MENUJU PEMILU 2009
Oleh:
Audy WMR Wuisang
Benar, proses penjaringan di tingkat Partai Politik sudah dan sedang berlangsung. Meskipun KPU baru saja kena shock therapy dari 4 partai kecil yang melalui PTUN melenggang maju sebagai 4 partai tambahan peserta Pemilu 2009. Terlepas dari tambahan 4 partai baru, sehingga lengkapnya 38 Parpol peserta Pemilu 2009, hingar bingar politik Indonesia menjadi semakin terasa. Semua parpol bergegas mempersiapkan daftar calon legislatif sementara. Herannya, baik parpol lama maupun parpol baru, ternyata kelimpungan dalam memenuhi kuota bukan cuma mengisi daftar caleg, tetapi juga kuota 30% kader perempuan. Beberapa bahkan meminta waktu tambahan.
Trick dan improvisasi kemudian bermunculan. Bukan hanya PAN yang mengusung demikian banyak artis untuk mendongkrak perolehan suara, tetapi bahkan kemudian belakangan GOLKAR mengikuti arus penetapan anggota berdasarkan suara terbanyak. Ini keanehan yang satu lagi. Maklum, GOLKAR dikenal sangat keras mempertahankan sistem proporsional tertutup, atau berdasarkan nomor urut. Belakangan, mereka menyusul sejumlah partai medioker-kecil yang menatap harap-harap cemas untuk melampaui parliament treshold 2,5% total perolehan kursi nasional. Apa gunanya jalur trade off (lobby) yang lama digunakan memutuskan proporsional tertutup jika kemudian akhirnya disiasati hampir semua partai pada akhirnya?
Politik Indonesia memang aneh. Kata seorang kawan dalam sebuah diskusi di UNDP. Tetapi, kata yang lain, keanehan itu wajar bagi sebuah Bangsa yang mengimpor Demokrasi tetapi mengisinya dengan kultur yang masih incompatible. Pada akhirnya, biarlah Bangs ini belajar menemukan sistem dan mekanisme terbaik baginya melalui proses belajar, betapapun panjang masa belajar itu. Tetapi, disinilah masalahnya. Indonesia seakan belajar dengan menutup mata dari praktek dan pengalaman Negara lain. AKibatnya, selain masa belajar menjadi lebih panjang, adaptasi atas pilihan juga memanjang, social dan political costnya juga dengan sendirinya meningkat.
Efek dari "Penyiasatan massal" Parpol ini (mungkin saja Penghianatan atas kesepakatan yang dituangkan dalam UU Pemilu) adalah, pertanyaan "sejauh mana pendidikan politik dan rekruitmen politik setiap Parpol tergambarkan dalam proses pencalegan"?. Pertanyaan penting. Karena hampir semua partai politik gurem, memilih ide penetapan berdasarkan suara terbanyak dan menjaring calon populer untuk mendongkrak perolehan suara agar melampaui batas minimal 2,5% total suara nasional. Efek dari siasat ini adalah: Figur yang dianggap memiliki dukungan dan basis suara besar akan dikedepankan, jika perlu dengan meminggirkan dulu kader yang dibina partai sejak awal. Dan inilah yang terjadi di beberapa partai politik gurem. Rekruitmen instan seperti PAN merekrut puluhan artis menjadi sah. YANG PENTING LOLOS PARLIAMENT TRESHOLD (PT) DULU. Urusan lain menyusul. Sangat benar. Bagaimana mungkin duduk di parliament jika 2,5% tidak tercapai? maka urusan utama dan terutama adalah, lolos PT. Soal idealisme terpaksa ditunda.
Anehnya, GOLKAR juga ikut-ikutan. Bukannya mempertahankan pilihan dan ide utama mereka soal Proporsional dengan List Tertutup, justru ikut meramaikan gawean partai yang berjuang di garis batas megap-megap mencapai parliament treshold. INI POLITIK BUNG, kata kawan-kawan dari Medan. Segala sesuatu mungkin. Benar juga (?!). Apakah karena GOLKAR merasa khawatir perolehan suara mereka tergerogoti oleh puluhan partai baru dan sebagian besarnya adalah sempalan mereka? ataukah ada kekhawatiran lainnya?
Betapapun, efek dari penyiasatan UU Pemilu ini melahirkan 2 respons yang bertolak belakang. Banyak kalangan yang memberi apresiasi positif, tetapi banyak juga yang merespons secara sebaliknya. Ada baiknya memeriksa kedua respons tersebut beserta implikasinya. Karena bukankah kita Bangsa yang sedang belajar berdemokrasi? siapa tahu masa belajar kita bisa dipersingkat dan advance ke tahapan yang lebih baik.
Salah satu perdebatan hangat menjelang Penetapan UU Pemilihan Umum pada paroh akhir tahun 2008 adalah: Apakah memilih Sistem Proporsional dengan List Terbuka (Berdasarkan Perolehan Suara Terbanyak) ataukah Proporsional Murni dengan List Tertutup (Berdasarkan Nomor Urut). Dan sebagaimana diketahui, sistem yang dipilih adalah sistem kompromi: Berdasarkan Nomor Urut dengan catata, apabila ada salah satu calon memperoleh 30% dari BPP, maka calon tersebut berhak menjadi Anggota DPR (D).
Perdebatan untuk menghasilkan kompromi ini terjadi dalam banyak episode diskusi, dialog, hearing di banyak tempat. Baik NGO's, Politisi, Akademisi dan pihak lain terkait ikut urun rembuk dengan hasil akhir diputuskan oleh DPR RI. Tempat dialog dan diskusipun berganti ganti, di hotel, restoran dan bahkan cafe. Termasuk proses lobby kompromi di DPR yang melibatkan hampir semua kekuatan utama partai untuk tumplek memikirkan dan melakukan lobby agar "SEMUA BISA TERPUASKAN". Dan memang, jalan yang dipilih memang jalan ini: SEMUA TERPUASKAN. Bahkan dalam banyak hal krusial, voting dihindari, meski sesekali juga dipakai.
Keanehan kembali mencuat kepermukaan, ketika lobby-lobby tingkat tinggi antara Parpol menyepakati UU Pemilu, dalam praktek menuju PEMILU 2009, sejumlah pola menyiasati UU tersebut dilakukan. Salah satunya adalah penetapan Calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Dan karena banyaknya Partai yang memilih pilihan ini, menyusul PAN, PDS dan PBR, maka perdebatan yang terjadi pada saat terakhir seputar pilihan itu mencuat lagi kepermukaan.Adalah Kelompok Perempuan (dan Pemuda) yang kemudian menjadi repot karena penyiasatan parpol ini. Secara teori, perempuan di Negara Berkembang semisal Indonesia, membutuhkan affirmative action guna meningkatkan kuantitas perwakilan mereka. Dan, pilihan Prporsional Tertutup sebagaimana praktek Negara-negara Skandinavia telah memberi bukti empiris. Jika Perempuan melakukan start yang sama dengan laki-laki, maka hasil akhir akan mudah untuk ditebak karena perempuan mengalami stigmatisasi secara moral, politik dan kultural.
Pandangan bahwa Politik adalah dunia maskulin masih merupakan pandangan mayoritas penduduk Indonesia. Bahkan agama-agamapun, masih banyak yang mengesahkan cara pandang semacam ini. Bukan hanya di Islam, tetapi bahkan ekspresi sejenis masih sering ditemui di kalangan agama lain, termasuk Katolik dan Kristen meski dalam kadar berbeda. Dengan persepsi serta budaya semacam ini, maka perempuan menghadapi persoalan berlapis dibandingkan dengan laki-laki. Jika begini, mudah ditebak, rcae atau kompetisi pasti akan dimenangkan oleh laki-laki. Artinya, perjuangan kelompok perempuan untuk meningkatkan kuantitas keterwakilan mereka kembali terkendala. Padahal, sebenarnya pilihan yang diputuskan oleh UU Pemilu 2008, sudah banyak yang mengakomodasi perjuangan kelompok perempuan.
Penelitian-penelitian, termasuk Pippa Norris misalnya, memang membuktikan bahwa: Perempuan perlu affirmative action untuk meningkatkan jumlah keterwakilan mereka. Dan kedua, pilihan Proporsional Tertutup adalah jalan terbaik bagi proses akomodasi tersebut. Dan melihat kecenderungan parpol untuk menyelamatkan eksistensi agar mampu melewati angka psikologi dan sekaligus menentukan 2,5% PT, maka issue affirmative action dan keterwakilan perempuan (dan anak muda) rasanya dipilih untuk diabaikan. Perjuangan kaum perempuan nampaknya mesti dilakukan kembali, meski akan meminta waktu lebih lama dan lebih panjang lagi.
Tetapi, ada kelompok yang juga memandang bahwa pilihan parpol menyiasati UU Pemilu dengan penetapan berdasarkan suara terbanyak adalah langkah maju. Tapi, benarkah itu sebuah langkah maju? Pertanyaan benar tidaknya itu sebuah langkah maju menjadi cukup penting agar kita tidak mengais sesuatu yang baik dari tumpukan yang jelas kurang baik. Mengapa? Seandainya motivasi mengedepankan perolehan suara menjadi pilihan karena kesadaran politik agar mendekatkan wakil rakyat dengan konstituen, maka ini merupakan langkah maju. Tetapi, dengan sistem dewasa ini yang tidak punya konetktifitas langsung antara wakil rakyat dengan konstituennya, maka masalah ini jelas diragukan.Sudah jelas terekspressikan: Bahwa masalah PT adalah landasan mengapa parpol akhirnya menyiasati UU Pemilihan Umum. Bukan karena tumbuhnya kesadaran politik baru bahwa memang dibutuhkan sistem dan mekanisme baru untuk kemudian diusulkan dalam amandemen baik UU Parpol maupun UU Pemilu yang akan datang. Jika melihat begitu dominannya parpol di parlemen lewat fraksi, dan hampir semua keputusan penting mengenai mekanisme politik dilakukan dengan cara trade off, lobby dan kompromi, maka mudah ditebak,Pemilu 2014 tidak akan bergeser jauh dari ekspressi kepentingan politik elite saat ini dan saat itu nanti.
Menjamurnya artis dan aktor untuk menjadi calon legislatif adalah indikasinya. Hampir tak ada partai yang tidak memanfaatkan figur terkenal di partainya. Apakah karena figur itu handal? Bukan juga. Tetapi karena dibutuhkan perolehan suaranya alias vote getter. Disini, figur terkenal dimanfaatkan dan dipolitisasi untuk kepentingan dan keuntungan partai politik. Dan proses ini, juga memotong proses rekruitmen positif yang sebenarnya sudah dimulai oleh parpol-parpol yang ada. Kerugian sudah bisa dilihat dan bahkan diproyeksikan saat ini akibat penyiasatan ini. Dan jika pilihan seperti ini berlanjut, dalam konteks masyarakat politik Indonesia yang masih belum dewasa, maka bukan tidak mungkin mayoritas anggota DPR adalah figur terkenal yang kurang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Parlemen seperti inikah yang diimpikan parpol dan masyarakat Indonesia? Di tengah rendahnya tingkat kepercayaan rakyat atas kedua isntitusi demokrasi ini: Partai Politik dan Parlemen, seharusnya tindakan-tindakan pembaharuan dan reformis diketengahkan. Sayang, kita masih harus menunggu beberapa tahun kedepan untuk memulai lagi perjuangan yang sama. Karena betapapun, the show mus go on ..... Pemilu 2009, lengkap dengan sisi baik dan positif serta bahkan sisi buruknya, harus menjadi pelajaran untuk lebih maju kelak.
Jakarta, Ag 08
(Dalam Facebook, ditulis dalam 2 tulisan: 22 dan 23 Agustus 2008)
No comments:
Post a Comment