(In memoriam Henriette Marianne Katoppo)
Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi
Perempuan tegar ini lahir dengan nama lengkap HENRIETTE MARIANNE KATOPPO, atau kemudian lebih dikenal dengan nama Marianne Katoppo. Lahir di Tomohon, Sulawesi Utara pada tanggal 9 Juni 1943 sebagai bungsu dari pasangan Elvianus Katoppo dan Agnes Rumokoij. Dari sebuah kota kecil yang dikenal sebagai jantungnya “Kekristenan” Sulawesi Utara, Marianne kemudian memulai sebuah “journey of live” (perjalanan kehidupan) yang penuh warna dan prestasi. Si bungsu perempuan yang mencetak banyak garis tebal dalam sejarah hidupnya, dan menjadi warisan bersejarah bagi perjalanan generasi penerusnya. Perempuan yang kokoh dan tegar dalam mengarungi kehidupannya, dan bahkan ulet dan tegas dalam mempertahankan prinsip serta pandangan-pandangannya. Tidak heran, jika dalam beberapa pertemuan, baik dalam skala nasional maupun internasional, perempuan yang satu ini hadir dalam warna yang unik dan menonjol. Sangat wajar, karena sepengetahuan penulis, dia menguasai banyak bahasa dunia, Inggeris, Jerman, Spanyol, Perancis, dan entah bahasa apalagi. Tentu termasuk bahasa Indonesia didalamnya.
Pada tahun 1998, manakala suhu politik sedang memanas, Marianne yang kritis terhadap regime orde baru sibuk memarah-marahi yunior-yuniornya yang sedang dalam pergerakan. Salemba Raya 10, Kantor MPH-PGI dan juga sekretariat PP GMKI dan DPP GAMKI, sedang menjadi markas dan pertemuan banyak aktivis muda Kristen. Disana, selain memompakan spirit dan amarah terhadap regime yang menjelang tumbang, Marianne juga sibuk mencari penjaga bagi puluhan ekor kucing dirumahnya. Dan biasanya, aktivis bernama Aryawirawan Simauw yang menjadi sasaran tembak karena menjadi yuniornya di Sekolah Tinggi Theologi Jakarta (STT Jakarta), meski Arwi, tidak pernah menyelesaikan studynya itu. Marianne yang menyelesaikan study di STT Jakarta pada tahun 1977, dan memperoleh gelar Theol.lic dari Institute Ekumenis Bossey, Swiss, 1992 memang seorang penggemar dan pencinta fanatik kucing. Seorang pendeta GMIM kawan saya, Pdt. Lili Danes, STh, waktu itu Kepala Biro Wanita PGI, selalu kerepotan mengundang Marianne sebagai pembicara dalam setiap acaranya. Alasannya selalu adalah, kepada siapa kucing-kucing itu harus dititipkan?. Unik memang.
Tetapi jangan salah, kecintaannya terhadap kucing-kucing peliharaannya, tidak mengurangi kapasitas dan komitmennya terhadap feminisme dan dunia sastra. Sebuah novel yang sangat kental dengan kultur dan budaya Minahasa berjudul “Raumanen”, mendapat penghargaan dari Dewan kesenian Jakarta (1975) dan juga Yayasan Buku Utama (1978). Bahkan lebih jauh lagi, Marianne menjadi penerima penghargaan sebagai South East Asian Writer pada tahun 1982, dan menjadi wanita pertama yang memenangkan penghargaan tersebut. Buku yang inspiratif dan cemerlang itu, pada tahun 2006 diterbitkan kembali oleh Penerbit Metafor. Buku itu sendiri seperti menjadi salah satu puncak pencapaian Marianne sebagai penulis, dan bagi saya, menjadi salah satu bukti keterikatan kultural yang dalam dengan Minahasa. Karena itulah akar budayanya, dan dari haribaan tanah itu pula dia memulai kehidupannya. Bahkan pada pertemuan terakhir dengannya, disela Kongres GMKI di Tondano, Marianne sedang menjajaki kemungkinan “pulang kampung” dan mengajar di Fakultas Theologi UKIT. Sayang, cita-citanya ini tidak pernah kesampaian. Sesuatu yang lama diimpikannya, sejak beberapa kali penulis berjumpa dan berdiskusi dengannya di Jakarta. Dalam sebuah kesempatan acara Seminar Nasional di Jogyakarta, secara sengit dia sempat berkata: “he ngana lei, keapa nda pulang-pulang”?, maksudnya kembali ke Manado.
Selebihnya, Raumanen sebetulnya bukanlah menjadi satu-satunya master piece Marianne yang memulai menulis banyak cerpen sejak masa Harian Sinar Harapan dan bahkan juga Majalah Ragi Buana. Ada cukup banyak cerpen dan novel lain yang lahir dari tangannya, seperti Dunia Tak Bermusim (1974), Anggrek Tak Pernah Berdusta (1977), Terbangnya Punai (1978) dan juga Rumah Diatas Jembatan (1981). Rangkaian tulisan Novel di atas seakan menegaskan pilihannya sebagai seorang penulis dan sastrawan yang dimulainya sejak tahun 1960-an. Karena itu, tidak mengherankan apabila Marianne kemudian pada tahun 1995 mewakili Pramoedya Ananta Toer menerima penghargaan Magsasay di manila Philipina. Keberanian Marianne yang luar biasa, mengingat Pramoedya dianggap “kutu busuk” di Negerinya sendiri, meskipun prestasinya melangit. Tetapi sayang, kedua sasrawan Indonesia yang dikenal mendunia itu, kini sudah meninggalkan kita.
Selain menulis, Marianne juga terkenal sebagai seorang Teolog Feminism pertama di Indonesia dan bahkan Asia. Karyanya yang terkenal di bidang teologi Feminis adalah Compassionate and Free: An Asian Woman's Theology (1979). Buku tulisannya ini di terjemahkan dalam banyak bahasa, antaranya Belanda, Jerman, Swedia dan bahkan Tagalog dan menjadi bahan ajar di banyak Sekolah Teologi di dunia. Bahkan, buku ini merupakan buku feminis pertama asal Indonesia yang masuk dalam katalog dan serial literatur dunia mengenai Feminism. Kapasitasnya sebagai Teolog, selain muncul dalam tulisan dan komitmennya terhadap Teologi Feminisme, tetapi juga diekspresikan pada masa menjadi anggota Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH-PGI). Tidak heran bila Presiden Dewan Persekutuan Gereja-Gereja di Sedunia (WCC = World Council of Churche), Pdt. Dr. SAE Nababan, juga berprihatin dan berduka dengan kepergiannya. Selebihnya, Marianne juga adalah anggota pendiri dan mantan Koordinator Ecumenical Association of Third World Theologians (EATWOT). Hal yang menegaskan kapasitas Perempuan yang satu ini. Berjaya dan sukses bukan hanya di Indonesia, tetapi bahkan memperoleh dan mencapai prestasi yang mendunia.
Pada masa-masa pergerakan menuju transisi demokrasi, Marianne juga aktif menjadi anggota Kelompok Hati (1980) dan kemudian juga terutama Forum Demokrasi (1992). Sebuah kelompok yang dikategorikan oleh Anders Uhlin sebagai kelompok pembangkang intelektual, yang membangun opini publik untuk mendorong Indonesia memasuki masa demokratisasi. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan menulis yang baik, bahkan memiliki reputasi mendunia, Marianne menempatkan dirinya pada tempat yang tepat. Dan, komitmennya terhadap demokrasi jugalah yang mendorongnya bukan hanya menulis, tetapi juga bersedia mewakili Pramoedya menerima penghargaan di Phillipina, dan tidak banyak tokoh di Indonesia yang berani melakukannya. Toch, sejarah mencatat Indonesia memasuki alam demokrasi sejak tahun 1998, dan syukurlah, Marianne masih smepat menyaksikan dan mengecapinya.
Marianne sendiri sebetulnya adalah figur yang unik. Dia memiliki energi yang besar atau snagat besar malah untuk berdebat, dan memiliki kemampuan untuk adu argumentasi, bahkan tidak takut untuk menjadi emosional sekalipun. Beberapa kali penulis menjumpainya terlibat adu argumentasi yang panas dan dalam tensi sangat tinggi. Tidaks egan-segan dia menumpahkan kemarahannya dalam berdiskusi dan dalam tempramen yang tinggi. Apalagi, jika menyangkut hal yang sangat dikuasainya, semisal isu feminis. Tetapi, Marianne, juga sangat mudah melanjutkan diskusi dalam tensi yang rendah ketika forum diskusi berakhir dan bersama mendalami persoalan yang diperdebatkan sebelumnya. Kesan yang ditangkap penulis, termasuk dari tokoh-tokoh baik lingkungan gereja maupun pergerakan, bahkan di acara berlevel internasionalpun, Marianne menunjukkan tipikal yang sama. Karena itu, wajar jika dia mengenal banyak tokoh dunia secara dekat, bahkan termasuk pemimpin-pemimpin Negara di Skandinavia yang sadar gender.
Perjumpaan terakhir di Tomohon dengan Marianne, juga berkaitan dengan Gerakan Oikumenis dan dengan issue gender. Diundang oleh beberapa aktivis perempuan GMKI untuk urusan yang belum jelas benar, Marianne di siapkan untuk ikut menyuarakan persoalan yang sebetulnya bisa diselesaikan di luar forum Kongres. Selaku senior GMKI dan aktivis Perempuan, Marianne dengan bersemangat memenuhi undangan tersebut. Bahkan memarahi penulis yang akhirnya ketahuan mengajaknya berjalan-jalan berkeliling Danau Tondano (bersama Ibu Stien Djalil) agar forum Kongres GMKI menyelesaikan persoalan internalnya. Meksipun marah, dan bahkan sempat murka besar terhadap penulis, pada akhirnya Marianne yang juga adalah aktivis GMKI pada masanya, akhirnya menyadari persoalan utamanya. Betapapun GMKI adalah tempat dia mulai membesarkan dirinya, setidaknya begitu ungkapan akhirnya.
Dan, akhir dari perjumpaan itu adalah: Seorang Marianne yang berkerinduan untuk kembali tinggal di tanah leluhurnya, tanah kelahirannya Tomohon. Sekaligus ingin menuntaskan keinginan lainnya, mengajar di Fakultas Theologi Tomohon UKIT. Sayang, keinginannya ini rupanya gagal, oleh sebab yang tidak sempat diucapkannya. Tetapi bukan sebab itu yang mengharukan penulis, tetapi keinginannya untuk menyumbangkan apa yang telah dimilikinya dan kapasitasnya untuk tanah leluhurnya. Dia memang dikenal luas secara nasional ataupun bahkan internasional, tetapi di tanahnya sendiri, dia seperti bukan apa apa. Meskipun keinginannya untuk kembali, bukanlah berarti dia ingin menjadi “apa-apa” di tanahnya. Setidaknya, masih ada panggilan tanah leluhur baginya untuk kembali dan menyumbangkan apa yang dimilikinya bagi penerus penerusnya. Karena betapapun, sangat langka dan sangat jarang Minahasa menyumbangkan seorang tokohnya pada level seperti yang dicapai Marianne akhir-akhir ini. Lebih sering dan lebih banyak berita kurang menyenangkan, women traficking, dunia malam, ataupun informasi miring dan stereotype perempuan Minahasa/Manado yang menggema di persada Nusantara ini.
Untuk seorang Marianne, dia bukan hanya harum di tingkat nasional, tapi bahkan dunia. Setidaknya, sedikit mengharumkan bau kurang sedap yang selalu dilekatkan sebagai stereotype perempuan Minahasa/Manado. Tidak berlebihan bila Perpustakaan Minahasa milik dr. Bert Supit mencantumkan profile Perempuan Minasa yang satu ini. Dan tidak berlebihan bila penulis menyebutnya sebagai “TONAAS WEWENE” Minahasa. Dia tidak pernah memintanya, tidak pernah menuntutnya, tidak untuk motif publikasi dan motif politik. Tetapi, dia telah memberi warna dan bau harum Perempuan Minahasa dalam sejarah perjalanan kehidupannya. Bukankah memang Tonaas itu dinilai dari prestasinya dan bukan dari uangnya? Apakah yang masih kurang dari yang sudah dicapainya? Untuk itu, Marianne Henrieta Katoppo, berhak menyandangnya, meski dia tidak pernah mimpi menyandangnya. Setidaknya bagi Penulis, dia lebih dari pantas.
Pada tanggal 12 Oktober 2007, Henriette Marianne Katoppo, menghembuskan nafas terakhir di Bogor, di rumah kakaknya Pericles Katoppo. Selamat Jalan Kak Marianne.
1 comment:
hm, hebat.
Post a Comment