Media, Hukuman Mati dan KEINDONESIAAN ....... !!!
Oleh: Audy WMR Wuisang
Astaga ....... Luar biasa media Indonesia sekarang.Secara mendadak, entah disengaja entah tidak,nyaris tak ada satu media Televisipun yang menayangkanproses menjelang eksekusi terpidana mati Amrozi, dkk dalam tradisi "both side covered".Yang terjadi adalah, pemberitaan yang cenderung berlebihandan menimbulkan belas kasihan massa kepada keluarga korbandengan kemudian melupakan mereka yang menjadi korban ledakan.Lebih miris lagi, pemberitaan mengarah ke kesimpulanbetapa keputusan eksekusi adalah "pebcideraan" atas komunitasagama tertentu di Indonesia.
Repotnya, aparat yang berwenangpun terkesan "mengulur-ulur" waktudan membuat pers mejadi punya waktu yang cukup untuk melakukan improvisasiserta dramatisasi atas kejadian yang berlangsung. Dan semuapun berlangsung dalam pemberitaan yang langsung dari lokasi dan menambah kesan dramatis dari saat kesaat. Secara pribadi, sayapun tidak begitu sepakat dengan hukuman mati, hanya sayang,kesan bahwa eksekusi ini bernuansa politis sangat tidak bisa dilepaskan dari eksekusi Tibo, dkk sebelumnya. Jika Tibo, cs dieksekusi dalam kasus Poso, maka Amrozi, dkkdieksekusi dalam kasus ledakan Bom Bali, lengkap dengan kontroversi yang menyelubungi kedua kasus kemanusiaan yang menyayat hati itu.
Betapapun, seandainya kita menempatkan diri dalam posisi korban ledakan bali,maka bagaimana perasaan kita ketika menyaksikan mereka yang menjadi pelaku dikesankan sebagai hero? Apakah sebagai keluarga korban kita tidak berhakuntuk diberitakan efeknya secara psikhis dan secara fisik bahkans ecara sosial ekonomi pasca tragedi itu? Dan mengapa justru sekarang tempat itu berada pada posisi keluarga pelaku yang menyebabkan korban Bali menghadapi beban hidup yang dulunya begitu tak tertahankan? Logika apakah gerangan ini? Logika pers yang berorientasi pasar? ataukah ada logika terselubung lainnya dibalik semua fakta ini? Ach, klise kalau berkata, bahwa inilah wajah pers Indonesia yang memang harus melakukan dramatisasi peristiwa untuk sekedar eksist dalam belantara pasar politik Indonesia kontemporer.
Bahwa kesan TV Indonesia seperti kehilangan daya kreatifitas merekat ke-Indonesia-an, justru semakin membayang dan semakin mengental. Terlampau beragamnya media Indonesia dengan ketersediaan tenaga profesional untuk mengawal kualitas dan moralitas pemberitaan, adalah gambar buram p[ers Indonesia dewasa ini, termasuk Televisi. Jadi, walahualam, begitulah wajah dunia elektronik kita.Tapi tunggu, apakah dengan demikian kita akan membiarkan kesan dan efek negatif dari proses berat sebelah itu? dan kemudian menunggu dentuman lain yang akan semakin mereduksi KEINDONESIAAN itu? Memang benar, demokrasi kita belum dewasa dan belum matang. Sayapun termasuk orang yang mengapresiasi pers untuk turut serta dalam proses pematangan demokrasi Indonesia (konsolidasi demokrasi).
Karena itu, sayapun berharap proses seperti ini menjadi proses belajar bagi Pers Indonesia, bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan bagi insan pers secara keseluruhan. Bukan sedikit orang yang kesal dengan pemberitaan TV yang secara langsung mengeksplorasi kesedihan keluarga dan spontanitas umat yang bersimpati. Bahkan juga dukungan-dukungan yang disebutkan semakin membludak, sementara pemberitaan keluarga korban dan efeknya tenggelam. Apalagi ledakan itu sendiri. Wajar bila kemudian muncul gerakan-gerakan dan pemberitaan yang menyebutkan bahwa eksekusi itu adalah penghinaan terhadap umat Islam. Benar, bahwa pandangan itupun memang miring, tetapi bahwa pandangan itu turut terbentuk oleh pemberitaan yang berat sebelah, memang juga tak terhindarkan.
Kembali ke pertanyaan tadi, bagaimana kemudian?Kontroversi pemberitaan terhadap kasus eksekusi berlangsung dalam batas kewajaran.Toch memang sudah sejak awal kesan bahwa "Tibo, cs dieksekusi nanti menyusul Amrozi, cs". Tersirat dibaliknya "bukan cuma kelompok Kristen/Katolik yang dieksekusi, tapi juga kelompok Muslim". Padahal, bukankah baik Protestan, Katolik maupun Islam sebagai agama tidaklah tahu menahu dengan persoalan memalukan di Ambon, Poso, Bali dan beberapa tempat yang lain. Yang runyam kan adalah, mereka yang memanfaatkan agama dan mempolitisasi agama untuk keperluan-keperluan praktisnya. Dan lebih repot lagi, pemerintah masih belum beranjak dari kategorisasi berpolitik dengan cara demikian. Akibatnya, rasa kemanusiaan dan keadilan yang mengiringi kepergian Tibo, cs dan kemudian Amrozi, cs adalah solidaritas keagamaan yang menganggap mereka adalah MARTYR. Betapapun naifnya pikiran itu, tapi kondisi yang ditimbulkan memang mengkondisikan munculnya perasaan dan sentimen tersebut.
Benarkah Tibo, cs martir? benarkah Amrozi, cs martir? Tidak akan ada jawaban pasti didunia ini, tidak saya, tidak juga anda. Satu hal yang pasti justru adalah kekisruhan yang terwariskan dalam situasi yang serba kalut seperti ini. Dalam situasi dimana kebiasaan mempolitisasi agama begitu kental bagi banyak komponen bangsa ini, bahkan juga pemerintah.Sampai kapan kita terlepas dari kerancuan seperti ini? Sampai kapan Pers Indonesia mulai lebih profesional dalam penayangannya dan bukan lebih banyak melahirkan kontroversi dan bahkan pembodohan lewat dominasi sinetron bagi Keindonesiaan kontemporer? Kapan Civil Society mulai menemukan kekuatannya dalam mengedepankan Keindonesiaan yang pluralis sebagai saripati kekuatan kampanye dan aksinya? Kapan pula pemerintah berdiri secara rasional dan menempatkan kepentingan rakyat sebagai sentra dan fokus kerjanya? Kita memang tidak menunggu SIM SALA BIM dan dalam sehari terwujud, tetapi kita akan menunggu, mungkin lama, tetapi yang pasti berproses menuju kematangannya. Memang lama dan mahal, entah kapan, tetapi lebih baik kita terus berjalan daripada menoleh kebelakang dan lupa maju.
(My Facebook, 8 Nov 2008)
No comments:
Post a Comment