Saturday, July 26, 2014

KOPI PAHIT TOU MINAHAS

KOPI PAHIT TOU MINAHASA
(Catatan Budaya HASIL PILPRES 2014)

Oleh:
Audy WMR Wuisang

Pengantar

Pemilihan Umum 2014 sudah berakhir. Partai PDI Perjuangan lahir sebagai pemenangnya. Pemilihan Presiden 2014 juga sudah berakhir. Pemenangnya atau Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2014-2019 sudah ditetapkan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum), yakni JOKO WIDODO + JUSUF KALLA. Benar, masih akan ada proses lanjutan berupa arena tarung lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi selisih 6% lebih atau sekitar 8 juta suara, membuat posisi membalik keunggulan sungguh kecil. Apapun, sesuai hasil hitung di Pleno KPU, sudah ditetapkan adanya "PEMENANG". Benar, setipis apapun harapan itu masih ada. Tetapi, bukan harapan itu yang menarik untuk dianalisis.

Apa jika demikian? Hamparan tulisan dan lontaran unek-unek baik di media sosial, di gadget (smartphone) yang tertuang di sms dan status, bahkan di media cetak, kita menyaksikan terlampau besar dan lebar jurang beda pendapat antara Tou Minahasa. Apa pasal? Untuk pertama kalinya Pemilihan Presiden di Indonesia melibatkan seorang tokoh yang setengah darahnya berasal dari MINAHASA. Dialah LetJend (Purn) Prabowo Subianto yang diusung oleh gabungan partai dalam Koalisi Merah Putih (Partai GERINDRA, Partai PAN, Partai PPP, Partai PKS, Partai GOLKAR, Partai PBB dan belakangan juga oleh Partai Demokrat). Belum cukup? Koalisi ini, juga didukung oleh FPI dan rekan-rekan organisasinya yang terkenal sangar dan beraliran keras.

Terlepas dari Koalisi Besar tersebut, menelisik seorang PRABOWO SUBIANTO yang beribukan Tou Minahasa dengan marga SIGAR (Langowan) dan bahkan Oma MAENGKOM (Tondano), benar-benar melahirkan harapan dan pertentangan yang besar dan tajam. Belum pernah dalam Pilpres, Tou Minahasa begitu antusias dan begitu bersemangat. Tetapi, jangan salah, bukan hanya untuk MENDUKUNG seorang Prabowo, tetapi juga mendukung calon lainnya, JOKO WIDODO. Bahkan, seorang sahabat mengatakan: Tou Minahasa yang tidak memilih PRABOWO = TIDAK TAHU ADAT.

Ketika kemudian Prabowo+Hatta kalah di Sulawesi Utara, ironisnya dikalahkan baik di Langowan (asal marga SIGAR) dan juga di Tondano (asal marga Maengkom), persoalan bukan mereda. Justru semakin menajam. Pendukung kedua belah pihak, Prabowo+Hatta dan Jokowi+Kalla, saling serang, saling kritik, bahkan saling "menghina", saling "bantai", hingga ke bahasa yang sangat kasar sekalipun. Wuaduh ..... ini benar-benar KOPI PAHIT yang sangat PAHIT bagi Tou Minahasa.

Mengapa Prabowo Subianto Kalah di Tanah Leluhurnya?

Tepat sekali. Bukan sedikit yang bingung dengan fakta kekalahan ini. Bahkan, kelihatannya kubu Jokowi+Kalla sendiri tidaklah menduga bakal meraup kemenangan di bumi Nyiur Melambai. Maklum, mereka cukup sadar jika Prabowo Subianto beribukan Orang Minahasa (Tou Minahasa). Dan bahkan bapaknya juga akrab dengan Gerakan PERMESTA yang masih banyak menyisakan beberapa pendukung "fanatiknya" di Tanah Minahasa. Maka, sungguh masuk diakal jika Prabowo memenangkan pertarungan PILPRES 2014 di tanah kelahiran ibunya. Dan itu juga sentimen yang selalu didengung-dengungkan oleh Pendukung Prabowo+Hatta di Tanah Minahasa. Mereka bahkan menjuluki Prabowo Subianto sebagai TUAMA MINAHASA (Lelaki Dari MINAHASA). Mirip dengan TUAMA MINAHASA sebelumnya VREEKE RUNTU yang kalah menggunakannya di PILKADA Minahasa sebelumnya.

Di Sulawesi Utara, Prabowo Subianto justru menang di daerah Bolaang Mongondouw, daerah basis komunitas Muslim. Tetapi, IRONISNYA, kalah di Minahasa (Manado, Bitung, Minahasa) yang notabene adalah tanah leluhur ibunya. Realitas ini sebetulnya bisa dijelaskan, meski sejujurnya, tetap sangat mengejutkan. Bahkan mengejutkan juga bagi Jokowi+Kalla karena menang PILPRES di SULUT yang diakui sebagai salah satu basis yang diproyeksikan menang oleh kubu Prabowo+Hatta.

Bagaimana pula menjelaskannya?

Pertama, dan yang utama, sebelum pelaksanaan PilPres 2014, masyarakat Minahasa terlampau jarang mendengar Prabowo Subianto mengaku dan membanggakan KEMINAHASAANNYA. Yang justru melekat di memory Orang Minahasa, adalah tulisan dan kesaksian seorang Tonaas Minahasa lainnya, yakni LetJend (Purn) J. Lumintang. Tokoh yang cuma belasan jam menjadi PANGKOSTRAD ini, konon mengalami pengalaman tidak menyenangkan karena dia seorang KRISTEN. Dan, menuduh (koreksi saya jika keliru) salah satu dalang dibalik diskriminasi yang dialaminya adalah seorang PRABOWO (http://www.minihub.org/siarlist/msg04563.html).

Harus dicatat, LetJend (Purn) J. Lumintang ini terhitung orang yang dihormati di Minahasa dan sangatlah bangga dengan Keminahasaannya. Bahkan sebelum menjadi Duta Besar di Philipina, beliau "berkebun" di tanah kelahirannya RATAHAN. Dan hingga menjelang pelaksanaan PilPres 2014, tidak sekalipun tudingannya di atas ada yang mengklarifikasi. Kombinasi dua hal di atas membekas dan tidak diobati sekian lama dan karena itu, tersimpan dalam memory politik orang Minahasa.

Kedua, salah satu faktor yang SANGAT menentukan pilihan Orang Minahasa untuk tidak MEMILIH Prabowo yang punya talian darah dengan mereka adalah fakta politik: "Bahwa di belakang Prabowo Subianto adalah mereka-mereka yang tidak ramah dengan pluralisme, yang bahkan terkenal rajin mendukung gerakan anti pluralisme". Masuknya PPP dan terutama PKS yang kemudian disusul dengan sejumlah komunikasi politik dengan FPI yang terkenal sebagai "Islam Garis Keras", sangat menentukan pilihan politik Orang Minahasa.

Menjelang Pemilihan Presiden, sosialisasi siapa-siapa di balik KOalisi Besar dan Team Kampanye Prabowo,  rekam jejak dari kelompok dan tokoh tersebut, secara massal dipercakapkan dan didiskusikan oleh Tou Minahasa. Benar, tidak semua termakan dengan topik tersebut, tetapi harus dikatakan, cara tersebut teramat ampuh untuk membuat Tou Minahasa memutuskan untuk TIDAK MEMILIH seorang Prabowo.  Dan ini terbukti dengan perolehan suara Prabowo yang tercecer dari Jokowi di semua daerah budaya MINAHASA (Kab. Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Kota Tomohon, Kota Manado dan Kota Bitung). Harus dicatat, di Kota Manado, Kota Tomohon dan Kab. Minahasa Selatan, birokrasinya dikuasai oleh Partai GOLKAR dan Partai Demokrat yang merupakan bagian dari Koalisi Merah Putih pengusung Prabowo+Hatta.

Ketiga, memang benar mayoritas Bupati/Walikota di Daerah Budaya MINAHASA dipegang oleh partai atau tokoh yang Pro Jokowi. Gubernur Sulawesi Utara, DR. SH Sarundajang adalah Team Sukses Jokowi, Bupati Minahasa, MInahasa Tenggara dan Minahasa Utara adalah pendukung PDI Perjuangan, sementara Kota Bitung di komandani oleh kader PKPI. Bukan cuma itu, tokoh politik yang  sangat berpengaruh di SULUT selain Gubernur, adalah Bendahara Umum/Ketua DPD PDI Perjuangan SULUT, Olly Dondokambey, SE. Diakui atau tidak, kombinasi SARUNDAJANG + DONDOKAMBEY ini, akan sangat menentukan arah pilihan banyak Tou Minahasa dalam pentas PILPRES 2014. Apalagi, ketika keduanya bergandeng-tangan memenangkan PILPRES 2014 bagi Jokowi+Kalla.

Kombinasi kekuatan birokrasi dan kekuatan politik utama ini adalah yang "paling bertanggungjawab" atas kemenangan Jokowi+Kalla di Sulawesi Utara. Sehingga, meski kalah di Bolaang Mongondouw, tetapi bisa diimbangi dengan kemenangan di Tanah Minahasa dan penentu kemenangan adalah daerah Sangihe, Talaud dan SITARO. Ini sebabnya di Provinsi Sulawesi Utara Prabowo Subianto mengalami kekalahan. Bagaimanapun, harus dikatakan, pengaruh politik Sarundajang+DOndokambey memang sangat menentukan kemenangan kubu pilihan mereka.

Adalah kekuatan mesin Partai dan pengaruh Olly Dondokambeylah yang menentukan kemenangan Jokowi di kandang keluarga SIGAR di LANGOWAN dengan memenangkan 3 dari 4 kecamatan disana. Mesin kemenangan PDI Perjuangan benar-benar menunjukkan tajinya. Apalagi, masih diperkuat dengan mesin birokrasi mengingat Kabupaten Minahasa dikuasai oleh PDI Perjuangan dewasa ini. Dan, seperti di Langowan, begitu pula dengan di Tondano. Perimbangan kekuatan kedua pasangan di dalam kota, digoyahkan oleh perolehan menyolok JOKOWI+JK di Tondano Selatan yang dimenangkan secara mutlak. Dan, kalah pulalah Prabowo di Kota leluhur marga MAENGKOM itu.

Haruslah dicatat, bahwa 3 faktor yang disebutkan di atas merupakan faktor utama yang menentukan kekalahan Prabowo di tanah leluhur ibunya. Meskipun beberapa kali Prabowo datang mengadakan acara keluarga di Tanah Minahasa, tetapi teramat terlambat karena waktu yang dipilih justru mendekati pelaksanaan PilPres. Selain, Prabowo sendiri memang teramat jarang menyebutkan dia memiliki kaitan keturunan dan ikatan darah dengan Tanah Minahasa. Paling tidak, ini dalam catatan pribadi saya. Dan ditambah dengan barisan dibalik koalisinya yang rekam jejaknya kurang toleran sementara tanah Minahasa justru mayoritas Kristen dan membanggakan tradisi pluralisme dan egalitariannya.

Di Tanah Minahasa: Kopi PILPRES Itu Sungguh Pahit ......

Tetapi, haruslah juga dicatat, meskipun Prabowo kalah di Tanah Minahasa, tetapi selisih kekalahan tersebut sangatlah tipis. Artinya, Tou Minahasa sebetulnya TERBELAH dalam menentukan pilihannya di Bilik Suara dalam PILPRES 2014 ini. Meski jarang mengaku MINAHASA, harus dicatat, Prabowo Subianto memang berdarah MINAHASA. Meski dia tidak pernah mengakuinya sekalipun, tetapi ikatan darah adalah ikatan takdir. Kita tidak memilih dilahirkan menjadi TOU MINAHASA atau ORANG JAWA, tetapi kita lahir dengan takdir bahwa kita TOU MINAHASA. Begitu jugalah seorang PRABOWO. Jika dia boleh memilih, mungkin dia tidak akan memilih dilahirkan dari Ibu Minahasa, tetapi tidaklah dapat dia menolak kenyataan mengalirnya darah Minahasa dalam dirinya.

Inilah fakta yang membuat para PENDUKUNG PRABOWO SUBIANTO demikian FANATIK dan begitu bergairah dalam mendukung Prabowo. Catat, bukan terutama karena dia GAGAH, PENSIUNAN JENDRAL atau karena dia KAYA dan BERGAYA. Bukan juga karena dia akan menjadi PRESIDEN jika menang dalam Pemilihan PRESIDEN. Tetapi, karena dia TOU MINAHASA. Tidak perduli, setengah, seperempat atau sepersekian persen belaka darah Minahasanya. Semua itu, realitas yang megah dan agung itu, grandeur itu  (http://indoprogress.com/2014/07/awal-dari-sebuah-akhir-untuk-prabowo-subianto), secara sangat kebetulan bermuara di PILPRES. Dia berdarah Minahasa, dia Calon Presiden, Dia gagah dan tegas (anti tesis ambruknya psikologi Politik SBY yang lamban dan peragu), dia bergaya dengan naik kuda, pensiunan Jendral, Kaya dan bergaya.

Secara psikologis, realitas tersebut memenuhi impian dan fantasi politik banyak Tou Kawanua yang sudah lama merindukan hadirnya TOKOH UTAMA pasca Sam Ratulangi. Apalagi, capaian Prabowo jika terpilih, justru melampaui capaian politik Samratulangi hingga sekarang ini Menteri Mangindaan. Sudah sangat lama Tou Kawanua mengalami stagnasi (kemandegan) politik dan harus memandang ke Selatan Sulawesi ketika Jusuf Kalla dan Habiebie menjadi petinggi puncak Negeri ini. Fantasi politik yang terkesan liar dalam skema politik Indonesia dewasa ini, secara tiba-tiba (akan) menemukan oase yang memuaskan dahaga politik yang lama terpendam itu.

Maka, tidaklah keliru sama sekali jika kemudian demikian banyak Tou Kawanua yang SANGAT BERSEMANGAT atau bahkan terkesan FANATIK dalam mendukung Prabowo. Mereka menafikan fakta bahwa ada kelompok non toleran dibalik Prabowo. Mereka menafikan betapa banyak petinggi Tou Kawanua yang mendukung pasangan lain, yakni JOKOWI+KALLA. Mereka tidak perduli dengan fakta bahwa Prabowo pernah memelopori Jendral hijau di lingkungan ABRI pada masa lalu dan yang juga mengorbankan seorang LETJEND (PURN) JOHNY LUMINTANG. Bagi mereka, IT IS NOW OR NEVER. Ini penting sekali, menurut mereka. Karena kapan lagi Tou Minahasa punya keturunan yang akan MEMERINTAH NEGERI bernama Indonesia ini?

Soal kelompok garis keras, "acccccch gampang itu. Prabowo akan dengan mudah menjinakkan mereka. Bukankah dia terkenal sangat tegas? berani mengambil keputusan? Dia akanpunya kemampuan menekan mereka semua.......". Soal fakta bahwa Prabowo jarang mengaku berdarah MInahasa ......., "achhhhh, itu kan masa lalu, bukankah dia sudah mengaku berdarah Minahasa waktu kampanye dulu ....."?. Soal masa lalunya yang terbelenggu persoalan HAM ....... "accccch, nonsense itu, kan cuma  kampanye hitam Jendral seniornya yang cemburu kepadany"?. Apapun yang dikatakan kepada kelompok pendukung fanatik Jendral PRabowo Subianto ini akan ada jawabannya. Tidak perduli apakah jawaban itu rasional ataukah tidak. Begitu antusiasme banyak pendukung Prabowo yang sangat fanatik di Tanah Minahasa.

Tetapi ...... repotnya, justru Prabowo kalah di Tanah Minahasa. Dan sebagai akibatnya, terjadi tempur frontal dan cenderung irrasional (tidak masuk akal) antara kedua pendukung. Sepertinya, mereka, terutama pendukung Prabowo memang sudah mengidentifikasi diri sebagai ORANG DEKAT PRABOWO atau bahkan berjuang atas nama Prabowo sendiri. Apa yang dikatakan Prabowo adalah SABDA dan WAJIB dilaksanakan. Tengoklah di media sosial, di media diskusi Tou Minahasa, bukan sedikit yang mati-matian dengan mengabaikan banyak fakta untuk tetap setia mendukung PRABOWO. Dan yang paling pahit KOPI tarung itu adalah: KALIAN TOU MINAHASA YANG TIDAK MENDUKUNG PRABOWO SUDAH MENGKHIANATI KEMINAHASAAN.

Sungguh PAHIT Kopi itu. Suara ini adalah suara sahabat saya. Seorang yang saya kenal memang sangat MENCINTAI KEMINAHASAAN. Tetapi, saya harus dengan rendah hati mengurangi pahitnya kopi lontaran pernyataannya. Bukan apa-apa, sebagaimana saya menolak dan memandang penuh rasa malu khobtah politik yang dibalut agama oleh PDT. NAHUWAE, begitu juga saya akan berusaha menjernihkan keruh dan kaburnya justifikasi/pembenaran budaya untuk memilih seseorang.

Benarkah bagi TOU MINAHASA adalah WAJIB hukumnya memilih PRABOWO SUBIANTO? Ini jika kita menyederhanakan pertanyaan atas statement tersebut. Bagi saya, jawabannya adalah TIDAK. Memilih Prabowo dalam konteks PILPRES bukanlah sebuah KEWAJIBAN ADAT. Jika agama dipolitisasi oleh seorang JACOB NAHUWEA dengan pernyataan yang sama: TIDAK PILIH PRABOWO BERARTI BERDOSA, maka ADAT MINAHASA dipolitisasi dengan statement yang sama dan sebangun: TIDAK PILIH PRABOWO BERARTI MENGHIANATI ADAT MINAHASA.

Orang-orang bertanya kepada JACOB N itu, "TUHAN YANG MANA YANG SAYA DOSAI ITU"? dan pertanyaan kepada yang satu lagi: "ADAT MINAHASA MANA YANG SAYA KHIANATI"? Apa otoritas dari kedua pencetus statement di atas? Siapa yang berhak menentukan saya berdoa dalam kontes iman Kristen dan dalam konteks Adat Minahasa?

Di luar debat mana Adat Minahasa dan mana Pemegang Otoritas Adat yang layak menentukan khianat atau tidaknya mereka yang memilih bukan Prabowo Subianto, statement itu sendiri kabur dalam dirinya. Adat terutama merupakan "gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, kebiasaan, kelembagaan yang lazim berlaku disatu tempat, sering juga disebut dilakukan sejak jaman dahulu". Atau dalam kalimat lain sering disebut sebagai  wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dgn lainnya berkaitan menjadi suatu sistem;  Dalam konteks BER-INDONESIA, maka belum ada tatanan dan praktek yang dibakukan bagi Minahasa mengenai PILPRES dan harus memilih Tou Minahasa, karena relatif proses memilih seperti ini adalah realitas yang baru. Jika kita mendesak untuk menggunakan ADAT atau BUDAYA dalam konteks ini.

ADAT tidak mengatur dan tidak mewajibkan pilihan politik ditujukan kepada si A atau si B. Bagi Tou Minahasa yang egaliter, persoalan kepemimpinan biasanya tidak terutama terletak pada pilihan rakyatnya, tetapi kepada kemampuan seseorang menunjukkan kualitas dirinya dengan mengalahkan kualitas orang lain. Karena itu, MUSYAWARAH MINAWANUA tidak memperlihatkan bagaimana memilih seorang TETERUSAN atau PANGLIMA PERANG, tetapi bermusyawarah untuk menentukan strategi perang. Mengapa? Karena mereka sudah memiliki dan mengakui ada orang yang terbaik diantara mereka dan tidak pelru dipilih lagi.

Karena itu, statement TIDAK TAHU ADAT rasanya tidak pada tempatnya, karena tidak ada tempat di ADAT MINAHASA yang bisa kita rujuk sebagai panduan. Selain itu, ketika kita BERINDONESIA realitas politik yang kita hadapi terhitung baru dan belum diatur. Terlebih ketika ADAT MINAHASA sendiripun tidak memiliki pemangku yang mengatasnamakannya dan kepada mereka otoritas diberikan. Maka, atas nama ADAT MINAHASA sebetulnya hanya bisa dilakukan sebagai KLAIM dan bukan sebagai JUDGMENT (Penghakiman) ataupun Penegasan.

Pada titik ini, saya ingin menegaskan untuk sebaiknya kita tidak melakukan politisasi atas ADAT MINAHASA juga atas BUDAYA MINAHASA. Jika kita mengaku egaliter dan rasional, maka kita akan menemukan diri kita dalam proses yang sedang MENJADI terus dan terus.

Ketika menuliskan ini, saya membaca bagaimana Tou Minahasa saling SAHUT MENYAHUT dengan sangat emosional. Emosional para pendukung Prabowo sangat saya pahami karena alasan yang saya sebutkan diatas. Tetapi, yang sulit saya bayangkan adalah, bagaimana para pendukung JOKOWI yang Tou Minahasa melakukan upaya yang bagi saya MENYEDIHKAN. Seakan Prabowo adalah SAMPAH, seakan Prabowo adalah ORANG TAK TAHU MALAH. Tidak terima kalah dan manusia yang sangat memalukan bagi mereka. Dengan penuh hormat dan respek kepada KEMINAHASAAN, mari kita semua mengerti dan menerima, bahwa PRABOWO adalah bagian dari kita, suka atau tidak. Bahkan jika dia tidak mengakuinya sekalipun. Karena dia, anda dan saya, tidak meminta dilahirkan sebagai TOU MINAHASA, tetapi karena memang itu takdir yang tidka kita pilih. Bahasa Teologisnya, karena itu ANUGERAH TUHAN bagi kita.

Jika pendukung yang sednag kecewa meluapkan kekecewaannya, semestinya bagi yang menang tetap adem seperti JOKOWI pilihannya dan bukannya membentang bendera kemenangan dan mengejek yang kalah. Apalagi dengan menghina dan memfitnah seorang PRABOWO yang juga bagian dari darah yang mengalir dalam dirinya.

Sungguh, KOPI PILPRES 2014 ini sangat PAHIT bagi TOU MINAHASA. Tetapi, akan bertambah PAHIT jika kita tidak mampu menerima siapa kita, siapa PRABOWO, siapa Tou Minahasa.


Jakarta, 26 Juli 2014

No comments: