KOPI
PAHIT TOU MINAHASA
(Catatan
Budaya HASIL PILPRES 2014)
Oleh:
Audy
WMR Wuisang
Pengantar
Pemilihan Umum 2014 sudah berakhir. Partai PDI Perjuangan lahir
sebagai pemenangnya. Pemilihan Presiden 2014 juga sudah berakhir. Pemenangnya
atau Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2014-2019 sudah ditetapkan oleh KPU
(Komisi Pemilihan Umum), yakni JOKO WIDODO + JUSUF KALLA. Benar, masih akan ada
proses lanjutan berupa arena tarung lanjutan di Mahkamah Konstitusi (MK),
tetapi selisih 6% lebih atau sekitar 8 juta suara, membuat posisi membalik
keunggulan sungguh kecil. Apapun, sesuai hasil hitung di Pleno KPU, sudah
ditetapkan adanya "PEMENANG". Benar, setipis apapun harapan itu masih
ada. Tetapi, bukan harapan itu yang menarik untuk dianalisis.
Apa jika demikian? Hamparan tulisan dan lontaran unek-unek baik di
media sosial, di gadget (smartphone) yang tertuang di sms dan status, bahkan di
media cetak, kita menyaksikan terlampau besar dan lebar jurang beda pendapat antara
Tou Minahasa. Apa pasal? Untuk pertama kalinya Pemilihan Presiden di Indonesia
melibatkan seorang tokoh yang setengah darahnya berasal dari MINAHASA. Dialah
LetJend (Purn) Prabowo Subianto yang diusung oleh gabungan partai dalam Koalisi
Merah Putih (Partai GERINDRA, Partai PAN, Partai PPP, Partai PKS, Partai
GOLKAR, Partai PBB dan belakangan juga oleh Partai Demokrat). Belum cukup?
Koalisi ini, juga didukung oleh FPI dan rekan-rekan organisasinya yang terkenal
sangar dan beraliran keras.
Terlepas dari Koalisi Besar tersebut, menelisik seorang PRABOWO
SUBIANTO yang beribukan Tou Minahasa dengan marga SIGAR (Langowan) dan bahkan
Oma MAENGKOM (Tondano), benar-benar melahirkan harapan dan pertentangan yang
besar dan tajam. Belum pernah dalam Pilpres, Tou Minahasa begitu antusias dan
begitu bersemangat. Tetapi, jangan salah, bukan hanya untuk MENDUKUNG seorang
Prabowo, tetapi juga mendukung calon lainnya, JOKO WIDODO. Bahkan, seorang
sahabat mengatakan: Tou Minahasa yang tidak memilih PRABOWO = TIDAK TAHU ADAT.
Ketika kemudian Prabowo+Hatta kalah di Sulawesi Utara, ironisnya
dikalahkan baik di Langowan (asal marga SIGAR) dan juga di Tondano (asal marga
Maengkom), persoalan bukan mereda. Justru semakin menajam. Pendukung kedua
belah pihak, Prabowo+Hatta dan Jokowi+Kalla, saling serang, saling kritik,
bahkan saling "menghina", saling "bantai", hingga ke bahasa
yang sangat kasar sekalipun. Wuaduh ..... ini benar-benar KOPI PAHIT yang
sangat PAHIT bagi Tou Minahasa.
Mengapa
Prabowo Subianto Kalah di Tanah Leluhurnya?
Tepat sekali. Bukan sedikit yang bingung dengan fakta kekalahan ini.
Bahkan, kelihatannya kubu Jokowi+Kalla sendiri tidaklah menduga bakal meraup
kemenangan di bumi Nyiur Melambai. Maklum, mereka cukup sadar jika Prabowo
Subianto beribukan Orang Minahasa (Tou Minahasa). Dan bahkan bapaknya juga
akrab dengan Gerakan PERMESTA yang masih banyak menyisakan beberapa pendukung
"fanatiknya" di Tanah Minahasa. Maka, sungguh masuk diakal jika
Prabowo memenangkan pertarungan PILPRES 2014 di tanah kelahiran ibunya. Dan itu
juga sentimen yang selalu didengung-dengungkan oleh Pendukung Prabowo+Hatta di
Tanah Minahasa. Mereka bahkan menjuluki Prabowo Subianto sebagai TUAMA MINAHASA
(Lelaki Dari MINAHASA). Mirip dengan TUAMA MINAHASA sebelumnya VREEKE RUNTU
yang kalah menggunakannya di PILKADA Minahasa sebelumnya.
Di Sulawesi Utara, Prabowo Subianto justru menang di daerah Bolaang
Mongondouw, daerah basis komunitas Muslim. Tetapi, IRONISNYA, kalah di Minahasa
(Manado, Bitung, Minahasa) yang notabene adalah tanah leluhur ibunya. Realitas
ini sebetulnya bisa dijelaskan, meski sejujurnya, tetap sangat mengejutkan. Bahkan
mengejutkan juga bagi Jokowi+Kalla karena menang PILPRES di SULUT yang diakui
sebagai salah satu basis yang diproyeksikan menang oleh kubu Prabowo+Hatta.
Bagaimana pula menjelaskannya?
Pertama, dan yang utama, sebelum pelaksanaan PilPres 2014,
masyarakat Minahasa terlampau jarang mendengar Prabowo Subianto mengaku dan
membanggakan KEMINAHASAANNYA. Yang justru melekat di memory Orang Minahasa,
adalah tulisan dan kesaksian seorang Tonaas Minahasa lainnya, yakni LetJend (Purn) J. Lumintang. Tokoh yang
cuma belasan jam menjadi PANGKOSTRAD ini, konon mengalami pengalaman tidak
menyenangkan karena dia seorang KRISTEN. Dan, menuduh (koreksi saya jika
keliru) salah satu dalang dibalik diskriminasi yang dialaminya adalah seorang PRABOWO
(http://www.minihub.org/siarlist/msg04563.html).
Harus dicatat, LetJend (Purn) J. Lumintang ini terhitung orang yang
dihormati di Minahasa dan sangatlah bangga dengan Keminahasaannya. Bahkan
sebelum menjadi Duta Besar di Philipina, beliau "berkebun" di tanah
kelahirannya RATAHAN. Dan hingga menjelang pelaksanaan PilPres 2014, tidak
sekalipun tudingannya di atas ada yang mengklarifikasi. Kombinasi dua hal di atas
membekas dan tidak diobati sekian lama dan karena itu, tersimpan dalam memory
politik orang Minahasa.
Kedua, salah satu faktor yang SANGAT menentukan pilihan Orang
Minahasa untuk tidak MEMILIH Prabowo yang punya talian darah dengan mereka
adalah fakta politik: "Bahwa di belakang Prabowo Subianto adalah
mereka-mereka yang tidak ramah dengan pluralisme, yang bahkan terkenal rajin
mendukung gerakan anti pluralisme". Masuknya PPP dan terutama PKS yang
kemudian disusul dengan sejumlah komunikasi politik dengan FPI yang terkenal
sebagai "Islam Garis Keras", sangat menentukan pilihan politik Orang
Minahasa.
Menjelang Pemilihan Presiden, sosialisasi siapa-siapa di balik KOalisi
Besar dan Team Kampanye Prabowo, rekam
jejak dari kelompok dan tokoh tersebut, secara massal dipercakapkan dan
didiskusikan oleh Tou Minahasa. Benar, tidak semua termakan dengan topik
tersebut, tetapi harus dikatakan, cara tersebut teramat ampuh untuk membuat Tou
Minahasa memutuskan untuk TIDAK MEMILIH seorang Prabowo. Dan ini terbukti dengan perolehan suara
Prabowo yang tercecer dari Jokowi di semua daerah budaya MINAHASA (Kab.
Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Kota Tomohon,
Kota Manado dan Kota Bitung). Harus dicatat, di Kota Manado, Kota Tomohon dan
Kab. Minahasa Selatan, birokrasinya dikuasai oleh Partai GOLKAR dan Partai
Demokrat yang merupakan bagian dari Koalisi Merah Putih pengusung
Prabowo+Hatta.
Ketiga, memang benar mayoritas Bupati/Walikota di Daerah Budaya
MINAHASA dipegang oleh partai atau tokoh yang Pro Jokowi. Gubernur Sulawesi
Utara, DR. SH Sarundajang adalah Team Sukses Jokowi, Bupati Minahasa, MInahasa Tenggara
dan Minahasa Utara adalah pendukung PDI Perjuangan, sementara Kota Bitung di
komandani oleh kader PKPI. Bukan cuma itu, tokoh politik yang sangat berpengaruh di SULUT selain Gubernur,
adalah Bendahara Umum/Ketua DPD PDI Perjuangan SULUT, Olly Dondokambey, SE.
Diakui atau tidak, kombinasi SARUNDAJANG + DONDOKAMBEY ini, akan sangat
menentukan arah pilihan banyak Tou Minahasa dalam pentas PILPRES 2014. Apalagi,
ketika keduanya bergandeng-tangan memenangkan PILPRES 2014 bagi Jokowi+Kalla.
Kombinasi kekuatan birokrasi dan kekuatan politik utama ini adalah
yang "paling bertanggungjawab" atas kemenangan Jokowi+Kalla di Sulawesi
Utara. Sehingga, meski kalah di Bolaang Mongondouw, tetapi bisa diimbangi
dengan kemenangan di Tanah Minahasa dan penentu kemenangan adalah daerah
Sangihe, Talaud dan SITARO. Ini sebabnya di Provinsi Sulawesi Utara Prabowo
Subianto mengalami kekalahan. Bagaimanapun, harus dikatakan, pengaruh politik
Sarundajang+DOndokambey memang sangat menentukan kemenangan kubu pilihan
mereka.
Adalah kekuatan mesin Partai dan pengaruh Olly Dondokambeylah yang
menentukan kemenangan Jokowi di kandang keluarga SIGAR di LANGOWAN dengan
memenangkan 3 dari 4 kecamatan disana. Mesin kemenangan PDI Perjuangan
benar-benar menunjukkan tajinya. Apalagi, masih diperkuat dengan mesin
birokrasi mengingat Kabupaten Minahasa dikuasai oleh PDI Perjuangan dewasa ini.
Dan, seperti di Langowan, begitu pula dengan di Tondano. Perimbangan kekuatan
kedua pasangan di dalam kota, digoyahkan oleh perolehan menyolok JOKOWI+JK di
Tondano Selatan yang dimenangkan secara mutlak. Dan, kalah pulalah Prabowo di
Kota leluhur marga MAENGKOM itu.
Haruslah dicatat, bahwa 3 faktor yang disebutkan di atas merupakan
faktor utama yang menentukan kekalahan Prabowo di tanah leluhur ibunya.
Meskipun beberapa kali Prabowo datang mengadakan acara keluarga di Tanah
Minahasa, tetapi teramat terlambat karena waktu yang dipilih justru mendekati
pelaksanaan PilPres. Selain, Prabowo sendiri memang teramat jarang menyebutkan
dia memiliki kaitan keturunan dan ikatan darah dengan Tanah Minahasa. Paling
tidak, ini dalam catatan pribadi saya. Dan ditambah dengan barisan dibalik
koalisinya yang rekam jejaknya kurang toleran sementara tanah Minahasa justru
mayoritas Kristen dan membanggakan tradisi pluralisme dan egalitariannya.
Di
Tanah Minahasa: Kopi PILPRES Itu Sungguh Pahit ......
Tetapi, haruslah juga dicatat, meskipun Prabowo kalah di Tanah
Minahasa, tetapi selisih kekalahan tersebut sangatlah tipis. Artinya, Tou
Minahasa sebetulnya TERBELAH dalam menentukan
pilihannya di Bilik Suara dalam PILPRES 2014 ini. Meski jarang mengaku
MINAHASA, harus dicatat, Prabowo Subianto memang berdarah MINAHASA. Meski dia
tidak pernah mengakuinya sekalipun, tetapi ikatan darah adalah ikatan takdir.
Kita tidak memilih dilahirkan menjadi TOU MINAHASA atau ORANG JAWA, tetapi kita
lahir dengan takdir bahwa kita TOU MINAHASA. Begitu jugalah seorang PRABOWO.
Jika dia boleh memilih, mungkin dia tidak akan memilih dilahirkan dari Ibu Minahasa,
tetapi tidaklah dapat dia menolak kenyataan mengalirnya darah Minahasa dalam
dirinya.
Inilah fakta yang membuat para PENDUKUNG PRABOWO SUBIANTO demikian
FANATIK dan begitu bergairah dalam mendukung Prabowo. Catat, bukan terutama
karena dia GAGAH, PENSIUNAN JENDRAL atau karena dia KAYA dan BERGAYA. Bukan
juga karena dia akan menjadi PRESIDEN jika menang dalam Pemilihan PRESIDEN.
Tetapi, karena dia TOU MINAHASA. Tidak perduli, setengah, seperempat atau
sepersekian persen belaka darah Minahasanya. Semua itu, realitas yang megah dan
agung itu, grandeur itu (http://indoprogress.com/2014/07/awal-dari-sebuah-akhir-untuk-prabowo-subianto),
secara sangat kebetulan bermuara di PILPRES. Dia berdarah Minahasa, dia Calon
Presiden, Dia gagah dan tegas (anti tesis ambruknya psikologi Politik SBY yang
lamban dan peragu), dia bergaya dengan naik kuda, pensiunan Jendral, Kaya dan
bergaya.
Secara psikologis, realitas tersebut memenuhi impian dan fantasi
politik banyak Tou Kawanua yang sudah lama merindukan hadirnya TOKOH UTAMA
pasca Sam Ratulangi. Apalagi, capaian Prabowo jika terpilih, justru melampaui
capaian politik Samratulangi hingga sekarang ini Menteri Mangindaan. Sudah
sangat lama Tou Kawanua mengalami stagnasi (kemandegan) politik dan harus
memandang ke Selatan Sulawesi ketika Jusuf Kalla dan Habiebie menjadi petinggi
puncak Negeri ini. Fantasi politik yang terkesan liar dalam skema politik
Indonesia dewasa ini, secara tiba-tiba (akan) menemukan oase yang memuaskan
dahaga politik yang lama terpendam itu.
Maka, tidaklah keliru sama sekali jika kemudian demikian banyak Tou
Kawanua yang SANGAT BERSEMANGAT atau bahkan terkesan FANATIK dalam mendukung
Prabowo. Mereka menafikan fakta bahwa ada kelompok non toleran dibalik Prabowo.
Mereka menafikan betapa banyak petinggi Tou Kawanua yang mendukung pasangan
lain, yakni JOKOWI+KALLA. Mereka tidak perduli dengan fakta bahwa Prabowo
pernah memelopori Jendral hijau di lingkungan ABRI pada masa lalu dan yang juga
mengorbankan seorang LETJEND (PURN) JOHNY LUMINTANG. Bagi mereka, IT IS NOW OR
NEVER. Ini penting sekali, menurut mereka. Karena kapan lagi Tou Minahasa punya
keturunan yang akan MEMERINTAH NEGERI bernama Indonesia ini?
Soal kelompok garis keras, "acccccch gampang itu. Prabowo akan
dengan mudah menjinakkan mereka. Bukankah dia terkenal sangat tegas? berani
mengambil keputusan? Dia akanpunya kemampuan menekan mereka semua.......".
Soal fakta bahwa Prabowo jarang mengaku berdarah MInahasa .......,
"achhhhh, itu kan masa lalu, bukankah dia sudah mengaku berdarah Minahasa
waktu kampanye dulu ....."?. Soal masa lalunya yang terbelenggu persoalan
HAM ....... "accccch, nonsense itu, kan cuma kampanye hitam Jendral seniornya yang cemburu
kepadany"?. Apapun yang dikatakan kepada kelompok pendukung fanatik
Jendral PRabowo Subianto ini akan ada jawabannya. Tidak perduli apakah jawaban
itu rasional ataukah tidak. Begitu antusiasme banyak pendukung Prabowo yang
sangat fanatik di Tanah Minahasa.
Tetapi ...... repotnya, justru Prabowo kalah di Tanah Minahasa. Dan
sebagai akibatnya, terjadi tempur frontal dan cenderung irrasional (tidak masuk
akal) antara kedua pendukung. Sepertinya, mereka, terutama pendukung Prabowo
memang sudah mengidentifikasi diri sebagai ORANG DEKAT PRABOWO atau bahkan
berjuang atas nama Prabowo sendiri. Apa yang dikatakan Prabowo adalah SABDA dan
WAJIB dilaksanakan. Tengoklah di media sosial, di media diskusi Tou Minahasa,
bukan sedikit yang mati-matian dengan mengabaikan banyak fakta untuk tetap
setia mendukung PRABOWO. Dan yang paling pahit KOPI tarung itu adalah: KALIAN
TOU MINAHASA YANG TIDAK MENDUKUNG PRABOWO SUDAH MENGKHIANATI KEMINAHASAAN.
Sungguh PAHIT Kopi itu. Suara ini adalah suara sahabat saya. Seorang
yang saya kenal memang sangat MENCINTAI KEMINAHASAAN. Tetapi, saya harus dengan
rendah hati mengurangi pahitnya kopi lontaran pernyataannya. Bukan apa-apa,
sebagaimana saya menolak dan memandang penuh rasa malu khobtah politik yang
dibalut agama oleh PDT. NAHUWAE, begitu juga saya akan berusaha menjernihkan
keruh dan kaburnya justifikasi/pembenaran budaya untuk memilih seseorang.
Benarkah bagi TOU MINAHASA adalah WAJIB hukumnya memilih PRABOWO
SUBIANTO? Ini jika kita menyederhanakan pertanyaan atas statement tersebut.
Bagi saya, jawabannya adalah TIDAK. Memilih Prabowo dalam konteks PILPRES
bukanlah sebuah KEWAJIBAN ADAT. Jika agama dipolitisasi oleh seorang JACOB
NAHUWEA dengan pernyataan yang sama: TIDAK PILIH PRABOWO BERARTI BERDOSA, maka
ADAT MINAHASA dipolitisasi dengan statement yang sama dan sebangun: TIDAK PILIH
PRABOWO BERARTI MENGHIANATI ADAT MINAHASA.
Orang-orang bertanya kepada JACOB N itu, "TUHAN YANG MANA YANG SAYA DOSAI ITU"? dan pertanyaan
kepada yang satu lagi: "ADAT
MINAHASA MANA YANG SAYA KHIANATI"? Apa otoritas dari kedua pencetus
statement di atas? Siapa yang berhak menentukan saya berdoa dalam kontes iman
Kristen dan dalam konteks Adat Minahasa?
Di luar debat mana Adat Minahasa dan mana Pemegang Otoritas Adat yang
layak menentukan khianat atau tidaknya mereka yang memilih bukan Prabowo Subianto,
statement itu sendiri kabur dalam dirinya. Adat terutama merupakan
"gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, kebiasaan,
kelembagaan yang lazim berlaku disatu tempat, sering juga disebut dilakukan
sejak jaman dahulu". Atau dalam kalimat lain sering disebut sebagai wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dgn lainnya berkaitan menjadi suatu
sistem; Dalam
konteks BER-INDONESIA, maka belum ada tatanan dan praktek yang dibakukan bagi
Minahasa mengenai PILPRES dan harus memilih Tou Minahasa, karena relatif proses
memilih seperti ini adalah realitas yang baru. Jika kita mendesak untuk
menggunakan ADAT atau BUDAYA dalam konteks ini.
ADAT tidak mengatur dan tidak mewajibkan pilihan politik ditujukan kepada
si A atau si B. Bagi Tou Minahasa yang egaliter, persoalan kepemimpinan
biasanya tidak terutama terletak pada pilihan rakyatnya, tetapi kepada
kemampuan seseorang menunjukkan kualitas dirinya dengan mengalahkan kualitas
orang lain. Karena itu, MUSYAWARAH MINAWANUA tidak memperlihatkan bagaimana
memilih seorang TETERUSAN atau PANGLIMA PERANG, tetapi bermusyawarah untuk
menentukan strategi perang. Mengapa? Karena mereka sudah memiliki dan mengakui
ada orang yang terbaik diantara mereka dan tidak pelru dipilih lagi.
Karena itu, statement TIDAK TAHU ADAT rasanya tidak pada tempatnya,
karena tidak ada tempat di ADAT MINAHASA yang bisa kita rujuk sebagai panduan. Selain
itu, ketika kita BERINDONESIA realitas politik yang kita hadapi terhitung baru
dan belum diatur. Terlebih ketika ADAT MINAHASA sendiripun tidak memiliki
pemangku yang mengatasnamakannya dan kepada mereka otoritas diberikan. Maka,
atas nama ADAT MINAHASA sebetulnya hanya bisa dilakukan sebagai KLAIM dan bukan
sebagai JUDGMENT (Penghakiman) ataupun Penegasan.
Pada titik ini, saya ingin menegaskan untuk sebaiknya kita tidak
melakukan politisasi atas ADAT MINAHASA juga atas BUDAYA MINAHASA. Jika kita
mengaku egaliter dan rasional, maka kita akan menemukan diri kita dalam proses
yang sedang MENJADI terus dan terus.
Ketika menuliskan ini, saya membaca bagaimana Tou Minahasa saling
SAHUT MENYAHUT dengan sangat emosional. Emosional para pendukung Prabowo sangat
saya pahami karena alasan yang saya sebutkan diatas. Tetapi, yang sulit saya
bayangkan adalah, bagaimana para pendukung JOKOWI yang Tou Minahasa melakukan
upaya yang bagi saya MENYEDIHKAN. Seakan Prabowo adalah SAMPAH, seakan Prabowo
adalah ORANG TAK TAHU MALAH. Tidak terima kalah dan manusia yang sangat
memalukan bagi mereka. Dengan penuh hormat dan respek kepada KEMINAHASAAN, mari
kita semua mengerti dan menerima, bahwa PRABOWO adalah bagian dari kita, suka
atau tidak. Bahkan jika dia tidak mengakuinya sekalipun. Karena dia, anda dan
saya, tidak meminta dilahirkan sebagai TOU MINAHASA, tetapi karena memang itu
takdir yang tidka kita pilih. Bahasa Teologisnya, karena itu ANUGERAH TUHAN
bagi kita.
Jika pendukung yang sednag kecewa meluapkan kekecewaannya, semestinya
bagi yang menang tetap adem seperti JOKOWI pilihannya dan bukannya membentang
bendera kemenangan dan mengejek yang kalah. Apalagi dengan menghina dan
memfitnah seorang PRABOWO yang juga bagian dari darah yang mengalir dalam
dirinya.
Sungguh, KOPI PILPRES 2014 ini sangat PAHIT bagi TOU MINAHASA. Tetapi,
akan bertambah PAHIT jika kita tidak mampu menerima siapa kita, siapa PRABOWO,
siapa Tou Minahasa.
Jakarta, 26 Juli 2014
No comments:
Post a Comment