Tuesday, May 22, 2007

“KETIKA CLIFT DAN INU BICARA”

“KETIKA CLIFT DAN INU BICARA”

Oleh:
Audy WMR Wuisang*


Pengantar

Dua sosok berbeda menyita pehatian publik dan masyarakat Indonesia sepekan terakhir ini. Bahkan lebih. Clift Muntu, seorang praja atau mahasiswa IPDN (dulunya STPDN), yang digambarkan religius, aktif di Pemuda Gereja, dan memiliki rasa bhakti yang mengharukan bagi keluarganya. Seorang anak muda yang pintar dan sedang mengembangkan bakat dan talentanya, sekaligus membantu keluarganya yang hidup seadanya. Tetapi, yang justru dengan kematiannya menghadirkan hingar-bingar kondisi pendidikan di sebuah Lembaga pencetak “Camat” di Indonesia. Dalam kediamannya kini, dalam kebisuan abadinya, dia seperti sedang memberi tahu masyarakat Indonesia, betapa menyedihkannya kondisi pendidikan di IPDN. Bukan, bukan menyedihkan, tetapi betapa menyeramkannya suasana disana.

Dan, sosok yang lain, bernama Inu Kencana, figur pendidik kritis, sangat religius-Islami, sama sederhana kehidupan ekonominya dengan Clift, berani mengungkap fakta meski resiko buruk membayangi langkah dan karirnya. Seorang pengajar berdedikasi, yang celakanya tidak disukai para “penggemar” kekerasan di IPDN Dan bahkan disiriki mereka yang suka “membiarkan” kekerasan terjadi karena menikmati keuntungan dari kondisi itu. Dan, pria sederhana tetapi berapi-api dalam bicara mengungkap kebenaran ini, memerankan aksi aktif dalam menyentakkan memori masyarakat. Bahwa, di IPDN, seorang anak muda pintar bernama Clift Muntu, bukanlah korban pertama. Seramnya, dia ternyata korban kesekian, ke 35?, dan ini dilakukan dan terjadi “atas nama” pembinaan senior terhadap yuniornya.

Mereka berdua, Clift Muntu dan Inu Kencana, berperan dengan cara yang berbeda. Gaya yang berbeda, tetapi dengan pesan yang teramat menyengat dan menyentak perasaan masyarakat Indonesia. Clift berbicara dengan kematian dan kebisuannya, menghadirkan haru dan perasaan “tidak bisa terima” atas ketidakadilan sistematis di Kampusnya. Dan Clift, ternyata tidaklah sendirian. Sebelumnya, puluhan Praja lainnya sudah mengalaminya. Atau bahkan ratusan. Meski yang sampai menutup mata mungkin bukan ratusan. Tetapi, efek kekerasan yang tersistematisasi di lembaga pendidikan itu, bukan hanya mengancam siswa di IPDN. Tetapi, bukan tidak mungkin oleh jutaan masyarakat Indonesia yang bakal atau bahkan sedang “diatur” oleh didikan IPDN yang berwatak gemar kekerasan. Setidaknya terdidik dengan kultur kekerasan yang sangat kental dan parah. Clift berbicara melalui kematiannya. Dan, Inu Kencana, menemukan kembali “ketika” yang tepat untuk menyadarkan Bangsa ini, bahwa ancaman, bukan hanya bagi siswa baru, tetapi bagi masyarakat Indonesia akibat anakhornisme yang terjadi di Kampus IPDN. Dan, korbannya sudah 35 orang. Seperti ucapan Inu “satu jiwa saja, sudah sangat penting, apalagi lebih dari 10”, masakan ini bukan sebuah persoalan yang sangat serius?

Mencari Solusi?

Dan, memang, hampir semua kalangan kini melek matanya. Mulai dari anak-anak TK di Bogor dan Banten, bahkan sejumlah LSM di Jakarta dan Solo, juga di Sulawesi Utara. Belum lagi protes dan demonstrasi yang tidak terdeteksi. Semua tersentak dengan fakta masih langgengnya budaya kekerasan disana. Tapi semua belum terhenti, bahkan belakangan muncul berita banyaknya Praja yang lari dari Jatinangor karena tidak tahan disiksa. Beberapa bahkan sempat masuk Rumah Sakit akibat dada retak dan muntah darah. Dan seorang lagi dikabarkan “hilang” sejak tahun 1993. Dan, kita masih belum tahu kasus-kasus lain yang tidak terdeteksi dan ditutupi secara rapih oleh pihak sekolah itu. Dan disinilah peran kritis dan menentukan dari seorang Inu. Bertindak mengungkap banyak cerita tak terungkap, tapi didatakannya dan membuat banyak “unknown stories” menjadi cerita yang diketahui. Layak, bila masyarakat Indonesia marah. Layak bila kita murka.

Mengapa? Karena ternyata Lembaga yang dibiayai baik oleh APBN maupun oleh Pemerintah Daerah se Indonesia ini, ternyata menyimpan sejarah menyeramkan. Sejarah yang bahkan masih berusaha ditutupi pihak sekolah dan menghadiahi Inu Kencana ancaman di non aktifkan, sok kritis dan insubordinasi. Tapi lihatlah kini, siapa yang dicercah masyarakat Indonesia? Bukan Inu Kencana, tetapi Rektor IPDN yang kini menuai kecaman, dinonaktifkan dan bahkan terancam di adukan ke pengadilan. Baik oleh kalangan Civil Society maupun oleh Pemerintah Daerah SULUT. Dan kemarahan, bukan cuma milik keluarga Clift, keluarga para korban pembunuhan lain di IPDN, tetapi kemarahan masyarakat Indonesia. Dan akibatnya, menyeruak pertanyaan: kemana para Praja pelaku penganiayaan dan pembunuhan yang lain? Apa benar dugaan, minimal saya, bahwa dewasa ini, ada banyak Pamong Praja Indonesia yang memiliki sejarah kelam membunuh orang lain di Kampusnya IPDN/STPDN? Dan bukankah lembaga itu, selama ini terkesan diam dan menutupi kasus itu seperti ungkapan pembelaan Rektor atas citra IPDN selama ini? Pertanyaan-pertanyaan yang wajar karena banyaknya kasus yang belakangan terungkap.

Pihak IPDN dan Departemen Dalam Negeri pasti tidak senang dengan pertanyaan pertanyaan terakhir di atas. Keprihatinan mereka sekarang adalah, bagaimana mencari solusi atas persoalan yang sedang dihadapi saat ini. Tetapi, bisa dipastikan, solusi yang dipikirkan masyarakat pasti berbeda dengan yang sedang dipikirkan oleh IPDN dan Departemen Dalam Negeri. Termasuk beda dengan keprihatinan para lulusan yang masih tetap defensif membela almamaternya. Karena bahkan persepsi soal jumlah korban saja, masih belum menggambarkan betapa IPDN/STPDN sudah merubah paradigmanya. Bukan permintaan maaf yang keluar dari mulut sang mantan Rektor, tetapi upaya bela diri dan bahkan kritik atas kerja Inu Kencana. Tidak ada sama sekali upaya self critic atau apalagi bela sungkawa bagi korban yang sudah lebih dari 10 terjadi disana. Dan, solusi yang juga ditawarkan, kita masih gelap. Meskipun, banyak, termasuk Menteri Pendidikan sudah menyebutkan, patron penerapan pendidikan di IPDN sendiri sudah menyalahi UU Pendidikan Nasional. Jika begini, solusi apa yang akan dilahirkan dengan tetap menabrak mekanisme dan system perundangan Indonesia? Apakah solusi tersebut hanya sekedar “mengurangi” atau bahkan “meniadakan” budaya kekerasan itu, atau juga terkait dengan dibukanya korban pembunuhan yang ternyata sangat banyak itu? Atau juga terkait dengan penyelarasan dengan UU Pendidikan Indonesia?

Usulan menunda penerimaan praja selama 1 tahun dari Presiden dan upaya menghilangkan budaya kekerasan, hanya satu langkah dari kompleksitas persoalan IPDN. Memperjelas kasus-kasus penganiayaan dan larinya sejumlah praja, mengungkap akar dari budaya dan lingkaran kekerasan di IPDN, membenahi managemen pendidikan IPDN serta bahkan yang juga penting adalah, menempatkan mekanisme pendidikan kedinasan semacam ini dalam kerangka UU Pendidikan Nasional. Spektrum persoalannya pada akhirnya menjadi semakin terang bagi banyak pihak, termasuk bagi masyarakat dan juga keluarga korban. Betapa setelah jatuh sejumlah korban, masih tetap beberapa kekisruhan tidak ingin disentuh, entah dengan alasan apa. Mengapa? Karena pembenahan komprehensif seharusnya berujung pada PEMBUBARAN IPDN. Dan kemudian menata kembali mekanisme dan system pendidikan sejenis yang di bawah kendali Departemen Pendidikan dan mungkin bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri.

Tetapi, sangat mungkin solusi yang dihadirkan ke permukaan hanya berupaya untuk menyelesaikan kasus dengan cara “lokalisasi” dan “partial” alias setengah-setengah. Bila begitu, maka Clift yang bicara dari kebisuan abadinya, dan Inu Kencana yang aktif dan bersemangat, nampaknya masih belum sampai pada ujung akhir penanganan persoalannya. Padahal sudah jelas, kematangan masyarakat Indonesia sangat terekspresikan secara tegas. Pembelaan murid-murid yang mengenakan symbol agama yang berbeda dengan Clift, salah satu indikasi kematangan masyarakat menyikapi masalah. Karena korban kekerasan dan penganiayaan, tidak mengenal kategorisasi semisal etnis atau agama, tetapi senior ke yunior. Dan siapapun bisa menjadi korban disana, dan masyarakat luas suatu saat akan menerima kenyataan diperintah atau diatur oleh Pamong Praja yang lahir dari lingkaran budaya kekerasan kampus yang kronis.

Arif – Kritis – Komprehensif

Seorang Clift telah berbicara melalui kematiannya, seorang Inu sudah berbicara meski terancam pemecatan dan di non aktifkan, bahkan masyarakat yang berbeda-bedapun sudah bicara dalam kepedulian yang sama. Sulit untuk menyatakan bahwa Clift bicara secara kritis, tetapi dia berbicara dalam kematiannya. Kehidupan dan akhirnya kematiannya adalah saksi dari apa yang diungkapkannya mengenai budaya kekerasan yang menyeramkan di IPDN. Kesaksiannya kemudian dengan lantang disambung oleh Inu kencana dalam kategori kritis. Sangat kritis. Dan sungguh sebuah angin segar dan mengingatkan kita akan sosok Umar Bakri ala Iwan Fals. Seorang pendidik yang kritis, sederhana dan nyaris tidak punya apa-apa, tetapi peduli dengan pendidikan anak didiknya. Layak Clift dan Inu Kencana menjadi insan atau figure Pendidikan Indonesia ditengah kekisruhan system dan mekanisme pendidikan Nasional di tahun 2007 ini. Karena keduanya berbicara dengan cara berbeda, tetapi memicu masyarakat Indonesia untuk meminta pembenahan komprehensif atas persoalan yang dihadapi. Baik di IPDN, tapi juga di lembaga pendidikan lainnya.

Jika baik Clift, Inu Kencana dan masyarakat telah bicara dengan caranya masing-masing, masakan pimpinan IPDN dan Pemerintah masih tetap berkeras? Masakan Departemen Dalam Negeri masih tetap berkeras tidak melakukan penyelarasan komprehensif? Masakan tidak dibuat terang semua kasus yang makan korban nyawa itu? Apa hanya nyawa Clift yang mahal? Kurang mahalkah nyawa para korban lain yang mendahului Clift? Ataukah memang masih harus menunggu korban lain lagi baru pada akhirnya ujung penanganan kasus seperti ini dituntaskan? Ach …. biarlah air mata buat Clift adalah yang terakhir di IPDN dan pendidikan di Indonesia, tetapi semoga yang lantang, kritis dan berani seperti Inu Kencana terus bertumbuh dan terus bertambah.



Catatan:
- Penulis adalah pengamat masalah Sosial Politik dan peneliti pada ICRES
- Artikel ini tidak sempat di publikasi

No comments: