UU Pornografi: Akankah Dipaksakan?
Oleh: Audy WMR Wuisang
Bahkan per definisi, Pornografi dalam RUU Pornografi (UUP) sudah mengundang perdebatan. Belum lagi menyoal isinya. Jangankan mendatangi Papua dan Bali yangbakal terimbas secara kultural, mendengar suara mereka sajapun belum. Tetapi,sayangnya RUU kontroversial itu, nampaknya bakal dipaksakan untuk ditetapkan.
Meskipun misalnya, baik Fraksi PDIP maupun PDS sudah sejak awal menegaskan: UUP tidak layak diundangkan. Bukan hanya di parlemen penolakan itu bergaung, tetapi juga dikalangan civil society dan komponen masyarakat adat lainnya. Pada saat kontroversi RUU ini (ketika masih bernama Rancangan Undang UndangAnti Pornoaksi dan Pornografi) mulai merebak, saat berjalan-jalan di Mall, sempat juga terpikirkan: "sungguh repot penjara Indonesia jika dibajiri ABG-ABG ini". Maklum, Mall-Mall di Indonesia, bukan hanya di Jakarta, memang dijejali kaum muda yang diberi label "porno" atau "mengundang berahi" oleh UUP ini.
Belum lagi memikirkan, betapa banyaknya ibu-ibu atau bahkan anak gadis di kampung-kampung yang berpakaian seadanya karena memang demikianlah mereka hidup dalam kesehariannya. Harus jugakah mereka secara paksa dikategorikan "merangsang berahi" mereka yang memandangnya?Menghadang peredaran pornografi dalam bentuk cetakan atau sejenisnya memang perlu bagi kita. Tetapi melebarkan area itu melalui pemaksaan definisi yang kabur dan mengambang serta kemudian memaksakan pandangan sepihak atas penafsiran dan pemaknaan pornografi tentu keliru. Apalagi, Indonesia bukan realitas kultural yang homogen.
Menerapkan standar homogen, baik dari segi norma dan moral dengan mengabaikan realitas lokal, bakal menuai protes. Entahlah, masih belum cukupkah pengalaman Negeri ini dengan proses pemaksaan dominasi tafsir sebagaimana pada masa orde baru?Baru beberapa saat konfirmasi penolakan yang digalang masyarakat adat dan civil society masuk dalam bentuk sms. Di beberapa daerah, semisal Makasar, Ambon, Manado, NTT, Bali, Papua, Jatim, Kalsel, Kalteng, Kaltim dan menyusul banyak daerah lain terkonsolidasi untuk menolak RUUP yang kontroversial ini. Persoalannya bukan hanya menafikan konteks budaya lokal dibeberapa daerah, tetapi juga mengkategorisasi secara kasar budaya daerah sebagai porno.
Mana bisa begitu? keluh banyak aktivis. Tetapi begitulah, proses yang sudah dibuka dan dipercakapkan dibanyak media dewasa ini, masih tetap terus dipaksakan untuk ditetapkan di parlemen. Alhasil, demo dan protes digalang bukan hanya di gedung Parlemen pada Senin dan Selasa mendatang, tetapi juga secara simultan dibanyak daerah.Apa yang dicari sebenarnya? Bukankah terkait masalah susila dan pornografi sudah ada payung hukum dalam bentuk UU yang lain? apa pula signifikansinya mengatur pornografi dengan menempatkan perempuan dalam status "terdakwa". Seakan-akan perempuan adalah pengundang nafsu berahi lelaki belaka dan karenanya perlu diatur cara berpakaiannya dan cara berlakunya.
Tetapi, melupakan dan tidak memberi ruang dan tempat untuk mengatur dan menata laku para lelaki. Ach, disini, kita memasuki diskusi soal gender kembali. Tetapi memang demikian, RUUP ini memang sangat bias gender. Mereka yang paham pasti geram. Tidak usah menjadi perempuan untuk merasa tersinggung dengan bagaimana RUUP ini merumuskan rumusan diskriminatif terhadap perempuan.Banyak orang heran, termasuk saya, begitu banyak persoalan yang mesti diseriusi i Negeri ini.
Tetapi, bukannya mengurusi masalah yang nyelimet seperti lumpur porong, rekonstruksi Aceh, soal akselerasi penyebaran HIV/AIDS Papua yang tertinggi di dunia, harga BBM, kenaikan bahan pokok, masalah nuklir, atau yang lainnya, eh malah soal Pornografi yang diseriusi dan dipaksakan untuk ditetapkan. Bukannya menyepelekan dan meletakkan masalah moral pada gradasi kedua. Bukan, sama sekali bukan. Tetapi karena urusan moral ini dijadikan alasan untuk membenarkan sejumlah tindak dan pola pikir diskriminatif yang justru mau dilegalisasi dalam bentuk UU. Bagi banyak orang, bukan perkara cara berpakaian yang akan dibatasi, tetapi bahwa legalisasi pola pikir diskriminatif terhadap perempuan dan ketersinggungan pola budaya yang dikategorisasi "porno" yang menjengkelkan.
Jika memang sudah bisa dipayungi oleh UU lain, semisal UU Pers seputar pornografi serta masalah Susila yang juga sudah bisa dipayungi UU lain? mengapa memaksakan RUUP menjadi UUP? Diskusi bakal melebar jika kemudian konfigurasi di Parlemen mengerucut ke persoalan agama. Karena kebetulan pengusung RUUP adalah mayoritas Partai Islam dengan dukungan terbatas dari GOLKAR dan Demokrat. Jika konfigurasi ini mengedepan, maka dimensi persoalannya akan semakin melebar meski kemudian menjadi terpahami seputar diskriminasi perempuan dan pengabaian realitas budaya lokal. Tapi, memang trend seperti ini jugalah yang justru tersaji ke permukaan, karena aturan dan perundangan sejenis konon sudah berada diangka 247 aturan dalam berbagai bentuk: Perda,Keputusan Gubernur, dan aturan-aturan sejenis di daerah.
Jika fenomena ini dibaca sebagai sebuah rentetan legalisasi berdasarkan dominasi pandangan agama tertentu, maka besar kemungkinan RUUP akan menjadi UUP. Minggu berjalan didepan akan menyaksikan salah satu momentum legalisasi cara pandang seperti itu yang justru semakin mendegradasi KEINDONESIAAN.Sampai saat ini, aksi penolakan berdasarkan cara pandang berbeda bertebaran dimana-mana. Menyelamatkan pluralisme, mengenyahkan diskriminasi perempuan, dan tema-tema standar pergerakan dikumandangkan. Tetapi selain itu, beberapa daerah sebetulnya lantang menyuarakan suara lain: bahwa Indonesia semakin membelakangi kesepakatan bersama sebagai satu BANGSA.
Gerakan-gerakan di daerah ini semakin berhembus kencang. Tetapi, entahkah aksi-aksi di parlemen yang berlawanan dengan arus besar Parlemen akan berujung kemana? Jika dipaksakan, hampir bisa dipastikan UU itu akan tumpul dibayak daerah. Dan bukan hanya itu, benih-benih bagi mengentalnya separatisme akan menemukan lagi momentumnya. Maka, penting menunggu apakah UUP AKAN DIPAKSAKAN?
Jakarta, 12 September 08 (From My Facebook)
No comments:
Post a Comment