Thursday, July 24, 2014

MENUNGGU AKHIR DRAMA DEMOKRASI MYANMAR

Oleh: Audy WMR Wuisang, STh, MSi


Pengantar

Gelombang demokratisasi masih terus bergaung. Meskipun Larry Diamond pernah menyebutkan ada semacam gelombang balik demokratisasi (dalam kasus Thailand misalnya), tetapi kasus terakhir Myanmar seperti akan menyanggahnya. Memang, akhir drama demokrasi Myanmar masih belum bisa ditebak. Tetapi, bahwa kepercayaan bahwa demokrasi merupakan bentuk pilihan yang lebih baik, masih tetap bergaung. Dan kali ini, kembali secara deras melanda Myanmar, setelah pada tahun 1988 hembusan itu dihentikan secara kasar oleh junta militer yang berkuasa sejak tahun 1962. Tetapi, akankah angin demokrasi tahun 2007 ini berakhir sama seperti tahun 1988, masih belum bisa dipastikan. Terlebih, karena pilar utama, yakni Bhiksu Budha Myanmar, sudah terlibat. Dan tinggal menunggu satu pilar lainnya, yakni MAHASISWA untuk bergabung melawan Militer Myanmar. Dalam sejarahnya, Myanmar memang mengenal 3 pilar utama ini: Bhiksu, Mahasiswa dan Militer, dimana Bhiksu dan Mahasiswa pernah bersatu melawan militer tahun 1988.

Masih hangat dalam ingatan, betapa militer Myanmar membungkam gerakan demokrasi tahun 1988, dengan membunuh ratusan demonstran, termasuk Bhiksu. Dan dilanjutkan dengan penjara tanpa proses peradilan atas ribuan aktivis pro demokrasi. Bahkan berlanjut hingga ke penahanan rumah atas ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang memenangkan Pemilihan Umum tahun 1990. Fakta tahun 1988 hingga tahun 1990 menunjukkan bahwa legitimasi moral atas junta militer sebetulnya sudah minimal. Tetapi, sayangnya, lawan gerakan demokrasi waktu itu, yakni junta militer masih mendominasi kekuatan represif (polisi dan militer). Dan terlebih, junta waktu itu juga masih sangat solid hingga sangat sulit dijatuhkan hanya dengan demonstrasi massal belaka.

Bila kemudian dua kekuatan itu, Bhiksu Budha dan Mahasiswa Myanmar bangkit kembali melawan militer pada tahun 2007 ini, maka sebetulnya gerakan tersebut benar tinggal menunggu waktu. Beban yang ditanggung oleh masyarakat Myanmar sudah semakin mencekik pasca dinaikkannya harga solar sampai berlipat ganda. Dan beban mencekik itu, pada akhirnya mengundang Bhiksu Budha Myanmar kembali turun kejalan dengan demonstrasi damai, pada tanggal 28 Agustus 2007. Dan secara gradual, perlahan tapi pasti, proses damai Bhiksu Budha ini mengundang simpati masyarakat hingga dalam beberapa hari hingga bulan September meledak menjadi ribuan, bahkan terakhir ratusan ribu peserta demonstrasi. Batas kesabaran sudah terlampaui, tapi akankah akhir drama demokrasi ini berakhir happy ending dalam bentuk sebuah transisi demokrasi bagi Myanmar?

Gelombang Ketiga Demokratisasi

Study Third Wave Democratization atau Gelombang Ketiga Demokratisasi pertama kali menjadi fenomenal pasca terbitnya thesis Samuel Huntingthon tahun 1991 berjudul Third Wave Democratization (Gelombang Ketiga Demokratisasi). Thesisnya sederhana, dalam kurun waktu yang sama, gelombang Negara-negara yang mengarah ke demokratisasi dari pemerintahan otoritarian terjadi. Dan menurutnya, awal Gelombang Ketiga Demokratisasi terjadi sejak tahun 1975 di Portugal, diikuti Spanyol (1976), Yunani (1977) dan Polandia (1979). Bahkan kemudian diikuti runtuhnya tembok Berlin, amburadulnya regime Komunis Uni Sovyet, dan terus berlanjut hingga ke Korea Selatan, Negara Amerika Latin, sejumlah Negara Afrika dan terakhir Indonesia pada tahun 1998. Puluhan Negara dalam kurun waktu sejak tahun 1975, mengalami transisi dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis.

Dalam konteks study transisional, ada sejumlah paths atau model sebuah Negara mengalami transisi demokrasi. Ada yang regimenya ditumbangkan melalui sebuah demonstrasi missal semisal Phillipina, ada yang melalui negosiasi antar faksi seperti Spanyol, dan ada yang setelah tekanan massa maka dilakukan negosiasi antar elite seperti Indonesia. Study mengenai paths sudah dilakukan oleh Schmiter dan juga Stepan Albert, dan mengidentifikasi 8 model. Meskipun secara garis besar, dalam konteks Gelombang Ketiga Demokratisasi paths di atas yang mendominasi perjalanan Negara-negara menuju demokrasi.

Benar ada beberapa varian dari hasil modes atau model tersebut, namun dalam konteks pergantian regime ada 3 hal yang biasanya berulang: Pertama yang disebut transformasi (Reforma pactada menurut Juan Linz atau Transaction menurut Mainwairing), ketika demokrasi dipelopori oleh regime yang berkuasa. Hal ini terjadi dalam kasus Uni Sovyet. Kedua adalah replacement (rupture oleh Juan Linz atau Collapse menurut Mainwairing), ketika regime otoriter tumbang dan diganti oleh kelompok oposisi seperti di Portugal, Philipina, Rumania. Ketiga adalah transplacement (Extication menurut Mainwairing) ketika terjadi kerjasama antara kelompok oposisi dan regime menuju demokrasi seperti kejadian di Polandia, Indonesia dan Chekoslowakia. Dan dalam semua kasus tersebut, maka kekuatan kelompok oposisi atau Gerakan Pro Demokrasi sangatlah kuatnya sehingga memaksakan proses demokratisasi untuk terjadi.

Myanmar – Bagaimana Akhirnya?

Dalam semua transisi demokrasi, terutama sejak tahun 1975, sangat jelas bahwa prose situ boleh berjalan salah satunya akibat keretakan internal regimen otoriter. Keretakan dalam regime itulah yang memberi peluar bergabungnya kelompok garis lunak di dalam regime otoriter dengan gerakan pro demokrasi. Kualitas dan kekuatan garis lunak dalam regime itu sendiri berbeda-beda. Indonesia misalnya, kekuatan kelompok ini relative kecil, tetapi cukup mampu menghindarkan pertempuran dan pertumpahan darah massal. Militer Indonesia yang sudah terbagi dalam beberapa faksi akibat pertarungan panjang internal regime orde baru dalam proses suksesi membuat demo missal menjadi mungkin. Demikian juga adanya sempalan militer Philipina yang memudahkan gerakan pro demokrasi mengkonsolidasi menjadi kekuatan missal dan sangat menentukan.

Salah satu defisit yang nyata dari demokrasi dan gerakan demokrasi Myanmar adalah soliditas militer dan polisi Myanmar yang berkuasa cukup lama. Meskipun demikian, junta militer Myanmar akan berhadapan dengan kekuatan massal rakyat Myanmar. Apabila gerakan pro demokrasi yang dipelopori Bhiksu Budhis Myanmar berlangsung terus, bisa dipastikan akan menimbulkan efek luar biasa dalam bentuk dukungan masyarakat yang menderita di bawah junta militer. Hal ini, bukannya tidak dimengerti oleh junta militer Myanmar yang tentunya belajar banyak dari Philipina da Indonesia. Memberi angina gerakan itu, akan menuai efek snow ball atau efek bola salju, dimana massa demonstran akan membludak dan meledak jumlahnya dari hari ke hari.

Peristiwa dimana militer dan polisi Myanmar mulai berlaku keras pada tanggal 26 September 2007, adalah tanda bahwa junta militer akan kembali siap melakukan tindakan kejam seperti tahun 1988. Hanya, persoalannya akan berbeda dengan peristiwa tahun 1988. Ancaman baik terselubung maupun terbuka dari sejumlah Negara, dan bahkan Cina yang berlaku lunak, akan sangat menentukan apakah jalan represif akan tetap digunakan atau tidak. Disatu sisi, China selalu memback up junta militer Myanmar, tetapi denga redemokratisasi dari dalam yang diupayakan PKC, akan berdampak buruk bagi citra China yang juga membutuhkan pencitraan baru bagi politik Luar Negerinya. Sementara baik USA, Jepang, Uni Eropa, Kanada, sangat keras menekan junta militer untuk tidak menggunakan jalan represif. Padahal, jika jalan represif tidak digunakan, maka hampir bisa dipastikan, gerakan itu akan smakin membesar dar hari ke hari.

Dalam pilihan sulit seperti ini, maka Myanmar boleh dikatakan berada di ambang 2 pintu yang sangat mungkin dialami: Pertama pintu pertumpahan darah massal dimana junta militer memaksakan kekerasan dan menuai kemarahan rakyat secara besar-besaran dan dengan resiko ambruknya perekonomian; Kedua, proses memasuki transisi demokrasi dengan transaksi politik antara kelompok demonstran atau pro demokrasi dengan junta militer. Kedua jalan itu sangatlah mungkin dialami Myanmar dewasa ini, terutama dengan memperhatikan konsentrasi massa demonstran dan gelagat yang diambil oleh junta militer.

Momentum tahun 2007 ini, sungguh harus benar-benar diperhatikan oleh junta militer Myanmar. Setidaknya, gelombang ketiga demokratisasi, sejak tahun 1975, selalu menciptakan kejadian monumental. Bisa dicatat misalnya, sejak tahun 1975-1976, Portugal dan Spanyol mengalami dmeokratisasi melalui rangkaian panjang demonstrasi massal, tahun 1986 people power di Philipina menumbangkan regime Marcos, tahun 1997-1998 rangkaian demonstrasi massal atau bahkan people power di Indonesia menendang Soeharto dari kursi kekuasaan. Dan 10 tahun setelah Indonesia apakah Myanmar akan mengalami demokratisasi sebagaimana yang dialami oleh Philipina dan Indonesia? Nampaknya hal tersebut sangat memungkinkan. Pengalaman setiap 10 tahun sejak tahun 1975, awal gelombang ketiga demokratisasi, selalu ditandai dengan sebuah transisi demokrasi yang fenomenal. Mudah-mudahan tahun 2007 ini, Myanmar mengalaminya.

Karena itu, menjaid menarik menunggu apakah dan bagaimanakah gerangan akhir dari angin demokrasi yang berhembus kencang di Myanmar. Menarik mengetahui apakah dan bagaimanakah akhir dari peranan kelompok civil society, terutama ketika para Bhiksu turun tangan memainkan peran civil society mereka. Dan tentu juga menunggu akhir dari keterlibatan mahasiswa, apakah akan turun dan ikut membantu para Bhiksu di jalanan? Dan akan bagaimanakah sikap seorang ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi bersikap dalam masa yang teramat kritis ini. Betapapun, sejarah mencatat, dalam situasi kritis akan tampil seorang pahlawan, dan selalu demikian. Betapa terharu melihat ratusan ribu massa menuntut kebebasan, dan melihat puluhan ribu Bhiksu, agamawan menyuarakan hati nurani rakyat. Kebenaran betapapun akan mencari dan menemukan jalannya sendiri. Sejarah mencatatnya dan akan membuktikannya bagi rakyat Myanmar …….

Catatan:
Penulis adalah pengamat masalah sosial, politik dan kemasyarakatan

No comments: