(Renungan dari Perkemahan Kerja Pemuda Gereja di Tompaso Baru)
Oleh:
Audy WMR Wuisang, STh, MSi
Pengantar
Bukan ….. tulisan ini bukanlah sebuah kajian akademis ataupun literer mengenai Liberalisme dan Neoliberalisme. Meskipun, pengalaman penulis yang diminta “menstimulir” (merangsang) diskusi mengenai topik ini menghasilkan ironi. Betapa tidak, “Kekristenan” konon diperhitungkan di Negri ini karena kualitas dan kemampuan intelektualnya. Tetapi, di Perkemahan para kaum muda ini, respons dan pemahaman soal topik ini hanya sanggup diikuti 1-2 orang saja. Itupun, rata-rata peserta dari luar Sulawesi Utara. Padahalnya lagi, topik ini merupakan santapan keseharian para aktifis yang sering dituduh “kiri” atau “kurang nasionalis” karena lantang bersuara menentang agenda pemiskinan Negara berkembang termasuk Indonesia lewat perangkap WTO dan IMF. Dan, pergaulan penulis di Jakarta dan juga Sulawesi Utara menunjukkan para aktifis muda Islam, sungguh sangat akrab dan tidak gamang bercakap soal issue ini. Jadi? ….. ada di relung dan lorong mana sebenarnya Pemuda Gereja itu? Atau ada dimana gerangan pokok kajian dan keprihatinan (concern) Pemuda Gereja (GMIM, KGPM atau apa saja). Atau lagi, dimanakah letak keunggulan kualitas itu kini?
Tapi, alih-alih mendalami konteks pergelutan akademis soal Liberalisme dan Neo Liberalisme, tulisan ini sedikit menyimpang meski tetap dalam cerita Liberalisme dan Neoliberalisme. Karena mungkin, wajah gamang itu, bukan cuma ditunjukkan oleh wajah bingung dan polos Pemuda Gereja. Jangan-jangan, juga justru lembaga akademis. Bukan karena ketidak atau kekurangtahuan, tetapi karena ketakberdayaan, dan kemudian menjadi putus asa. Atau mungkin gabungan semuanya: tidak tahu, kurang tahu dan tidak berdaya.
Begitulah, akhirnya tulisan ini merupakan sebuah kisah atau sebuah permenungan atas beberapa penggalan yang coba dipadukan dalam satu bingkai. Bingkainya memang masih tetap frase yang sulit itu: Liberalisme dan Neo Liberalisme, tetapi ingin melihat kompleksitas persoalan didalamnya. Titik berangkatnya adalah dinamika percakapan di Perkemahan Pemuda, beberapa kisah temuan di Tumani –Tompaso Baru dan rumitnya persoalan sekitar tema itu.
Tema Itu …
Liberalisme dan Neo Liberalisme atau dalam judul coba disederhanakan di atas menjadi (neo) Liberalisme, sebenarnya merujuk ke paham besar yang secara revolusioner mengubah dunia dewasa ini. Bukan hanya mempengaruhi aktifitas perekonomian, tetapi juga bahkan lapangan social budaya dan juga Politik. Isme-isme seperti Kapitalisme, Demokrasi, Sekularisme, sulit dilepaskan dari proses pembentukan liberalisme. Dan bahkan semuanya sokong menyokong dan saling menyuburkan pertumbuhan masing-masing. Liberalisme yang mendewakan hak milik, minimalnya campur tangan Negara dalam perekonomian selain menjadi “penjaga malam” alias mengawasi prosesnya lewat penetapan aturan, dan seterusnya; Serta Neo Liberalisme yang menemukan momentumnya kembali lewat Reaganomics dan Tacherism dan peran besar WTO, IMF dan lembaga multilateral lainnya; serta tentu implikasinya yang semakin memperkerdil Negara berkembang lewat lembaga multilateral tersebut.
Bagi kaum muda yang sebagian besarnya sedang memburu “fun” dan “rekreasi” di sebuah Camp perkemahan, tentu rumit berpikir berat. Dan karena itu, ada semacam excuse atau alasan, mengapa ketertarikan peserta perkemahan bukan di tema berat macam itu. Tetapi, pertanyaan yang seterusnya menyeruak adalah: Benarkah ketaktertarikan itu hanya di kompleks perkemahan belaka? Ataukah, jangan-jangan ini menjadi semacam indikasi bahwa tema-tema mendasar semacam ini memang bukan kegemaran pemuda Gereja? Bila disempitkan lagi, jangan-jangan tradisi intelektualitas Pemuda Gereja (termasuk GMIM, KGPM, dll di SULUT) sepi dari hangar bingar yang demikian. Dan jika demikian, bagaimana mungkin menjawab ide kreatif kawan-awan dari Palangkaraya dan Ambon yang berpikiran begini:
“Liberalisme dan Neoliberalisme tidak mungkin lagi dihadapi vis a vis (berhadap hadapan) sebagai lawan. Karena dia telah merasuk demikian jauh dalam detail kehidupan kemanusiaan. Handphone, Sinetron, fashion, gaya hidup, dan hampir semua segmen kehidupan, secara detail disusupi oleh tangan-tangan dan produk liberalisme-neo liberalisme. Yang mungkin dilakukan adalah, bagaimana reformulasi pelayanan Pemuda di tengah terpaan yang begitu total dari kedua isme besar dunia itu” demikian komentar kawan dari Ambon. Sementara kawan dari Palangkaraya menyebut begini: “Melawan isme itu adalah berat, yang paling mungkin adalah mengedepankan basis kita, yakni kearifan lokal. Bagaimana akar akar kultural sebagai benteng pertahanan terakhir menyediakan basis identifikasi personal dan kultural untuk tidak terbawa hanyut pusaran global. Dan Pemuda Gereja dan pelayanannya, sangat menentukan memainkan peannya disini”
Walahualam …. Kedua pandangan kawan pemuda dari Ambon dan Palangkaraya ini, memang merupakan komentar yang tepat. Justru pada kedua titik itulah diskusi di Perkemahan Pemuda itu mau dihantarkan. Untuk merangsang kembali kapasitas intelektualitas Pemuda Gereja guna mengejar ketertinggalannya. Agenda Pemuda Gereja, seharusnya tidak berhenti pada penyaluran minat dan bakat semata, tetapi juga segmen peningkatan kapasitas intelektualitas. Itupun, bila disadari, bahwa pertarungan kedepan adalah pertarungan kualitas, bukan pertarungan kuantitas belaka. Tetapi, ada dan cukupkah ruangan tersebut dipikirkan dan diimplementasikan? Memang benar, bahwa tidak semua akan menyukainya. Tetapi, bagaimana mungkinkah kita eksists di Negara yang sangat plural semisal Indonesia tanpa kapasitas dan kemampuan intelektual yang memadai? Kecuali jika memang kita merasa cukup menjadi penumpang di Negara ini. Atau, kita selalu berteriak sebagai pemilik Negara ini, tetapi kalah bersaing dengan kelompok lain. Maka fatalisme dan ratapan adalah bagian kita. Rasanya, Pemuda Gereja kita, masih belum sampai pada taraf putus asa semacam itu. Time is a chance to change ….. waktu adalah kesempatan untuk berubah, dan masih ada waktu untuk perubahan itu,
Tentang Super Win
Cerita “Super Win” terdengar di luar kompleks perkemahan, tetapi tetap menyentak. Konon “beras varietas unggul ini” yang diberi nama “super Win” ditemukan di Desa Tumani, Tompaso Baru. Tepat di lokasi perkemahan, dan didengar penulis saat meninggalkan kompleks perkemahan. Konon beras itu termasuk kualitas beras terbaik di dunia, bahkan mengalahkan jenis beras yang disajikan di restoran fast food termasuk Hoka-Hoka Bento, dan jenis lainnya semisal McDonald, KFC, dll. Padahal, bagi penulis, beras dan nasi yang disajikan di resto fast food tersebut luar biasa enaknya. Jika masih kalah dengan kualitas beras super win itu, berarti kualitas super win memang benar benar “super”. Dan konon, beras itu sudah mulai masuk kemasan untuk dipasarkan di mall-mall di Manado.
Tetapi, yang kemudian berseliweran di kepala penulis adalah: Sampai kapan beras itu diklaim berasal dari Tumani – Tompaso Baru? Jangankan beras super win yang baru beberapa tahun terakhir muncul, bahkan alat musik Kolintang yang sudah puluhan atau mungkin ratusan tahun usianya, kini berlomba siapa pemegang patennya, antara Indonesia (Sulawesi Utara) dan Malaysia. Jika demikian, apakah salah jika kemudian penulis bertanya seperti pertanyaan di atas? Sampai kapan masyarakat Tuman bangga dengan temuan beras terbaik dari desa mereka?
Bukan tidak mungkin varietas atau jenis padi unggul tersebut sudah dan sedang di teliti dan diselidiki di banyak laboratorium hebat di dunia ini. Entah bila hal yang sama dan seharusnya lebih serius, di lakukan oleh sejumlah Fakultas Pertanian di Indonesia, ataukah mungkin di UNSRAT? Entahlah. Tetapi, penulis berharap dan berdoa, semoga lembaga akademis itu melakukan tugasnya, tugas akademisnya terkait dengan Padi tersebut. Sebab jika benar dia berkualitas unggul, maka bukan hanya soal “nama” dan “gengsi”, tetapi soal komoditas yang bisa sangat membantu bila difasilitasi dan diadvokasi pada level petani. Sayangnya, konon, padi jenis ini sering dijadikan barang pemalsuan, mencampurkannya dengan jenis beras berkualitas lainnya dan dinamai “beras super win”.
Betapapun, bagi penulis, kisah ini sungguh ironis. Mirip dengan banyaknya bibit unggul (pelajar) yang memenangkan olimpiade matematika, fisika dan kimia di tingkat Internasional, tetapi susah bertumbuh subur di Indonesia. Bukan …. bukan karena alam Indonesia yang kurang subur, tetapi karena mental dan budaya akademis yang belum membuat kondisi kondusif dan apresiasi memadai bagi kerja akademis. Penulis tidak akan heran bila beras super win suatu saat diklaim Negara lain, sama tidak herannya dengan kenyataan betapa banyak Doktor asal Indonesia menyeberang ke Negara lain, dan sukses. Persoalan dan penyakitnya sama sejak dulu, sayangnya, upaya komprehensif untuk memperbaiki atau merawat luka itu sangat lamban dikerjakan.
Pada saat dunia semakin “menyatu”, batas teritorial semakin kabur, dan dunia semakin menuju sebuah “perkampungan global”; Pada saat persyaratan kualitas SDM mengedepan, meritokrasi semakin dituntut – Indonesia masih tebebani oleh persoalan-persoalan tradisional. Ancaman liberalisme dan neoliberalisme sudah didepan hidung, tapi kesiapan dan persiapan masih carut marut. Lihatlah, kondisi akademis kita di SULUT ini, kondisi UKIT misalnya, kondisi dan kualitas Perguruan Tinggi kita yang tidak dalam daftar Perguruan Tinggi Elite bahkan di Asia saja. Jadi, jika kemudian suatu saat kita kehilangan hak dan klaim atas sebuah varietas padi, itu masih belum dianggap kecelakaan bagi kita. Mengapa? Karena Perguruan Tinggi kita masih tetap dan terus menunggu dana penelitian. Dan ujungnya akan dikatakan, karena Pemerintah belum merealisasikan dana pendidikan 20% APBN. Lihatlah, betapa rumit dan betapa repot menelisik satu persoalan kecil yang bisa dibikin besar itu.
Akhir Permenungan Itu ….
Toch pada akhirnya penulis harus meninggalkan kompleks perkemahan itu. Tetap, cerita dan ironi yang tersaji dalam percakapan dan saat akan meninggalkan desa Tumani masih terus membayang. Benar ….. betapa banyak persoalan yang harus diselesaikan, dan tidak akan pernah terselesaikan hanya dengan “membayangkan”. Membayangkan pemerintah mengerjakan tugasnya, bukan hanya soal 20% APBN dana pendidikan, tetapi peran fasilitasi atas potensi ekonomi rakyatnya, dst; Membayangkan peran penelitian berbasis kemampuan rakyat sekitar oleh Fakultas Petanian (UNSRAT, dan Perguruan Tinggi SULUT lainnya) dan mengolah produk pertanian agar kualitasna meningkat …… dst; Membayangkan petani yang sanggup menanam padi jenis unggul tersebut dan memetik keuntungan langsung darinya …..; Dan membayangkan wajah para Pemuda Gereja yang berhadapan langsung dengan dunia yang semakin tanpa batas …..
Memang, semua bukan urusan penulis. Tetapi, tetap terasa, betapa memikirkan semua itu akan sangat penting artinya bagi memetakan dimana komunitas bernama Minahasa dan SULUT ini berada pada era AFTA dan keterbukaan global nantinya. Dan itu, bukan Cuma urusan penulis, itu uga urusan pemerintah daerah, bahkan urusan Gereja. Semoga tatap mata polos dan belum tahu itu, suatu saat berganti optimisme dan percaya diri. Dan mereka tidak tergerus zamannya untuk meringkuk penuh ketakberdayaan, tetapi menjadi penentu jamannya. Dan semoga padi unggul itu, tidak digerus ganasnya liberalisme/neoliberalisme untuk diklaim Negara lain sebagai miliknya, dan meninggalkan penemunya dibelakang karena tidak disokong lembaga peneliti dan lembaga akademis yang seharusnya menolongnya. Semoga ….. semoga!
Catatan:
Penulis adalah pemerhati masalah social-kemasyarakatan
1 comment:
rasanya perenungan ini sudah ada sejak dahulu, mengapa Indonesia negara agraris tapi petaninya miskin dan diberdayakan. Hal ini bukan untuk direnungkan lagi, tetapi bagaimana "change paradigm" culture bangsa ini thd sesuatu kemandirian, dan ini yg harus dibenahi. Contoh negara Jepang sangat menghargai produk dan kemampuan diri sendiri, dan skrg menjadi negara maju dari keterpurukan. Bgm dgn generasi muda Indonesia?
Post a Comment