IBADAH "BERACUN" & ESTAFET KEBANGSAAN
Oleh: Audy WMR Wuisang
Pengantar
Ada 2 kejadian menarik dalam sisi pembelajaran yang berbeda dalam 2-3 hari belakangan. Keduanya terkait dengan Pemilihan Presiden, tetapi dengan efek pembelajaran yang berbeda. Sekilas keduanya seperti tidak berkaitan, dan memang seperti itu adanya. Tetapi, dengan sedikit berpikir, banyak yang dapat ditarik dari dua acara berbeda tersebut.
Acara pertama adalah IBADAH PENGUCAPAN SYUKUR atas Kemenangan pasangan Prabowo+Hatta dalam Pemilihan Presiden 2014 dengan mengambil tempat di Jakarta Convention Centre (JCC). Tepatnya pada tanggal 19 Juli 2014. Sementara acara lainnya, adalah ESTAFET KEBANGSAAN, sebuah acara yang digagas oleh kaum pemusik (Musisi) dan disiarkan oleh beberapa Stasiun Televisi Swasta pada tanggal 20 Juli 2014.
Bagaimana pula hubungan antara Ibadah dan sebuah perform beberapa artis dan pengamat dalam tajuk Estafet Kebangsaan itu?
Ibadah "Beracun"
Ibadah sejatinya adalah sebuah ritual, yang jika secara sederhana dalam konteks kekristenan berarti sebuah ritual untuk menunjukkan ketaatan, memuji kebesaran TUHAN. Ibadah merupakan sebuah kemestian karenanya. Karena sebuah komponen dan elemen mendasar dalam keberagamaan, maka ritual peribadatan sebetulnya adalah aktifitas spiritual/religius dan untuk kepentingan religius. Dia mengatasi semua perbedaan umat dan menyatukannya dalam sebuah ungkapan syukur kepada Tuhan.
Sejatinya demikian. Tetapi, bukan berarti tidak ada yang "nakal" dan bermain-main dengan substansi peribadatan yang disebutkan di atas. Terlepas dari pemahaman Teologis yang lebih dalam seputar IBADAH itu sendiri (Semisal PERBUATAN adalah Ibadah personal sehari-hari, dst), pada dasarnya pengertian Ibadah ya seperti di atas itulah.
Maka, ketika dilakukan sebuah IBADAH PENGUCAPAN SYUKUR untuk maksud POLITIK dengan menggunakan semua skema dan unsur peribadatan spiritual, maka Ibadah yang dimaksud sudah kehilangan makna sesungguhnya. Ibadah yang semestinya menyatukan semua orang dalam sebuah pemujaan untuk maksud spiritual, kini disisipi dengan kepentingan politik yang memicu perpecahan dikalangan umat. Dan tepat inilah yang terjadi dalam konteks Ibadah Pengucapan Syukur salah satu Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden sementara proses Pemilihan dan penentuan Pemenang masih terbentang beberapa hari ke depan.
Kita tidak perlu memeriksa motif-motif politik yang terkait dengan Ibadah yang dimaksud. Cukup untuk melihat hal sederhana: Proses Penetapan PEMENANG Pemilihan Presiden belum selesai, malah cenderung dalam perbedaan pendapat yang tajam dan dimetral, tiba-tiba Ibadah Syukur kemenangan sudah dilaksanakan. Bukankah Ibadah ini sama dengan memecah belah umat atas satu peristiwa yang belum punya keputusan tapi dipaksakan seakan-akan sudah ada keputusan dan "melaporkannya" kepada TUHAN. Astaga ...... skandal apa pula ini?
Karena itu, Ibadah yang dimaksud kami namakan IBADAH BERACUN. Karena memecah belah umat dan bahkan, maaf, mempermalukan kekristenan di persada bernama Indonesia ini. Dan ibadah seperti ini, selain BERACUN, juga MENJIJIKKAN. Bahkan masih ditambahkan dengan kalimat menjijikkan lainnya yang sangat tidak pantas masuk dalam wilayah spiritual dan kerohanian: "Jika tidak memilih si A, maka anda BERDOSA ......."
Luar biasa. Sudah Ibadahnya beracun dan menjijikkan, wejangan sang Pendeta juga berisikan wejangan beracun dan sangat merusak keharmonisan intern umat Kristiani sendiri. Siapapun yang melaksanakannya, entah bagi Pasangan Nomor 1 ataupun pasangan nomor 2, jika melakukan dengan cara seperti itu, maka Ibadahnya BERACUN, memecah belah jemaat dan MEMALUKAN serta MENJIJIKKAN.
Estafet Kebangsaan
Untungnya, keesokan harinya, kita dihibur oleh sebuah perform menarik, bertajuk ESTAFET KEBANGSAAN. Secara terminologi memang dapat kita bertanya lebih jauh, tetapi sebagaimana penjelasan ONCE (Musisi) dan Andre (Opa) Sumual, acara ini memuat pesan yang sangat indah: Agar Estafet kepemimpinan bangsa berlangsung secara DAMAI. Agar siapapun yang terpilih menjadi Presiden, dia bukan cuma amanah, tetapi juga TELADAN, tetapi juga ada bersama RAKYATNYA, dan memimpin untuk kebersamaan, bukan untuk kelompok tertentu.
Kita kemudian dihibur oleh banyak MUSISI yang melantunkan nada lagu dengan pesan yang sama: Bahwa kita, Indonesia, membutuhkan perubahan dan perbaikan untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Bahwa Indonesia Bangsa yang besar ini, membutuhkan Pemimpin yang amanah, Pemimpin yang peduli akan rakyatnya, dan bahwa Bangsa besar ini harus BERSATU. Jangan sampai Pemilihan Presiden ini memecah Bangsa kita menjadi puing yang nanti tidak punya makna Indonesia lagi.
Sudah cukup? Belum. Kita masih mendengarkan pandangan beberapa pengamat semisal Imam Prasodjo dan Yenni Wahid, yang menyuarakan hal yang sama: Pentingnya PERSATUAN INDONESIA. Apalah artinya SATU, apalah artinya DUA, jika kita kemudian saling bantai sendiri?. Maka pentingnya bersatu bagi Indonesia lebih dari sekedar gebyar-gebyar memilih Presiden. Masa depan Indonesia lebih penting dari sekedar seorang Presiden, meski memilih Presiden baru memang sangat penting. Meski demikian, kita berharap, para pengamat di atas berharap, perubahan yang hadir nanti mengantarkan Bangsa Indonesia menjadi lebih demokratis, lebih beradab dan lebih maju.
Bukankah ini "khotbah" dengan PESAN yang sangat indah dan luhur? Ketimbang memecah masyarakat dalam posisi diametral dan saling berhadapan, mereka menyuarakan pesan DAMAI. Pesan bahwa Bangsa besar ini perlu untuk menatap jauh kedepan dan bukan terus membelalakkan mata guna sekedar bertengkar suara kami lebih banyak dari kalian. Jika tidak ada etika dan mengikuti aturan main, bagaimana mungkin kita matang dalam berdemokrasi? Sungguh pesan yang menyejukkan dan jauh dari acungan klaim bahwa kami menang dan anda kalah. Ini yang dibutuhkan ketika Bangsa besar ini seakan terkoyak dua oleh pilihan antara 1 dan 2, meski ini memang ujian yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia untuk menjadi lebih besar lagi.
Apa Yang Ingin Saya Katakan !!!
Sungguh, saya malu dengan penggunaan tajuk IBADAH dalam konteks yang sangat tidak tepat dan memalukan itu. Sebagai Orang Kristen, saya malu dengan penyalahgunaan Ibadah oleh tokoh-tokoh (jika benar mereka tokoh) yang mengaku petinggi Agama. Saya teringat dengan gambaran tokoh-tokoh yang menyalah gunakan Ibadah seperti gambaran Hosea dan Amos. Gambaran yang menyebutkan bahwa IBADAHMU adalah IPUH (Alias getah yang beracun). Dan sayangnya, parade Ibadah (atau Ibadah-ibadahan) memuakkan ini berlangsung dengan khotbah yang tidak membawa damai, tetapi khotbah Gerejawi yang terlampau politis. Dan TUHAN dibawa bawa untuk menakut-nakuti orang agar mengikuti sabda politik (bukan sabda rohani) sang petinggi agama.
Wahai para petinggi agama, selayaknya belajar dari kawan-kawan musisi yang berusaha untuk menganyam keharmonisan dan kebersamaan. Mereka tidak banyak bicara, tidak memerintah, tidak mengajari, apalagi berkhotbah. Tidak ....... mereka memilih untuk berkata-kata lewat karya, lewat lagu dan lewat lirik yang mengajak orang untuk DAMAI. Mengajak orang untuk BERSATU, mengajak orang untuk TIDAK BERKELAHI. Jika demikian, siapa yang sebenarnya berlaku dan bertindak sebagai pembawa pesan TUHAN? Jika TUHAN cinta damai, maka mereka yang membawa pesan damai adalah mereka yang takut TUHAN.
Disini soalnya. Ketika Ibadah tidak membawa damai tetapi membawa perpecahan di kalangan umatnya, maka prakarsa ibadah dan pendeta yang berkotbah provokatif, rasanya perlu berpikir ulang. Jika perlu, segera bertobat. Karena khotbah sesungguhnya, justru dilantunkan secara manis, secara sopan dan didengar bukan oleh satu umat belaka, tetapi didengar oleh segenap Bangsa Indonesia. Bukankah panggilan kalian adalah menjadi Garam dan Terang Dunia? Mengapa justru harus para musisi yang mengajari kalian bagaimana menjadi Garam dan terang itu? Ach, sungguh Once Mekel dan Andre Sumualperlu mengajari para petinggi agama yang keblinger menghadirkan agama untuk mempermalukan kekristenan. Meski mereka berdua bukan PETINGGI AGAMA, tetapi mereka merancang khotbah yang hidup bagi Bangsa ini.
Sayapun harus mengatakan salute bagi para Musisi. Tulisan ini yang kedua saya abdikan buat kalian yang senang BERKHOTBAH tidak dengan MENDIKTE, tidak dengan MENAKUT-NAKUTI, tidak dengan MENUDUH ANDA BERDOSA, tetapi melalui syair, melalui lirik dan lagu yang terdengar indah di telinga dan hati banyak orang Indonesia. Terima kasih jika akhirnya ESTAFET KEBANGSAAN lebih bernuansa RELIGI karena bernuansakan perdamaian, ketimbang acara RELIGI yang bernuansakan Politik yang kental.
Maka, jika akhirnya Bangsa ini tiba di tanggal 22 Juli 2014, dimana energi banyak anak bangsa tumpah ruah untuk memenangkan pasangan dukungannya, mestilah kita berkata: RAKYAT INDONESIA sudah menentukan pilihannya. Dan saatnya kita melangkah bersama dengan kepala tegak. Karena sekali lagi kita sanggup melaksanakan sekaligus dan membuktikan bahwa Bangsa kita mampu melewati ujian berat proses demokratis lewat Pemilihan Presiden Langsung yang berlangsung damai. Ini bukan kebanggaan absurd, karena bahkan Pemilihan Presiden kita masih lebih demokratis dibandingkan mbah demokrasi dunia, Amerika Serikat .......... Maka, banggalah kita semua. Tetapi, KERJA BELUM SELESAI ........
Jakarta, 21 Juli 2014
Ada 2 kejadian menarik dalam sisi pembelajaran yang berbeda dalam 2-3 hari belakangan. Keduanya terkait dengan Pemilihan Presiden, tetapi dengan efek pembelajaran yang berbeda. Sekilas keduanya seperti tidak berkaitan, dan memang seperti itu adanya. Tetapi, dengan sedikit berpikir, banyak yang dapat ditarik dari dua acara berbeda tersebut.
Acara pertama adalah IBADAH PENGUCAPAN SYUKUR atas Kemenangan pasangan Prabowo+Hatta dalam Pemilihan Presiden 2014 dengan mengambil tempat di Jakarta Convention Centre (JCC). Tepatnya pada tanggal 19 Juli 2014. Sementara acara lainnya, adalah ESTAFET KEBANGSAAN, sebuah acara yang digagas oleh kaum pemusik (Musisi) dan disiarkan oleh beberapa Stasiun Televisi Swasta pada tanggal 20 Juli 2014.
Bagaimana pula hubungan antara Ibadah dan sebuah perform beberapa artis dan pengamat dalam tajuk Estafet Kebangsaan itu?
Ibadah "Beracun"
Ibadah sejatinya adalah sebuah ritual, yang jika secara sederhana dalam konteks kekristenan berarti sebuah ritual untuk menunjukkan ketaatan, memuji kebesaran TUHAN. Ibadah merupakan sebuah kemestian karenanya. Karena sebuah komponen dan elemen mendasar dalam keberagamaan, maka ritual peribadatan sebetulnya adalah aktifitas spiritual/religius dan untuk kepentingan religius. Dia mengatasi semua perbedaan umat dan menyatukannya dalam sebuah ungkapan syukur kepada Tuhan.
Sejatinya demikian. Tetapi, bukan berarti tidak ada yang "nakal" dan bermain-main dengan substansi peribadatan yang disebutkan di atas. Terlepas dari pemahaman Teologis yang lebih dalam seputar IBADAH itu sendiri (Semisal PERBUATAN adalah Ibadah personal sehari-hari, dst), pada dasarnya pengertian Ibadah ya seperti di atas itulah.
Maka, ketika dilakukan sebuah IBADAH PENGUCAPAN SYUKUR untuk maksud POLITIK dengan menggunakan semua skema dan unsur peribadatan spiritual, maka Ibadah yang dimaksud sudah kehilangan makna sesungguhnya. Ibadah yang semestinya menyatukan semua orang dalam sebuah pemujaan untuk maksud spiritual, kini disisipi dengan kepentingan politik yang memicu perpecahan dikalangan umat. Dan tepat inilah yang terjadi dalam konteks Ibadah Pengucapan Syukur salah satu Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden sementara proses Pemilihan dan penentuan Pemenang masih terbentang beberapa hari ke depan.
Kita tidak perlu memeriksa motif-motif politik yang terkait dengan Ibadah yang dimaksud. Cukup untuk melihat hal sederhana: Proses Penetapan PEMENANG Pemilihan Presiden belum selesai, malah cenderung dalam perbedaan pendapat yang tajam dan dimetral, tiba-tiba Ibadah Syukur kemenangan sudah dilaksanakan. Bukankah Ibadah ini sama dengan memecah belah umat atas satu peristiwa yang belum punya keputusan tapi dipaksakan seakan-akan sudah ada keputusan dan "melaporkannya" kepada TUHAN. Astaga ...... skandal apa pula ini?
Karena itu, Ibadah yang dimaksud kami namakan IBADAH BERACUN. Karena memecah belah umat dan bahkan, maaf, mempermalukan kekristenan di persada bernama Indonesia ini. Dan ibadah seperti ini, selain BERACUN, juga MENJIJIKKAN. Bahkan masih ditambahkan dengan kalimat menjijikkan lainnya yang sangat tidak pantas masuk dalam wilayah spiritual dan kerohanian: "Jika tidak memilih si A, maka anda BERDOSA ......."
Luar biasa. Sudah Ibadahnya beracun dan menjijikkan, wejangan sang Pendeta juga berisikan wejangan beracun dan sangat merusak keharmonisan intern umat Kristiani sendiri. Siapapun yang melaksanakannya, entah bagi Pasangan Nomor 1 ataupun pasangan nomor 2, jika melakukan dengan cara seperti itu, maka Ibadahnya BERACUN, memecah belah jemaat dan MEMALUKAN serta MENJIJIKKAN.
Estafet Kebangsaan
Untungnya, keesokan harinya, kita dihibur oleh sebuah perform menarik, bertajuk ESTAFET KEBANGSAAN. Secara terminologi memang dapat kita bertanya lebih jauh, tetapi sebagaimana penjelasan ONCE (Musisi) dan Andre (Opa) Sumual, acara ini memuat pesan yang sangat indah: Agar Estafet kepemimpinan bangsa berlangsung secara DAMAI. Agar siapapun yang terpilih menjadi Presiden, dia bukan cuma amanah, tetapi juga TELADAN, tetapi juga ada bersama RAKYATNYA, dan memimpin untuk kebersamaan, bukan untuk kelompok tertentu.
Kita kemudian dihibur oleh banyak MUSISI yang melantunkan nada lagu dengan pesan yang sama: Bahwa kita, Indonesia, membutuhkan perubahan dan perbaikan untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Bahwa Indonesia Bangsa yang besar ini, membutuhkan Pemimpin yang amanah, Pemimpin yang peduli akan rakyatnya, dan bahwa Bangsa besar ini harus BERSATU. Jangan sampai Pemilihan Presiden ini memecah Bangsa kita menjadi puing yang nanti tidak punya makna Indonesia lagi.
Sudah cukup? Belum. Kita masih mendengarkan pandangan beberapa pengamat semisal Imam Prasodjo dan Yenni Wahid, yang menyuarakan hal yang sama: Pentingnya PERSATUAN INDONESIA. Apalah artinya SATU, apalah artinya DUA, jika kita kemudian saling bantai sendiri?. Maka pentingnya bersatu bagi Indonesia lebih dari sekedar gebyar-gebyar memilih Presiden. Masa depan Indonesia lebih penting dari sekedar seorang Presiden, meski memilih Presiden baru memang sangat penting. Meski demikian, kita berharap, para pengamat di atas berharap, perubahan yang hadir nanti mengantarkan Bangsa Indonesia menjadi lebih demokratis, lebih beradab dan lebih maju.
Bukankah ini "khotbah" dengan PESAN yang sangat indah dan luhur? Ketimbang memecah masyarakat dalam posisi diametral dan saling berhadapan, mereka menyuarakan pesan DAMAI. Pesan bahwa Bangsa besar ini perlu untuk menatap jauh kedepan dan bukan terus membelalakkan mata guna sekedar bertengkar suara kami lebih banyak dari kalian. Jika tidak ada etika dan mengikuti aturan main, bagaimana mungkin kita matang dalam berdemokrasi? Sungguh pesan yang menyejukkan dan jauh dari acungan klaim bahwa kami menang dan anda kalah. Ini yang dibutuhkan ketika Bangsa besar ini seakan terkoyak dua oleh pilihan antara 1 dan 2, meski ini memang ujian yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia untuk menjadi lebih besar lagi.
Apa Yang Ingin Saya Katakan !!!
Sungguh, saya malu dengan penggunaan tajuk IBADAH dalam konteks yang sangat tidak tepat dan memalukan itu. Sebagai Orang Kristen, saya malu dengan penyalahgunaan Ibadah oleh tokoh-tokoh (jika benar mereka tokoh) yang mengaku petinggi Agama. Saya teringat dengan gambaran tokoh-tokoh yang menyalah gunakan Ibadah seperti gambaran Hosea dan Amos. Gambaran yang menyebutkan bahwa IBADAHMU adalah IPUH (Alias getah yang beracun). Dan sayangnya, parade Ibadah (atau Ibadah-ibadahan) memuakkan ini berlangsung dengan khotbah yang tidak membawa damai, tetapi khotbah Gerejawi yang terlampau politis. Dan TUHAN dibawa bawa untuk menakut-nakuti orang agar mengikuti sabda politik (bukan sabda rohani) sang petinggi agama.
Wahai para petinggi agama, selayaknya belajar dari kawan-kawan musisi yang berusaha untuk menganyam keharmonisan dan kebersamaan. Mereka tidak banyak bicara, tidak memerintah, tidak mengajari, apalagi berkhotbah. Tidak ....... mereka memilih untuk berkata-kata lewat karya, lewat lagu dan lewat lirik yang mengajak orang untuk DAMAI. Mengajak orang untuk BERSATU, mengajak orang untuk TIDAK BERKELAHI. Jika demikian, siapa yang sebenarnya berlaku dan bertindak sebagai pembawa pesan TUHAN? Jika TUHAN cinta damai, maka mereka yang membawa pesan damai adalah mereka yang takut TUHAN.
Disini soalnya. Ketika Ibadah tidak membawa damai tetapi membawa perpecahan di kalangan umatnya, maka prakarsa ibadah dan pendeta yang berkotbah provokatif, rasanya perlu berpikir ulang. Jika perlu, segera bertobat. Karena khotbah sesungguhnya, justru dilantunkan secara manis, secara sopan dan didengar bukan oleh satu umat belaka, tetapi didengar oleh segenap Bangsa Indonesia. Bukankah panggilan kalian adalah menjadi Garam dan Terang Dunia? Mengapa justru harus para musisi yang mengajari kalian bagaimana menjadi Garam dan terang itu? Ach, sungguh Once Mekel dan Andre Sumualperlu mengajari para petinggi agama yang keblinger menghadirkan agama untuk mempermalukan kekristenan. Meski mereka berdua bukan PETINGGI AGAMA, tetapi mereka merancang khotbah yang hidup bagi Bangsa ini.
Sayapun harus mengatakan salute bagi para Musisi. Tulisan ini yang kedua saya abdikan buat kalian yang senang BERKHOTBAH tidak dengan MENDIKTE, tidak dengan MENAKUT-NAKUTI, tidak dengan MENUDUH ANDA BERDOSA, tetapi melalui syair, melalui lirik dan lagu yang terdengar indah di telinga dan hati banyak orang Indonesia. Terima kasih jika akhirnya ESTAFET KEBANGSAAN lebih bernuansa RELIGI karena bernuansakan perdamaian, ketimbang acara RELIGI yang bernuansakan Politik yang kental.
Maka, jika akhirnya Bangsa ini tiba di tanggal 22 Juli 2014, dimana energi banyak anak bangsa tumpah ruah untuk memenangkan pasangan dukungannya, mestilah kita berkata: RAKYAT INDONESIA sudah menentukan pilihannya. Dan saatnya kita melangkah bersama dengan kepala tegak. Karena sekali lagi kita sanggup melaksanakan sekaligus dan membuktikan bahwa Bangsa kita mampu melewati ujian berat proses demokratis lewat Pemilihan Presiden Langsung yang berlangsung damai. Ini bukan kebanggaan absurd, karena bahkan Pemilihan Presiden kita masih lebih demokratis dibandingkan mbah demokrasi dunia, Amerika Serikat .......... Maka, banggalah kita semua. Tetapi, KERJA BELUM SELESAI ........
Jakarta, 21 Juli 2014
No comments:
Post a Comment