakyat kepada masyarakat. Di Chili, setelah pemilihan Presiden tahun 1989, kemudian disusul dengan pemilihan Anggota Kongres yang pada gilirannya meneguhkan kepemimpinan sipil atau pemerintahan sipil disana. Sementara di Indonesia, relatif setelah Pemilu 1999 dan kemudian 2004, pemerintahan memang sudah sebagaimana yang dialami Chili, yakni Pemerintahan sipil, meskipun bukannya tanpa masalah. Persoalan-persoalan demokrasi di Chili dan Indonesia nampaknya tidak banyak berkutat dengan masalah pertanggungjawaban pemerintah atas kekuasaan yang diberikan kepadanya. Kemungkinan besar, karena semakin berperannya Kongres di Chili dan Perwakilan (MPR dan DPR) di Indonesia, sehingga proses control melalui mekanisme perwakilan relative secara kelembagaan eksist.

Parameter ketiga mengenai kontrol masyarakat dalam ekspresi memilih kembali atau memilih yang lain melalui Pemilu, relatif sudah terpenuhi dengan mekanisme pada parameter pertama dan kedua. Sementara parameter keempat, dalam bentuk kebebasan berkumpul, berserikat serta berekspresi dan pers bebas, juga relatif berada dalam kondisi yang serupa. Masalah-masalah demokrasi yang utama dibahas dan masih dipersoalkan di Chili dan Indonesia memang bukan lagi masalah ini. Hal ini nantinya akan semakin jelas dalam persoalan pembangunan politik atau konsolidasi demokrasi.

Bila demikian, sebenarnya, baik Chili dan Indonesia sudah memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai Negara Demokrasi. Dengan berlangsungnya pemilu secara regular, berfungsinya alat perwakilan rakyat (Kongres di Chili dan MPR/DPR RI di Indonesia), terjaminnya kebebasan berorganisasi dengan dipulihkannya kekuatan dan eksistensi Partai Politik di Chili dan berlakunya kembali system multi partai di Indonesia, dan jaminan atas HAM serta kebebasan pers di kedua negara. Tetapi, apa persoaan Demokrasi dan Demokratisasi dewasa ini di Chili dan Indonesia? Atau lebih tepatnya, bagaimana kondisi relatif demokratis di Chili dan Indonesia tercipta dewasa ini? Hal ini nampaknya yang perlu dijelaskan dalam perspektif teoretis yang menjadi pendekatan kajian ini:

Harus ditegaskan, bahwa baik Chili maupun Indonesia bukannya tidak menghadapi persoalan dalam masa peralihan atau transisi, baik di Chili sejak tahun 1973, maupun di Indonesia sejak tahun 1998. Penjelasan soal transisi ini, juga nanti akan menyinggung dan berkaitan dengan tema dan topik Demiliterisasi dan Pembangunan Politik, dan karenanya beberapa hal akan lebih diperjelas dalam tajuk tersebut. Persoalan-persoalan yang dihadapi Chili pasca tahun 1973 dan proses transisi menuju demokrasi Dijelaskan dengan baik oleh Ferguson[95] dan Portales[96]. Chili berkutat dengan persoalan control penggunaan dana kampanye yang sangat minimal, juga krisis ekonomi pada awal 1980-an, pemilihan senator-senator, Presiden tidak punya kekuatan untuk mengganti Panglima Militer, Kekuatan militer yang masih sangat signifikan berdasarkan Plebisit 1980 yang belum mampu direform, serta masih diawasinya kepemimpinan sipil oleh militer, selain juga Pinochet menjadi Senator seumur hidup dan masih memegang jabatan Pimpinan Tertinggi militer dan sangat berpengaruh. Sementara di Indonesia, persoalan pengaruh militer dalam bidang politik, juga tetap menjadi persoalan dalam transisi, sementara juga krisis ekonomi masih tetap membayang dan implikasi lain seperti masalah korupsi dan masalah otonomi daerah terkait ancaman disintegrasi serta toleransi horisontal atau solidaritas horizontal.

Dalam perspektif Study Transisi Demokrasi, maka depresi ekonomi pada tahun-tahun 1987-1988 bersamaan dengan tekanan Internasional di Chili, telah merangsang pergerakan kembali kelompok oposisi. Keuntungan besar bagi gerakan ini adalah dukungan Gereja Katolik yang memainkan peranan sangat signifikan, sebagaimana digambarkan oleh Monicca Jimenez de Baros[97]. Kelompok Oposisi Partai dan terutama Gereja Katoliklah yang menjadi penentu utama dalam perspektif Teori Elite Pluralist, yang kemudian didukung oleh gerakan-gerakan civil society, dalam hal ini aktivis NGO, yang berhasil membendung Plebist II tahun 1988 yang akan melegitimasi regime militer-politik meminjam bahasa O’Donnel di Chili. Strategi penggalangan kampanye yang digambarkan Monicca, menggambarkan betapa penetrasi gerakan civil society ini mampu menembus semua kalangan dan kebetulan pada saat yang sama media juga terlibat dalam proses perlawanan terhadap upaya plebisit kedua tersebut. Sementara di Indonesia, upaya memecah kebuntuan melawan regime orde baru, juga sama dengan Chili, menemukan momentumnya pada saat krisis ekonomi. Akumulasi gerakan civil society[98] yang kemudian pada tahun 1998 dipelopori oleh elite anomaly-mahasiswa, ternyata mampu menembus tembok kekuatan regime Soeharto.

Proses transisi di Chili dan Indonesia, nampaknya bila mengikuti logika pemerintahan interim Shain dan Linz sebagaimana digambarkan dalam bagian terdahulu, mengambil bentuk paduan antara Gerakan Oposisi dan Regime terdahulu. Ini, menurut Shain and Linz sebagaimana sudah dijelaskan terdahulu, merupakan salah satu jalan yang bisa menjamin proses transisi. Di Chili, regime Pinochet, tidak langsung diberantas habis, malah Pinochet masih menjadi Senator seumur hidup dan kekuatan militer masih sangat signifikan. Demikian juga di Indonesia, peran mesin politik Orde Baru dalam hal ini GOLKAR dan Militer masih sangat signifikan, karena itu proses paduan kedua kekuatan ini menjadi pilihan pada masa transisi. Tetapi, pada saat yang sama terjadi peningkatan peran yangs angat signifikan pada tataran elite dan sub elite mengikuti pemikiran Etzioni, dalam hal ini peningkatan peran pimpinan puncak dan menengah baik media, akademisi, maupun partai politik.

2. Demiliterisasi di Chili dan Indonesia

Sebagaimana diungkapkan di atas, persoalan militer adalah agenda utama demokratisasi baik di Chili maupun di Indonesia. Tulisan-tulisan yang dikutip mengenai Chili dan Indonesia, baik Ferguson, Hudson ataupun Skidmore dan Potales tentang Chili serta Kusnanto Anggoro, Anak Agung, Emmerson dan Douglas Ramage, memperlihatkan bagaimana upaya menempatkan militer pada porsi yang sebenarnya. Atau, mengikuti logika Isima: mereduksi peran militer dalam ranah politik.

Tetapi, haruslah diakui bahwa memang pekerjaan tersebut bukan pekerjaan mudah. Proses militerisasi berjalan dengan cara agak berbeda di beberapa Negara, sehingga mereduksi peran militer menjadi minimal juga dibutuhkan cara dan pendekatan yang akan berbeda. Andre Gunder Frank, seorang pengikut mazhab ketergantungan (mazhab dependency), misalnya menjelaskan persoalan intervensi militer atau militerisasi sebagai kegagalan demokrasi dan bentuk lain Negara borjuis dalam menyelaraskan tuntutan kebutuhan modal dunia dengan mengendalikan konflik local, titik ini akan dipergunakan sebagai kesempatan militer untuk mengambil alih dan memperbesar kekuasaannya[99]. Tetapi, O’Donnel menggunakan logika Negara Birokratik otoriter dalam menjelaskan kasus Amerika Latin[100]. Baginya regime militer semacam ini, muncul pada saat tertentu dalam suasana ketergantungan akibat pengeroposan industri substitusi impor sebagai sarana perluasan ekonomi domestic. Hasilnya adalah krisis ekonomi yang parah dan meningkatykan mobilisasi rakyat, mobilisasi ini dianggap bahaya dan dalam doktrin “keamanan nasional”, maka perwira militer akan melakukan campur tangan. Tetapi, di Indonesia, penjelasannya bisa sangat berbeda. Ramage Douglas[101] misalnya menegaskan bahwa militer Indonesia memahami dirinya sebagai bagian dari rakyat dan ikut bersama memperjuangkan Negara, dan ini melahirkan politik jalan tengah Nasution pada tahun 1950-an. Meskipun demikian, penjelasan teoritisnya, bisa saja kemudian mengikuti logika O’Donnel maupun Frank, terutama pada tahun 1967 dan seterusnya yang menandai regime orde baru yang sangat otoriter dan didukung sepenuhnya oleh militer.

Sebagaimana Chili dengan pinochetnya, demikian juga Indonesia dengan Soehartonya, merupakan top elite dari Chili dan Indonesia. Melalui Plebisit 1980, Pinochet memegang kekuasaan tidak terbatas di Chili dengan dukungan militer, sehingga Manuel Garriton[102] menyebut regim ini adalah regime “militer-politik”. Sementara di Indonesia, Soeharto membangun kekuatan dirinya berbasiskan militer dan birokrasi, mirip Chili, dan meneguhkan doktrin dwi-fungsi ABRI tahun 1960-an sebagai salah satu entry-point militer mengintervensi secara luas dunia politik Indonesia.

Dalam perspektif Transisi Demokrasi, inilah tantangan terberat dari demokratisasi di Chili dan Indonesia, yakni bagaimana mengembalikan militer pada fungsi profesionalnya, atau kasarnya bagaimana mengembalikan militer ke barak. Persoalan ini menjadi lebih rumit, karena campur tangan dan kewenangan militer dalam ranah public Chili dan Indonesia, dalam perspektif institusionalisme justru terlembagakan, baik dari segi doktrin maupun dukungan konstitusi dan keterlibatan personal militer di lembaga perwakilan rakyat, dan ini terjadi di kedua Negara. Indonesia pernah memiliki Kopkamtib dengan kewenangan yang luar biasa represifnya, demikian juga Chili pernah militer dan kelembagaannya memiliki otonomi, dimana Panglimanya bahkan setelah Pinochet dikalahkan, tetap tidak bisa diganti oleh Presiden.

Meskipun demikian, tuntutan melakukan pembaharuan di Indonesia dengan menggugat Dwi Fungsi Militer sebagaimana digambarkan Anak Agung dalam bagian terdahulu, haruslah diletakkan dalam konteks keinginan perubahan secara institusional. Demikian juga dengan UU Pertahanan yang baru, dengan mereduksi bisnis militer meski masih tersisa jejak “terotorialisme” militer, tetapi merupakan sebuah langkah maju. Percakapan soal Defence White Paper 2003, adalah upaya untuk melakukan demiliterisasi secara gradual[103], sementara UU pertahanan merupakan proses pelembagaan dalam perspektif kelembagaan. Perubahan yang drastic dalam bentuk mengembalikan militer ke Barak, mungkin memang masih akan butuh waktu lagi, tetapi proses menuju kesana dilakukan, bahkan oleh banyak kalangan. Dalam perspektif elite, tuntutan ini dilakukan terutama oleh kalangan elite kelas menengah dari kelompok NGO’s dan juga mahasiswa serta akademisi, sementara di tingkat Legislatif, upaya tersebut masih diperjuangkan terus.

Demiliterisasi di Chili, masih merupakan persoalan besar. Mengapa? Karena rembesan dan legitimasi kelembagaan bagi intervensi militer malah jauh lebih parah disbanding Indonesia. Portales menggambarkannya dengan baik[104] dan karenanya beranggapan perjuangan utama demiliterisasi di Chili harus dengan melakukan perubahan dan reduksi judicial dan konstitusional yang melegitimasi pelembagaan campur tangan militer dalam ranah public Chili. Karena itu, Portales menegaskan:

…”Reforming the judicial structure of the country, including the military court system, and in the process fostering democratic development, appeared as an attainable goal for the new government[105]

Konstitusi 1980-an lah yang memberi legitimasi besar kepada Pinochet dan Militer untuk mengintervensi politik, bahkan juga system peradilan militer Chili. Karena itu, proses peradilan terhadap para petinggi militer Chili selalu gagal, selain juga pimpinan militer tidak tersentuh oleh Presiden. Presiden Alwyn dan juga Frei, terhitung tidak berdaya berhadapan dengan impunity Pinochet dan militer Chili, meski perjuangan untuk melakukan demiliterisasi terus menerus dilakukan.

Nampaknya, proses demiliterisasi di Indonesia relatif berjalan lebih mulus dibandingkan dengan Chili, padahal top elite orde baru Indonesia masih hidup dan masih cukup berpengaruh. Meskipun awalnya resistensi militer termasuk kuat dalam menyikapi demiliterisasi di Indonesia, tetapi proses demi proses, tahap demi tahap, seperti menghilangkan representasi tidak dipilih militer di DPR RI dan MPR RI sudah terbilang sukses, juga mekanisme kekaryaan militer aktif sudah dibatalkan, termasuk pelembagaan baru militer melalui UU Pertahanan No 12 tahun 2004. Dipandang dari sudut transisi demokrasi, fenomena ini, terutama dengan dukungan kuat komitmen demokrasi dari civil society, legislator dan pemerintah sipil, merupakan sebuah prestasi dan peningkatan kualitas demokrasi yang signifikan, meski tetap menyisakan agenda lainnya. Chili nampaknya bergerak jauh lebih lamban dalam proses demiliterisasi, meski transisinya berjalan sejak tahun 1990-an. Ferguson mencatat:

…”However, we should note that the current stability in part has been achieved by a certain convergence between the main parties, a relatively strong economy, and the ability to avoid a head-on conflict over the Allende and Pinochet legacies (Reuss 2001). Certain features of the democracy remain unusual … the implicit recognition that the army does have a special political role in the nation, in part through the National Security Counsel - the Cosena, the fact that the President cannot directly dismiss military commanders as well as retaining a certain degree of immunity, even if this is not invoked[106].
Memang, pergerakan dan arah menuju demiliterisasi sudah dan sedang dilakukan, tetapi progress kearah itu terasa lamban, sebagaimana Ferguson juga menunjukkan kutipannya atas upaya tersebut melalui Bearman (2001), bahwa:
…”Efforts have been made to reform these areas through 2000-2001, with moves to constitutionally remove unelected senators and to ensure presidential/civil control of the military. But progress has been slow”[107].
Sementara di Indonesia sendiri, meski pengaruh militer juga relatif kuat, tetapi secara kelembagaan militer berada di bawah Presiden, berbeda dengan di Chili yang masih sedang mengupayakannya.
3. Pembangunan Politik
Pembangunan Politik, sebagaimana telah didefisinikan di depan, merupakan proses pelembagaan atau institusionalisasi organisasi-organisasi politik lengkap dengan tata kerjanya, dan dengan memperhatikan pula factor-faktor pendorong yang disebut energi perubahan yang bersumber dari ekonomi, politik dan social dan menampakkan pertumbuhan dan perkembangan lembaga terkait. Konsep ini, sebagaimana diungkap pada bagian awal, nampaknya percaya dengan tahapan perkembangan atau progress yang sejalan dengan ide modernisasi, yakni adanya pertumbuhan positif dari yang lebih terbelakang ke tahapan yang lebih maju dan modern.

Pembangunan Politik di Chili dan Indonesia, tentu haruslah disebut dalam sisi progress yang positif. Meskipun beberapa ahli semisal Hikam menyebut bahwa proses yang terjadi sebenarnya adalah redemokratisasi[108], dengan asumsi yang dibangun di atas pemahaman O’Donnel dan tentu karena Indonesia dan Chili pernah mengalami masa demokrasi liberal, tetapi dalam konteks Institusionalisasi, terjadi sejumlah perubahan signifikan baik peran maupun proses ekspresi banyak lembaga politik di Chili dan Indonesia. Di Chili, krisis ekonomi dan ancaman kelanjutan regime Pinochet apabila menang dalam Plebisit II tahun 1980, memaksa banyak lembaga civil society untuk bekerja keras[109]

Makalah ini memandang dan menggunakan terminology Pembangunan Politik dengan banyak mendasarkannya pada pemahaman Huntinthon, yakni proses pelembagaan atau institusionalisasi dari organisasi-organisasi politik beserta dengan tata kerjanya dengan juga memberi perhatian pada konsep Eckstein dan Dorsey soal energi perubahan pada Politik, Sosial, Ekonomi (Dorsey) dan konsep pertumbuhan dalam politik (Ekckstein). Suatu hal yang perlu dicatat Eckstein nampaknya secara implisit memandang bahwa pertumbuhan yang dimaksudkannya dalam Pembangunan Politik agak dekat dengan konsep modernisasi, terutama ketika dia membahas Pembangunan Politik dan mendasarkan konsep pembangunannya pada soal modernitas dan konsep Durkheim tentang pembangunan Implikasinya, ketika diterapkan dalam konteks dunia ketiga adalah bagaimana proses pembangunan politik berusaha memandang dan meninjau proses di pemerintahan berkembang dengan mengacu ke pemerintahan yang lebih maju. Demikian juga Partai Politik, yang pada akhirnya berkoalisi untuk memenangkan mosi menentang Plebisit, sebanyak 13 partai berkoalisi dan didukung oleh Gereja Katolik.

Pada sisi lain, secara kelembagaan, terjadi reduksi peran kelembagaan regime Pinochet akibat kegagalannya dalam mengatasi krisis ekonomi dan menjawab tantangan dan kritik serta tekanan Internasional. Upaya Plebisit, sebenarnya adalah upaya Pinochet untuk menggali kembali legitimasi kekuasaannya dan melanjutkan penguasaannya secara otoriter atas Chili. Tetapi, kondisi social, politik dan ekonomi, tidak lagi menguntungkannya dan berakibat kekalahan baginya. Pergeseran yang kontradiktif terjadi. Pada masa keemasan Pinochet, kelompok Oposisi relatif kehilangan arah perjuangan, demikian juga kelompok civil society. Tetapi, arus perubahan disertai degradasi legitimasi Pinochet dan regime otoriter-birokrasinya, menghembuskan angina perubahan dan mengkonsolidasi kelompok oposisi, civil society dan gereja untuk membaharui fungsi dan eksistensinya. Kelompok-kelompok ini jugalah yang kemudian menjadi tokoh-tokoh utama dalam konteks elite teori yang mempengaruhi proses pelembagaan politik pasca jatuhnya regime Pinochet. Pelaksanaan Pemilihan Umum di Chili hingga saat ini, menunjukkan semakin stabilnya peran masing-masing lembaga politik tersebut, baik Pemerintahan Sipil dan peran signifikan Pers, Partai Politik baik sayap kanan maupun kiri, hingga ke gerakan Civil Society.

Sementara di Indonesia, kondisi yang kurang lebih sama dengan akselerasi yang berbeda ditinjau dari segi waktu juga terjadi. Proses-proses pelembagaan peran dan dorongan perubahan yang dihasilkan oleh perubahan pada bidang ekonomi terutama karena krisis ekonomi, serta tuntutan politik kelompok pro demokrasi, membuat proses delegitimasi kekuasaan Orde Baru terjadi. Meskipun demikian, tidaklah berarti kelembagaan politik orde baru tumbang dan secara otomatis lembaga-lembaga politik alternatif kelompok perjuangan demokrasi berkibar. Jatuhnya regime orde baru, kemudian disusul dengan sejumlah perubahan yang cukup signifikan dalam konteks poilitik Indonesia. Seperti dihapuskannya militer dari perwakilan rakyat, pers bebas, serta aturandemonstrasi yang lebih longgar.

Pembangunan Politik di Chili dan Indonesia, memang mengalami peningkatan yang signifikan bila dikaitkan dengan ukuran modernisasi. Sejumlah lembaga yang berciri demokrasi, seperti Pemilihan Umum, perwakilan rakyat, pers bebas dan ruang yang jelas bagi kelompok civil society terlembagakan secara gradual. Semua pelembagaan ini merupakan indicator yang standar diterima dan diakui dalam tradisi demokrasi liberal, meskipun masih menyisakan agenda demiliterisasi di Chili dan Indonesia dengan skala lebih berat di Chili.

Dari perspektif elite pluralist, secara otomatis pengaruh dan peran elite maupun sub elite menjadi semakin berimbang dalam posisi dan perannya masing-masing. Proses kelembagaan yang baik, baik Kongres dan Senator di Chili maupun MPR dan DPR di Indonesia, memberi konsekwensi positif bagi pelembagaan peran elite dalam konteks politik kedua Negara.

E. Kesimpulan dan Penutup

Proses Transisi di Chili dan Indonesia, meski secara out line dan garis besar memiliki banyak kemiripan, tetapi juga sebenarnya memiliki beberapa perbedaan. Dalam kasus Chili, proses transisi ditandai dengan koalisi diantara Partai Politik Oposisi yang mampu kemudian merumuskan arah perjuangan baru dalam krisis ekonomi Chili, berkolaborasi dengan kekuatan civil society. Di Indonesia, peran partai politik relative kecil dan kurang signifikan, kecuali misalnya PDI Perjuangan, tetapi peran terbesar datang dari kelompok pro demokrasi yang lebih banyak berbasis NGO’s dan mahasiswa. Peran kecil dari Partai Politik di Indonesia, sebenarnya disebabkan oleh dikkoptasinya parpol tersebut selama masa orde baru, sehingga jejak-jejak multi partai yang kuat pada demokrasi liberal nyaris tidak ditemukan. Berbeda dengan Chili, yang mampu merekonsolidasi perjuangan parpol sehingga bersignifikansi positif dalam mengalahkan Pinochet dalam Plebisit tahun 1988 dan setahun kemudian menghasilkan Presiden baru.

Peran gereja Katolik, sebagaimana digambarkan Monicca dan juga Manuel Garreton, sangatlah signifikan, karena lembaga itu menjadi satu-satunya lembaga yang masih diterima oleh masyarakat Chili dalam kaitan dengan represi Pinochet. Sementara di Indonesia, peran agama-agama lebih ke sumber dan inspirasi moral bagi perjuangan melawan penindasan. Kooptasi regime orde baru, juga merambah lembaga keagamaan, karena itu sangat sulit mengharapkan peran taktis lembaga agama dalam mendorong gerakan oposisi terhadap orde baru. Meskipun demikian, lembaga agama mampu dengan cepat dan tanggap melakukan reposisi politik pasca jatuhnya Soeharto, dan berperan cukup positif dalam proses transisi. Mungkin konteks ini masih dapat dianalisis dan diperdebatkan lebih jauh.

Konsekwensi dari berbedanya sentral peran elite dalam transisi kedua Negara, di Chili partai politik mampu kemudian berperan tanggap dan sentral dalam proses pergantian pemerintah, sementara elite partai di Indonesia relatif “ambigu”, karena memang sebagian besar elite dibesarkan oleh orde baru. Yang menjadi sentral justru adalah elite anomaly-mahasiswa bersama dengan para pejuang demokrasi dan pers yang dengan setia terus mengawal proses reformasi.

Proses demiliterisasi, juga berjalan berbeda dan dengan akselerasi yang juga berbeda di Chili dan Indonesia. Hingga saat ini, militer Chili masih tetap otonom dan masih belum dibawah control sipil serta memiliki system pengadilan militernya. Masalah ini merupakan ganjalan bagi kualitas demokrasi dan pembangunan politik di Chili hingga saat ini. Sementara di Indonesia, doktrin keramat militer, dwifungsi sudah digugat dan mengalami revisi dari waktu ke waktu, bahkan perwakilan tidak dipilih militer dalam MPR RI dan DPR RI sudah dihapuskan dan Panglima Militer berada dibawah supremasi pemerintahan sipil.

Diatas semua perbedaan tersebut, haruslah diapresiasi bahwa kualitas pertumbuhan demokrasi di kedua Negara boleh disebut berjalan cukup signifikan dengan berlangsungnya Pemilu secara regular, menguatnya supremasi sipil, adanya pergantian elite penguasa secara regular melalui pemilu dan adanya kebebasan berorganisasi dan pers bebas. Memang, masih ada sejumlah agenda demokratisasi yang masih harus ditinggalkan, tetapi baik Chili maupun Indonesia sebenarnya sudah mulai memasuki tahapan konsolidasi demokrasi, dimana lembaga-lembaga demokrasi mulai dibudayakan dan dilembagakan.

















KEPUSTAKAAN



Afan Gaffar. (1999), Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Jogyakarta: Pustaka Pelajar.

Almond, Gabriel A and Sydney, Verba (1963). The Civic Culture. Boston: Little Brown

Anak Agung Banyu Perwita., Security Sector Reform in Indonesia: The Case of Indonesia’s Defence White Paper 2003, Journal of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004;

Apter, David E., Comparative Politics, Old and New., dalam Goodin, Robert E & Klingermann, Dieter (ed)., (1996), A New Handbook of Political Science, London: Oxford University Press

Ariel Heryanto&Sumit Kamal-ed-., (2004), Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Anatara Indonesia dan Malaysia, Jakarta: PT Gramedia

Broody, Reed "Pinochet's Arrest Challenges Impunity for Heads of State", LASA Forum, Winter 1999;

Chilton, Stephen., (1988), Defining Political Development, Denver: Lynne Rienner Publisher.

Dahl, Robert A, (1989)., Democracy and Its Critics, Connecticut, New Haven: Yale University Press.

Dahl, Robert., (1992) Demokrasi dan Para Pengritiknya – terjemahan, jilid II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Dahl, Robert., (1966), A Preface to Democratic Theory, Chicago: University of Chicago Press

David Potter., (2000)., Explaining Democratization, dalam David Potter, et all (ed)., (2000), Democratization, Cambridge: Unity Press

Deutsch, Karl W., Jorge I. Dominguez, and Hugh Heclo (1981) Comparative Government: Politics of Industrialized and Developing Nations, Boston, MA: Houghton

Dorsey, John T., Jr. (1963) "The Bureaucracy and Political Development in Viet Nam" in Joseph LaPalombara (ed), Bureaucracy and Political Development., Princeton: Princeton University Press

Dorfman, Ariel "Hostage", LASA Forum, Winter 1999:

Douglas E Ramage., (2002), Percaturan Politik di Indonesia: Demokratisasi, Islam dan Ideologi Toleransi, Jogyakarta: Mata Bangsa

DRAKE, Paul W. "The Presidential Election of 1999/2000 and Chile's Transition to Democracy", LASA Forum Online, Spring 2000

Dye, Thomas R & Ziegler, Harmon., (1998), The Irony of Democracy: An Uncommon Introduction to American Politics, Duxburry Press

Eckstein, Harry., (1982), The Idea of Political Development: From Dignity to Efficiency,” World Politics.

Emmerson, Donald., (2001)., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia

Etzioni-Halevy, E., (1993), The Elite Connection: Problems and Potential of Western Democracy, Cambridge: Polity Press

Farrar, Cynthia (1988). The Origins of Democracy Thinking, Cambridge: CUP

Ferguson, James R (2002). Latin America in International System, Queensland: Bond University. Lecture 9

Finley, MI (1985)., Democracy Ancient and Modern, London: Hogwart Press

Frank, Andre Gundar., (1981). Crisis in the Third World, London: Holmes and Meier

Guy Peters., (2000 – reprinted)., Institutional Theory in Political Theory: The New Institutionalism, London&New York: Continuum Press

Guy Lamb, ‘Reflections on Demilitarisation: A Southern African Perspective’, in International Peacekeeping, vol. 7, no. 3, Autumn 2000

Giovani Sartori., (1965), Democratic Theory, New York: Praeger

Guilermo O’Donnel, et all (ed)., Transisi menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin – terjemahan., Jakarta: LP3ES

Guilermo O’Donnel., Tensions in the Bureaucratic-Authoritarian State and the Question of Democracy, dalam David Collier (ed)., New Authoritarianism in Latin America, Princeton, University Press, 1980.

Guilermo, O’Donnel., (1978). Reflection on the Patterns of Change in the Bureuacratic-Authoritarian State”. Latin Amerika Research Review, vol 13.

Harold Lasswell & Daniel Lernenr (1952)., The Comparative Study of Elite.,Stanford=California: Stanford University Press

Harold Lasswell., (1951), The Political Writing of Harold Lasswell, New York: Free Press

Dahl, Robert., (1966), A Preface to Democratic Theory, Chicago: University of Chicago Press

Harold Laswell & Abraham Kaplan., (1950)., Power and Society, New Haven: Conn, Yale University Press

Hikam Muhammad., (1996), Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES;


Hudson, Rex A (1994). Chile: A Countrry Study, Washongton: Library of Congres

Huntingthon, Samuel P. (1991), The Third Wave: Democratization in the Late Twntieth Century, Norman and London: University of Oklahoma Press

Huntingthon, Samuel., (1965), Political Order in Changing Societies, New Haven: Yale University Press.

Javier A Causo., (1999), Jorge Arrate: Transitions to Democracy in Latin America – The Case of Chili, Center of American Latin Study, University of Berkeley

Jeffrie Isima., Demilitarization, Non State Actor and Public Security in Africa: A Preliminery Survey of the Literature, of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004.

Luckham, R. (1998), ‘The Military, Militarism and Democratisation in Africa: A Survey of Literature and Issues’, in Hutchful, E. and Bathily, A. (eds), The Military and Militarism in Africa, Dakar: CODESRIA.

Macridis, Roy C& Brown. Bernard E. (1999), Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan (Terjemahan), Jakarta: Penerbit Erlangga, hal 18-20

Monicca Jimenez de Baros., Mobilisasi Untuk Demokrasi di Chili: Kampanye Untuk Partisipasi Warga Negara dan Di Luar, Jakarta: LP3ES

Pater Bacrach., (1967), The Theory of Democratic Elitism, A Critique, Boston & Toronto

Portales, Nirbaldo., (2000), The Politics of Judicial Reform in the Democratic Transition: An Analysis of the Chilean Case, Ontario: McMaster University

Powel, Bingham P (1982). Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Harvard university Press

Sartori, Giovanni., (1987), The Theory of Democracy Revisited, Chatam (USA): Chatam Publisher

Schumpeter, Joseph A., (1962), Capitalism, Socialism and Democracy, 3rd edn, New York: Harper;

Shain Y, Linz, J (ed)., Between States: Interim Governments and Democratic Transition, Cambrigde: Cambridge University Press, 1995

Skidmore, Thomas E. & SMITH, Peter H. (2000), Modern Latin America, Oxford, OUP, 2000;

Uhlin, Anders (1997). Indonesia and the Third Wave Demoratization: The Indonesian Pro Democracy Movement in a Changing Wolrd, London: Curzon Press

Watson, Patrick & Barber, Benyamin (1990). The Struggle for Democracy. London: W.H. Allen.












[1] Huntingthon, Samuel P. (1991), The Third Wave: Democratization in the Late Twntieth Century, Norman and London: University of Oklahoma Press
[2] Afan Gaffar. (1999), Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Jogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 2
[3] Skidmore, Thomas E. & SMITH, Peter H. (2000) Modern Latin America, Oxford, OUP, 2000, p 135-136; Juga Hudson, Rex A (1994). Chile: A Countrry Study, Washongton: Library of Congres (Internet Access via http://lcweb2.loc.gov/frd/cs/cltoc.html;
[4] Memang terdapat kontroversi pada titik ini, terutama soal kategori apakah Chili sudah memulai transisi demokrasi setelah Pinochet memperoleh dukungan hanya 43% melawan 55% terhadap upayanya melegitimasi regime otoriternya. Karena toch, masih banyak persoalan mengganjal bahkan hingga tahun-tahun sesudahnya. Masalah ini misalnya dibahas oleh: BRODY, Reed "Pinochet's Arrest Challenges Impunity for Heads of State", LASA Forum, Winter 1999; DORFMAN, Ariel "Hostage", LASA Forum, Winter 1999: DRAKE, Paul W. "The Presidential Election of 1999/2000 and Chile's Transition to Democracy", LASA Forum Online, Spring 2000
[5] Uhlin, Anders (1997). Indonesia and the Third Wave Demoratization: The Indonesian Pro Democracy Movement in a Changing Wolrd, London: Curzon Press
[6] Ibid, p 3
[7] Ibid.
[8] Kualifikasi dan perumusan konsep transisi demokrasi dan pembangunan politik, nanti akan membuktikan kualitas transisi demokrasi dan pembangunan politik di Indonesia. Apakah mengikuti pemikiran Uhlin bahwa regime orde baru masih tetap immune atau justru terjadi perubahan yang cukup mendasar yang membawa Indonesia ke gerbang demokrasi yang lebih substansial. Masalah ini akan dijelaskan dalam uraian konsep transisi demokrasi dan analisis perbandingan Indonesia dan Chili dengan menggunakan pendekatan “Teori Transisi Demokrasi”.
[9] Macridis, Roy C& Brown. Bernard E. (1999), Perbandingan Politik: Catatan dan Bacaan (Terjemahan), Jakarta: Penerbit Erlangga, hal 18-20
[10] Almond, Gabriel A and Sydney, Verba (1963). The Civic Culture. Boston: Little Brown
[11] Tidak semua proses transisi demokrasi bisa terkonsolidasi, ada yang gagal dan ada pula yang mengalami pelambatan atau bahkan tertunda. Mengenai pembahasan topik ini, akan lebih jelas dalam pembahasan soal pendekatan teori transisi dalam menjelaskan proses demokratisasi.
[12] Affan Gaffar, Op cit hal 3
[13] Ibid
[14] Ferguson, James R (2002). Latin America in International System, Queensland: Bond University. Lecture 9
[15] Farrar, Cynthia (1988). The Origins of Democracy Thinking, Cambridge: CUP; Finley, MI (1985)., Democracy Ancient and Modern, London: Hogwart Press
[16] Watson, Patrick & Barber, Benyamin (1990). The Struggle for Democracy. London: W.H. Allen.
[17] Larry Diamond, Op cit hal 10
[18] Powel, Bingham P (1982). Contemporary Democracies: Participation, Stability and Violence, Cambridge: Harvard university Press. P 3
[19] Dahl, Robert A, (1989)., Democracy and Its Critics, Connecticut, New Haven: Yale University Press. P 233
[20] Berkaitan dengan tema ini, bacaan dan rujukan yang digunakan adalah: Anak Agung Banyu Perwita., Security Sector Reform in Indonesia: The Case of Indonesia’s Defence White Paper 2003, Journal of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004; Jeffrie Isima., Demilitarization, Non State Actor and Public Security in Africa: A Preliminery Survey of the Literature, of Security Sector Management, UK, Volume 2 Number 4, December 2004.
[21] Isima, op cit, hal 3
[22] Luckham, R. (1998), ‘The Military, Militarism and Democratisation in Africa: A Survey of Literature and Issues’, in Hutchful, E. and Bathily, A. (eds), The Military and Militarism in Africa, Dakar: CODESRIA. Hal 589
[23] Guy Lamb, ‘Reflections on Demilitarisation: A Southern African Perspective’, in International Peacekeeping, vol. 7, no. 3, Autumn 2000
[24] Eckstein, Harry., (1982), The Idea of Political Development: From Dignity to Efficiency,” World Politics. P 451-486; Juga dimuat dalam Macridis, Roy C & Brwon, Bernard E., op cit, hal 481-504.
[25] Chilton, Stephen., (1988), Defining Political Development, Denver: Lynne Rienner Publisher p5
[26] Eckstein, op cit, p 454
[27] Chilton, op cit hal 6
[28] Ibid, hal 9
[29] Huntingthon, Samuel., (1965), Political Order in Changing Societies, New Haven: Yale University Press, p 387
[30] Deutsch, Karl W., Jorge I. Dominguez, and Hugh Heclo (1981) Comparative Government: Politics of Industrialized and Developing Nations, Boston, MA: Houghton, p 102
[31] Dorsey, John T., Jr. (1963) "The Bureaucracy and Political Development in Viet Nam" in Joseph LaPalombara (ed), Bureaucracy and Political Development., Princeton: Princeton University Press, p 320
[32] Eckstein, Op cit hal 470
[33] Ibid, p 483
[34] David Potter., (2000)., Explaining Democratization, dalam David Potter, et all (ed)., (2000), Democratization, Cambridge: Unity Press, p 3
[35] Ibid, hal 6
[36] Ibid, hal 10
[37] Ibid, hal 11
[38] Ibid, hal 19
[39] Ibid, hal 10; Bacaan lain yang juga menjadi rujukan utama adalah Guilermo O’Donnel, et all (ed)., Transisi menuju Demokrasi: Kasus Emrika Latin – terjemahan., Jakarta: LP3ES
[40] Ibid, hal 14
[41] Ibid. Bagian ini terutama disarikan dari Potter dengan mengutip Rustow.
[42] Ibid, hal 15
[43] Study menarik soal ini dalam kasus Amerika Latin dapat juga ditemukan dalam Guilermo O’Donnel., Tensions in the Bureaucratic-Authoritarian State and the Question of Democracy, dalam David Collier (ed)., New Authoritarianism in Latin America, Princeton, University Press, 1980. Hal 286-302
[44] Potter, op cit, hal 15
[45] Shain Y, Linz, J (ed)., Between States: Interim Governments and Democratic Transition, Cambrigde: Cambridge University Press, 1995, hal 21
[46] Ibid, hal 28
[47] Potter, David, op cit, hal 17
[48] Ibid
[49] Ibid, hal 17-18
[50] Harold Lasswell & Daniel Lernenr (1952)., The Comparative Study of Elite.,Stanford=California: Stanford University Press, hal 7
[51] Dye, Thomas R & Ziegler, Harmon., (1998), The Irony of Democracy: An Uncommon Introduction to American Politics, Duxburry Press, p 1
[52] Harold Laswell & Abraham Kaplan., (1950)., Power and Society, New Haven: Conn, Yale University Press, hal 219
[53] Pemikiran ketiganya disarikan dari: Etzioni-Halevy, E., (1993), The Elite Connection: Problems and Potential of Western Democracy, Cambridge: Polity Press, hal 53-70, cf Varma, SP., (2003), Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali Press, hal 199-225
[54] Hetzioni, ibid hal 58
[55] Moran, op cit hal 203
[56] Ibid
[57] Ibid, hal 200
[58] Ibid, hal 202.
[59] Ibid, hal 210
[60] Schumpeter, Joseph A., (1962), Capitalism, Socialism and Democracy, 3rd edn, New York: Harper; Bandingkan juga Etzioni-Haleva, op cit hal 60
[61] Moran, op cit, hal 214; Karya-karya yang ditunjuk oleh Moran disini adalah – Harold Lasswell., (1951), The Political Writing of Harold Lasswell, New York: Free Press; Robert Dahl., (1966), A Preface to Democratic Theory, Chicago: University of Chicago Press; Giovani Sartori., (1965), Democratic Theory, New York: Praeger
[62] Bahasan Robert Dahl tentang Poliarkhi, juga sudah ditemukan dalam literature Bahasa Indonesia, yaitu terjemahan buku Robert Dahl: Robert Dahl., (1992) Demokrasi dan Para Pengritiknya – terjemahan, jilid II, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
[63] Dahl, op cit hal 150-151, dikutip juga oleh Moran, op cit hal 215
[64] Moran, ibid hal 216: Juga memperkuatnya dengan analisis Pater Bacrach., (1967), The Theory of Democratic Elitism, A Critique, Boston & Toronto.
[65] Dye, Thomas, op cit hal 11
[66] Sartori, Giovanni., (1987), The Theory of Democracy Revisited, Chatam (USA): Chatam Publisher, hal 147-148
[67] Dye, Thomas, op cit hal 12
[68] Etzioni-Haleva, op cit hal 94-96
[69] Ibid
[70] Ibid, hal 95
[71] Guy Pters., (2000 – reprinted)., Institutional Theory in Political Theory: The New Institutionalism, London&New York: Continuum Press
[72] Apter, David E., Comparative Politics, Old and New., dalam Goodin, Robert E & Klingermann, Hans-Dieter (ed)., (1996), A New Handbook of Political Science, London: Oxford University Press
[73] B Guy Peters, op cit hal 6

[74] Ibid, hal 2-3
[75] Ibid, hal 6
[76] Terutama dengan mengutip Bryce, yakni ketika ide tentang Sistem Politik mulai dikembangkan dengan Demokrasi sebagai hasil atau tujuan (teleologis)
[77] Apter, David, op cit hal 386
[78] Guy Peters, op cit hal 15
[79] Moran SP, op cit hal 46-47
[80] Apter David, Comparative Politics, op cit hal 388
[81] Guy Peters, Institutional Theory, op cit hal 15-22: Bangun teoritis ini sangat sistematik, tetapi untuk kebutuhan kajian makalah ini, kajian Peters atas karya ini tidak dikaji lebih jauh.
[82] Apter, op cit hal 386
[83] Ibid, hal 387
[84] Pembahasan soal Chili merujuk: Hudson, Rex A., Chili: A Country Study, op cit, juga Thomas Skidmore, Thomas E. & SMITH, Peter H. (2000) Modern Latin America, op cit dan Ferguson, James., Latin America in International System, op cit
[85] Hudson, op cit
[86] Javier A Causo., (1999), Jorge Arrate: Transitions to Democracy in Latin America – The Case of Chili, Center of American Latin Study, University of Berkeley
[87] Ibid
[88] Hudson, op cit
[89] Kerjasama 14 partai dan terutama dukungan Gereja Katolik menghasilkan dukungan 55% menolak kelanjutan regime militer Pinochet berbanding 43% yang mendukung Pinochet. Ferguson, op cit, juga Hudson, op cit dan Skidmore, op cit.
[90] Ferguson, op cit hal 11
[91] Pembahasan mengenai Indonesia merujuk ke Gaffar, op cit; Uhlin Anders, op cit; Stanley (ed), Indonesia Di Tengah Transisi, op cit; Douglas E Ramage., (2002), Percaturan Politik di Indonesia: Demokratisasi, Islam dan Ideologi Toleransi, Jogyakarta: Mata Bangsa; Hikam Muhammad., (1996), Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES; Emmerson, Donald., (2001)., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: PT Gramedia;
[92] Guilermo O’Donnel., Berbagai ketegangan, op cit; Hikam, op cit
[93] Guilermo O’Donnel., Transisi Menuju Demokrasi: Kasus Amerika Latin, op cit hal 5
[94] Kegagalan regime ini serta gugatan atas otoriterisme Asia Tenggara termasuk Indonesia menarik untuk dirujuk juga ke Ariel Heryanto&Sumit Kamal-ed-., (2004), Menggugat Otoriterisme di Asia Tenggara: Perbandingan dan Pertautan Anatara Indonesia dan Malaysia, Jakarta: PT Gramedia
[95] Ferguson, op cit hal 11
[96] Portales, Nirbaldo., (2000), The Politics of Judicial Reform in the Democratic Transition: An Analysis of the Chilean Case, Ontario: McMaster University
[97] Monicca Jimenez de Baros., Mobilisasi Untuk Demokrasi di Chili: Kampanye Untuk Partisipasi Warga Negara dan Di Luar, dalam Diamon, Larry., Revolusi Demokrasi, hal 96-117
[98] Uhlin Anders, op cit; meskipun dia sedikit skeptis dengan menggambarkan terseraknya gerakan perlawanan di Indonesia dan membuatnya juga skeptis terhadap masa depan demokratisasi di Indonesia, tetapi terbukti dia gagal mengantisipasi akumulasi gerakan civil society setahun setelah bukunya diterbitkan.
[99] Frank, Andre Gundar., (1981). Crisis in the Third World, London: Holmes and Meier, hal 258-259
[100] O’Donnel, Guilermo., (1978). Reflection on the Patterns of Change in the Bureuacratic-Authoritarian State”. Latin Amerika Research Review, vol 13, hal 3-38, juga dalam O’Donnel, Berbagai Ketegangan, op cit.
[101] Ramage Douglas, op cit hal 221
[102] Manuel Garriton, Evaluasi Rezim Militer Chili dan persoalan Transisi., Dalam, O’Donnel, Transisi Menuju, op cit hal 144-185
[103] Anak Agung, op cit
[104] Portales, op cit hal 2-5
[105] Ibid, hal 3
[106] Ferguson, op cit hal 12
[107] Ibid
[108] Hikam, op cit hal 30-40
[109] Monica, op cit

(Edisi Revisi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Politik, Pasca Sarjana UI)

3 comments:

Anonymous said...

Nice post and this mail helped me alot in my college assignement. Thank you on your information.

Anonymous said...

Come us now to obtain more information and facts regarding to

[url=http://www.sportowa-rywalizacja.sport-dla-ciebie.pl]odzywki[/url]

Anonymous said...

Hi - I am certainly happy to discover this. cool job!